Rabu, 20 Februari 2008

Adakah Bahagia Untukku? ( IV )

“Gampang sekali! Aksimu memang top!” kata Iwan.
“Siapa dulu, dong!” jawab Randi sombong,”nggasak motornya si Dicka tuh kayak nggecek semut. Langsung keok waktu kuhantam dari belakang. Biar sekalian mampus.”
“Thanks ya, bro. Uangnya cukup, kan?”
“Ya, nggak ada masalah. Dengan begini, kamu bisa jadi juara tanpa ada penghalang.”
“Toast untuk kita berdua,” kata Iwan. Kemudian, mereka mengangkat gelas tinggi – tinggi dan membenturkannya di udara.

Di tempat duduknya, Dicka merasa sangat geram. Kemarahannya sudah sampai di ubun – ubun. Tanpa sengaja, dia mendengar percakapan mereka. Rasanya, ingin sekali dia membunuh para cecunguk itu. Mejanya hanya beberapa langkah dari mereka. Namun, banyak orang berada di restoran itu. Tindakannya pasti akan sangat mencolok. Polisi pun … dia tidak mau membicarakannya. Apalagi, saat ini Ana berada di hadapannya yang bersikeras untuk ikut. Untuk pesta kesembuhannya, kata Ana tadi.
“Ka, tenang. Jangan berbuat macam – macam,” kata Ana. Ternyata, dia juga mendengar pembicaraan mereka.
“Ayo, kita pergi dari sini,” ajak Ana.
Ana memang benar – benar mengerti dirinya. Dia seperti merasa mempunyai seseorang yang selalu menjaganya, tak pernah meninggalkannya … sesulit apapun situasinya. Dan, entah mengapa dia ingin hal ini berlangsung selamanya.
Dicka mengendarai motornya dengan ugal – ugalan. Melewati mobil, menyalip truk dan bus. Sebenarnya, Ana merasa takut, tetapi dia diam saja dan memejamkan mata menahan ngeri. Batas antara kehidupan dan kematian itu begitu tipis. Kalau saja kecelakaan …, dia berusaha mati – matian untuk tidak memikirkannya. Sebab, dia tahu bila suasana hati Dicka sedang tidak enak.
Akhirnya, Ana bisa bernapas lega juga. Dicka akhirnya mengentikan motornya. Ketika membuka mata, Ana melihat sebuah taman kota yang indah. Bunga – bunga bermekaran di tepinya, dan daun – daun berguguran, ditambah lagi ada angin yang berhembus perlahan. Tempat yang romantis, batinnya. Namun, pikiran itu segera dibuangnya jauh – jauh. Mana mungkin Dicka berpikiran sama dengan dirinya?
Saat ini, mereka sedang duduk di sebuah bangku yang bercat putih.
“Lihat saja! Akan kubalas mereka, nanti!” seru Dicka sambil mengepalkan tinjunya. Ternyata, dia masih dongkol dengan kejadian tadi. Ana sampai geleng – geleng kepala melihatnya.
“Lalu, kamu mau apa?” tanya Ana lirih, hampir tak terdengar.
“Aku? Aku akan menghajar mereka sampai babak belur dan tidak bisa terbangun sampai setengah tahun,” jawab Dicka. Pikirannya saat ini memang penuh nafsu untuk membalas dendam.
“Setelah memberi pelajaran pada mereka, apa yang kamu dapat? Tak ada,” jelas Ana.
Dicka termenung. Dalam hati, dia membenarkan kata – kata Ana. Dengan berbuat begitu, dia justru akan menyusahkan banyak orang, termasuk Ana dan ayahnya. Namun, akan dikemanakan harga dirinya jika dia membiarkan cecunguk – cecunguk itu bebas melenggang pergi.
“Ah, persetan dengan harga diri. Sudah sejak lama aku tidak punya harga diri,” putus Dicka akhirnya.
“Kau benar, An. Nggak ada gunanya aku nantang mereka.”
“Sudahlah, anggap saja kecelakaan itu peringatan Tuhan padamu.”
“Tuhan?”
“Ya.”
“Tak pernah ada Tuhan dalam hidupku.”
Ana bertanya – tanya dalam hati mengapa Dicka berkata seperti itu. Dan, ternyata dia tidak perlu lama menunggu jawaban keluar dari mulut Dicka.
“Dulu, setiap hari, ketika aku masih kecil, aku selalu berdoa supaya Tuhan membawa ibu kembali pulang ke rumah, pulang ke sisiku. Aku menunggu … dan terus menunggu, hingga aku merasa sangat lelah. Tapi, Tuhan tetap tidak mau mendengar doaku. Akhirnya, aku memutuskan bila aku membenci – Nya.
Peristiwa itu memang telah berlangsung lama, tetapi masih membekas di dalam ingatan Dicka, sampai sekarang.
Aku yakin, suatu saat Tuhan pasti akan mendengarkanmu, batin Ana.
“Ayo, kita jalan – jalan saja,” ajak Ana. Dan, tanpa sadar dia memegang tangan Dicka.
“Hei … jangan tarik – tarik tanganku, dong. Kamu kan bukan anak kecil lagi.”
“Oh, sori,” jawab Ana sambil cepat – cepat melepaskan tangan Dicka.
Mereka pun berjalan – jalan di sekitar taman.
“Hei, kita kok kayak orang yang lagi pacaran?” Dicka hanya bermaksud bercanda, tetapi Ann tiba – tiba menjadi gugup. Tangannya terasa membeku, dingin sekali. Bahkan, dia sudah tidak sanggup menimpali kata – kata Dicka. Hanya kata ‘oh’, ‘ah’ yang keluar. Namun, Dicka sama sekali tidak menyadarinya.
Setelah puas melihat – lihat, melihat apanya? batin Ana, lha sebagian besar yang mereka lihat adalah orang yang sedang berpacaran.
“Ayo pulang,” kata Dicka mengagetkan Ana.
Dicka menggandeng tangan Ana. Ana yang terkejut segera melepaskan tangannya.
“Ups, sori. Nggak sadar. Suasananya mendukung banget, sih. Lagipula, sudah kebiasaan,” ujar Dicka meminta maaf.
“Sudah kebiasaan?” tanya Ana bingung.
“Gini lho. Cewek – cewek itu sukanya nempel terus sama aku. Aku cakep, sih. Biasanya, mereka mau aja kugandeng, terus …”
“Sudah! Sudah! Dasar cowok narsis,” sela Ana. Dia tidak ingin mendengar kelanjutan cerita Dicka.
“Ha … ha … ha …, nggak ada hubungannya, ya,” kata Dicka sambil tertawa. Kemarahannya tadi sudah menguap entah kemana.
Ana mempercepat langkahnya, meninggalkan Dicka yang masih bengong tidak mengerti.
“Eh, An. Tunggu!” kata Dicka setelah tersadar dari lamunanannya.
Akhirnya, dia berhasil juga mensejajari langkah Ana. Tiba – tiba, Dicka berkata,” Tapi, kamu itu beda banget. Nggak kayak cewek lain yang gampangan.”
Mau nggak mau, hati Ana berdebar mendegarnya. Aduh, mengapa jantungku hari ini terus – terusan kaget, sih? batin Ana.
Bila dapat mengatakan perasaannya dengan jujur, sesungguhnya dia mencintai Dicka. Kalau nggak, ngapain juga selama ini dia selalu membelanya, menolongnya. Ah, cinta memang kadang sungguh aneh. Mengapa dia bisa mengagumi cowok yang hobinya cuma kebut – kebutan, berkelahi nggak ada kapok – kapoknya. Namun, dia tidak pernah mendapat jawaban yang logis.
Dicka tidak pernah tahu, bila Ana menahan hatinya habis – habisan walau itu sangatlah menyiksa. Dia tidak ingin Dicka menganggap bahwa dia telah menodai persahabatan mereka. Sahabat? Ya, mereka hanya sekedar sahabat. Tidak lebih.
“Hei, cepetan turun, dong. Kamu tidur, ya. Sudah sampai di depan rumahmu, nih.”
“Apa?”
“Nggak denger, ya! Aku teriak, lho.”
“Ya … ya …, aku segera turun,” kata Ana.
“Ngapain aja kamu tadi?”
“Ah …”
“Kamu ngapain dari tadi?” ulang Dicka.
“Oh, lagi …”
Belum sempat Ana meneruskan kata – katanya, Dicka sudah memotong,”Lagi ngelamunin aku, ya? Aku kan cakep.”
“Dasar narsis!” jawab Ann sambil menepuk punggung Dicka agak keras.
“Adaaww, sakit tahu!”
“Biarin.”
Setelah berbicara beberapa saat, Dicka berlalu. Saat itu, Ana tidak sadar bila ayahnya sedang mengamatinya dari balik gorden.

