Sabtu, 27 Juni 2009

Perdagangan Manusia

Lebih dari satu dekade perdagangan manusia sudah mencapai proporsi yang mewabah. Tidak ada negara yang tidak terkena dampak. Pencarian kerja keluar negeri yang didukung oleh perbedaan ekonomi, tingginya pengangguran, dan gangguan hidup. Para pedagang menghadapi beberapa resiko dan dapat memperolah keuntungan yang besar dengan cara mengambil keuntungan dari banyak imigran potensial.

Perdagangan manusia adalah suatu kejahatan dimana para korban yang berasal dari lingkungan yang miskin ke keadaan kekayaan yang lebih, dengan keuntungan mengalir pada arah berlawanan, pola ini sering terulang di luar negeri, kawasan, dan tingkat global. Hal ini dipercaya berkembang paling cepat di Eropa Tengah dan Timur dan Uni Soviet. Di Asia, gadis-gadis desa di Nepal dan Bangladesh – paling banyak berusia di bawah 18 tahun – dijual ke rumah-rumah pelacuran di India untuk $ 1000. Perdagangan wanita dari Thailand dan Filiphina juga termasuk menambah panjang daftar itu di Asia Tenggara. Europol memperkirakan bahwa industri itu bernilai beberapa juta dolar setahun sekarang.

Perdagangan manusia tidak mempunyai batas dalam perdagangan seks. Anak-anak dipekerjakan di tempat dimana pekerja membanting tulang dengan gaji yang rendah sebagai buruh pekerja dan laki-laki bekerja secara ilegal di pekerjaan yang kotor, sulit, dan berbahaya. CIA melaporkan bahwa 45 – 50 ribu wanita dan anak-anak dibawa ke USA setiap tahun dengan ilegal dan dipaksa bekerja sebagai PSK, merupakan penyalahgunaan buruh dan pembantu. UNICEF memperkirakan lebih dari 200 ribu anak-anak diperbudak dengan penyelundupan keluar batas negara di Afrika Barat dan Tengah. Anak-anak sering ‘dijual’ oleh orang tua yang tidak mengira, mereka mempercayai jika anak-anak mereka akan lebih terawat, belajar perdagangan atau disekolahkan.

Pada banyak kasus, pola traffikng juga berhubungan dengan situasi konflik … sebagai bentuk dari organisasi kriminal, traffiking juga dapat mengancam pembangunan dan peraturan hukum, sebagai keuntungan haram digunakan untuk korupsi, dan aktivitas lain, terorisme. Pertolongan, dukungan, rehabilitasi korban juga merupakan masalah yang signifikan, lebih-lebih di negara yang memiliki sumber daya alam sedikit dan dalam kasus perdagangan anak dimana negara itu sangat membutuhkannya.

Sebagai tambahan, penyebaran HIV/AIDS diantara korban perdagangan dalam prostitusi membuat korban terdorong dan pengiriman kembali isu kesehatan umum. Perawatan korban sebagai barang dagangan juga termasuk kekerasan pada HAM untuk merdeka, otonomi dan martabat manusia. Meskipun kekerasan ini dilakukan oleh pedagang ini penting bagi negara untuk menanggapi dalam meredakan dan mengurangi bahaya yang disebabkan korban perdagangan manusia hingga batas minimum.

Traffiking selalu berkembang oleh perbedaan sosial dan ekonomi yang menyebabkan pasokan korban yang mencari suaka (berimigrasi) dan permintaan seks dan pelayanan lain yang menambah dorongan ekonomi untuk terjadinya trafiking. Pencegahan dan hukuman pidana merupakan elemen yang sangat penting, tetapi memadai alasan pokok yang antara pasokan dan permintaan juga perlu. Ukuran pencegahan penting lain adalah dengan memberikan informasi umum untuk menggerakkan dukungan bagi aturan yang efektif, membangkitkan kepedulian terhadap kunci pemaksaan hukuman dan lembaga resmi lain dan membuat sosialisasi group batas darimana korban sering direkrut.

