Minggu, 30 November 2008

Permasalahan Tempat Sampah di Pati

Sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan.

Tempat Sampah di Hutan Kota Pati

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2008



Karakteristik Sampah

Berdasarkan Sifat Kimia

    • Sampah Organik, yaitu sampah yang mengandung senyawa organik atau tersusun atas unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen. Contohnya : daun-daunan, sayuran, dan buah-buahan serta sampah sisa makanan.

    • Sampah Anorganik, yaitu sampah yang mengandung senyawa bukan organik sehingga tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Contohnya : plastik, kaca, besi, sebagian jenis kertas dan lain-lain.


Berdasarkan Sifat Fisik

    • Sampah Basah (Garbage), yaitu sampah yang terdiri dari bahan organik dan mempunyai sifat mudah membusuk. Sifat umumnya adalah banyak mengandung air dan cepat sekali membusuk (terurai) dan menimbulkan bau. Pada umumnya terdiri sisa-sisa makanan, buah dan sayuran.

    • Sampah Kering (Rubbish), yaitu sampah yang tersusun dari bahan organik dan anorganik sifatnya lambat atau tidak membusuk. Biasanya selain sampah makanan. Sampah jenis ini ada yang mudah dibakar (Combustible) misalnya : kertas, karton, plastik, kain/tekstil, kayu dll. Ada yang sulit dibakar misalnya gelas/kaca, kaleng, logam.


Tempat pembuangan sampah di atas harus dibedakan berdasarkan jenisnya, karena hal tersebut akan mempermudah petugas di dalam pengumpulan maupun pengolahannya. Tidak jarang, kita melihat tempat sampah yang diperuntukkan bagi sampah organik dan non-organik. Secara tidak langsung, kita pun dididik untuk memilah-milah sampah. Sampah organik tentu saja dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik, sedangkan sampah non-organik dapat didaur ulang kembali, sehingga memiliki daya guna dan menghasilkan pendapatan yang lumayan.


Namun, saya sangat heran sekaligus merasa geli ketika melihat tempat sampah yang disediakan oleh pemerintah kota (pemkot) Kabupaten Pati. Sebenarnya tidak ada yang salah apabila kita berjalan sambil lalu. Tempat sampah tersebut bercat cokelat, unik, dan masing-masing bertuliskan sampah kertas, sampah logam, dan sampah plastik. Saya menemukannya di hutan kota Pati, dan di Simpang Lima Pati.


Lalu, ada apa ini sebenarnya? Ketiga tempat sampah tersebut hanya diperuntukkan bagi sampah anorganik saja. Lalu, mau dikemanakan nasi yang sudah busuk, sisa-sisa makanan yang biasanya dibungkus memakai daun pisang? Apakah dibuang di tepi hutan kota? Tentu saja hal ini mustahil untuk dilakukan, karena akan mengurangi keindahan hutan kota itu sendiri. Padahal, setiap hari, baik di hutan kota maupun Simpang Lima Pati banyak pedagang kaki lima, terutama pedagang makanan, yang berjualan di sekitar sana.


Lagipula, sampah logam apa yang akan dibuang ke sana? Bukankah kita tahu bahwa sampah logam masih mempunyai nilai jual yang cukup tinggi? Menurut saya, masyarakat masih lebih memilih untuk menjual sampah logam yang dimilikinya ke pedagang rosok daripada membuangnya ke tempat sampah. Siapa pula, sampah logam apa yang dibuang di hutan kota? Para pengunjung tidak akan mungkin membawa pisau, golok, dan sebagainya ketika berkunjung ke tempat itu.


Lain halnya dengan sampah kertas dan plastik. Kedua jenis sampah tersebut dapat berasal dari pembungkus makanan yang dibawa oleh pengunjung. Namun, tidaklah kita merasa takjub ketika mengamati bahwa pada malam hari tempat sampah itu penuh, tetapi keesokan harinya sudah kosong diambil pemulung. Dengan demikian, para pemulung tersebut setidaknya sudah membantu Dinas Kebersihan untuk menjaga estetika lingkungan.


Saran saya, alangkah baiknya apabila pemerintah kota Kabupaten Pati lebih memperhatikan kebutuhan masyarakatnya, termasuk penggolongan tempat sampah tersebut. Walaupun kelihatannya sepele, tetapi hal tersebut penting untuk mendapatkan perhatian lebih lanjut. Setidaknya, beberapa tempat sampah tersebut ditambah lagi dengan tempat sampah organik.


Mohon perhatiannya …

Apabila ada warga atau petugas dinas terkait Kabupaten Pati yang membaca artikel saya ini dan setuju dengan pendapat saya, mohon usulan saya diperhatikan. Terima kasih.


Saya mencintai Pati dan akan selalu mencintainya.

Simpang Lima Pati

Dimanakah pusat dari Kota Pati sebenarnya? Apabila seseorang mengutarakan pertanyaan tersebut, maka tanpa ragu saya akan menjawab, Simpang Lima Pati. Mengapa? Karena, di Simpang Lima terdapat pusat pemerintahan, seperti gedung DPRD Pati dan Kantor Kabupaten, Central Business District atau yang biasa kita kenal dengan sebutan CBD – pusat perdagangan dan jasa (misalnya, Salza), Masjid Besar Baiturrohman, dan sebagainya.


Suasana Smpang LIma Pati Pada Malam Hari

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2008


Selain itu, pada malam hari Simpang Lima juga menawarkan kegiatan wisata kuliner. Berbagai jenis pedagang berjejalan di tempat ini, mulai dari pedagang makanan dan minuman – terbanyak (martabak, nasi goreng, bakso, mie, es dawet, es teh, es jeruk), pedagang sepatu, baju, topi, kacamatan, dan lain-lain. Apalagi, pada malam Minggu, Simpang Lima menjadi semakin ramai dipadati oleh pengunjung dari berbagai kalangan usia, terutama para kawula muda yang membutuhkan tempat hiburan yang positif. Bahkan, ada pula pedagang yang menyewakan bom bom car bagi anak-anak. Hal tersebut menandakan bahwa terdapat perputaran ekonomi yang cukup signifikan di Simpang Lima Pati, yang secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten.


