Senin, 05 Januari 2009

Sumber Daya Air

Pak Rukuh Setiadi


Pendahuluan

  • Apabila dibandingkan dengan minyak sebagai sumber energi, maka air mungkin lebih bernilai karena air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan makhluk hidup

  • Tanpa air, semua kehidupan akan mati dan jaring kehidupan menjadi terancam

  • Aksesibilitas terhadap pasokan air bersih merupakan suatu persoalan yang klasik, air merupakan kebutuhan dasar manusia dari zaman dahulu, sekarang, dan masa depan

  • Air merupakan suatu masalah yang rumit, selalu berhubungan dengan kemiskinan dan kependudukan


Sifat, Distribusi, dan Komposisi

  • Terbarukan (renewable resources)

  • Distribusi, meliputi daerah kaya air (tropis) dan daerah langka air (subtropis)

  • Komposisinya, 97% ocean water (air asin), 3% fresh water (air tawar), dimana 2.997% es, gletser, dan water ground, 0.003% siap pakai


Air Permukaan

  • Fresh water (air segar) yang langsung kita gunakan sebagai akibat dari proses persipitasi

  • Air proses persipitasi yang tidak terserap oleh tanah dan yang tidak menguap ke atmosfer, sehingga menjadi surface runoff (air larian permukaan) mengalir di permukaan, seperti danau, sugai, mata air, oase, salju, lautan

  • Di sekitar sumber air permukaan dikenak sebagai watershed/drainage basin/DAS


Air Tanah

  • Air yang dihasilkan oleh proses persipitasi dan selanjutnya terserap ke dalam tanah dan batuan

  • Terdiri dari water table dan aliran bawah tanah (aquifer)

  • Daerah resapan (recharge area)


Jika total air di dunia (100 liter/26 galon), maka air yang siap minum hanya 0.003 liter atau sekitar 1.5 sendok teh.


Pemanfaatan Sumber Daya Air

Bentuk pemanfaatan

  • Produksi (pertanian dan industri)

  • Konsumsi domestik (air minum, mandi, dan cuci)

  • Jasa (semua aktivitas wisata, khususnya wisata air, wisata bahari, dan sebagainya)


Upaya pemanfaatan

  • Penampungan (storage); dam/waduk, danau, reservoar

  • Pengaliran (transmisi); kanal, perpipaan, sungai

  • Pemurnian (purifikasi); sesuai kebutuhan (kota)


Siklus Air

Air bergerak secara menerus melalui suatu siklus dari penguapan (evaporasi), diturunkan menjadi hujan (precipitation), dan menjadi runoff, yang biasanya berakhir di laut. Angin membawa kembali uap sebesar runoff yang teralir ke laut.


Indikator Kuantitas dan Kualitas Air

  • Kuantitas (debit)

  • Kualitas (COD, BOD, dan DO)


Kelangkaan v.s Kelimpahan

  • Kebutuhan air meningkat, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat

  • Terkait dengan perbedaan iklim, kondisi geografis, dan budaya

  • Banjir di musim hujan, kekeringan di musim kemarau

  • Kekeringan hampir terjadi sepanjang tahun di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika

  • Eksploitasi berlebih oleh aktivitas produksi dan domestik, menyebabkan berkurangnya pasokan sumber daya air, dan penurunan muka tanah (land subsidence).


Teknologi: DAM dan Eksploitasi ABT

  • Kebutuhan air meningkat untuk berbagai keperluan

  • Manusia semakin pintar dalam melakukan intervensi terhadap keterbatasannya

  • Waduk atau dam dan sumur dalam (artesis) dapat menembus ke lapisan aquifer

  • Manfaat dan kekurangan dari pembangunan waduk

  • Pro dan kontra


Eksploitasi DAM dan Water Table

Terjadi di

  • Brazil’s Movement of Dam-Affected People (MAB)

  • Bujagali Dam, Nile River, Uganda

  • Ilsu Dam, Tigris River, Turkey

  • Lesotho Highlands Water Project, Senqu River, Lesotho

  • Nam Theun 2 Dam, Theun River, Laos

  • Narmada River Dams, India

  • San Roque Dam, Aqno River, Phillippines

  • Three George Dam, Yangtze River, China


Air, Sanitasi dan Water Borne Deseases

PBB (2002) menyatakan bahwa 1 milyar penduduk di negara berkembang tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman. Sekitar 2.5 milyar penduduk tidak memiliki sanitasi yang memadahi.