Disadur dari Harian Kompas

Refleksi Lorong Hati

Refleksi lorong hati bagi sang jiwa yang memeluk jiwaku. Bagi hati yang mencurahkan rahasia-rahasianya pada hatiku, bagi tangan yang menyalakan api emosiku. Bersemayam dalam diri, senantiasa mengarungi lembah-lembah, padang malam, ganas malam,dawai senja, kesendirian yang berhiaskan sepi danau jingga yang setiap saat menguapkan embun-embun harapan.

Kata-Kata

Ada seorang cowok yang mengatakan sebuah kalimat panjang kepada adikku, “kamu bagaikan mutiara di dalam samudra, yang senantiasa berkilauan di antara kegelapan yang abadi, begitu pula kedudukan dirimu di hatiku yang terdalam”. Sungguh romantis bukan? Hati cewek mana yang tidak berbunga diberi kalimat sepuitis itu? Sayangnya, bukan aku. Pasti aku juga akan merasa bahagia apabila ada seorang cowok yang … . Tidak usah dilanjutkan, karena aku tahu kalimat itu hanya ada di dalam mimpiku.

Tapak Sakti

Apa to? Judul apaan tuh? Kayak ilmu silat kah? Apa ilmu kanuragan? Salah! Salah! Salah! Tapak merupakan salah satu mata kuliah yang paling menakutkan. Sangar, kalo orang Jawa bilang. Kenapa? Tugas-tugasnya berat, dalam artian banyak menghabiskan tenaga, waktu, dan biaya. Tenaga kita habis untuk mengerjakan siteplan dan laporan yang membutuhkan “nglembur” sampai-sampai kita tidak bisa memejamkan mata. Bukan karena sedang tidak ngantuk, tetapi kita memang tidak diperbolehkan untuk tidur. Banyak teman-temanku yang sakit karena tapak, mulai dari mual, pusing, batuk, pilek, bahkan 20an temanku sudah terserang tipes. Penyebabnya sangat jelas, kurang makan dan kurang istirahat. Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Trus, soal waktu. Lagi-lagi gara-gara tapak! Apa! Aku, jujur saja, tidak mencintai mata kuliah ini. Tapak membutuhkan waktu pengerjaan yang membuatku gila. Karena mengejar deadline tapak, kemarin ak ga ikut kuliah Sistem Informasi Perencanaan dan mendapat tugas tambahan. Apa! Otakku mulai penuh dengan kebencian. Sedangkan, biaya juga merupakan masalah yang krusial. Menurut cerita dari kakak kelas, dia menghabiskan total biaya 500ribuan hanya untuk membuat tapak. Itu pun belum termasuk biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk tugas lainnya.

Aku hanya berdoa, semoga aku bisa melewati semua ini. Amin …

Jangan Masuk PWK

Banyak tugas dengan deadline yang selalu mepet
Aku seakan-akan dikejar tugas-tugas tak terlihat yang setiap saat mengintai untuk melukaiku, bahkan tak segan membunuhku.

Pada semester 4 ini …

Hidupku tidak pernah dikatakan normal

Lembur hingga tidak bisa bobok semalaman, mata jadi bengkak, kuyu, layu sebelum berkembang

Kerja kelompok yang ga ada habisnya, entah kapan semua ini akan berakhir …

Banyak temen-temen yang sakit, mulai dari sakit skala ringan, misalnya pilek, batuk, pusing, demam hingga sakit berskala besar, seperti tipus. Hebatnya,20 an temenku pada kena tipus. Sebenarnya sih sakit itu ya sama-sama tidak enak, baik sakit ringan maupun sakit berat

Hidupku tidak teratur. Pernah kuliah tidak mandi, pernah bolos kuliah, kamar selama beberapa hari seperti kapal pecah, cucian numpuk di ember menunggu kepastian kapan akan tersentuh

Kuliah sering terburu-buru. Tidak jarang dosen sudah masuk, aku masih di luar. Sebenarnya sih ga sopan, tetapi daripada ga absen …

Amal ibadahku berkurang secara drastis. Sholat jadi sering bolong, jarang puasa, apalagi sekarang aku tidak pernah lagi membaca Al Qur’an. Padahal, dulu pas semester-semester sebelumnya aku lumayan rajin membaca Qur’an.