Sebagaimana yang telah kita ketahui, pada tahun 1997 terjadi goncangan krisis ekonomi yang cukup parah dan menyebabkan banyak perusahaan yang gulung tikar. Namun, krisis tersebut tidaklah berpengaruh terhadap sektor informal – dalam hal ini para pedagang kaki lima, karena untuk terjun ke dalam sektor informal ini tidaklah membutuhkan keterampilan yang tinggi dan modalnya juga kecil.


Menurut De Solo (1991: 68), perdagangan jalanan lahir pada saat para penduduk mulai menggunakan jalan-jalan umum yang memang terbuka bagi siapa saja – tanpa minta izin, tanpa memberi kuitansi atau tanpa membayar pajak. Beberapa dari perdagangan ini menikmati dispensasi hukum yang diberikan sebagai imbalan atau retribusi dan menjamin toleransi dari pihak pemerintah kota. Begitupun yang terjadi terhadap PKL di Simpang Lima Pati. Pemerintah kota mendapatkan pendapatan (yang menjadi salah satu sumber dari APBD) dari pungutan retribusi yang ditarik setiap malam.


Pada umumnya, PKL tidak melakukan pendudukan di jalan-jalan tanpa memiliki perencanaan yang matang dan perhitungan ekonomi yang rumit. Hal pertama yang biasa dilakukan oleh para PKL adalah menilai tempat mana yang paling strategis untuk dijadikan sebagai tempat berjualan. Mereka juga memperhatikan seberapa banyak pembeli yang akan datang setiap hari. Selain itu, pedagang mengukur apakah mereka akan mendapatkan keuntungan bersih yang cukup besar apabila berjualan di suatu lokasi tertentu. Pedagang tentu saja tidak akan memilih tempat yang sulit dijangkau atau memiliki aksesibilitas yang sulit. Para pedagang lebih cenderung memilih berjualan di persimpangan jalan, kawasan permukiman, CBD.


Namun, ada juga faktor-faktor lain yang mempengaruhi, antara lain tantangan dari pedagang yang sebelumnya telah ada di Simpang Lima dan takut keuntungannya akan berkurang dengan adanya saingan. Pada umumnya, dalam hal ini pedagang yang bersangkutan mungkin akan memutuskan untuk mencari tempat yang baru. Pedagang Simpang Lima ini jarang mendapatkan pertentangan dari masyarakat, karena mereka berjualan di jalan maupun trotoar milik pemerintah kabupaten. Selain itu, adanya pihak berwajib juga memberikan tantangan tersendiri bagi pedagang. Mereka sering dihantui oleh penggusuran, terutama apabila lalu lintas menjadi macet di sekitar Simpang Lima dan juga berkaitan dengan kebersihan serta keindahan kota.


Maka, ketika pedagang mulai menyadari bahwa setiap waktu mereka terancam akan digusur, dorongan untuk mendirikan suatu organisasi untuk melindungi diri mereka meningkat, karena hak mereka untuk menduduki jalan umum dan trotoar sewaktu-waktu dapat dihapus. Berikutnya, terhadap tentangan warga yang merasa terganggu oleh kegiatan-kegiatan mereka dan dari penindasan oleh pihak pemerintah.



Konsep Industri Global Berwawasan Lingkungan

Sejak komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan yang disponsori oleh PBB dan diketuai oleh (mantan) PM Norwegia, Gro Halem Brundtland mempublikasikan laporannya yang berjudul Hari Depan Kita Bersama (Our Common Future), konsep pembangunan yang berkelanjutan mendapatkan gaungnya secara internasional.


Persepsi dan respon masyarakat dunia terhadap permasalahan pembangunan dan lingkungan senantiasa berkembang. Sebelum konferensi Stockholm 1972, sebagian besar pemimpin dunia menganggap bahwa kerusakan lingkungan hidup adalah harga yang harus dibayar jika ingin melaksanakan pembangunan. Sejak pascakonferensi sampai dekade 1980an, persepsi semacam tu semakin pudar, dan yang berkembang adalah bahwa antara pembangunan dan lingkungan sesungguhnya merupakan dua sisi mata uang yang sama. Dekade 1980an juga diwarnai dengan berkembangnya gagasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dimana di Indonesia lebih dikenal sebagai Pembangunan Berwawasan Lingkungan (PBL).


Gagasan PBL inipun secara bertahap diintroduksikan ke dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan nasional kita. Hal ini terlihat, misalnya dengan diberlakukannya UU No.4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 29/1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Linkungan (AMDAL). Namun, pelaksanaan undang-undang inipun masih tersendat-sendat. Sebagai buktinya, dapat kita lihat dari pelaksanaan studi AMDAL yang hingga kini masih bersifat proforma karena hasilnya kebanyakan belum dijadikan sebagai masukan dalam tahap perencanaan dan operasi proyek. Kondisi semacam ini terjad mungkin disebabkan karena kebanyakan di antara kita belum menyadari manfaat dari dimasukkannya wawasan lingkungan ke dalam kiprah pembangunan. Hingga saat ini peraturan lingkungan hidup, seperti AMDAL hanya dilihat dari sisi biayanya saja.


Dalam konteks berkelanjutan, pembangunan harus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan kelanggengan sumber daya, sehingga kekayaan alam yang sebagian besar tidak tertaharukan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Dalam hal ini, lingkungan menjadi isu penting yang melibatkan pemimpin-pemimpin politik negara-negara di dunia dalam mengambil kebijaksanaan pembangunan di negaranyam terutama dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas dunia, yang akan dicanangkan pada tahun 2010.