Sebagian besar di pedesaan Asia dan Afrika

  • Di daerah pedesaan India Namibia, Rwanda, dan Togo, presentase penduduk yang mampu mendapatkan akses terhadap sanitasi kurang dari 20%.

  • Sedangkan, presentase penduduk yang dapat mengakses fasilitas sanitasi di Mongolia, Korea Utara, dan Nigeria kurang lebih hanya 5%.


Air, Sanitasi, dan Water Borne Deseases : Sebab Akibat dan Hubungannya

  • Penurunan kualitas sumber air merupakan dampak langsung dari kurannya pasokan air dan pelayanan sanitasi

  • Penurunan kualitas sumber daya air ini disebabkan oleh berbagai macam aktivitas yang tidak diimbangi dengan pelestarian sumber daya air tersebut

  • Misalnya, pengolahan limbah pabrik yang tidak memadai akan berdampak langsung pada air permukaan, yang akan mendorong terjadinya peningkatan level bahan kimia berbahaya

  • Sedangkan, pada aktivitas domestik, sanitasi yang buruk pada umumnya disebabkan oleh kurangnya fasilitas pembuangan tinja.

  • Akibatnya, terjadi pencemaran terhadap tanah, air permukaan, dan air bawah tanah (terdapat bakteri yang dihasilkan dari pembuangan tinja manusia)

  • Masalah kesehatan, yang timbul dari penyebaran water borne deseases disebabkan oleh kurangnya persediaan air bersih dan fasilitas sanitasi

  • Penelitian yang dilakukan oleh WHO (organisasi kesehatan PBB), menyatakan bahwa setengah bagian penduduk di negara berkembang menderita penyakit yang disebabkan oleh kurangnya persediaan air bersih dan fasilitas sanitasi, seperti diare, ascaris, dracunculiasis, cacingan, schistosomiasis, dan trakoma.

  • Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk melakukan sterilisasi air merupakan suatu isu yang krusial. Kurangnya persediaan air bersih dan fasilitas sanitasi mendorong pemerintah untuk menanamkan modalnya guna menjernihkan air yang berasal dari sungai, danau, dan sumber air lainnya

  • Penduduk di negara berkembang harus merebus air, karena air tidak sehat untuk dikonsumsi secara langsung. Sebagai akibatnya, jumlah energi yang dikeluarkan untuk memasak air sangat besar.


Gender dan Produktivitas (Masyarakat Miskin Pedesaan)

  • Di daerah pedesaan, masyarakat miskin bekerja keras dan berjalan jauh untuk mencapai sumber air dan kemudian mereka harus menggunakan air tersebut dengan hemat dan berhati-hati

  • Jarak antara rumah dan sumber mata air merupakan suatu dilema. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk bolak-balik mengambil air

  • Sebagai akibatnya, hal tersebut mengurangi waktu mereka untuk melakukan aktivitas produktif yang dapat mendukung ekonomi rumah tangga

  • Pada beberapa kasus, wanita dan para gadis menggantikan peran laki-laki untuk mendapatkan air. Hal inilah yang menyebabkan dimensi gender merupakan suatu masalah penting dalam aspek sosial dalam kaitannya dengan kurangnya persediaan air bersih dan fasilitas sanitasi


Gender dan Produktivitas (Masyarakat Miskin Perkotaan)

  • Di daerah perkotaan, hampir seluruh masyarakat miskin yang tidak mendapatkan akses terhadap air bersih harus membeli kepada pedagang air keliling. Mereka harus mengeluarkan uang lebih besar untuk air dibandingkan dengan masyarakat kelas atas maupun menengah yang mendapatkan fasilitas air bersih

  • Misalnya, kurang dari seperempat penduduk di kawasan kumuh Jakarta yang mendapat fasilitas air bersih dan 30% nya bergantung pada pedagang air