Aku sering ‘kumpul kebo’. Eits, tapi jangan langsung menjudge negatif dulu. ‘kumpul kebo’ di sini maksudnya … tuntutan tugas yang mengharuskan aku menginap di kos cowok dari malam hingga pagi menjelang, bahkan kadang lebih dari itu. Tau sendiri lah apa yang dipikirkan orang-orang awam! Padahal, tidak terjadi apa-apa.

Analisis Intrawilayah

Dengan analisis intrawilayah, kita ingin melihat apa saja yang ada di dalam suatu wilayah. Seandainya kita melihat dari konteks kabupaten, maka pada dasarnya kita ingin menganalisis potensi-potensi apa saja yang terdapat di dalam kecamatan dan seberapa besar kontribusinya terhadap kabupaten yang bersangkutan. Hmm, sebenarnya bukan hanya kontribusi maupun potensinya saja yang menjadi pertimbangan, tetapi juga berbagai macam aspek lain, seperti aspek demografi, sosial budaya, ekonomi, fisik ruang, dan lain sebagainya.

Sangatlah sempit sekali suatu pandangan yang menyatakan bahwa analisis intrawilayah berkaitan degan pola ruang. Apabila kita ingin melihat analisis intrawilayah ini secara agregat/keseluruhan, maka kita pun perlu melihat presentase tingkat pertumbuhan minimal selama 5 tahun terakhir, kemudian komposisi sektor (%) – kontribusi sektor terhadap PDRB kabupaten, serta komposisi penduduk berdasarkan atas mata pencaharian. Sedangkan, berdasarkan dekomposisi alias sub-sistemnya terbagi atas sektor basis – nonbasis dan pergeseran sektor (shiftshare).

Kelima variabel di atas bersifat statis (dihitung per tahun, bukan per bulan), artinya belum dapat sepenuhnya menggambarkan kondisi yang dinamis. Nah, bagaimana cara untuk mendapatkan gambaran intrawilayah? Sepertinya, kita harus melihat interaksi/pergerakan/aliran perdagangan, baik barang maupun jasa. Kemudian, masalahnya adalah … bagaimana mendapatkan informasi mengenai barang dan jasa? Ya, salah satunya dengan menghubungi Dinas Perhubungan yang terkait dengan jembatan timbang. Atau, kalau tidak, kita bisa bertanya kepada Desperindag mengenai pasar-pasar induk yang ada di kecamatan tertentu.

Berdasarkan teori, apabila nilai LQ dari suatu kabupaten lebih dari satu (LQ > 1), maka hal ini mengindikasikan bahwa daerah/kabupaten tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, sedangkan sisanya diekspor ke daerah lain. Hasil perhitungan nilai LQ tersebut hanya merupakan suatu indikasi, karena belum tentu perhitungan di atas kertas sama dengan kenyataan yang berada di lapangan.

Oh ya, satu lagi! Kita dilarang menjudge suatu wilayah merupakan bagian dari ‘kota’ hanya berdasarkan atas informasi yang berasal dari satu ekonomi sektoral. Misalnya saja nih, PDRB suatu wilayah yang berasal dari sektor perdagangan dan jasa itu mempunyai nilai yang tinggi, kita tidak boleh langsung mengatakan bahwa kota identik dengan aspek perdagangan dan jasa. Berarti, pada saat itu kita hanya melihat kulit luarnya saja. Ada indikasi-indikasi di belakangnya yang belum kita ketahui. Salah satu indikator yang dapat digunakan adalah presentase kawasan terbangun dibandingkan dengan presentase kawasan non-terbangunnya. Apabila kawasan non-terbangunnya masih lebih banyak, dapat dikatakan bahwa wilayah tersebut masih bersifat pedesaan.