Rumusan pembangunan berkelanjutan memuat dua konsep dasar. Pertama, konsep kebutuhan, khususnya kebutuhan kaum miskin sedunia terhadap siapa prioritas utama perlu diberikan. Kedua, gagasan keterbatasan yang bersumber pada keadaan teknologi dan organisasi sosial yang dihubungkan dengan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian, keprihatinan mengatasi kemiskinan dan ikhtiar menanggapi keterbatasan akibat keadaan teknologi dan organisasi sosial menjadi latar belakang pembahasan masalah-masalah lingkungan dan pembangunan. Kemiskinan tidak mengenal batas negara. Kemiskinan menjadi ciri pokok setiap negara berkembang. Kemiskinan inilah yang membuat semakin sulitnya lingkungan tertanggulangi. Hal ini hanya dapat dipecahkan melalui proses pembangunan menurut pola berkelanjutan dan dilaksanakan oleh seluruh bangsa di dunia yang meliputi negara berkembang dan negara maju. Oleh sebab itu, kerjasama internasional menurut pola multilateral menjadi lebih penting dibandingkan dengan pola lateral.


Dalam mengembangkan lingkungan, kondisi ekonomi dunia tidak dapat diabaikan. Perpindahan modal dari negara berkembang ke negara maju menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Walaupun semakin banyak pinjaman luar negeri yang diberikan negara industri kepada negara berkembang, tetapi hasil akhirnya adalah bahwa arus modal lebih banyak mengalir keluar dari negara berkembang ke negara maju untuk memenuhi angsuran pinjaman dan bunga yang semakin meningkat, terlebih sebagai akibat perubahan kurs valuta asing. Hal ini berarti terjadi perpindahan sumber daya alam dari negara berkembang, pengurasan sumber daya alam oleh negara berkembang yang harus mengolahnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan untuk melunasi hutang luar negerinya kepada negara maju. Kondisi ekonomi dunia semacam ini sulit dipertahankan, dan harus diusahakan agar semua negara di dunia menganut komitmen yang sama pada proses pembangunan berkelanjutan dalam konteks ekonomi global.


Barangkali pengertian PBL yang paling sesuai untuk diterapkan di negara berkembang adalah penjabaran yang dipromosikan oleh Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan. PBL diartikan sebagai suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah serta segenap sumber daya yang ada di dalamnya sedemikian rupa sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak terancam atau rusak.


Setiap ekosistem alam pada dasarnya memiliki fungsi utama bagi kehidupan manusia, yaitu:

  • Penyedia sumber daya alam, yang digunakan untuk proses produksi dan konsumsi

  • Penyedia jasa-jasa kenyamanan untuk penunjang kehidupan, seperti tanah, air, udara


Berangkat dari konsep PBL di atas, maka konsep ini sesungguhnya memiliki dimensi tekno-ekologis dan sosio-ekonomis. Secara tekno-ekologis PBL mensyaratkan bahwa setiap kegiatan pembangunan harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, misalnya kurang bijaksana jika menempatkan industri tambak udang pada lahan produktif, demikian pula menempatkan industri kimia di tengah permukiman penduduk. Hal ini sebenarnya merupakan inti dari konsep tata ruang. Jika ekosistem alam digunakan sebagai tempat pembuangan limbah, maka jumlahnya harus tidak melampaui kapasitas asimilasi (kemampuan ekosistem untuk menerima limbah sampai pada taraf yang tidak membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia) ekosistem tersebut.


Secara sosio-ekonomis, PBL mensyaratkan bahwa setiap kebijakan dan program pembangunan seyogyanya diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan meningkatkan kesejahteraan hidup kelompok-kelompok penduduk yang masih lemah.


Disadur dari buku Ekologi Industri

Selamat Datang di Website Kabupaten Pati

Barangkali yang sering muncul di benak pengunjung website ini (netter) adalah sebuah pertanyaan: Mengapa website ini selalu tidak beres, informasi-informasi yang ada di dalamnya tidak up todate, kurang nyaman dinikmati, dll. Selaku pengelola kami tidak akan menampik realitas-realitas tersebut. Beberapa pengunjung sempat mengajukan protes: alokasi dana pengelolaan website ini 'katanya' cukup besar, tapi mengapa tidak seperti website-website pemerintah kabupaten/kota yang lain? Tentunya perlu dipahami bersama apa sebenarnya permasalahan yang ada dibalik itu semua?

Permasalahan pengelolaan website sudah muncul sejak pertama kali website dibangun tahun 2004. Memang dana yang digunakan untuk membangun website perdana cukup besar, namun saat itu belum terfikirkan bagaimana mengelola dan melakukan pemeliharaan untuk waktu-waktu yang akan datang. Permasalahan langsung muncul begitu website dialihkelolakan ke Pemda yang dalam hal ini diserahkan kepada Bappeda selaku pengelola.

Begitu membaca paragraf di atas, saya langsung menemukan kesan seolah-olah penulis menyalahkan Bappeda yang tidak becus mengelola website Kabupaten Pati. Apa benar?

Meski saat itu website sudah dibangun dengan basis Content Management System (CMS) namun sudah tidak sempurna sejak diserahkan (masih terlalu banyak bug). Bug ini tidak bisa ditemukan di awal karena memang tidak ada satupun yang bisa melakukan verifikasi bahwa program tersebut sudah bebas masalah. Beberapa pelatihan yang sudah diberikan tidak mampu menunjukkan bahwa bug tersebut memang telah ada sejak awal.

Permasalahan tidak hanya terletak pada sistemnya. Permasalahan sumberdaya juga menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Sumberdaya ini menyangkut sumberdaya manusia dan sumber pendanaan. Permasalahan sumberdaya manusia baik untuk website induk (yang dikelola Bappeda) dan website dinas (subdomain) adalah tidak adanya orang khusus yang menangani masalah pengelolaan (updating data, penyelesaian bug, dll.). Tentunya hal ini sangat mempengaruhi 'kinerja' dari website sendiri karena pada akhirnya tanggung jawab pengelolaan diserahkan pada orang-orang di masing-masing dinas yang dipandang cukup mampu dari sisi teknik. Meski orang yang diberi tanggung jawab cukup mampu, akan tetapi seringkali permasalahan kendala waktu (karena orang tersebut juga punya tanggung jawab pekerjaan yang lebih utama) menjadi penghambat yang luar biasa.