My Dreaming On

Tulisan ini kubuat, setelah aku menghadapi UM – UGM yang mengerikan. Mungkin, nggak cuma aku yang mengalami sindrom kayak gini menjelang ujian dan penerimaan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi. Saat itu, aku bener – bener kecewa pada diriku. Memang, belum pengumuman sih, tapi aku udah yakin kalo aku nggak bakalan diterima di UGM. Padahal, UGM adalah universitas harapan dan Jogja adalah kota impianku. Akhirnya, aku harus membuang jauh kenangan – kenangan itu … (Pati, 21 Januari 2008)

Bapak dan Ibu, terutama Ibu, ingin aku naik podium. Itu berarti, aku harus juara I, II, atau III dalam perolehan nilai UAN di SMA – ku. Tapi, bagaimana mungkin aku sanggup menuruti keinginan mereka? Bagiku, hal tersebut merupakan sesuatu yang hampir mustahil (kecuali dengan karunia dari Allah SWT, tentunya. Dan, aku sangat mengharapkannya).

Dulu, sewaktu SMA, Ibu naik podium. Tentu bangga rasanya bila mendapat ucapan selamat dari teman – teman, guru, bahkan kepala sekolah. Tiada yang lebih indah selain hal itu. Dan, beliau adalah ibuku. Aku bangga kepadanya.

Tapi, bagaimana dengan aku? Aku hanyalah murid biasa. Tidak punya kemampuan lebih untuk menaklukkan dunia. Bisa lulus ujian saja, aku sudah bersyukur. Bagaimana aku memenuhi keinginan mereka? Bagaimana?

Hal ini membuatku merasa tersiksa. Saat ini, detik ini, aku masih memikirkannya. Aku sangat takut bila mengecewakan mereka. Ya, mereka takkan memukulku karena nilaiku jelek atau merosot, tapi … dari sorot mata mereka, aku tahu bahwa aku telah mengecewakan mereka. Begitu dalam! So deep! Aku sungguh sangat takut. Ya Allah!

Lilin yang hampir padam,
mengharap cahaya ‘kan datang
padanya
‘tuk pertahankan harapan
yang tersisa
Akankah ada?

Aku takut, bila kegelapan menghampiri
Aku takut, bila tak ada keluarga
di sampingku
Akankah ada mampuku ‘tuk
penuhi harapan mereka?

UGM. Unversitas yang menakjubkan. Universitas yang menakutkan. Pada tanggal 8 April 2007, aku mengikuti UM – UGM. Aku yakin bila aku nggak akan diterima. Aku sudah salah pada banyak soal. Aku nggak akan diterima, meskipun untuk pilihan ketigaku. Padahal, keluargaku; keluarga kecilku, keluarga besarku mengharapkan aku lebh dari batas kemampuan yang aku miliki. Aku bisa apa? Paling – paling, pas pengumuman dan aku nggak diterima, mereka akan menyelahkanku. Memang tidak dalam kata – kata. Satu hal yang pasti, walaupun Ibu bilang “tidak apa – apa jika tidak diterima”, aku yakin bahwa ada rasa kecewa yang teramat besar dalam hidupnya. Aku takut mengecewakan semuanya. Aku benr – benar takut. Seandainya Allah SWT membantuku. Tapi, benarkan ‘kan ada keajaiban?

Aku jadi ingat perjuangan Ibu agar aku dapat mengikuti UM – UGM di Jogja. Ibu sudah menghabiskan hampir satu juta hanya demi aku yang terlalu ngotot ikut UM. Ibu dengan setia menemaniku, hingga akhir. Bagaimana perasaanmu, Ibu, bila anakmu ini (yang bodoh ini) tidak bisa memenuhi keinginanmu? Padahal, kau sudah mengorbankan begitu banyak uang, tenaga, dan pikiran untukku.

Bahkan, Om Sulhan yang tidak ada sangkut pautnya, juga ikut terlibat (pada saat di Jogja, aku menginap di rumah Om – ku). Om Sulhan juga sudah banyak berkorban untukku. Bapak juga. Semua. Semuanya begitu baik padaku. Aku menyayangi keluarga besarku. Tapi, apa yang bisa kuperbuat untuk membalas kebaikan mereka? Tidak ada. Aku tidak punya apa – apa yang layak untuk diberikan kepada mereka. Aku hanya selalu merepotkan mereka saja. Aku anak yang tidak berguna.

Hanya dalam mimpi aku bisa mendapat semuanya. Tapi, buat apa? Mimpi sangat jauh dari kenyataan. Bila kita hanya bermimpi, kita tidak akan pernah maju. Tapi, aku hanya bisa bermimpi. Mimpi yang indah. Hanya bermimpi! Hanya bermimpi! Terus bermimpi! Selamanya tetap ‘kan menjadi impian. Tak berubah menjadi nyata.

11 April ’07

Anak dan Orang Ketiga

Bagaimana perasaan seorang anak apabila dia tiba – tiba dipaksa untuk menghadapi kenyataan bahwa … ayahnya mempunyai istri kedua?

Menurutku, ada dua buah kemungkinan yang akan terjadi padanya. Pertama, dia akan menjadi seseorang yang pendiam, menutup diri dari lingkungan sosial, dan tidak merasa PD pada dirinya sendiri. Aku pengen cerita tentang seseorang yang sangat dekat denganku, sebut saja namanya A. Pada saat SMP, dia harus menerima bahwa ayahnya mempunyai istri kedua yang dinikahi secara siri. Tentu saja, kehidupannya yang pada saat itu sudah sulit, semakin menjadi lebih sulit. A, ibu, dan saudara – saudaranya harus berhemat, gara – gara ayahnya memberikan sebagian besar uangnya kepada orang ketiga alias sang istri keduanya itu. Jadi, A tumbuh dewasa sebelum waktunya. Dia menjadi anak yang cenderung minder. Walaupun demikian, dia sadar bahwa dia harus menjadi anak yang kuat, agar tidak semakin menyusahkan ibunya.

Lalu, pilihan yang kedua, anak tersebut berubah menjadi nakal. Dia merasa frustasi dengan keadaan di sekitarnya. Dia berpikir bila dia sudah tidak dibutuhkan lagi. Nah, di sinlilah anak itu mulai berbuat sesuatu yang nggak bener, kayak suka bolos sekolah, tidak pulang ke rumah beberapa hari, … . Sebenarnya, dia ingin menarik perhatian orang tuanya. Kalo hal ini tidak berhasil, dia akan merusak dirinya sendiri, misalnya dengan mabuk – mabukan, balapan liar, yang jelas – jelas sangat berbahaya. Ataupun, yang paling parah nih, terjerat sama penggunaan narkoba. Dia tidak tahu bahwa yang sebenarnya rugi adalah dirinya sendiri. Ayahnya nggak akan mungkin meninggalkan istri keduanya hanya karena dirinya. Kebanyakan pria adalah sosok egois yang terlalu mementingkan dirinya sendiri.

Waktu tidak pernah berhenti berputar, seperti mentari yang menyapa dunia setiap pagi. Dan, begitu juga kehidupan. Walaupun sangat sangat sangat sulit, kita harus terus dan terus menghadapi segala cobaan dengan hati ikhlas, sabar, tawakkal. Plizz, janganlah menyia – nyiakan hidup kita hanya demi hal – hal yang tidak terlalu berguna.

Adakah Bahagia Untukku? ( III )

“Apa pedulimu pada nyawaku? Aku nggak berhutang apapun padamu,” katanya, seolah meremehkan cewek yang ada di depannya.
“Dicka!” Ada sekelumit rasa jengkel di hati Ann,”tunggu dulu!”
Dia pun berlari menghampiri Dicka yang duduk di atas sepeda motornya, bersiap untuk pergi.
Setelah mengatur napasnya yang terengah – engah, Ana berkata,”Ka, kamu jangan ikut balapan lagi, ya. Kamu bisa benar – benar …”
“Benar – benar apa?”
“Benar – benar mati.” Namun, kata – kata itu tidak jadi diucapkannya.
“Alah, jangan sok nasihatin aku, deh. Belagu amat. Kamu kira aku ini siapa? Aku bukan anak baru kemarin sore yang lagi belajar jalan.”
Mereka terdiam sesaat, sibuk dengan pikirannya masing – masing. Ana tidak tahu lagi bagaimana caranya membujuk Dicka untuk menghentikan kegiatan yang menurutnya sungguh … gila.
Memang, setahu Ana, Dicka tidak pernah mau dinasihati oleh siapapun, termasuk ayahnya sendiri. Entah terbuat dari apa kepalanya itu. Mungkin dari batu sungai yag minta ampun kerasnya itu.
“Tapi ….” Ana mencoba sekali lagi.
“Udah deh, nggak usah ngurusin aku segala. Kagak ada untungnya. Sana pergi!” usir Dicka kasar.
“Kamu nggak boleh …”
Dan, saat itu Dicka sudah ngeloyor pergi, menyisakan kepulan debu yang menyesakkan Ana sampai dia terbatuk – batuk. Dicka jelek, pikir Ana dengan perasaan yang tidak menentu.