Jumat, 19 Juni 2009

Puisi-Puisi

Menggoreskan tinta-tinta rembulan
Jadi bunga berparas purnama,
Berselendang lengkung bianglala
yang menyenandungkan
lirik-lirik kehidupan

Tulisan-tulisan angin yang berkesiur
Berbaur bersama kabar-kabar berduri
Merasuk, dalam. Dalam …

Mengubur jurang waktumu …
Resah pun mengalir
Menatapku, diam. Diam …

Aku mengukir bulan
Beribu buih yang menyapu basah
ketipung-ketipung berkarat
Rinduku telah berlumut
Suara seruling hujan
Cangkir-cangkir rinduku

Kuucapkan kata-kata ini
Matahari telah menyerahkan taktanya
pada bulan
Zaman terbata-bata
karena memang hati selalu malam
Walau bukan dan bintang
kadang menerangi

Semua yang diberkati air
yang telah menyimpan berkah musim
mengeras oleh embun
melubangi debu
di permukaan telaga yang mati
yang tak lagi menampung cahaya
harapan yang mengambang di permukaan air
kersik bulan di dasarnya
hujan merangkum segala
yang pernah dialami dalam dingin
sayapnya

Kesalahan

“Mas, tolong jangan pergi dari sisiku! Bagaimana denganku? Apakah kau tega membiarkanku sendirian merawat anakmu? Mas, kamu calon ayah bagi anak kita!” kata Aura setengah menangis.
“Maafkan Mas, Dek. Mas juga sebenarnya tidak ingin meninggalkan kalian. Tapi, nyawa orang-orang juga penting …”
“Jadi, apakah aku tidak penting bagimu? Mas …”
“Bukan! Bukan begitu, Dek! Cintaku padamu lebih daripada yang kau ketahui selama ini.”
“Kalau begitu, jangan pergi! Tetaplah di sini bersamaku!”
“Tapi, Dek. Mas nggak mungkin mengkhianati negara. Mas nggak mungkin tega membiarkan para pemberontak menginjak harga diri negara ini.”
“Buat apa Mas terus membela negeri yang sudah bobrok ini? Di sini, nyawa manusia tak lebih hanya sebagai mainan.”
“Jangan begitu, Dek. Kita lahir, makan, tertawa, menangis di negeri ini. Seberapapun buruknya negeri ini, Mas tetap wajib untuk membelanya.”

Dan, tidak ada yang bisa menghalangi kepergian Dika, termasuk istrinya sendiri.
“Tuhan, semoga tidak akan terjadi apa-apa dengan suamiku. Semoga dia kembali dengan selamat. Tanpa terluka sedikitpun. Aku ingin melihat senyumnya lagi, dan bukan senyum kebekuan yang selama ini selalu menghantui dan mengganggu tidurku.”
Sudah satu bulan berlalu, tetapi Aura belum mendapat kabar apapun dari suaminya. Dia sudah bertanya kesana kemari, tetapi hasilnya tetap nihil belaka. Dia menjadi gampang capek sekarang. Ternyata, membawa bayi kemana-mana itu sungguh berat. Ingin cepat-cepat saja dia melahirkan. Tentu, dengan suami yang selalu menemani kapanpun dia membutuhkannya.

Tiga bulan berlalu. Akhirnya, pasukan suaminya pulang juga. Dengan bergegas, Aura menyiapkan semuanya dengan semangat. Matanya berbinar-binar bahagia. Sebentar lagi, tentu dia akan bertemu dengan pujaan hatinya. Dengan bersenandung kecil, Aura berdandan dengan hati berbunga. Walaupun sedang hamil, dia tidak ingin terlihat jelek di mata suaminya.