Kali ini penulis menyalahkan sumber saya manusia yang tidak mampu mengurus website. Memang, sudah menjadi rahasia umum bahwa pihak-pihak yang memiliki wewenang besar (kepala dinas terkait, misalnya) tidak mempunyai keterampilan khusus dan tidaklah ahli di dalam bidangnya. Posisi yang diduduki tersebut merupakan hasil sogok menyogok atau karena dia adalah kerabat dekat dari Bupati Pati. Kalau keadaannya terus begini, maka saya menduga bahwa Kabupaten Pati tidak akan mengalami kemajuan dalam segala bidang kehidupan.

Di Pati, seseorang lebih banyak dihargai bukan karena kepandaiannya, tetapi lebih kepada seberapa besar uang yang disetorkannya kepada Bupati. Untuk menjadi seorang pegawai negeri, susahnya minta ampun. Tidak tanggung-tanggung, kita pun disuruh untuk membayar 70 juta apabila ingin lewat jalur belakang. Karena, jika melalui jalur tes biasa, kemungkinan untuk diterima sebagai pegawai negeri sangat susah sekali. Perbandingannya mungkin dapat mencapai 1: 1000000. Edan tenan!

Lalu, bagaimana mungkin Pati memiliki output sumber daya manusia yang canggih, terampil, dan cekatan apabila inputnya saja sudah tidak bagus sejak awal. Sebenarnya, kemampuan para pegawai tersebut dapat ditingkatkan melalui berbagai pelatihan yang intensif. Itupun bagi yang tertarik – pada umumnya, orang yang telah berusia lanjut sangat malas untuk mempelajari sesuatu yang baru. Maka, diperlukan tenaga muda yang masih mencintai Kabupaten Pati dan tidak hanya berorientasi pada faktor finansial semata, dan tidak berpikir “bagaimana sih agar cepat menjadi kaya?”

Juga seperti yang dikatakan sang penulis, banyak orang yang mampu menjalankan website, tetapi justru tidak peduli dan lebih mementingkan urusan pribadinya masing-masing – saya sedikitnya salut pada penulis artikel ini, karena beliau masih memiliki rasa “memiliki” pada website http://www.pati.go.id/ ini. Apabila, suatu saat nanti saya bisa menjadi salah satu pegawai negeri di Bappeda Pati (itu impian saya, dan semoga menjadi kenyataan), Insyaallah saya pasti akan mengembangkan website ini, agar tidak kalah dengan website kabupaten lain. Saya sangat mencintai Pati, dan saya tidak ingin dipermalukan karena website-nya tidak pernah update, jelek, tidak berkembang, dan sebagainya.

Dosen saya di Jurusan PWK Undip, Bu Nurini, selalu menekankan pada mahasiswanya, termasuk saya, agar selalu berbagi ilmu dengan orang lain. Beliau berulang-ulang mengatakan bahwa ada tiga amalan yang tidak terputus, walaupun ajal telah menjemput kita. Dan, salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Melalui website dan blog, kita dapat membagikan pengetahuan kita yang terbatas ini kepada orang lain, dan saya sungguh bahagia melakukannya. Ditambah lagi apabila ada komentar bahwa website/blog yang kita buat isinya bagus. Hal tersebut membuat saya semakin bersemangat untuk tetap mengupdate website/blog tersebut.

Sumber daya pendanaan juga menjadi akar permasalahan. Tidak ada satupun dinas yang telah menganggarkan dana untuk pengelolaan websitenya, bahkan termasuk untuk website induk sendiri (untuk website induk saat itu baru dialokasikan dana perbaikan/perawatan website yang bersifat insidentil, dan belum jangka panjang). Akhirnya biaya-biaya yang harus keluar untuk perawatan website (lembur, biaya akses internet, dll.) tidak bisa dilaksanakan. Walhasil website pun berjalan dengan 'sangat' apa adanya, tergantung dari kesempatan dan waktu yang di 'amanahi' tanggung jawab yang juga punya tanggung jawab utama kegiatan 'seabreg' lainnya. Dua permasalahan ini masih menjadi kendala yang cukup berat sampai saat ini. Berbagai strategi perawatan telah mencoba diupayakan, akan tetapi semuanya kembali terbentur pada dua permasalahan tersebut. Harapan kita ke depannya hal tersebut bisa disikapi dengan bijaksana.


Lagi-lagi penulis menyalahkan banyak faktor yang menyebabkan ketidakberesan website Kabupaten Pati. Pernah tidak pembaca mendengar kalimat, orang yang sudah terdesak mesti akan membela diri dengan berbagai alasan yang dapat membuatnya menjadi merasa oaling benar. Walaupun untuk itu, dia harus menimpakan kesalahan kepada orang lain.


Dari awal hingga akhir membaca artikel ini, saya merasakan aura tulisan yang selalu negatif, pesimis, tidak percaya diri. Seakan, penulis tidaklah mampu untuk melangkah maju sedikitpun. Seakan, penulis menganggap bahwa website Kabupaten Pati selamanya akan terpuruk di dasar jurang. Seandainya, sedikit saja ada pihak yang peduli, maka tidaklah mustahil apabila website ini akan bangkit. Seandainya saja saya memiliki akses untuk ikut meng-update website Kabupaten Pati, alangkah bahagianya saya. Walaupun sepele, tetapi setidaknya saya ikut memiliki kontribusi di dalam mengembangkan kota saya tercinta. Ah, seandainya …


Untuk Bapak/Ibu penulis, mengapa Anda tidak mencoba untuk memulainya dari diri sendiri? Walaupun sulit, saya yakin Anda akan mampu mengatasi semua rintangan ini. Amin.


O ya, satu lagi. Untuk apa mengadakan voting apabila wajah website kabupaten ini tidak berubah?