“Nanti sore, ada balapan di Lapangan Joyokusumo. Kamu ikut nggak?” tanya Iwan, teman Dicka.
“Jam berapa?” Dicka balik bertanya.
“Jam 3 sore. Ikut?”
“Ya, pastilah,” sahutnya optimis.
“Oke, kalu gitu aku duluan.”
“Lho, ngapain buru – buru?”
“Biasalah, ada urusan sedikit. Nanti juga beres begitu aku datang.”
“Sombong!” komentar Dicka.
Iwan tersenyum dan meninggalkan warung dengan tenang.

Dicka kembali meneruskan makannya. Sejak dari pagi, dia belum memasukkan apapun ke mulutnya, kecuali … tentu saja air putih. Hanya air putih.
Dia sudah menghabiskan dua porsi besar makan piring nasi, ketika dia sadar bila ada sesuatu yang tidak beres. Dia tidak membawa uang sama sekali, sudah diberikannya pada Iwan untuk pendaftaran perlombaan nanti sore.
Bagaimana ini? pikir Dicka panik. Nggak mungkin kan, dia menyelinap keluar begitu saja. Bisa digebukin massa sampai babak belur. Memang orang sekarang cenderung lebih emosional, termasuk dia sendiri. Yah, dia pun tak malu mengakuinya.
Lagipula, harga dirinya tidak mengizinkan hal itu. Mau ditaruh di mana mukanya. Dia kan pembalap nomor satu di kota ini. Untunglah, akhirnya dia menemukan satu cara.

“Kamu harus berterima kasih kepadaku,” kata Ana.
“Untuk apa?”
“Aku baru saja menyelamatkanmu dari kerja paksa. Uang sakuku untuk dua hari habis gara – gara kamu.”
“Sebulan yang lalu, aku juga menyelamatkan hidupku.”
Ana merasa mendapatkan pukulan telak. Dia tidak bisa membalas ucapan Dicka, karena semua yang dikatakannya benar. Tiba – tiba, dia merasa sedih.
“Kenapa kamu diam?” tanya Dicka heran. Tidak biasanya Ana yang cerewet dan sok ini menjadi kehilangan kata – kata.
“Jadi … jadi, kamu minta imbalan?” kata Ana dengan suara tertahan,”kalau nggak mau, dulu kau nggak perlu menolong aku.”
“Hah? Apa?” Dicka menatap Ana dengan wajah tidak mengerti.
“Ya, aku memang berhutang budi padamu,” kata Ana serak,”apa yang kamu inginkan dariku?”
Dicka baru mengerti sekarang, dan kemudian dia tertawa sampai perutnya terasa sakit. Ana memandang Dicka bertanya – tanya.
“Sori, aku nggak ngira kamu sampai berpikiran seperti itu,” kata Dicka setelah tawanya reda.
“Nggak lucu!” Ana cemberut menahan marah. Dia pun berbalik membelakangi Dicka.
“An, aku nggak pernah berpikir kamu berhutang padaku. Aku sudah senang kamu mau berteman denganku, yah … yang bisa dibilang urakan, nakal, nggak bener, berandalan, …,”sahut Dicka,” Terima kasih kamu masih memperhatikanku,”
“Kamu bukan cowok seperti itu,” jawab Ana kembali berbalik menghadapi Dicka dengan wajah serius.
“Ha … ha … ha …, kamu ketipu. Dasar cewek, gampang banget dikibulin. Aku tadi cuma bercanda.”
Perasaan Ana menjadi bercampur aduk tak karuan. Dia tidak ingin tangisannya pecah di depan cowok brengsek ini.

Dicka segera mengalihkan pembicaraan.
“Nanti nonton, jam tiga. Lapangan Joyokusumo. Aku ada di sana. Biasalah!”
Ana benar – benar ingin mencegah. Namun, dia takut, jika dia berbicara, air matanya akan mengalir keluar. Dan, dia tidak mau hal itu terjadi.
Ana menunggu beberapa saat hingga emosinya mereda.
“Kamu masih …”
“Sudah ya, nanti kalau aku menang, uangmu aku ganti deh. Jangan khawatir.”
Selalu begitu. Dicka selalu meninggalkan Ana sendirian.
“Ka, aku nggak mikirin soal uang itu, tapi yang aku khawatirkan itu kamu. Kamu, Ka. Mengapa kamu tak pernah mengerti?” pikir Ana.
Jadi, mau tak mau, Ana harus ikut pergi menonton. Sejak pagi tadi, perasaannya tidak enak. Dia tidak ingin terjadi apa – apa pada cowok itu. Namun, tiba – tiba Ana sendiri merasa heran. Mengapa dia tidak bisa berhenti memikirkan Dicka. Apakah … dia sedang jatuh cinta? Pada Dicka? Pada sosok tampannya? Atau, pada tubuhnya yang atletis? Ah, mustahil. Masih banyak cowok selain dirinya. Hingga kepalanya menjadi pusing, dia tetap belum menemukan jawaban yang memuaskan.

Kini, Ana berada di tengah – tengah gemuruh suara penonton yang memadati area luar stadion. Sebenarnya, dia sudah ingin cepat – cepat keluar dari sana, tetapi dia menahan hatinya sekuat mungkin. Ya, dia harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa Dicka baik – baik saja.
Ana mencari sosoknya di antara para pembalap. Setelah beberapa menit, dia menemukan Dicka yang sedang bersiap – siap mengendarai sepeda motornya. Untuk sesaat, Ana merasa lega. Namun, semua itu tidak berlangsung lama. Jantungnya kembali berdebar kencang saat perlombaan dimulai. Semua motor melaju dengan kecepatan tinggi. Ana bahkan merem melek beberapa kali.
Baru saja menghela napas lega, Ana dikejutkan adanya sebuah motor yang oleng karena diserempet motor lain. Pembalap itu terpelanting jatuh beberpa meter dari tempat kecelakaan. Begitu juga dengan motornya yang ringsek di beberapa bagian, karena menggesek jalan, sehingga menimbulkan percikan api.
Mengerikan. Besok, aku nggak mau nonton balapan kayak gini lagi, pikir Ana. Apalagi, pembalap itu jatuh hanya sekitar tiga meter dari tempatnya berdiri.
Dan, kemudian dia melihat helm itu. Motor itu. Tidak salah lagi, gumam Ana berulang – ulang.
Tanpa berpikir panjang, Ana segera melompat menuju pembalap itu.
Pasti dia bukan Dicka, Ana berharap – harap cemas. Ini hanyalah mimpi buruk. Lalu, dia memanjatkan doa. Tak dipedulikannya, penonton yang sempat memandang heran kepadanya. Mungkin mereka berpikir ‘cewek apaan, sih’? Menerjang masuk ke arena? Tapi, itu urusan nanti. Yang terpenting sekarang adalah memastikan siapa yang berada di balik helm itu.
Ana membukanya dengan sangat hati – hati. Dan, mimpinya buyar seketika. Dia melihat dengan jelas … wajah Dicka yang pucat tak sadarkan diri.
Paramedis datang beberapa saat kemudian. Dicka dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. Ana bersikeras untuk ikut. Hanya dia yang kenal dengan Dicka.