  • Sedangkan di Lima, masyarakat miskin harus membayar kepada pedagang air 20 kali lipat dari yang dibayarkan oleh masyarakat kelas menengah yang mendapatkan pelayanan dari PDAM

  • Pada umumnya, lebih dari 40% total pendapatan dari masyarakat miskin dihabiskan untuk air


Kesimpulan dan Implikasi Bagi PWK

  • Planners harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia akan air

  • Namun, planners juga harus paham bahwa sumber daya air sangat terbatas

  • Ketidakadilan sebagai akibar keberadaan sumber daya air terjadi sebagai efek samping

  • Disamping perlu mempromosikan pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan sumber daya air, planners juga perlu memikirkan cara-cara dalam mengkonversinya

  • Semua upaya tersebut harus mampu dijabarkan dalam wujud perencanaan tata ruang maupun kebijakan pada semua level




Reformasi perencanaan kota


Di Indonesia reformasi total telah digulirkan, dengan dimotori oleh unsur mahasiswa, sebagai akibat telah membudayanya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di setiap aspek kehidupan masyarakat. Di dalam proses perencanaan kota juga tidak luput dari KKN. Dimulai dari penunjukkan konsultan perencana yang menyalahi prosedur, mark up anggaran, maupun proses penetapan peraturan daerah, kesemuanya berbau KKN. Karenanya di dalam proses penyusunan rencana tata ruang kota sampai dengan pelaksanaan perlu adanya reformasi, yang dimulai dari teori/konsepsi yang dipergunakan, prosedur sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya perlu adanya perubahan/reformasi.

Sebagaimana diketahui bahwa Rencana Tata Ruang kota yang berisi rencana penggunaan lahan perkotaan, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987, dibedakan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota, yang merupakan rencana jangka panjang; Rencana Detail Tata Ruang Kota, sebagai rencana jangka menengah, dan Rencana Teknis Tata Ruang Kota, untuk jangka pendek. Ketiga jenis tata ruang kota tersebut disajikan dalam bentuk peta-peta dan gambar-gambar yang sudah pasti (blue print).


Sebagaimana dikemukakan oleh para pakar ilmu sosial, bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sedang berkembang, sangatlah dinamis dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Terlebih lagi dengan berkembang-pesatnya teknologi komunikasi dan transportasi di dalam era globalisasi. Pada kondisi masyarakat yang demikian kiranya kurang tepat dengan diterapkannya perencanaan tata ruang kota yang bersifat pasti atau blue print planning. Blue print planning lebih tepat diterapkan pada masyarakat yang sudah mantap, karena pada masyarakat yang sudah mantap ini, perubahan-perubahan yang terjadi sangatlah kecil. Sedang untuk masyarakat yang sedang berkembang lebih tepat diterapkan model process planning.


Kebijaksanaan selama ini yang mengejar pertumbuhan tingkat ekonomi makro menjadikan rencana tata ruang kota berfungsi sebagai sarana penunjangnya. Pembangunan kota lebih berorientasikan kepada si kaya dari pada kepada si miskin. Karenanya si kaya semakin kaya, dan si miskin semakin tersingkir. Hal ini menjadikan kota yang lebih egois, kurang manusiawi, dan dampaknya sebagai tergambar di atas, serta terjadinya kecemburuan sosial, yang berakibat terjadinya kerusuhan-kerusuhan masal. Karena itulah reformasi dalam perencanaan kota merupakan suatu keharusan bagi pemerintah Indonesia saat ini.


Beberapa hal yang dirasa sangat penting dalam rangka reformasi perencanaan tata ruang kota antara lain:

  1. Merubah dari perencanaan fisik, seperti yang seperti sekarang dilakukan menjadi perencanaan sosial. Dengan perubahan pola pikir dan kondisi masyarakat, diharapkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan lahan akan meningkat. Advocacy planning sangat diperlukan demi kepentingan masyarakat, demi terakomodasikannya aspirasi masyarakat. Memang Advocacy Planning dirasa lebih mahal. Namun lebih mahal lagi perencanaan yang tidak efektif maupun pembangunan yang tanpa perencanaan. Advocacy planning dapat diterapkan pula pada pembahasan oleh anggota DPRD. Dalam hal ini konsultan memberikan masukan-masukan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan rencana sebagai Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang Kota.