Sumber: http://www.pati.go.id/


Jumat, 14 November 2008

Eco Labelling

Ekolabel atau label ekologi merupakan salah satu syarat yang diterapkan pada perdagangan bebas dunia pada abad 21, sebagai tanda pada mata dagangan yang menerangkan bahwa produksi mata dagangan tersebut memenuhi persyaratan tidak merusak lingkungan. Mata dagangan yang tidak memiliki ekolabel akan ditolak oleh negara konsumen, sehingga mata dagangan tersebut tidak dapat dipasarkan. Label yang terpasang pada mata dagangan tersebut juga menyatakan bahwa produk tersebut ramah lingkungan, dalam arti produk juga menyatakan bahwa produk tersebut ramah lingkungan, dalam arti produk dan proses produksinya tidak berdampak negatif terhadap lingkungan.


Ekolabel timbul sebagai akibat desakan dari masyarakat konsumen yang semakin sadar akan lingkungan dan membutuhkan produk yang bersih dan tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. Ketidakpedulian suatu negara terhadap ekolabel akan mempersempit pangsa pasar produk-produk ekspornya karena semakin lama semakin banyak negara yang menerapkan standar tersebut. Bagi Indonesia, ekolabel telah dimulai dari produk-produk ekspor hasil industri kehutanan (kayu).


Kemajuan yang diciptakan sektor industri di Indonesia telah memberikan kemakmuran bagi sebagian besar masyarakat, memperluas kesempatan kerja, menambah devisa negara, tetapi di sisi lain menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Perkembangan industri membawa pesan dan harapan, tetapi juga ternyata beriringan dengan bencana ketika manusia belum bangkit kesadarannya. Bila ternyata pencemaran menimbulkan bencana, kemudian mengundang protes dari berbagai lapisan dan golongan masyarakat, barulah disadari bahwa pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan kegiatan industri harus mendapatlan proporsi sebagaimana mestinya.


Disadur dari buku Ekologi Industri




Senin, 10 November 2008

Keacuhanmu

Aku nggak tahu alasannya mengapa kau menyiksaku dengan semua keacuhan yang kau tampakkan padaku. Juga keangkuhanmu yang tak bisa kupecahkan, sekalipun aku sudah berusaha sekuat mampuku.


Aku tak ingin ada jarak di antara kita. Akan tetapi, aku sadar bila semua sudah terlambat. Semua sudah salah dari awal. Kau membangun tembok dinding yang begitu tinggi, hingga menggapai awan, dan aku tak punya tangga, aku tak punya keberanian untuk memanjat dinding menuju tempatmu.


Bagaimana mungkin aku dapat menggapai hatimu yang tertutup hanya kepadaku? Aku tak punya daya untuk memakasanya keluar dan menemuiku. Aku akan menerima, walaupun teramat berat bagiku dalam kesendirian, menapaki setiap nafas kehidupan. Bila itu maumu, aku akan menyerah, mengaku kalah.


Bolehkah kucoba untuk menunggumu datang padaku, hingga kita bisa berbicara dari hati ke hati dan dapat saling memahami? Dan, ketika merindumu, aku akan memandang rembulan, mengenang wajahmu, kenanganku bersamamu. Sekalipun takdir tak menyatukanku denganmu, aku ‘kan selalu melihatmu.


1 Mei 07

Ilusi

Dan, aku yakin bahwa ini hanyalah ilusi yang akan segera menghilang tertiup angin tengah malam. Hanya fatamorgana sesaat. Aku terbenam dalam lautan. Entah dimana, mungkin di dunia yang tak terjangkau oleh tangan manusia. Dan, hanya Tuhan yang mengerti. Kularutkan juga hatiku. Biar aku tak lagi merasa sendiri dan kesepian. Mengharapnya bagaikan mencari setetes air di gurun gersang. Aku, orang bodoh yang tak sanggup menahan kelembutan cinta. Datang tiba-tiba dan membelai hatiku perlahan. Merasuk pasti. Membuat langkahku menjadi ringan, dan mampu terbang ke langit teratas. Bergurau bersama pangeran yang datang dari balik awan. Hanya impian. Tak teraih, tak terjangkau dalam genggam tanganku. Aku sudah tak dapat lagi bersembunyi dari takdir yang senantiasa mengejar, selalu menanti sesuatu. Entah apa, aku tak mengerti. Yang kutahu, cinta telah membuat mataku tertutup. Dan, selalu membuatku menangis memikirkannya. Apa yang harus kulakukan? Adakah cara untuk menghapusnya pergi dari ingatan. Biar hilang saja, takkan meninggalkan kenangan yang selalu membekas di hati. Tuhan, bawakan aku keajaiban agar aku mampu mengejarnya. Mendekapnya, memeluknya, tidak akan pernah kulepas lagi. Rinai hujan kini telah membasahi bumi. Membasahi jiwaku yang semula memang tak pernah kering dari tangisan kehidupanku. Aku … lelah, teramat lelah, menunggu di ujung mimpi. Tanpa batas, tak terbatas. Telah kujelajahi semua bagian. Namun, hanya membuat kesia-siaan semakin menumpuk. Menimbulkan kecewa yang tak bisa semudah itu dilupakan. Tak padam, selamanya!

Sabtu, 08 November 2008

Gorontalo: Enterpreneurship Government

Sebagai seorang Gubernur Gorontalo yang pertama, Fadel Muhammad memiliki tiga sasaran utama dalam mengembangkan provinsi Gorontalo. Pertama, mengatasi adanya kekurangan infrastruktur di Gorontalo. Kedua, menyediakan berbagai sarana pengangkutan hasil pertanian yang memadai, sehingga komoditas tersebut dapat sampai ke pusat pasar dalam waktu yang cukup singkat dan tidak lama tertunda di daerah produksi. Ketiga, mengakhiri ketergantungan Gorontalo terhadap Sulawesi Utara dalam hal penyediaan jasa transportasi udara.