Beberapa jam setelah mendapat perawatan, Dicka akhirnya sadar. Dia kaget melihat jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Apalagi, dia merasa ada seseorang di sampingnya. Tapi, siapa? Ayahnya kan sedang tugas ke luar Jawa.
Ana beringsut bangun dan melihat Dicka sedang menatapnya dengan pandangan heran.
“Ngapain aku ada di sini? Lho, ini dimana?” Dia tidak paham untuk beberapa saat. Badannya terasa sakit semua.
“Tapi, menurut dokter kamu nggak ngalamin gegar otak, kok. Masa mereka salah mendiagnosa?” pikir Ana.
“Ana, kenapa aku bisa ada di rumah sakit? Aku kan baik – baik saja.”
“Huf, untunglah kamu masih kenal aku.”
Ana bernapas lega.
“Dengar, ya. Tadi, dokter bilang tiga tulang rusuk sama kakimu patah.”
“Hah, apa?” tanya Dicka tak percaya.
“Lihat saja sendiri gimana keadaanmu,” jawab Ann sambil menyerahkan sebuah cermin kepadanya.
“Aku sudah kayak mumi gini,” komentar Dicka sambil meringis kesakitan.
“Rasain. Salah sendiri pake ngebut segala. Aku kan sudah bilang …”
“Jadi, ceritanya aku nggak bisa naik motor, nih?”
Ana memandang Dicka dengan rasa kasihan. Dia tahu arena balap adalah hidupnya, dunianya. Dan, dia tak bisa memungkirinya.
“Nggak, kok. Cuma dua bulan.”
“Selama itu?”
“Gara – gara kamu sendiri yang ceroboh. Coba siapa yang repot, kan aku.”
“Oh ya, ngapain kamu ada di sini?”
Dicka bego. Masa nggak pernah ngerti juga? batin Ana.
“Yah, daripada di rumah. Nggak ada orang. Pergi semua,” kata Ana berusaha menutupi kesedihannya.
Dicka ber – o panjang. Dia memang sudah mendengar bahwa kedua orang tua Ana adalah usahawan yang sukses. Jarang ada di rumah.
“Nih, sudah kubelikan nasi goreng dua bungkus. Selera makanmu nggak mungkin berkurang. Lagipula, makanan di rumah sakit, kamu tahu kan?”
“Makasih banyak. Seandainya kamu itu pacarku, aku tentu akan merasa sangat bahagia,” kata Dicka.
Jantung Ana berdebar kencang, sampai – sampai dia takut bila Dicka mendengarnya.
”Aku ngomong apaan, sih? Sori, aku ngrepotin kamu terus. Aku juga nggak bisa ganti uang kamu,” kata Dicka lagi. Kesombongan yang ditunjukkan Dicka selama ini sudah menguap entah kemana.
“Ah, nggak masalah. Aku sudah senang kamu nggak bisa naik motor lagi. He … he … he …”
Dicka merengut pura – pura kesal. Padahal, di dalam hatinya, dia merasa … bahagia. Ada seseorang yang memperhatikannya. Ah, dia benar – benar beruntung bisa bertemu dengan Ana.

Selama seminggu, Dicka berada di rumah sakit. Setiap hari, sepulang sekolah, Ana menjenguknya dengan membawa buah – buahan ataupun makanan.
Dia cewek yang baik, pikir Dicka, dan aku cowok yang buruk. Mana pernah ada kecocokan?

Saat ini, Dicka sedang kebingungan. Dia jelas – jelas tidak mempunyai uang untuk membayar biaya perawatannya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Ana pasti mau menolongnya, tetapi selama ini dia sudah cukup membuatnya repot.
Dicka termenung sendirian di tempat tidur. Lusa adalah hari kepulangannya. Bagaimana ini? Dia pun kemudian memutuskan untuk bangun darn berjalan di sepanjang lorong rumah sakit. Dengan gugup, Dicka bertanya ke bagian administrasi.
“Mbak, biaya perawatan saya berapa, ya?”
“Maaf, nama mas siapa?” tanya salah seorang perawat sopan.
“Dicka Hermawan S dari kamar 307.”
“Sebentar,” kata perawat itu sambil mengecek dari dalam komputernya.
Dicka menunggu dengan cemas, lebih cemas daripada menanti hasil ujiannya beberapa tahun yang lalu. Dan, akhirnya perawat itu berkata,”Oh, semua sudah lunas.”
Dicka menghela napas sesaat, tetapi hanya sekejap.
“Mbak nggak bohong?” tanya Dicka untuk meyakinkan bahwa telinganya masih normal.
“Anda menginginkan struk kopinya?”
“Ya,” jawabnya cepat sekali.
Lalu, dia pun melihat struk itu, dan terbengong tak percaya. Nominal yang tertera di sana hingga puluhan juta, tepatnya dua puluh lima juta enam ratus lima puluh dua ribu rupiah. Wuih, Dicka sampai keder membayangkannya.
Siapa yang telah menolongku? pikir Dicka, apakah Ana? Ah, nggak mungkin Ana mempunyai uang sebanyak itu.
Dia tidak bisa menemukan jawabannya, dan justru semakin menambah pusing kepalanya. Ah, dipikir nanti saja!

Sudah hampir tiga bulan berlalu. Dicka merasa benar – benar pulih dari kecelakaan sialan itu. Dia sudah tidak sabar untuk kembali berada di tengah – tengah arena balap. Namun, sebersit pikiran tiba – tiba melintas di benaknya, mengganggu jalan pikirannya. Ana melarangnya ikut.
Dia diurus belakangan aja, deh, batin Dicka. Memang, kecintaannya pada dunia Rossi ini sudah mencapai taraf yang kronis. Sulit untuk disembuhkan. Ana pun tidak akan bisa membujuknya!
“Permisi,” kata Ann. Dia sedang berada di depan rumah Dicka sambil menjinjing keranjang buah. Pintunya setengah terbuka, tetapi kok seperti tidak ada orang.
Tiba – tiba, saat hendak beranjak pergi, Ana mendengar suara Dicka,”Tunggu sebentar!”
Ana pun lalu dipersilakan masuk.
“Ada apa, An?” tanya Dicka.
“Nih, untuk kamu,” kata Ana menyodorkan keranjang di tangannya. Pada saat itulah, dia merasakan tangan Dicka yang menegang.
“Kamu tidak apa – apa?” Ana melihat keringat dingin mengalir turun dari dahi Dicka.
“Ayahmu ada di rumah?” tanya Ana.
Tiba – tiba, dari sebuah kamar terdengar suara seorag wanita.
“Siapa itu di luar, sayang?” katanya mesra.
Ana terperanjat kaget. Sesaat, dia merasa sudah tidak menginjak tanah, melayang entah kemana. Pikirannya menjadi kacau. Dia sangat … sangat syok, seperti terkena serangan jantung.
“Eh, oh, aku mengganggu, ya?” ujar Ana, setelah dia mati – matian memaksa keluar suaranya.
Dicka terdiam. Wajahnya pun ikut – ikutan menjadi pucat.
“Kalau gitu, aku pergi dulu,” tambah Ana sambil melangkah keluar.
“An, tunggu …,” kata Dicka tersendat – sendat.
Ana menoleh. Tapi, lagi – lagi Dicka merasa mulutnya terkunci rapat. Dia tidak tahu apa yang mesti dijelaskannya pada Ana.
Akhirnya, Ana berkata,”Apapun yang kamu lakukan, itu nggak ada hubungannya denganku. Aku bukan pacarmu apalagi ayahmu. Aku nggak berhak melarang apa yang kamu lakukan. Kamu sudah dewasa, kan? Bisa nentuin mana yang bener mana yang salah. Tapi, aku tetap percaya pada kamu, kok. Bukanlah suatu dusta bila kau telah menolongku, memperlakukanku dengan baik. Dan, aku sangat menghargainya.”
“Maaf …,” jawab Dicka lirih. Namun, kemudian dia sendiri merasa heran mengapa dia meminta maaf. Dia nggak salah, kok.
Apakah benar dia tidak bersalah?
Sepeninggalan Ana, Dicka merenung. Lama sekali. Ternyata, apa yang dikatakan Ana memang benar, pikirnya.
Entah mengapa, tiba – tiba dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Dia pun berjanji nggak akan pernah melakukan hal … hal yang bodoh, hina seperti itu lagi. Tanpa berpikir panjang, Dicka pun segera mengusir wanita itu pergi.
Pada saat sendiri seperti saat ini, dia tidak bisa melupakan pandangan Ana tadi. Bukan pandangan jijik! Bukan! Dia yakin itu.
Pandangan itu, pandangan Ana … begitu kecewa … sakit … terluka. Seumur hidup, Dicka tidak ingin melihatnya lagi. Entah mengapa, saat membayangkan kejadian itu, hatinya seperti selalu tersayat – sayat pisau. Pedih sekali.

Bunuh Kata ‘Bunuh Diri’

Belakangan ini, fenomena bunuh diri seakan sudah menjadi suatu kejadian yang sangat biasa. Astaghfirullah! Kita sering melihat beritanya di berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik. Sungguh! Aku sampai merasa heran mengapa peristiwa itu terjadi. Ya, mungkin saja aku tidak bisa sepenuhnya memiliki rasa empati untuk ikut merasakan apa yang sedang dialami oleh orang tersebut. Karena aku tidak pernah mengalami masalah seberat yang ditanggungnya.