Hingga lelah Aura mencari-cari di dalam kerumunan tentara yang baru saja turun dari pesawat. Namun, dia tidak juga mendapati wajah suaminya.
“Mana janjimu dulu untuk kembali, Mas? Mengapa kamu tidak ada hingga tentara terakhir? Apa yang sudah terjadi dengan dirimu? Mas, dimana kah dirimu?”
Aura hampir putus asa. Dia sudah bertanya, tetapi tidak ada yang mengaku mengenal suaminya. Dia menjadi bingung. Di saat Aura hampir meninggalkan helipad, sejumlah tentara membawa turun peti-peti …, ada 5 peti. Seketika, Aura mempunyai firasat yang sangat buruk. Mungkinkan di antara peti-peti itu ada suaminya?

Setelah memeriksanya, Aura lega. Tidak ada …
“Kalau suamiku meninggal, pasti aku akan diberitahu. Entah dimana dia sekarang.”
Tiba-tiba, mata Aura tertumbuk pada peti keenam. Karena penasaran, didekatinya peti itu. Aura pun langsung pingsan sektika mendapati foto suaminya terpampang di depan peti. Dingin … tak bernyawa.

Sudah beberapa hari Aura tidak menyentuh makanan. Bukannya dia tidak ingin makan, tetapi karena dia merasa tidak bisa menelan. Hatinya mati, mungkin begitu pula dengan otaknya, syarafnya …
“Negara macam apa ini yang tidak bisa melindungi warganya sendiri. Aku benci negara ini! Karena dia, aku kehilangan suamiku, anakku, semuanya! Dasar sialan! Negara sialan! Mengapa aku bisa terlahir di negeri brengsek ini?”
Anak Aura memang tidak sempat lahir ke dunia karena keguguran. Uang pensiun suaminya pun tidak pernah disentuhnya sama sekali.

Kemudian, Aura pun memutuskan untuk kembali aktif pada sebuah LSM yang sudah 5 tahun digelutinya sebelum bertemu dengan Mas Dika. Setelah kejadian itu, Aura tumbuh menjadi seseorang yang memiliki kepribadian yang kuat. Dendam telah mengubahnya, kepribadiannya yang rendah hati telah tergantikan oleh sikap tegas. Dia tidak bertele-tele, selalu tepat pada sasaran yang diinginkannya. Dan, selama ini dia selalu berhasil. Oleh karena itu, negara tidak suka dengan sepak terjangnya. Dengan sebuah tuduhan palsu, Aura dijebloskan ke penjara, walau tidak seperti Aung Sun Kyi yang sempat memperoleh nobel perdamaian. Anehnya, Aura tidak merasa takut sama sekali. Sejak hari itu … dia tidak lagi takut pada apapun. Sejak hari itu …, hatinya telah mati bersama suaminya.

Di dalam penjara …
“Mas, apa yang sedang Mas lakukan saat ini? Apa kau ada di sini melihatku? Apakah tindakan yang kulakukan ini benar? Negara telah menghancurkan hidupmu, hidupku, dan hidup bayi kita. Tidak kah kau mengerti?”
Aura dipenjara tanpa batas waktu yang ditentukan. Dia memang sudah mendengar bahwa banyak tawanan yang menghilang tanpa pernah terdengar kabarnya lagi. Apapun yang akan terjadi nanti, Aura sudah siap. Sudah tidak ada bedanya dia mati sekarang atau besok. Semua tampak sama bagi dirinya. Dia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi di dunia ini. Semua telah direnggut oleh negara.