  2. Merubah kebijaksanaan top down menjadi bottom up karena top down merupakan sumber korupsi dan kolusi bagi pihak-pihak yang terlibat. Sering kali propyek-proyek model top down dari pusat kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Aspirasi dari masyarakat tidak terakomodasikan di dalam ketetapan rencana tata ruang kota. Para wakil masyarakat yang diundang dalam seminar, seperti: Kepala Kelurahan / Desa, Ketua LKMD setempat selain kurang berwawasan terhadap perencanaan makro, juga dapat dikatakan sebagai kepanjangan tangan pemerintah.

  3. Comprehensive Planning lebih tepat dari pada sectoral planning. Comprehensive Planning sebagai perencanaan makro untuk jangka panjang bagi masyarakat di negara sedang berkembang (dengan dinamika masyarakat yang begitu besar) dirasa kurang sesuai. Akibatnya perencanaan tersebut tidak/kurang efektif, dengan begitu banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, baik disengaja maupun tidak. Perencanaan sektoral merupakan perencanaan terhadap sektor-sektor yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dalam waktu mendesak.

  4. Peranserta secara aktif para pakar secara terpadu dari berbagai disiplin ilmu sangat diperlukan di dalam proses penyusunan tata ruang kota. Komisi Perencanaan Kota (sebagaimana diterapkan di Amerika Serikat) kiranya perlu diterapkan pula di Indonesia. Hal ini didasari bahwa permasalahan perkotaan merupakan permasalahan yang sangat komplek, tidak hanya permasalahan ruang saja, tetapi menyangkut pula aspek-aspek: ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya.

  5. Merubah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah, lahan, dan ruang khususnya di perkotaan menjadi lebih berorientasi pada kepentingan dan perlindungan rakyat kecil. Lembaga magersari dan bagi hasil yang oleh UUPA dihapus perlu dihidupkan kembali (sebagaimana disarankan Eko Budihardjo). Penataan lahan melalui Land Consolidation, Land Sharing, dan Land Readjustment perlu ditingkatkan.

  6. Tidak kalah pentingnya adalah bahwa Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan men-jadi Peraturan Daerah, perlu ditindak-lanjuti dengan implementasinya, menjadi acuan dalam penyusunan program-program kegiatan pembangunan, dan tidak sekedar menjadi penghuni perpustakaan Bappeda.


Sunardi, Workshop dan Temu Alumni Magister Perencanaan Kota dan Daerah UGM, 9 – 11 September 2004


Reformasi Perencanaan Tata Ruang Kota1

Terdapat hubungan yang sangat erat antara masyarakat terhadap ruang sebagai wadah kegiatan. Kota sebagai tempat terpusatnya kegiatan masyarakat, akan senantiasa berkembang baik kuantitas maupun kualitasnya, sesuai perkembangan kuantitas dan kuali-tas masyarakat. Hal tersebut merupakan indikator dinamika serta kondisi pembangunan masyarakat kota tersebut berserta wilayah di sekitarnya.

Disadari bahwa berbagai macam usaha pembangunan di kota telah dilaksanakan di Indonesia selama ini. Namun secara umum diketahui pula bahwa di balik hasil pembangunan fisik kota yang menunjang kesejahteraan masyarakat, tidak sedikit pula dampak pembangunan yang dirasa merugikan kehidupan (fisik dan psikhis) masyarakat.

Berkurangnya lahan pertanian subur di sepanjang jalur transportasi, banjir-banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah, galian-galian pipa dan kabel yang tidak kunjung selesai dan lain-lain yang semua itu sebagai akibat pembangunan yang dilaksanakan tidak secara terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya. Di samping itu izin pembangunan yang direkomendasikan Pemerintah Daerah sering tidak terpadu dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan. Seperti daerah hijau (sebagai penyangga) diijinkan untuk daerah permukiman.

Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan bahwa di daerah perkotaan (khususnya di kota-kota besar) terjadi: (a) penurunan persentase rumah tangga terhadap rasa aman dari tindak kejahatan; (b) peningkatan jumlah pengangguran dan jumlah kriminalitas oleh kelompok pemuda. Keadaan yang demikian ini semakin meningkat pada akhir-akhir ini, terutama disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional yang semakin terpuruk, yang berakibat begitu besarnya pemutusan hubungan kerja (PHK), perkelahian antar kelompok preman, dan terhentinya pelaksanaan proyek-proyek besar.

Keadaan sebagai tergambar di atas telah merupakan keadaan yang umum di negara-negara berkembang sebagai akibat dari pembangunan lebih berorientasikan pada daerah perkotaan. Dengan pola pembangunan yang demikian menjadikan laju urbansisasi berjalan dengan cepatnya. Namun urbanisasi tersebut tidak dibarengi perubahan pola pikir masyarakat dari perdesaan menjadi pola pikir perkotaan. Keadaan seperti ini justru merugikan para urbanisan sendiri, yang akibatnya menjadi beban masyarakat kota pada umumnya, dan pengelola kota pada khususnya. Hal tersebut tercermin dari lebih tingginya persentase penduduk miskin di daerah perkotaan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara nasional persentase jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan (17,6 %) dan di daerah perdesaan (14,2 %), sedang di wilayah P. Jawa dan Bali nasional persentase jumlah penduduk miskin di perkotaan: 18,5 %, sedang di perdesaan 12,5 %). Hal ini diperkirakan karena besarnya laju urbanisasi (3,38 %) di daerah perkotaan, yang pada umumnya dilakukan oleh mereka yang belum memiliki ketrampilan khusus sebagai modal menghadapi persaingan antar masyarakat perkotaan.


Perencanaan pembangunan perkotaan di Indonesia

Kiranya pemerintah telah menyadari bahwa perencanaan itu mahal. Namun lebih mahal lagi adalah pembangunan tanpa perencanaan. Hal ini terasa sekali pada pembangunan kota. Dalam hal perencanaan pembangunan kota, di Indonesia telah lama dilaksanakan, diawali dengan diberlakukannya De Statuten van 1642, khusus bagi kota Batavia (Jakarta sekarang. Periode berikutnya oleh Pemerintah Indonesia ditetapkan Standsvorming Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948. Ketentuan ini berlaku sampai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang secara tegas mencabut berlakunya Standsvorming Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948, yang berbau kolonial tersebut.

Walau undang-undang tentang Penataan Ruang baru ditetapkan pada tahun 1992, yang tepatnya pada tanggal 13 Oktober 1992, hal ini tidak berarti bahwa kegiatan perencanaan tata ruang kota tidak dilakukan Pemerintah. Sejak sekitar tahun 1970-an, perencanaan tata ruang secara komprehensif telah dilaksanakan di bawah tanggung jawab Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, yang bekerjasama dengan Ditjen PUOD (Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah) Departemen Dalam Negeri. Pada umumnya pola penataan ruang pada masa itu lebih mengacu pada pola penataan ruang di Eropah, yakni dengan pola pemintakatan atau zoning yang ketat.



Dalam pelaksanaannya produk penataan ruang pola zoning tidak efektif, sehingga terbit Instruksi Menteri Dalam Negeri No.: 30 tahun 1985 tentang Penegakan Hukum/ Peraturan Dalam Rangka Pengelolaan Daerah Perkotaan, yang diikuti dengan terbitnya: (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia, dan (b) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut merupakan acuan para pihak terlibat dalam penyusunan tata ruang kota, sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Penataan Ruang.


Produk perencanaan tata ruang kota yang mengacu pada kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut dirasa lebih luwes (fleksible), karena lebih mendasarkan pada kecenderungan yang terjadi, dan setiap 5 (lima) tahun dievaluasi dan bila terjadi penyimpangan dapat direvisi kembali. Namun dengan tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang kota ini menunjukkan pula adanya ketidakpastian dari rencana tata ruang kota yang telah ditetapkan sebagai peraturan daerah tersebut.