Sudah banyak kita lihat, gadis yang bunuh diri karena pacarnya tidak mengakui janin yag sedang dikandungnya. Dalam hal ini, aku merasa kedua – duanya salah. Si pria salah karena sikapnya yang sangat tidak bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. Padahal, dia lah yang menyebabkan si gadis menderita. Seandainya perzinaan itu tidak terjadi, kejadiannya tidak akan menjadi serumit itu. Si gadis juga salah, dia membiarkan si pria dengan seenaknya mengambil ‘mahkota’ – nya yang berharga! Hanya karena alasan untuk membuktikan perasaan sayangnya pada kekasihnya.

Bunuh diri tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Aborsi ilegal juga, karena hal itu berarti akan membunuh janin yang tidak berdosa hanya karena perbuatan kita yang berdosa. Sedangkan menjadi single parent (mungkin … inilah pilihan yang berat, tetapi yang terbaik. Indonesia yang masih menjunjung nilai kesopanan yang tinggi, bahkan, mungkin … kita akan menjadi sasaran gosip yang empuk hingga berbulan – bulan) bila si pria benar – benar melepas tanggung jawabnya. Memang bukanlah sesuatu yang mudah. Dibutuhkan kesabaran dan rasa ikhlas yang besar. Dan …, tidak banyak orang yang mampu melakukannya. Kita selalu mempunyai pilihan di dalam hidup ini.

Tinggal bagaimana kita mampu memilih jalan yang terbaik. Bunuh diri atau menjadi single parent? Seberat apapun permasalahan yang dihadapi, kita harus selalu kuat menghadapinya. Menurutku, bunuh diri merupakan sebuah tindakan pengecut. Dia melarikan diri dari masalah. Dia tidak berani menghadapi kenyataan yang ada.

Contoh lainnya, yang lebih sederhana, yaitu patah hati. Ketika patah hati, seakan kita tidak bisa berpikir lagi. Aku pernah mengalaminya. Setiap hari terasa kelabu. Sayangnya, belum ada hari yang cerah untuk jiwa yang sepi. Kalo nggak, pasti aku sudah menyanyikannya. Namun, bukan berarti setelah itu kita terus menjadi putus asa dan melakukan bunh diri. Tidak hanya ada satu pria / wanita di dunia ini. Entah kapan, kita pasti mengalaminya lagi, our beautiful love.

Dalam agama Islam, sudah jelas dikatakan bahwa perbuatan bunih diri itu dilarang. Pelakunya tidak akan pernah bisa berada di sisi Allah SWT. Rohnya hanya melayang – layang tidak tahu hendak kemana. Aku ngeri lho ngebayanginnya! Akan tetapi, aku tidak bermaksud menakut – nakuti. Aku hanya ingin mencoba memberikan sedikit pengertian bahwa banyak orang di dunia ini yang berjuang melawan kematian. Mereka terus berusaha sembuh dari penyakitnya, bahkan penderita HIV / AIDS juga. Walaupun tahu bahwa dia tidak akan sembuh, kemudian dia mengabdikan dirinya untuk memberi penyuluhan – penyuluhan agar tidak ada lagi yang terkena penyakit seperti dirinya.

Lalu, mengapa banyak orang yang menyia – nyiakan nyawanya sendiri? Membuang begitu saja roh yang ditiupkan oleh – Nya ke badan kita. Padahal, hanya Allah yang berhak menentukan kapan kita mati.

LoVe V.S LoGic

Aku mempunyai seorang sepupu, yang bernama Ocha. Sudah hampir selama dua tahun, dia mencintai Rengga, temannya. Namun, cinta itu tidak berjalan mulus, dan akhirnya dia pun bertepuk sebelah tangan. Setiap hari, Ocha tidak bisa berhenti memikirkannya. Hingga … entah sejak kapan, Rengga sadar bila Ocha mencintainya. Lalu, setelah itu apa yang terjadi? Rengga menolak Ocha. Tapi, Ocha tidak menyerah. Sampai dia menceritakan love story – nya padaku, dia masih sangat menyayangi Rengga, dan hebatnya … dia masih terus berjuang, memperjuangkan rasa cintanya. Tanpa kenal lelah.

Aku juga pernah mengalami hal yang sama. Aku nggak bisa membedakan lagi apakah yang kulakukan ini bodoh ataukah ungkapan dari sebuah kejujuran. Yang jelas, nasibku pun sama. I am rejected. Tentu saja, aku merasa sakit hati, kecewa, terluka, de el el. Tapi, biarlah. Semua itu sudah lama berlalu. Nah, yang ingin kuceritakan di sini adalah suatu ‘perbedaan’. What’s different? Perbedaan antara aku dan Ocha. Aku yang memilih logika dan Ocha yang lebih mengagungkan cinta.

Mungkin, aku memang cewek yang tak pernah berani mengambil resiko. Selama ini, dapat dibilang aku hanya memilih jalur yang aman saja. Aku tidak berani memperjuangkan makna cinta. Yah, akibatnya … tahulah! Aku nggak pernah memperoleh cinta sejati. Aku terlalu takut untuk mengejar dia. Selain itu, ibuku juga selalu mengajarkan padaku bila ‘wanita itu dipilih, bukan memilih’.

Jadi, sebagai seorang cewek, aku dituntut untuk menjunjung tinggi budaya timur yang lebih mengutamakan aspek kesopanan. Cewek nggak boleh lebih dulu mengejar pria. Setelah itu, dengan susah payah aku berhasil melupakannya. Untuk apa tetap mengejarnya apabila pada akhirnya kita pun tidak bisa memilikinya. Mungkin, kita memang mendapat raga, tetapi tidak untuk jiwanya. Percuma saja! Tentunya, aku akan lebih memilih dicintai daripada mencintai. Karena cinta sepihak itu selalu berada pada posisi yang sangat lemah. Dan, aku sudah merasakannya.

Oh, tapi, jangan khawatir, karena ini cuma pendapatku yang tidak akan bisa mempengaruhi keputusan orang banyak. Keputusan tetap berada di tangan kita, cinta atau logika … hanya hati kita yang bisa memilih. Pikirkan baik – baik, pasti ‘kan kita temukan jalan terbaik.


Senin, 04 Februari 2008

Adakah Bahagia Untukku? ( II )

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dicka. Dia berusaha menahan sakit yang menjalar, juga air matanya yang mati – matian ditahan agar tidak mengalir turun. Ayah tidak suka dengan anak yang cengeng. Lagipula, laki – laki tidak boleh mengeluarkan air mata.
“Yah, apa salah Dicka?”
“Masih berani bertanya apa salahmu, hah? Dasar anak keparat. Pergi saja sana ke neraka.”
Dicka hanya terdiam menedengar perkataan ayahnya. Hatinya merasa sangat sakit. Dia sering bertanya – tanya apakah bagi ayah dia hanyalah seonggok sampah busuk yang harus dilempar ke tengah jalanan?”
“Pukul saja. Biar sekalian Dicka mati. Biar ayah tidak malu lagi punya anak seperti Dicka,” katanya sinis.
“Kamu … kamu sudah berani melawan ayah, ya!” gertak ayahnya sambil melayangkan tinjunya ke wajah Dicka.
Tubuh Dicka terjengkang menabrak kursi yang ada di belakangnya. Darah tampak meleleh di sudut bibirnya.
Dicka masih tersungkur di lantai yang dingin. Sedangkan ayahnya berdiri angkuh di hadapannya.
“Bangun!” suara ayah menggelegar di telinga Dicka. Detik berikutnya, ayah mencengkeram kerah bajunya dan menghujaninya dengan pukulan yang seakan tak pernah berhenti. Mengapa ayah tega melakukan ini semua kepadanya?
Setelah itu, Dicka merasakan matanya menjadi kabur. Dia tidak melihat benda – benda di sekitarnya dengan jelas. Lalu, semua menjadi gelap.

