Minggu, 08 Agustus 2010

Gambaran Umum Kabupaten Pati (II)

Kesehatan
Perkembangan kondisi kesehatan masyarakat menunjukan perubahan yang positif. Keberhasilan bidang ini dapat dilihat dari perkembangan beberapa indikator umum diantaranya adalah : perkembangan angka harapan hidup mesyarakat Kab. Pati pada tahun 1996 sebesar 58,61 tahun meningkat menjadi 71,6 tahun untuk tahun 1999 dan pada tahun 2003 naik menjadi 72,7 tahun, angka harapan hidup Kab. Pati setiap tahunnya masih diatas rata-rata Jawa Tengah sebesar 69,1 tahun tahun 2003. (IPM Kab. Pati tahun 2003).

Cakupan pelayanan kesehatan telah menjangkau keseluruh wilayah se Kabupaten Pati, hal itu dapat dilihat dari perkembangan sarana kesehatan. Pada tahun 1995 Rumah Sakit 6 buah, Puskesmas 28 buah, Puskesmas Pembantu 45 buah, Puskesling 27 buah, Polindes 84 buah, Rumah Bersalin 6 buah, Balai Pengobatan 13 buah. Pada tahun 2004 mengalami peningkatan sebagai berikut : Rumah Sakit 8 buah, Puskesmas sebanyak 29 buah, Puskesmas Pembantu sebanyak 50 buah, Pukesling sebanyak 29 buah, Polindes sebanyak 198 buah, Rumah Sakit Bersalin sebanyak 13 buah, Balai Pengobatan 37 buah. Peningkatan derajat kesehatan telah menyebabkan perubahan pola hidup sebagian masyarakat. Oleh karena itu tantangan kedepan yang harus diwaspadai adalah berkembangnya penyakit yang disebabkan oleh perubahan pola hidup dan lingkungan , disamping tuntutan akan kualitas pelayanan kesehatan yang makin prima, profesionalisme aparatur kesehatan, sarana prasarana kesehatan dan mewujudkan budaya dan perilaku sehat bagi masyarakat. (Pati Dalam Angka tahun 1997 dan tahun 2004)


Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Berdasarkan harga konstan 1993 pertumbuhan ekonomi tahun 1993-1996 rata-rata sebesar 0,54% sedangkan tahun 1998 setelah terjadi krisis, pertumbuhan ekonomi minus 4,02%. Pada tahun 1999 kembali mengalami pertumbuhan sebesar 1,55% dan pada empat tahun terakhir mengalami pertumbuhan sebagai berikut : tahun 2000 sebesar 0,36%, tahun 2001 sebesar 2,99%, tahun 2002 sebesar 2,71% dan tahun 2003 sebesar 3,08%. Kontribusi masing-masing lapangan usaha terhadap pertumbuhan ekonomi pada tahun 1994 sampai dengan tahun 1999 mengalami pergeseran, tahun 1994 sektor pertanian memberikan kontribusi 44,27%, sektor perdagangan memberikan kontribusi 17,90%, sektor indutri pengolahan memberi kontribusi sebesar 11,61% dan sektor jasa-jasa memberi kontribusi sebesar 9,34%. Pada tahun 1999 sektor pertanian menjadi 48,24%, sektor perdagangan, hotel dan restoran tinggal 16, 87%, sektor industri pengolahan menjadi 12,03% dan sektor jasa-jasa tinggal 7,80%. Sedangkan sektor lainnya ada yang naik dan ada yang turun. Selama lima tahun terakhir sektor terbesar yang memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pati adalah sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel, restoran dan industri pengolahan. Peranan sektor-sektor tersebut pada tahun 2003 sebesar 45,82%, 17,14% dan 12,39%. Sementara untuk peranan sektor lainnya besarnya masih di bawah sepuluh persen. Aktivitas ekonomi tersebut merupakan pertanda bahwa dimasa yang akan datang selain sektor pertanian, sektor perdagangan, industri pengolahan dan jasa akan menjadi aktivitas utama perekonomian Kabupaten Pati. Perkembangan pendapatan per kapita dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 atas harga berlaku dan konstan terlihat meunjukkan peningkatan. Pada tahun 2003 pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Pati atas dasar harga berlaku mencapai Rp.2.853.293 atau mengalami pertumbuhan 3,08% lebih tinggi dari tahun sebelumnnya (Tahun 2002 sebesar Rp.2.653.652 atau dengan pertumbuhan ekonomi 2,71%). Sedangkan atas dasar harga konstan 1993 pada tahun 2002 pendapatan per kapita Kabupaten Pati tercatat sebesar Rp.837.537, kemudian berkembang pada tahun 2003 menjadi Rp.861.255. Tantangan yang dihadapi dalam bidang ekonomi adalah adanya globalisasi perdagangan yang berdampak pada makin ketatnya persaingan usaha terutama dari sisi teknologi, permodalan dan kualitas sumber daya manusia. Tantangan lainnya masih rentannya struktur ekonomi, kesempatan berusaha, ketimpangan pendapatan dan belum berkembangnya ekonomi kerakyatan, masih rendahnya investasi serta masih belum memadainya infrastruktur ekonomi dan perdagangan.