Dari penelitian diketahui bahwa pada umumnya penyimpangan terhadap rencana tata ruang kota justru berawal dari kebijaksanaan pemerintah. Hal ini berarti pemerintah daerah sebagai penanggung jawab rencana tata ruang kota dirasa kurang konsekuen dalam melaksanakan pembangunan kota. Sebagai penyebab utama kurang efektifnya rencana tata ruang kota (dengan indikator adanya berbagai penyimpangan) adalah selain kurang adanya koordinasi antar dinas/instansi, juga kurang dilibatkannya unsur masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat kurang terakomodasikan di dalam rencana tata ruang kota.

Dari hal-hal terurai di atas dapat dikatakan bahwa penetapan peraturan daerah tentang rencana tata ruang kota hanyalah sekedar formalitas, sesuai dengan ketentuan peraturan Menteri Dalam Negeri. Tetapi mulai dari proses penyusunan, sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya jauh dari apa yang diinginkan oleh peraturan dasarnya.


Sunardi, Workshop dan Temu Alumni Magister Perencanaan Kota dan Daerah UGM, 9 – 11 September 2004

Penyediaan Ruang Terbuka Hijau

  1. Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah

Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut:

  • ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat;

  • proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat;

  • apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.


Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal.


  1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku.


  1. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu

Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak teganggu.


RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air.


Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang



Sunardi, Workshop dan Temu Alumni Magister Perencanaan Kota dan Daerah UGM, 9 – 11 September 2004



Pengertian Umum Tentang Perencanaan Kota

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.



Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.



Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.


Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.


Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.


Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.


Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang.


Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.


Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.


Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.

Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.


Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.


Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.


Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan.


Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.


Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.


Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.


Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.


Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.


Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.


Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.


Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.


Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.


Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.


Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.


Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.


Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Sumber: UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang



Sunardi, Workshop dan Temu Alumni Magister Perencanaan Kota dan Daerah UGM, 9 – 11 September 2004




Klasifikasi Penataan Ruang

Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan.


Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas:

  1. Sistem Wilayah, penataan ruang berdasarkan sistem wilayah merupakan pendekatan dalam penataan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.

  2. Sistem Internal perkotaan, penataan ruang berdasarkan sistem internal perkotaan merupakan pendekatan dalam penataan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan di dalam kawasan perkotaan.


Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan merupakan komponen dalam penataan ruang baik yang dilakukan berdasarkan wilayah administratif, kegiatan kawasan, maupun nilai strategis kawasan. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas:

  1. kawasan lindung,

  2. kawasan budi daya

Yang termasuk dalam kawasan lindung adalah:

  • kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya, antara lain, kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air;

  • kawasan perlindungan setempat, antara lain, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air;

  • kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;

  • kawasan rawan bencana alam, antara lain, kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir; dan

  • kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, dan terumbu karang.


Yang termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan permukiman, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan.


Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas:

  1. Penataan ruang wilayah nasional

  2. Penataan ruang wilayah provinsi

  3. Penataan ruang wilayah kabupaten/kota.


Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas:

  1. Penataan ruang kawasan perkotaan, Kegiatan yang menjadi ciri kawasan perkotaan meliputi tempat permukiman perkotaan serta tempat pemusatan dan pendistribusian kegiatan bukan pertanian, seperti kegiatan pelayanan jasa pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

  2. Penataan ruang kawasan perdesaan, Kegiatan yang menjadi ciri kawasan perdesaan meliputi tempat permukiman perdesaan, kegiatan pertanian, kegiatan terkait pengelolaan tumbuhan alami, kegiatan pengelolaan sumber daya alam, kegiatan pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.


Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas:

  1. penataan ruang kawasan strategis nasional

  2. penataan ruang kawasan strategis provinsi

  3. penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.


Kawasan strategis merupakan kawasan yang di dalamnya berlangsung kegiatan yang mempunyai pengaruh besar terhadap:

  1. Tata Ruang di wilayah sekitarnya;

  2. Kegiatan lain di bidang yang sejenis dan kegiatan di bidang lainnya; dan/atau

  3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat.


Jenis kawasan strategis, antara lain, adalah kawasan strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, serta fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

  • Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan, antara lain, adalah kawasan perbatasan negara, termasuk pulau kecil terdepan, dan kawasan latihan militer.

  • Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi, antara lain, adalah kawasan metropolitan, kawasan ekonomi khusus, kawasan pengembangan ekonomi terpadu, kawasan tertinggal, serta kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.

  • Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya, antara lain, adalah kawasan adat tertentu, kawasan konservasi warisan budaya, termasuk warisan budaya yang diakui sebagai warisan dunia, seperti Kompleks Candi Borobudur dan Kompleks Candi Prambanan.

  • Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, antara lain, adalah kawasan pertambangan minyak dan gas bumi termasuk pertambangan minyak dan gas bumi lepas pantai, serta kawasan yang menjadi lokasi instalasi tenaga nuklir.

  • Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, antara lain, adalah kawasan pelindungan dan pelestarian lingkungan hidup, termasuk kawasan yang diakui sebagai warisan dunia seperti Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Ujung Kulon, dan Taman Nasional Komodo.

  • Nilai strategis kawasan tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota diukur berdasarkan aspek eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi penanganan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.


Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:

  • Kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana;

  • Potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan

  • Geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.


Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer. Yang dimaksud “komplementer” adalah bahwa penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota saling melengkapi satu sama lain, bersinergi, dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraannya.



Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.



Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.


Sumber: Sunardi, Workshop dan Temu Alumni Magister Perencanaan Kota dan Daerah UGM, 9 – 11 September 2004


Pengelolaan Kota dan Lingkungan

Pengaruh pembangunan kota terhadap lingkungan lebih besar dibandingkan dengan pengaruh pembangunan desa.

  1. Pembangunan kora mengubah keadaan fisik lingkungan alam menjadi lingkungan buatan manusia. Dalam kota, keadaan lingkungan alam sulit dipertahankan keleastarian dalam wujud aslinya, sehingga lahirlah lingkungan buatan manusia. Oleh karena itu, menjadi pertanyaan sampai seberapa jauh fungsi lingkunagn alam dapat diambil alih oleh lingkungan buatan manusia? Sampai seberapa jauhkah perubahan lingkungan alam mencapai titik krisis sehingga berpengaruh negatif terhadap kehidupan manusia? Maka, timbullah sampah, pencemaran udara, sungai, tanah, kebisingan suara dan sebagainya, sebagai perwujudan pengaruh negatif dari perubahan lingkungan alam ini.

  2. Perubahan lingkungan sosial masyarakat yang hidup dalam kota. Semula, hubungan masyarakat lebih akrab dan hubungan antar-manusia saling menolong dalam kehidupan masyarakat kecil di kampung atau desa. Perubahan menjadi kota mengakibatkan masing-masing orang harus berusaha memecahkan masalahnya sendiri. Namun, berbagai keperluan kini sulit untuk diusahakan sendiri, seperti keperluan akan air minum, energi, angkutan, pelayanan kesehatan (public utilities). Salah satu kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Kota adalah adanya keterbatasan dana.


DAMPAK LINGKUNGAN BUATAN MANUSIA

Kota terlahir sebagai akibat dari pemusatan penduduk pada satu tempat dan ruang tertentu. Pemusatan permukiman penduduk ini didorong oleh berbagai hal yang memberi ciri khas kepada kota. Kota yang menarik pedagang untuk bermukim memberi ciri-ciri kota perdagangan, kota yang menarik usahawan dan industriawan menjadi kota industri. Dan begitu pula, dengan lahirnya kota-kota sebagai kota administrasi-pemerintahan, kota pendidikan, kota pariwisata, dan sebagainya. Kota tersebut memiliki ciri yang ditentukan oleh fungsi kota dalam ruang lingkup daerah.


Masing-masing fungsi memberikan pengaruh tersendiri kepada pengembangan kota. Maka ruang lingkup Kota Bukittinggi, misalnya, karena letak, kondisi geografis, dan sifat sumber alamnya, memiliki kemungkinan lebih besar dalam menjalankan fungsinya sebagai kota pendidikan atau kepariwisataan daripada industri atau perdagangan besar. Karena perkembangan sejarah dan keadaan sumber alam yang terbatas, maka Yogyakarta kemungkinan akan dapat lebih berkembang menjadi kota pendidikan dan pariwisata daripada kota industri-berat. Sebaliknya, karena terletak di jalur angkutan darat, laut, dan udara, maka Jakarta, Surabaya, dan Medan lebih cocok difungsikan sebagai kawasan perdagangan dan industri.