Ya, hari itu akhirnya datang juga. Tanpa banyak komentar, Aura dibawa ke sebuah mobil dengan mata tertutup. Dia tidak gentar ataupaun merasa takut, walaupun sudah mengerti apa yang akan terjadi pada dirinya. Ternyata, waktunya sudah tiba. Memang, inilah resiko yang harus dia tanggung.
Begitu penutup matanya dibuka, dia sudah menduga bahwa hidupnya akan berakhir di lapangan ini. “Aku akan mengingatnya!”
Apakah aku dapat bertemu dengan suamiku?”
Aku tidak akan pernah mengakui kesalahan yang ditimpakan kepadaku, karena aku memang tidak pernah merasa bersalah.
Mata Aura sudah ditutup. Sebentar lagi … Sebentar lagi …
“Tunggu!”
Tiba-tiba sebuah suara menghentikan prosesi kematian itu. Seakan baru terbangun dari mimpi panjang, Aura tersentak dengan suara itu. Mirip dengan suara suaminya. Dari kejauhan.

Ternyata, kematian suaminya dipalsukan. Dia sedang mengemban suatu misi penting negara, dan malangnya … Aura tidak mengetahui apapun. Dia tidak pernah diberitahu apapun. Aura tidak lagi mengenal suaminya. Siapa dia yang telah tega menghancurkan hidup istrinya sendiri?
“Maafkan Mas, Dek. Mas tidak bisa menyelamatkanmu.”
Jadi, inikah suaminya yang sebenarnya? Yang selalu dinantinya setiap malam? Yang selalu dicintai seumur hidupnya? Namun, yang begitu dingin, angkuh, dan kejam?

Malam itu, Aura menghilang dengan sejuta nyeri yang menyesakkan dada. Menimbulkan api membara yang memenuhi hatinya, seakan ingin meledak. Nekat, Aura mendekati salah satu pengawal dan merebut pistolnya. Lalu, dia menembak dada suaminya dua kali. Aura pun langsung ikut roboh ketika tembakan para tentara tepat mengenai jantungnya.

Biarlah begini saja akhir dari hidupnya …

Ternyata, itu cuma ada di dalam pikiran Aura. Dia belum membunuh suaminya. Suaminya masih berdiri memandangnya. Ternyata, di dalam hatinya ada rasa ingin membunuh yang begitu kuat. Tidak! Dia mencintai suaminya tanpa syarat. Sekalipun suaminya telah berubah, dia tidak akan berubah … dia tetap mencintai suaminya.

“Mas, bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kali?” tanya Aura pilu.
Suaminya mengangguk. Aura menangis dalam diam. Bukan! Dia bukan menangis karena menyesali kebodohannya. Dia hanya merasa bahagia karena bisa bertemu dengan suaminya dalam keadaan hidup, walaupun dalam keadaan yang tidak terduga …

***

Di sebuah rumah nun jauh …
“Papa, kita pergi ke taman yuk?”
“Oke. Sebentar lagi kan Kiki sudah mulai masuk sekolah.”
“Mas Dika nggak akan pergi lagi, kan?”
“Tidak, Sayang. Aku nggak akan pernah meninggalkan kalian …”

TAMAT

Catatan Kecil

Rasanya, malam seperti melintas diam-diam waktu aku menyadari ada yang dipaksa enyah dari jantungnya.
“Tatap mataku dan katakan bagian mana dari hidupku yang tidak sebanding dengan …”
Setiap tarikan napas adalah ajakan untuk melupakan masa lalu dan menimbang masa depan.

“Kenapa? Aku tidak cukup mampu?”
“Bukan, kau tak cukup yakin.”

Lengang
“Kenapa diam?”

Cantik

Ibu selalu dan selalu menasehatiku. “Cit, jangan pernah merendahkan dirimu sendiri. Kamu itu cantik.”

Setiap wanita tentu saja akan merasa senang apabila dirinya dikatakan cantik. Namun, mengapa aku tidak? Aku tidak pernah merasa diriku cantik. Lalu, siapakah aku ini? Hanya seorang bodoh yang mengharapkan bahwa suatu saat nanti cinta akan datang menyapanya.