Selain itu, Fadel juga memberi perhatian yang besar pada sektor agrikultur sebagai basis untuk mengembangkan ekonomi lokal. Beliau berambisi untuk mengubah Gorontalo menjadi provinsi agropolitan, karena terdapat fakta yang memperlihatkan bahwa provinsi tersebut mempunyai banyak lahan pertanian yang cocok untuk ditanami, dan sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani, dengan sumber daya manusia di sektor ekonomi lain yang masih sangat terbatas.

Kebijakan Fadel lebih terfokus pada pembangunan sumber daya manusia, peningkatan sektor pendidikan, dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Beliau juga memberikan pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis pada penduduk miskin. Fadel memahami bahwa adanya pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan akan dapat mengubah Gorontalo menjadi sebuah provinsi argropolitan yang berbasis pada produksi jagung dan sektor perikanan.

Di samping memiliki APBD yang besar, Gorontalo juga mempunyai pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, yaitu 7.06% pada 2006, dan merupakan nilai yang tertinggi di Indonesia. Hasil perikanan melonjak naik dari 19,000 ton pada 2001 menjadi 43,000 ton pada 2006, sehingga menyebabkan pendapatan petani meningkat lebih dari tiga kali lipat. Hal tersebut dipengaruhi oleh kesediaan pemerintah daerah untuk mengucurkan modal dan mendanai pembangunan berbagai fasilitas yang menunjang aktivitas para nelayan.

Pada sektor pertanian, Fadel berambisi untuk mengembangkan teknologi baru untuk menaikkan hasil dan kualitas komoditas pertanian. Beliau menggerakkan petani, bupati, camat, dan kepala desa untuk membantu para petani. Bahkan, mereka diajak ke Jawa dan Thailand untuk belajar bagaiamana memproduksi hasil pertanian dengan baik.

Dahulu, hasil produksi jagung selalu berkisar antara 2 hingga 3 ton per hektar. Dengan adanya pengenalan bibit jagung berkualitas dari Makassar, maka hasilnya meningkat menjadi dua kali lipat mencapai 4 sampai 5 ton per hektar. Selain itu, produksi jagung dapat ditingkatkan lagi dengan menyilangkan bibit unggul dari Makassar tersebut dengan bibit lokal. Dan, pada tahun lalu, pemerintah daerah memperkenalkan penggunaan nutrisi baru yang mendorong hasil panen jagung menjadi 10.9 ton per hektar tanpa menggunakan pupuk. Produksi jagung naik sebesar 400% dari empat tahun yang lalu. Hal ini, menyebabkan terjadinya peningkatan kesejahteraan para petani jagung.

Fadel pun selalu aktif memantau perkembangan pasar luar negeri. Pada tahun lalu, pemerintah menandatangani MoU dengan Jepang dan Korea Selatan dalam ekspor produk Gorontalo. Fadel juga menyediakan Gorontalo Internasional Maize Indonesia Center (GIMIC), suatu lembaga yang berfungsi untuk mengembangkan teknologi dan informasi mengenai jagung. Beliau berharap bahwa suatu saat orang-orang dari berbagai belahan dunia lain akan belajar tentang jagung di Gorontalo.

Sektor lain yang akan dikembangkan oleh Gorontalo di masa depan adalah pembuatan biodiesel. Pada bulan Febuari lalu, pemerintah menandatangi MoU dengan Singapura untuk mengembangkan tanaman manufaktur, jathropa untuk biofuel di daerah Bone Bolango dengan total investasi yag mencapai 1.7 trilyun.

Fadel memang telah berhasil dalam mengembangkan Gorontalo menjadi salah satu provinsi baru yang diakui oleh masyarakat Indonesia. Namun, hal tersebut tidaklah menandakan bahwa tidak ada masalah dalam tubuh provinsi tersebut. Beliau berpendapat bahwa Otonomi Daerah tidak membawa perubahan apapun dan pemerintah pusat masih memegang kekuasaan yang besar. Selain itu, juga terdapat ketidakcocokan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam kekuatan politik. Misalnya, Fadel harus meminta persetujuan dari pemerintah pusat, sebelum dapat menggunakan pelabuhan di provinsi lain untuk mengekspor jagung. Bahkan, pupun dan benih pun harus didatangkan dari Jakarta yang cenderung menggunakan sebuah sistem yang dianggap sesuai dengan pendekatan pengelolaan semua provinsi di Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, tidak jarang beliau menjadi pro-aktif dan menggunakan koneksi untuk meluluskan programnya.

Pada saat ini, Fadel sedang mengundang investasi yang masuk untuk meningkatkan berbagai infrastruktur di daerahnya dengan cara membuang peraturan-peraturan yang dirasa tidak ramah pada bisnis tersebut. Beliau menambahkan bahwa diperlukan banyak pengusaha pada kedua sektor tersebut, karena mereka merupakan tulang punggung dalam perekonomian nasional. Apabila pemerintah melakukan hal tersebut, Indonesia akan memulai pertumbuhan dalam dua tahun.

The Spirit of Place: Malioboro

Malioboro merupakan suatu kawasan perbelanjaan di Kota Yogyakarta yang tidak pernah sepi pengunjung. Nama Malioboro diambil dari nama seorang Duke Inggris, yaitu Malborough yang menduduki Kota Yogyakarta dari tahun 1811 hingga 1816.

Namun, versi lain menyebutkan nama Malioboro muncul karena pada masa lalu, jalan Malioboro ini selalu dipenuhi oleh karangan bunga setiap kali Keraton melaksanakan perayaan.

Sejak zaman dahulu, Malioboro telah menjadi pusat kota dan pemerintahan. Berbagai gedung sejarah enjadi saksi perjalanan Malioboro dari sebuah jalanan biasa hingga menjadi salah satu titik terpenting dalam sejarah Yogyakarta. Misalnya, Gedung Agung yang didirikan pada tahun 1823 dan merupakan rumah Residen Belanda pada saat itu, Benteng Vredenburg yang merupakan benteng peninggalan Belanda yang didirikan pada tahun 1765 dan kini menjadi museum, Pasar Beringharjo yang merupakan salah satu pasar terbesar di Yogyakarta hingga kini, dan Hotel Garuda yang menjadi pusat para pembesar dan jenderal-jenderal Belanda pada masa itu menginap dan berkumpul selama berada di Yogyakarta.