Dulu, dulu sekali …, mereka adalah kelaurga yang bahagia. Walaupun ayah adalah seorang tentara berpangkat rendah dan ibu hanya membuka warung di depan rumah, dia mendapat kasih sayang yang utuh. Hingga suatu hari … pertengkaran itu terjadi. Pertengkaran yang mengubah hidup Dicka. Menjadi suram. Gambaran tentang sebuah keluarga yang harmonis sudah menghilang.
Dicka mengintip dari sela – sela pintu yang terbuka.
“Dasar wanita laknat! Berani – beraninya kau main mata dengan pria lain selama aku tidak ada di rumah,” ayah berteriak sambil menjambk rambut ibu. Ibu pun meronta lepas dari cengkeraman tangan ayah.
“Mana?” Mana janjimu dulu untuk membuatku bahagia?” ibu tidak kalh garang dari ayah.
Dicka memandang mereka berdua dengan ketakutan. Selama ini, dia tidak pernah melihat ayah dan ibunya saling mencaci maki. Dicka kecil, hanya tahu bila ibunya adalah seseorang yang lembut, tak pernah memarahinya dan ayah yang sayang padanya. Mengapa semuanya jadi begini?
“Aku sudah memberimu kebahagiaan.”
“Kebahagiaan apa? Rumah sempit dengan perabotannya yang dekil?”
Kali ini, ayah tidak menjawab.
“Sekarang, mau kamu apa?”
“Aku sudah tidak tahan lagi. Aku ingin keluar dari rumah sialan ini,” kata ibu sambil memasukkan baju – bajunya ke dalam tas.
“Kamu mau kemana?”
“Bukan urusanmu. Aku minta kau menceraikanku.”
“Tapi aku mencintaimu.”
“Makan saja cinta itu. Aku tidak butuh!”
Ibu pergi dari rumah tanpa sekalipun menoleh ke arah Dicka. Padahal, dia berada di dekat situ.
“Ibu … Ibu jangan pergi,” kata Dicka perlahan sambil membuntuti ibunya sampai di depan rumah. Dia pun menarik – narik baju ibunya.
“Lepaskan!” hardik ibunya kasar,”sana tinggal sama ayah.”
Dicka memandang ibunya samapi dia benar – benar berlalu. Kini, dia menemukan kenyataan yang pahit. Ibu tak pernah menyayanginya. Ibu meninggalkannya di saat dia sangat membutuhkan belaian kasih sayang.
Laulu, dia menghampiri ayahnya yang sedang tertunduk di dalam kamar.
“Ayah, kenapa Ibu pergi?” tanya Dicka.
“Anak sialan! Pergi jauh – jauh dari Ayah!”
“Tapi …”
“Pergi!” bentak ayahnya lagi.
Dicka kecil memang tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi telah terjadi antara ayah dan ibunya. Yang dia tahu, saat itu ayahnya hanya ingin sendiri.

Sepeninggalan ibu, perangai ayah menjadi berubah. Dia suka marah – marah hanya karena alasan yang sepele. Dia tidak pernah menggendong Dicka lagi seperti dulu. Ayah membiarkannya tumbuh sendiri tanpa pernah memberi perhatian yang cukup. Tak jarang, ayah memukulnya sampai Dicka menangis ketakutan. Apalagi, bila dia menyebut – nyebut nama ibu, ayah akan semakin menambah keras pukulannya.
“Ibu sudah mati! Mati! Ayah berteriak gusar,”ingat itu baik – baik,”
Dicka tidak berani membantah. Tidak hanya tubuhnya yang babak belur, tetapi juga prestasi di sekolahnya. Beberapa kali, dia dikeluarkan dari sekolah gara – gara berkelahi dengan murid lain. Guru – guru pun sampai kewalahan menghadapinya. Sewaktu SD, nilai akademik Dicka tidak bermasalah. Dia selalu menjadi juara kelas. Akan tetapi, bukankah dunia seringkali terasa tidak adil?

Mejelang usianya yang beranjak dewasa, Dicka pernah mengunjungi ibunya selama satu minggu. Namun, hanya kekecewaan yang dia temukan. Bukan pelukan sayang atau dekapan rindu.
Ibu tak pernah menganggapku hadir ke dunia, pikir Dicka getir.
Dia sama sekali tidak diacuhkan. Tidak pernah diperhatikan. Ibu tidak pernah sekalipun rindu kepadanya.
“Ibu, bolehkah aku memelukmu?” tanya Dicka. Namun, ibu hanya memandangnya dengan tatapan yang kosong, seolah dia adalah orang lain yang tidak punya hubungan apa – apa. Seolah tidak ada ikatan di antara mereka berdua.
“Ibu, bolehlah aku memelukmu?” ulangnya. Berharap ibunya akan datang dan menggendongnya, mengucapkan kalimat yang selama ini terus dirindukannya,” ibu menyayangimu, nak.”
Akan tetapi, ibu berlalu begitu saja, tanpa berkata apa – apa.
“Ibu, apa salahku? Mengapa kau perlakukan aku seperti ini?” batin Dicka putus asa.
Akhirnya, dia memutuskan untuk pulang ke rumah. Dengan menjinjing tas kecil, dia berjalan terseok – seok tanpa semangat. Dia merasa kecil, terbuang, dan mungkin saja dibuang. Ketika menoleh, dia melihat ayah tirinya, suami ibunya yang baru, memandang kepergiannya dari depan pintu. Tak ada yang berbaik hati, walaupun hanya berpura – pura, untuk mengantarnya pulang.
Sesampai di rumah, ayah tenang – tenang saja menyambut kepulangannya. Ayah seakan tidak khawatir dia pergi kemana pun asal tidak menyusahkannya saja.
“Darimana?” tanya ayah sambil lalu.
Dengan takut – takut, Dicka menjawab,”Dari rumah ibu, yah.”
“Apa?” kata ayah dengan geram,” Apa katamu?”
Dicka hanya menunduk, tidak berani menatap mata ayahnya.
“Dari … rumah ibu,” ulang Dicka pelan. Pelan sekali. Tetapi, Dicka tahu bila ayah mendengarnya.
Lalu, dunia seakan menjadi neraka bagi Dicka. Ayah mencengkeram pundaknya dan mulai membenturkan kepalanya ke dinding hingga dinding itu berubah warna menjadi merah.
“Ampun, yah …” kata Dicka memelas.
“Perempuan laknat seperti dia tak pantas menjadi ibumu.”
“Ya, Dicka berjanji nggak akan pernah menemui Ibu lagi.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Dicka, menuruni pipinya. Kepalanya sakit sekali, samapai mau mati saja rasanya. Bahkan, dia sempat berdoa kepada Tuhan, yang kata orang – orang ada di atas sana,” Tuhan, ambil saja nyawaku ini. Aku tidak ingin hidup lebih lama lagi.”
Namun, Tuhan tidak pernah mau mengabulkan permohonannya. Dicka masih saja terbangun menatap dunia nyata.
“Bagus!” katanya pada Dicka. Lalu, ayah tersenyum sambil menyeringai. Seringai yang terasa menakutkan bagi Dicka. Ayah tidak pernah main – main dengan ancamannya.
Dicka berjalan tertatih – tatih menuju ke kamarnya, kalau bisa disebut sebagai kamar. Semuanya berantakan di sana sini dengan perabotan yang sudah tua. Meja, tempat tidur, almari tidak pernah diganti sejak dua puluh tahun yang lalu. Yang terbaru, hanyalah poster Maroon 5 yang baru dipasangnya tiga hari yang lalu.
“Kamu mau tahu caranya bunuh diri?” Tiba – tiba, Dicka mendengar sebuah suara dan dia menjadi kaget.
“Apa?” katanya pelan. Entah pada siapa dia bertanya.
“Kamu mau tahu caranya bunuh diri?” Suara itu kembali terdengar. Bulu kuduk Dicka sudah benar – benar meremang sekarang.
“Gantung dirimu pada seutas tali.”
“Minum alat pembasmi nyamuk.”
“Campur air dengan racun tikus.”
“Potong nadimu dengan pisau dapur.”
Suara itu terdengar berulang – ulang memenuhi isi kepala Dicka. Tidak mau berhenti, walaupun dia sudah menutup rapat – rapat telinganya.
“Mau kamu apa?” teriak Dicka dengan hati berdebar.
“Dicka kamu sudah terlalu lama menderita. Sudah saatnya kau mengakhiri semuanya. Kamu tahu? Keluargamu tidak pernah menyayangimu. Bahkan, mereka selalu meyalahkanmu walaupun kamu tidak berbuat kesalahan. Ayahmu memukulimu, padahal kamu hanya ingin membelanya saat teman – temanmu menjulukinya ‘si tukang mabuk’. Juga, ibumu yang tidak pernah mencintaimu, walaupun kau selalu berusaha menyenangkan hatinya.
“Tidak! Ayah dan ibu menyayangiku.”
Suara itu membantah,”Apa buktinya? Mereka justru menelantarkanmu. Mereka terlalu egois dan hanya mementingkan kesenangan pribadi. Dicka … kamu tidak berharga … tidak berharga … tidak berharga …”
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”
“Ambillah pisau di meja dan potong nadimu.”
Seperti ada tenaga tak terlihat yang memaksanya untuk mengambil pisau itu. Dan, cress … darah pun muncrat kemana – mana.
Dicka terbangun dengan napas terengah – engah. Bajunya basah terkena keringat yang mengalir deras. Ya, ternyata dia telah bermimpi buruk, sangat buruk. Tanpa sadar, dia tertidur tadi.
Ketika keluar dari kamar, dia tidak melihat ayahnya. Badannya masih terasa sakit. Apalagi, jika nanti digunakan untuk mandi, dia pasti akan meringis menahan sakit. Ya! Selama ini, dia memang sering memancing kemarahan ayahnya. Tetapi, kali ini berbeda. Dia berkelahi bukan untuk pamer, dia benar – benar menggunakannya untuk kebenaran, kalau memang dia masih pantas untuk menyebutnya. Namun, ayah tidak sedikitpun percaya pada ucapannya.
Kebahagiaan tidak pernah lagi singgah di hatinya, hingga dia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi bahagia. Selama ini, dia hidup dengan menyimpan perasaan iri, marah, sedih, kecewa yang tidak pernah habis.