Senin, 01 Juni 2009

Rama dan Sinta

Rama : “Penjaga! Bawa Laksmana kemari!”
Penjaga : “Baik, Tuan. Segera saya laksanakan.”
Beberapa saat kemudian, Laksmana dibawa menghadap Rama.
Laksmana : “Kakanda … (mendekati Rama)
Rama : “Berlutut!”
Laksmana pun menuruti perkataan kakaknya.
Laksmana : “Kakanda, saya …”
Rama : “Sudahlah, tidak perlu kau jelaskan lagi. Aku sudah tahu. Hanya satu yang aku sayangkan. Kau telah tega mengkhianati kepercayaan yang sudah aku berikan.”
Laksmana : “Bukan! Saya tidak berselingkuh dengn Sinta.”
Rama : “Lalu apa? Bagaimana kau bisa menjelaskan kemesraanmu sewaktu kalian berada di taman?”
Laksmana : “…”
Rama : “Sudah cukup aku bersabar menghadapi kelakuanmu!” (Rama melemparkan kendi yang ada di dekatnya tepat ke kepala Laksmana)
Laksmana hanya diam saja walaupun kepalanya mulai berdarah. Dia tidak melawan sedikitpun.
Rama : “Kenapa kau diam saja, Laksmana? Apakah kau tidak berani melawan?”
Laksmana : (menunduk) ”Maafkan Laksmana jika telah membuat Kakanda kecewa.”
Rama : “Jangan panggil aku Kakanda. Mulai sekarang, kamu bukanlah adikku lagi. Aku tidak akan mengakuimu!”
Laksmana : (mendongak dengan terkejut) “Tapi Kakanda!”
Rama membalikkan badannya. Hening sesaat.
Laksmana : “Kakanda …” (lirih)
Rama : “Jangan panggil aku Kakanda” (dengan suara sedingin es)
Laksmana : (putus asa) “Kumohon percayalah pada saya. Saya tidak melakukan perbuatan seperti yang dituduhkan, Kakanda. Bagaimana caranya agar Kakanda percaya?”
Rama diam saja. Beberapa saat kemudian, dia melemparkan sebilah pisau ke arah Laksmana. Laksmana memandang pisau itu dengan mata berkaca-kaca.
Laksmana : “Kakanda … pisau ini …”
Rama : “Ya, Laksmana. Itu pisau Ayah. Dan, sekarang aku ingin menggunakannya.”
Laksmana : “Tapi, untuk apa?”
Dalam beberapa detik, Laksmana terkejut dengan apa yang dia pikirkan. Apakah kakaknya …
Rama : “Kau bukan seseorang yang bodoh, Laksmana. Kamu pasti tahu apa yang kuinginkan.”
Laksmana : (dengan suara sendu) “Dulu, sewaktu masih hidup, Ayah pernah mengatakan bila pisau itu berbahaya, karena … sebelum digunakan harus dilumuri dengan darah saudara kandungnya sendiri.”
Laksmana mengatakannya dengan suara yang teramat berat.
Rama : “Apa jawabanmu?”
Laksamana terdiam. Ternyata, Kakanda tidak pernah mempercayainya. Dan, sekarang kakaknya menginginkan kematiannya. Apakah dia mempunyai pilihan lain? Apakah dia sanggup menolak permintaan kakaknya?
Laksmana : “Kakanda, suatu kehormatan bila saya dapat melakukannya. Apakah tidak ada lagi tali kasih yang menghubungkan kita berdua?”
Laksmana tersenyum. Namun, dia sudah tidak sanggup lagi menahan air mata yang mengalir dan meleleh di pipinya.
Laksmana : (membatin dalam hati) “Ayah, kau selalu mengajarkanku bahwa seorang pria pantang untuk menangis. Tapi, Ayah … untuk kali ini aku tidak bisa lagi menuruti kata-kata Ayah. Ayah, apakah setelah aku menghilang dari dunia ini, aku bisa bertemu dengan Ayah kembali?”
Sesaat kemudian,
Laksmana mengambil pisau yang berada di dekatnya. Tangannya bergetar, sebisa mungkin dia memegangnya dengan erat.
Laksmana : “Maafkan saya Kakanda kalau selama ini saya selalu merepotkan Kakanda dan telah membuat Kakanda marah.”
Laksmana mengarahkan pisau itu tepat ke jantungnya. Dia memejamkan mata. Sedangkan, Rama tidak bergeming dari tempatnya. Crepp! Suara itu memenuhi seluruh ruangan, menggetarkan dada. Laksmana ambruk di tempatnya. Darah segar tampak mengalir deras membasahi lantai. Napas Laksmana terengah-engah. Dia tidak tahu apakah dia bisa memasuki pintu surga?