Hingga saat ini, Malioboro tetap memiliki kharisma yang kuat sebagai sebuah tempat yang selalu menjadi pusat perhatian setiap wisatawan yang datang ke Yogyakarta, baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara.

Diliat secara fisik, Malioboro yang telah menjadi salah satu simbol bagi Yogyakarta telah mengalami perubahan yang cukup besar. Pada tahun 1936, suasana Malioboro masih tampak teduh. Selain itu, juga terdapat suasana lain yang tidak bisa ditemui lagi pada saat ini, yaitu adanya sentuhan kultural yang masih kental.

Wajah di sepanjang Malioboro dipenuhi oleh bangunan-bangunan swalayan, mall, supermarket dan toko-toko. Sedangkan, di emperannya berjajar ratusan pedagang kaki lima yang menjajakan kain, kerajinan dan makanan. Ada pula bagian jalan yang khusus dilalui oleh kendaraan non-motor, seperti sepeda pancal, becak, dan andong. Pada malam hari, Malioboro tetap ramai dan tampil gemerlap karena adanya lampu-lampu penerangan jalan maupun toko.

Malioboro memiliki tipologi ruang yang dinamis. Ujung jalan Malioboro yang satu terhubung dengan Jalan Mangkubumi dan dibatasi oleh stasiun kereta api, sedangkan ujung lainnya terhubung dengan Jalan Ahmad Yani. Jalan Malioboro itu sendiri berfungsi sebagai salah satu path (jalur) utama di Kota Yogyakarta.

Salah satu hal yang patut disayangkan dari kawasan Malioboro ini adalah banyaknya pedagang kaki lima yang ditengarau turut memiliki andil yang cukup besar dalam menciptakan kesan semrawut. Mereka mendirikan tenda-tenda dan menempatkan gerobak tersebut secara serampangan di sepanjang trotoar. Tenda-tenda dan gerobak dipasang sekehendak hati pedagang tanpa mempertimbangkan kepentingan publik pejalan kaki. Dengan sengaj, berarti para pedagang kaki lima menggusur kenikmatan pejalan kaki yang ingin menelusuri Malioboro.

Mereka juga dianggap bertanggung jawab atas kesan kumuh, bau, dan kotornya wajah Malioboro. Banyak sampah makanan sisa dagangan yang dibuang sembarangan. Selain itu, terdapat pula limbah air kotor yang menggenang di sepanjang trotoar.

Pada saat dini hari, kesibukan mulai tampak di sekitar kawasan Malioboro yang berdekatan dengan Pasar Beringharjo. Lalu lintas masih sepi. Namun, ketika menginjak waktu sekolah dan jam kerja, suasanan mulai berubah. Jalan Malioboro pun mulai padat dipenuhi oleh kendaraan.

Kemudian, pada saat beranjak siang, kehidupan di Malioboro mulai menggeliat. Apalagi ketika toko-toko buka, Malioboro tampak semakin ramai dan padat. Keramaian tersebut terus berlangsung hingga tengah malam.

Sekitar pukul 16.00 WIB, para pedagang kaki lima yang menjajakan menu utama gudeg lengkap lauk pauknya mulai mengambil posisi di sepanjang trotoar sebelah kiri jalan. Mereka turut membaur dengan pedagang makanan lain, seperti bakso, mie ayam, dawet, maupun es teler. Dan, selain itu mereka juga harus pula berjejalan dengan tempat parkir kendaraan roda dua.

Pada hari-hari besar, seperti cuti bersama Hari Raya Idhul Fitri atau liburan panjang sekolah, pengunjung Malioboro melonjak drastis. Hal tersebut ikut membuat banyak pedagang kaki lima dadakan yang menggelar dagangannya di kawasan tersebut.

SIMBOL MALIOBORO
Malionboro memang sengaja dibangun Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di jantung Kota Yogyakarta pada abad kesembilan belas, dengan tujuan sebagai pusat aktivitas perekonomian dan pemerintahan. Secara simbolis, Malioboro diharapkan agar dapat menandingi dominasi kekuasaa Sultan Mataram melalui kemegahan keratonnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Malioboro terletak di depan utara alun-alun yang menjadi halaman keraton.

Adapun keunikan yang dapat kita rasakan pada saat berbelanja di kawasan Malioboro adalah proses tawar menawar berbagai macam cinderamata, yang ditawarkan oleh para pedagang kaki lima yang berjajar di sepanjang trotoar di kawasan ini. Pada umumnya, misalnya pedagang menwarkan suvenir yang diminati seharga Rp.50.000,-. Tawaran seperti ini harus disusul dengan proses tawar menawar dari wisatawan, sehingga harga dapat turun drastis hingga, misalnya Rp.10.000,- saja.

Berbeda dengan berbelanja di sepanjang Malioboro, di toko-toko kawasan ini, wisatawan dapat membeli barang-barang yang diminati tanpa ada proses tawar menawar. Di sini, tampak bahwa Malioboro juga hadir sebagai kawasan perbelanjaan modern.

FAKTOR PRIMER
Malioboro merupakan salah satu tempat pariwisata yang begitu estetik. Di kawasan ini terdapat tempat-tempat bersejarah yang mengandung makna filosofis. Sekitar 20 tahun yang lalu, jalan di sekitar Malioboro masih terasa sangat lengang, udaranya begitu sejuk, dan masih sangat menarik untuk dijadikan sebagai tempat untuk menghilangkan rasa jenuh dan bersantai bersama keluarga.

Pada sekitar dekade 70an, Malioboro menyimpan makna bagi para seniman. Malioboro merupakan tempat yang kondusif untuk berkarya dan berkespresi. Malioboro turut memberikan ide-ide besar bagi para seniman, mulai dari seniman jalanan, penabuh gamelan, pemain teater, hingga pencipta lagu-lagu kontemporer. Selain itu, relasi antara orang yang ada di Malioboro didasari atas rasa solidaritas dan saling tolong menolong.