Oleh karena itu, hal pertama yang harus diperhatikan adalah fungsi apa yang berperan dalam suatu kota. Sifat dan fungsi kota inilah yang mempengaruhi proses pembangunan kota tersebut. Selain itu, pengelola kota juga tidak perlu memaksakan perkembangan kota.


Dengan memperhatikan ruang lingkup suatu kota dan fungsinya dalam pembangunan wilayah, maka lingkungan alam diubah menjadi lingkungan buatan manusia. Apabila hutan memliki andil dalam pembersihan udara bagi kehidupan manusia, maka pembangunan lingkungan buatan manusia haruslah mengusahakan agar fungsi hutan ini setidaknya digantikan oleh pohon-pohon yang sengaja ditanam di pinggir jalan atau taman-taman di tengah kota.


Dalam mengubah lingkungan alam, pengembangan lingkungan buatan manusia harus memperhatikan kelangsungan fungsi lingkungan alam, sehingga perubahan ini tidak sampai merugikan manusia. Perencanaan ruang akan penggunaan tanah menjadi penting sebagai ikhtiar mengubah lingkungan alam tanpa kerusakan.


Apabila fungsi suatu kota sudah diketahui maka pengelola kota dapat memanfaatkan sumber alam, tenaga kerja, modal dan ketrampilan yang ada di kota untuk diolah bagi pengembangan kota. Bagi setiap pemimpin Pemerintah Kotamadya, yang menjadi soal mendesak ialah bagaimana menghimpun dana secukupnya untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota.

Kaum PGOT dan Anak Jalanan2

Orang-Orang yang Terlantar

Namun, pada prinsipnya kehidupan para gelandangan maupun pengemis di kota dengan segala keterbatasannya merupakan beban yang tidak ringan, baik untuk kehidupan mereka sendiri di kota, aparatur pengelola kota dan masyarakat lain yang mengkategorikan mereka sebagai gelandangan atau pengemis. Karena kondisi dan situasi kehidupannya yang selalu meresahkan dan menyedihkan serta penyebaran mereka sampai di pojok-pojok kota dan berpindah-pindah, maka mereka juga disebut sebagai orang-orang yang terlantar.


Anak Jalanan

Anak jalanan belakangan ini menjadi suatu fenomena sosial yang cukup penting dalam kehidupan kota besar. Kehidupan mereka seringkali dianggap sebagai cermin kemiskinan kota atau suatu kegagalan adaptasi kelompok orang tertentu terhadap kehidupan dinamis kota besar. Pemahaman tentang bagaimana kehidupan mereka, seperti apa kegiatan dan aspirasi yang mereka miliki, keterkaitan hubungan dengan pihak dan orang-orang yang ada di sekitar lingkungan hidup mereka, memungkinkan kita menempatkan mereka secara lebih bijaksana dalam konteks permasalahan kehidupan kota besar. Anak jalanan sering juga disebut dengan anak stasiun kereta api, anak lampu merah, anak proyek. Kegiatan anak jalanan ini, antara lain:

  • Preman atau anak nakal, yang menjurus ke arah kriminalitas (penodongan, pencurian, perkosaan) termasuk sebagai pramu nikmat (penyimpangan seksualitas) yang dilakukan di tempat-tempat keramaian.

  • Penyemir sepatu, yang dilakukan di pinggir pertokoan, terminal angkutan umum, warung-warung makan.

  • Penjual koran, yang dilakukan pada saat lampu merah di perempatan maupun persimpangan jalan.

  • Peminta-minta (mengemis) secara langsung atau tidak langsung dengan alasan membersihkan kaca mobil, yang dilakukan pada saat lampu merah di perempatan maupun persimpangan jalan.

  • Pengamen jalanan, dari rumah ke rumah, terminal angkutan umum, di bis kota maupun antarkota, di restoran maupun warung makan.


Dikutip dari buku Kemiskinan di Perkotaan

Ridlo, Mohammad Agung. 2001. Kemiskinan di Perkotaan. 2001 : Unisulla Press.