Tiba-tiba, Sinta masuk dengan setengah berlari.
Sinta : “Rama, apa yang telah kau lakukan terhadap Laksmana? Bukankah dia adikmu sendiri?”
Sinta mendekati Laksmana dan meletakkan kepalanya di pangkuan Sinta.
Sinta : “Cepat tolong dia, Rama. Kalau tidak cepat-cepat, dia tidak akan hidup.”
Rama : “Biarkan saja dia mati. Aku tidak pernah mempunyai adik yang selingkuh dengan iparnya sendiri.”
Sinta : “Kami tidak berselingkuh …”
Rama : “Omong kosong.”
Sinta : “Rama, aku akan melakukan apa saja! Ya, aku akan melakukan apa saja asal kamu mau menyelamatkan Laksmana.”
Rama : “Sebegitu pentingkah Laksmana bagimu?”
Sinta : “Bukan begitu. Aku mencintaimu, Rama. Tapi, hari ini … aku tidak mengenalmu. Entah hilang kemana Rama yang sangat kucintai.”

Rama tidak menanggapi. Hari itu, bumi kehilangan seorang ksatria. Sejak saat itu pula, setiap hari Sinta mengalirkan air mata mengenang Laksmana. Tidak ada lagi senyuman yang menghiasi wajahnya. Mendung selalu menggelayuti dirinya. Apakah karena kesalahannya, Laksmana … . Sinta tidak sanggup lagi menghadapi hidup.

Di kamar Rama dan Sinta …
Rama : “Sinta, sekarang hanya aku yang memilikimu. Tidak akan ada orang yang sanggup memisahkan cinta kita. Sinta membeku, ternyata …
Sinta : “Cinta apa, Rama? (suara dingin). Aku sudah tidak mengenalmu. Kamu siapa?”
Rama mendekap Sinta dari belakang. Namun, Sinta tidak bergeming, tidak menanggapi, tetapi tidak pula menolak.
Sinta : “Mengapa kau tega membunuh Laksmana?”
Rama : “Sinta, aku tidak membunuh, tetapi dia sendiri yang melakukannya.”
Sinta : “Tidak ada bedanya bagiku.”
Setitik air mata membasahi tangan Rama.
Rama :”Jadi, kau masih mencintai Laksmana? (melepaskan pelukan Sinta)
Sinta : “Kamu tidak adil pada kami. Kamu tidak mendengarkan penjelasan kami.”
Rama :”Jadi, apa maumu sekarang?”
Sinta : “Aku akan pergi darimu. Aku tidak sanggup lagi melihat kekejaman yang kau lakukan. Aku sudah tidak tahan lagi, Rama.
Rama : “Itukah yang kau inginkan?”
Sinta mengangguk.
Rama : “Tidak bisa! Kamu harus tetap disini bersamaku. Aku mencintaimu, Sinta. Apakah kau tidak juga mengerti?”
Sinta : “Kalau kau mencintaiku, lepaskanlah aku …”
Sinta melangkah pergi meninggalkan Rama. Namun, sebelum mencapai pintu, Sinta merasakan ada sesuatu yang menancap di punggungnya. Ketika berbalik, dia melihat Rama masih memegang busur.
Rama : “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi, Sinta. Dengan begini, seumur hidup hanya aku yang pernah memilikimu. Hahaha …” (tawa Rama membahana memenuhi seisi ruangan)