Saat ini, Dicka ada di depan rumah Ana, bersembunyi di balik kerimbunan pohon. Lama, dia memandang sekeliling. Tak ada siapapun. Entahlah, ketika dia mengendarai motornya, dia ingin pergi ke sini.
“Dicka!” panggil seseorang. Dia pun segera menoleh dan melihat Ana sedang menatap heran kepadanya.
“Wajahmu kenapa? Berkelahi lagi?” tanya Ana khawatir,”ayo masuk!”
“Aku boleh masuk ke rumahmu?”
“Ya iyalah. Lagian ngapain kamu di situ dari tadi?”
Jadi, Ana sudah lama melihat aku, pikir Dicka.

Dalam sepuluh menit berikutnya, Ana mulai menasihatinya macam – macam sambil mengoleskan antiseptik. Intinya, Ana menyuruh Dicka supaya tidak berkelahi lagi sampai babak belur seperti ini.
“Jadi, siapa yang memukulmu?” tanya Ana akhirnya.
Sebenarnya, Dicka tidak ingin mengatakannya, tetapi Ana terus saja mendesak. Dia pun menyerah dan menjawab singkat,”Ayah.”
“Hah?” kata Ana terlonjak kaget,”jadi, semua ini gara – gara aku?”
“Iya, makanya aku jadi begini. Gara – gara ngebelain kamu,” kata Dicka terus terang. Namun, kemudian dia segera menyambung,”nggak apa – apa. Sudah biasa! Lagipula, tindakanku benar, kok.”
“Sudah biasa apanya?”
“Sudah biasa dipukul,” kata Dicka. Ana samapi merasa heran, Dicka mengucapkannya dengan enteng sekali.
“Mengapa kamu peduli padaku?”
“Yah, anggap saja sebagai balas budi. Aku nggak akan pernah melupakan apa yang sudah kamu lakukan untukku. Bagaimana kalau kita berteman?”
“Kamu mau berteman dengan orang seperti aku?” Dicka sempat menyangsikan ucapan Ana.
“Emangnya ada apa denganmu?”
“Aku beritahu, ya. Aku itu kasar, jelek, suka berantem, kebut – kebutan, …”
“Kalau memang begitu, apa salahnya? Aku percaya kamu bisa berubah jika kau mau.”

Bekerja Itu Penting !!!

Ibu selalu menanamkan kepada kedua anak gadisnya, yaitu aku dan adikku untuk bekerja. “Wanita harus bekerja,” kata beliau mantap. Ya, aku benar – benar mengerti apa maksud ibu sebenarnya. Beliau tidak ingin membiarkan anak – anaknya hidup tanpa mempunyai pegangan yang berarti. Uang memang bukan segalanya, tetapi uang itu penting.

Walaupun terlahir sebagai seorang wanita, bukan berarti kita mau saja untuk dilecehkan oleh kaum pria. Saat membuka mata pertama kali ke dunia, HAM sudah melekat pada diri kita. Pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Aku sangat tidak senang dengan suatu produk kecantikan, dimana di situ disebutkan bahwa seorang suami menjadi lebih mencintai istrinya karena sang istri bertambah cantik setelah memakai produk tersebut. Pada intinya, ternyata sang suami selama ini hanya memandang istrinya dari segi fisik saja. Mungkin, bila sang istri sudah berumur, sudah tua, tidak tertutup kemungkinan suami mencari wanita yang masih muda dan cantik. Nah, bayangkanlah seandainya kita tidak mempunyai penghasilan …! Kita tidak akan bisa berbuat apa – apa, karena kita tergantung secara ekonomi pada suami. Ingin cerai? Bingung juga. Kalo anak – anak ikut kita, lalu mau diberi makan apa?

Tidak jarang pula, para suami seenaknya menyebut istrinya sebagai kanca wingking yang hanya bertugas macak, masak, manak ( berdandan, memasak, dan melahirkan anak ). Apakah sebegitu rendahnya derajat wanita di mata pria?

Ketika kita memutuskan untuk tidak bekerja dan hanya menjadi seorang ibu rumah tangga, maka secara otomatis kita mempunyai ketergantungan yang tinggi pada suami mengenai masalah finansial. Seorang istri harus benar – benar pandai menangani semua kebutuhan keluarganya. Padahal, tidak selamanya kebutuhan selalu berbanding lurus dengan budjet kita. Adakalanya, terjadi peristiwa yang tidak direncanakan sebelumnya. Misalnya saja, ketika ada saudara kita yang ingin meminjam uang, sedangkan rumahnya di luar kota. Lalu, bagaimana? Apalagi, biasanya ada rasa sungkan untuk meminta tambahan uang dari suami.

Kita sepatutnya bersyukur bila mendapatkan suami yang baik dan mau memahami dan menerima kita apa adanya. Akan tetapi, tidak jarang kita melihat dan mendengar bahwa seorang suami tega melakukan kekerasan alias KDRT pada istrinya, hanya karena tidak menghidangkan makanan yang sesuai dengan keinginannya.

Seringkali, kita cenderung menganggap bahwa semua pekerjaan rumah tangga bukanlah suatu ‘pekerjaan’, karena tidak dapat meghasilkan uang. Padahal, membersihkan rumah seharian itu capeknya bukan main!

Kesimpulannya, dengan mempunyai penghasilan sendiri, walaupun tidak seberapa, kita menjadi mampu untuk membuktikan diri bahwa tidak selamanya wanita bisa diperlakukan seenaknya. Kita pun menjadi lebih bebas untuk memakai uang. Uang – uang kita sendiri, kok!

Terbaik, Bukan Tercinta

Menikah tanpa cinta, bisakah?
Tidak semua orang dapat menikah dengan kekasih yang dicintainya. Kadang, takdir bisa berkata lain.

Hidup tidak semudah yang kita bayangkan, karena jodoh, rezeki, dan mati kita berada di tangan Tuhan. Hidup juga tidak seindah yang kita kira. Banyak hal yang sebenarnya ingin kita capai, tetapi apa daya, kadang … tangan tak sampai. Masalah demi masalah selalu saja hadir dan menggelayut di pundak kita.

Tentu saja, menikah dengan seseorang yang mencintai kita dan kita cintai merupakan impian dan anugerah yang tak ternilai harganya. Bersama dengannya, kita melewati hari demi hari dengan bahagia. Kita rela memyiapkan semua kebutuhannya, hanya untuk melihat senyum tersungging dari bibirnya. Apalagi, bila dia berkata,”Aku takkan pernah meninggalkanmu hingga maut memisahkan kita.” Wuahh … hati kita pasti sudah melayang ke udara.

Namun, aku yakin, jika di dunia ini … lebih banyak orang yang menikah tanpa cinta. Mengapa? Sungguh banyak faktor yang menyebabkannya, bisa karena perjodohan antarkeluarga, materi ataupun kehormatan. Dan, hal itu sudah tidak dapat dipungkiri lagi.
Lalu, apakah kita akan bahagia? Menurutku, jawabannya adalah relatif. Ada orang – orang yang mencintai suaminya justru setelah dia menikah, tetapi tidak sedikit pula yang merasa hidupnya menjadi hambar. Setiap hari melakukan rutinitas yang sama, tanpa diikuti oleh the power of love.

Biasanya, kemudian perhatian sang istri tidaklah ditujukan kepada suaminya, tetapi justru tercurah sepenuhnya untuk anak – anaknya serta bagaimana memenuhi kebutuhan mereka dengan sebaik – baiknya. Anak bukanlah orang lain, karena mereka terlahir dari dalam kandungannya sendiri. Mantan suami memang ada, tetapi mantan anak tidaklah ada.

Mungkin, orang lain melihat bahwa keluarga itu harmonis, tetapi hal tersebut sebenarnya merupakan kenampakan dari luar saja. Kita tidak pernah tahu kan, bila seseorang tersenyum di luar, tetapi menangis di dalam?