Adapun, masing-masing nama jalan di kawasan Malioboro, yaitu Jalan Margotomo (kini Jalan P. Mangkubumi), Jalan Malioboro, dan Jalan Margomulyo (kini Jalan Ahmad Yani) mempunyai makna tersendiri. Margotomo, dimulai dari Tugu hingga pintu kereta api Stasiun Tugu, misalnya diartikan sebagai jalan menuju keutamaan. Sedangkan, Malioboro terdiri dari dua kata, mali diartikan sebagai wali dan boro berarti obor, pelita, penyuluh, penunjuk jalan. Maksudnya, gunakanlah ilmu yang dipaparkan para wali sebagai pedoman pada hidup yang sempurna, tenteram, sabarm dan damai. Sementara, Margomulyo (dari perempatan Pecinan hingga perempatan Gedung Agung) memiliki makna jalan menuju ke hidup mulia.

FAKTOR SEKUNDER
Sekarang ini, Malioboro sudah banyak mengalami perubahan. Mulai dari perubahan yang hanya berbentuk fisik hingga perubahan yang bertaraf fungsi yang ada di dalamnya. Dulu, di kawasan ini masih terdapat nuansa tersendiri yang dapat dinikmati jika berkunjung ke sana.

Pada saat terjadi krisis moneter 1997, banyak perusahaan gulung tikar dan PHK terjadi di mana-mana, maka menjadi pedagang kaki lima di daerah sekitar Malioboro menjadi pilihan utama. Sejak saat itu, Malioboro pun mulai kehilangan nilai-nilai filosofis yang ada di dalamnya. Malioboro telah menjadi tempat untuk praktik bisnis.

Pada sekitar dekade 80an, banyak terjadi praktik jual beli tanah di Malioboro, konon orang yang membeli tanah itulah yang merasa memiliki Malioboro. Entah mereka yang telah membayar atas trotoar itu, maupun yang hanya sekedar membayar retribusinya saja. Yang jelas, di kemudian hari keduanya merasa sama-sama memiliki Malioboro. Dan, masyarakat sekitar pun merasa dimarjinalkan. Dengan berlangsungnya transaksi antara keduanya, maka Malioboro kini menjadi ruang privat, sehingga tidak ada lagi ruang publik bagi masyarakat yang terdapat di kawasan Malioboro.

Bergesernya ruang publik ke ruang privat itulah yang menyebabkan perubahan relasi antara orang-orang yang berkunjung di Malioboro. Hubungan relasi pun dibangun atas dasar relasi pasar, yaitu antara penjual dan pembeli.

Berbagai pembangunan di Malioboro telah banyak mengorbankan bangunan heritage. Beberapa bangunan pusaka kota telah dipugar, dan digantikan dengan bangunan baru yang lebih menjanjikan dalam segi ekonomi. Pada dasarnya, hal itu tidak seharusnya terjadi, jika mereka menyadari bahwa pelestarian pusaka kota tidak bertentangan dengan konsep pembangunan Malioboro. Bahkan, sebenarnya keduanya saling berkorelasi antara satu dengan yang lain.

Tata kota yang berubah, dengan bangunan-bangunan kasat mata yang tak terbayangkan, berbanding dengan jejak sejarah yang ingin dilestarikan, secara nyata menggambarkan suatu pergulatan. Tidaklah mustahil, apabila suatu saat nanti terjadi perubahan dari tatanan budaya agraris menjadi budaya modern yang lebih mengedepankan semangat individualistis dan berpikir bisnis semata.

Disadur dari berbagai sumber

Sumber:

Anonim. 2008. “Belanja Sambil Jalan-Jalan?? Hemph...,” dalam http://bernadetadotty.wordpress.com/2008/06/20/belanja-sambil-jalan-jalan-hemph/#more-41. 20 Juni.

http://malioboro.wordpress.com/welcome-to-malioboro/

http://www.tembi.org/dulu/malioboro_1936_dan_1949/index.htm

http://www.wisatamelayu.com/id/object.php?a=RExtL3NaWC9P=&nav=geo

Prawoto, Eko. 2008. “Arsitektur Kota Yogyakarta: Facadisme dan Pudarnya Identitas Kota,” dalam
http://pararupa.wordpress.com/2008/08/08/dibandingkan-kota-kota-tua-di-dunia-sebenarnya-usia-kota-yogyakarta-masih-tergolong-muda-baru-berumur-sekitar-250-tahun-endapan-arsitektur-kotanya-pun-masih-belum-begitu-tebal-lapisan-demi-lapisan/. 8 Agustus.

Saputra, Stevie. 2008. “Malioboro Oh Malioboro,” dalam http://jurnalnasional.com/?med=tambahan&sec=WISATA&rbrk=&id=48603&detail=WISATA. 10 Mei. Jakarta.

Tinarbuko, Sumbo. 2007. “Malioboro: Ruwet, Macet, Bundhet, Bikin Mumet!” dalam
http://sumbo.wordpress.com/2007/12/11/malioboro-ruwet-macet-bundhet-bikin-mumet/. 11 Desember.

Wasti. 2007. “Romantisme Ala Jogja,” dalam
http://wastioke.multiply.com/journal/item/19/Romantisme_Ala_Jogja. 17 November.

Wijayanto, Punto. 2006. “Membangun Kawasan Bersejarah yang Dinamis,” dalam
http://rasanrasan.wordpress.com/2008/08/08/membangun-kawasan-bersejarah-yang-dinamis/. 01 April. Yogyakarta.

Wilonoyudho, Sarathi. 2001. “[REGS] JOGJA – Jangan Jadi ‘Kota Gila’,” dalam http://www.kompas.com/kompascetak/0108/11/daerah/yogy26.htm. 11 Agustus.

Memang Cuma Mimpi

Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi! Cuma mimpi!