Bila ‘menikah tanpa cinta’ menimpa kita, kita harus dan harus mampu menata hati kita dengan baik. Sebisa mungkin, walau bukan 100 % kita harus mencoba untuk menerimanya dengan ikhlas. Yakinkanlah diri bahwa suami kita pasti mempunyai suatu sisi yang dapat kita terima dan hargai.

Ya, mungkin suami kita bukanlah yang tercinta, tetapi dia adalah jodoh yang diberikan Tuhan untuk kita. Dan, Tuhan pasti memberikan yang terbaik bagi kita.

Adakah Bahagia Untukku? ( I )

Malam belum terlalu larut. Mentari baru saja terbenam di ufuk barat. Dicka sedang mengendarai sepeda motornya mengelilingi kota, ketika dia melihat seorang cewek yang sedang diganngu oleh beberapa orang cowok. Mereka mengitari cewek itu, menggodanya. Naluri Dicka sebagai seorang lelaki tiba – tiba bangkit. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi di depan matanya. Sekalipun dikenal sebagai cowok jalanan, dia masih tetap memiliki hati nurani.
“Hai, cantik. Mau ikut dengan kami?” kata salah seorang di antara mereka. Cewek itu semakin terpojok. Dia tampak sangat ketakutan.
Tanpa berpikir panjang, Dicka melangkah maju. Ternyata dia mengenal Rudi, anak atasan ayahnya berada di tengah – tengah mereka. Sesaat, dia menjadi bimbang.
“Rudi …”
Serentak, mereka menoleh ke arah datangnya suara, dan melihat Dicka sedang berjalan mendekat.
“Lepaskan cewek itu, Rud. Kalau tidak ..”
“Kalau tidak, apa?” tantang Rudi,”Ka, kamu jangan berlagak jadi jagoan, deh. Nggak ada untungnya. Gimana kalau kamu juga ikut menikmati cewek ini?”
“Nggak! Lepaskan dia atau kalian akan …”
Namun, Rudi sudah memotong pembicaraan Dicka.
“Atau, kami akan kau hajar? Iya? Ha … ha … ha …, kau jangan membuatku tertawa. Mustahil kau berani melawanku. Selama ini, kau cuma bisa berlindung di bawah ketiak ayahmu. Nggak lebih. Huh!”
Kini, Dicka sudah benar – benar kehilangan kesabarannya. Dia tidak peduli, jika nanti Ayah memukulinya ketika dia sampai di rumah. Yang terpenting, cewek itu selamat terlebih dahulu.
Mereka berempat mengeroyok Dicka, tetapi Dicka bukanlah tipe orang yang mudah dikalahkan. Akhirnya, setelah bersusah payah, dia pun berbalik menang.
“Awas kau! Tunggu saja pembalasanku,” ancam Rudi, sebelum mereka lari pontang – panting meninggalkan tempat itu.
“Kamu tidak apa – apa?” tanya Dicka, sambil membersihkan debu yang menempel di bajunya.
“Aku … aku …” jawab cewek itu gemetar. Selama beberapa saat, dia tidak mampu berkata apa – apa.
Lalu, Dicka pun mengajaknya untuk duduk di rerumputan.
Dia benar – benar ketakutan, pikir Dicka.
“Kamu baik – baik saja?”tanya Dicka, sebab wajahnya tampak pucat.
“Cewek itu mengangguk.
“Ter … terima kasih.”
Dicka tersenyum,”Untuk apa?”
Hening.

Tempat ini sungguh sepi, batin Dicka. Saat itu, dia sedang memandang jalan raya di kejauhan.
Tiba – tiba, cewek itu menoleh.
“Bolehkah aku …”
“Apa?” tanya Dicka mengalihkan pandangannya kepada cewek itu.
“Bolehkah aku … meminjam bahumu sebentar? Aku tahu kamu tidak mengenalku, tetapi …”
“Tentu saja,” jawab Dicka tanpa menunggu kelanjutan kata – kata cewek itu. Kemudian, tanpa diduga Dicka, cewek itu menangis tersedu – sedu, seakan ingin mengeluarkan segala beban yang ada di hatinya.
Dicka menunggu, walaupun hatinya harus bersabar.
Dia adalah cewek baik – baik. Aku tidak boleh memeluknya, pikir Dicka.

Selama ini, dia selalu bersama dengan teman – teman yang dikenalnya di jalanan. Hubungan antara seorang pria dan wanita menjadi tidak punya batasan yang jelas. Mereka sudah terbiasa dipeluk, bahkan lebih. Dia paham, mereka adalah korban dari ketidakharmonisan keluarga, sama seperti dirinya.
Dicka jadi teringat dengan Devi, temannya yang pernah mengatakan bila ayahnya mempunyai dua orng istri, lalu Ardi yang ayahnya berselingkuh dengan wanita lain dan ibunya hanya diam, menerima saja dengan pasrah.
Tiba – tiba, suara cewek itu membuyarkan lamunan Dicka.
“Terima kasih, kamu sudah menolongku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada.”
Kini, Dicka mendengar suara yang lebih tegar. Ternyata, dia sudah lebih pulih, batinnya.
“Nggak apa – apa. Aku memang harus melakukannya.”
Inilah pertama kalinya Dicka menerima ucapan terima kasih. Sebersit perasaan senang menyelusup ke dalam hatinya. Dia merasakan kehangatan kata – kata cewek itu.
Kukira, hatiku telah lama mati, pikirnya.
“Kamu sudah merasa baikan?” tanya Dicka.
Cewek itu mengangguk.
“Aku Dicka.”
“Oh, maaf. Namaku Ana,” kata Ana memperkenalkan dirinya.
“Kamu mau pulang?”
Ana mengangguk.
“Mau kuantar?”
Ana memandang Dicka dengan pandangan tidak percaya, dan Dicka sudah terlanjur melihat tatapan itu.”
“Kamu tidak percaya padaku?”
Ana tampak terkejut. Matanya terlihat gelisah.
“Bukan. Bukannya aku tidak percaya, tapi …”
“Tapi …” kata Dicka menirukan ucapan Ana.
“Tapi, aku masih takut dengan …”
Dicka tidak memaksa. “Baiklah, kamu bisa menunggu taksi di ujung sana.”
Ana bergidik. Jalan yang ditunjukkan Dicka gelap sekali. Justru lebih berbahaya jika berada sendirian di sana.
“Aku ikut denganmu,” kata Ana akhirnya.
Dicka tersenyum. Ana sampai terperanjat melihatnya.
Dia benar – benar tampan, pikir Dicka.

Hampir sebagian besar perjalanan mereka dihabiskan untuk berdiam diri. Sibuk dengan pikirannya masing – masing.
Akhirnya, karena sudah tidak tahan, Ana mulai berbicara.
“Kamu tahu? Aku tak pernah merasa bahagia.”
Dicka terkejut, tetapi segera menjawab.
”Mengapa?” tanyanya sambil berpikir bahwa dunia ini memang memiliki banyak masalah yang membuat orang menjadi kehilangan harapan, juga kebahagiaan.
Ana terdiam.
“Oh, nggak usah bilang jika kamu tidak ingin mengatakannya.”
Beberapa saat kemudian, Ana berkata,” Orang tuaku jarang berada di rumah. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaannya, tanpa memikirkan perasaanku. Aku rindu pada kasih sayang mereka.”
Tanpa sadar, Dicka menjawab,”Kamu masih beruntung, Ana. Aku sudah kehilangan ibu, juga kasih sayang seorang ayah.”
“Ibumu … meninggal?”
“Ya, dia sudah meninggal sejak aku masih kecil.”
Ana merasakan kegetiran dalam suara Dicka.
“Ha … ha … ha …, aku tadi ngomong apa, sih? Lupakan aja semua yang kukatakan tadi. Lagipula, setelah ini kita nggak akan ketemu lagi.”
“Ka, kamu nggak perlu maksa untuk tertawa.” Namun, kalimat itu hanya ada di dalam pikiran Ana.
“Ngapain tadi kamu sendirian di sana?” tanya Dicka mengalihkan pembicaraan.
“Aku menunggu teman,”
“Oo …” sahut Dicka.
Padahal, Ana berharap Dicka akan bertanya lebih banyak tentang dirinya.
Lho, ada apa denganku? pikir Ana bingung.

Sesampai di depan rumah Ana.
“Terima kasih. Kamu orang baik.”
Aku orang baik ? pikir Dicka sambil mengemudikan motornya. Dari kaca spion, Dicka melihat Ana melambaikan tangan. Mungkin, artinya ‘sayonara untuk selamanya’.