Keuangan Daerah
Penerimaan keuangan daerah semakin membaik setelah diberlakukannya otonomi daerah. Penerimaan keuangan daerah pada tahun 1997/1998 sebesar Rp.57.699.669.000,00, tahun 2002 menjadi Rp.324.089.778.500,00, sumbangan yang berasal dari PAD sebesar Rp.23.411.773.000,00 atau sebesar 7,22 %. Selama lima (5) tahun terakhir penerimaan keuangan daerah mengalami kenaikan rata-rata sebesar 20%, pada tahun 2002 penerimaan sebesar Rp.324.087.778.500,00 yang berasal dari PAD sebesar Rp.23.411.773.000,00 atau sebesar 7,22% dan pada tahun 2006 jumlah penerimaan daerah mencapai Rp.637.166.877.000,00 yang berasal dari PAD sebesar Rp.56.824.933.000,00 atau sebesar 8,92%. Tantangan pembangunan keuangan daerah adalah masih besarnya ketergantungan penerimaan keuangan daerah dari dana perimbangan dan belum seimbangnya proporsi pengeluaran daerah untuk belanja aparatur dengan belanja publik.


Politik
Pendekatan politik massa mengambang (Floating Mass) sebagai upaya untuk mengendalikan dinamika politik masyarakat demi pembangunan ekonomi menjadikan pembangunan politik mengalami stagnasi. Pada sisi lain, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi tidak lebih sebagai kewajiban dari pada hak. Meningkatnya taraf hidup dan derajat pendidikan masyarakat serta terbukanya informasi, menimbulkan tuntutan yang lebih besar dalam partisipasi politik, namun saluran yang tersedia tidak memadai. Terjadinya krisis ekonomi sejak awal Mei 1997 berlanjut menjadi krisis multidemensi secara akumulatif menimbulkan desakan kuat pada tuntutan reformasi. Reformasi politik nasional yang menemukan momentum di tahun 1998, secara monumental diwujudkan dalam pemilu tahun 1999 dan pemilu legislatif serta pemilu presiden / wakil presiden tahun 2004, melalui dua kali perubahan perundang-undangan politik. Dalam penyelenggaraan pemerintahan juga terus dilakukan pembenahan ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta berbagai Peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan. Tingginya dinamika politik dan perlunya konsolidasi dan sinkronisasi ketentuan normatif maka lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengganti Undang-Undang sebelumnya. Tantangan pembangunan politik adalah mempertahankan momentum reformasi agar sesuai dengan tujuannya serta membangun budaya politik yang santun.


Aparatur Pemerintah Daerah
Dimasa lalu, aparatur pemerintah diposisikan sebagai salah satu pilar kekuasaan politik. Hal ini menyebabkan aparatur pemerintah berada dalam posisi yang tidak netral, kurang profesional dan kurang mempertimbangkan aspek kompetensi, sehingga menimbulkan dampak inefisiensi, ketidaksesuaian antara struktur organisasi dengan jumlah pegawai, kualitas aparatur dan beban kerja. Jumlah aparatur Pemerintah Kabupaten Tahun 1997 sebelum otonomi sebanyak 2.180 orang pegawai. Dengan berlakunya otonomi daerah terdapat pelimpahan pegawai dari instansi vertikal sehingga sampai dengan tahun 2005 jumlah pegawai sebanyak 12.301 Pegawai Megeri Sipil (PNS) dan 5.134 Tenaha Harian Lepas (TPHL). Berdasarkan data Badan Kepegawaian Daerah per September 2005. Pada satu sisi jumlah pegawai yang besar tersebut merupakan aset, namun disisi lain apabila tidak dapat dioptimalkan akan merupakan beban bagi pemerintah daerah. Oleh karena itu tantangan bidang aparatur adalah Mengoptimalkan kinerja aparatur agar mampu menjadi aset pembangunan sehingga menjadi sosok aparatur yang profesional dan berkarakter.


Kinerja Aparatur Pemerintah
Kinerja Pemerintah Daerah sebagai pelayan masyarakat dapat diukur dari kinerja pelayanan publik. Kondisi masa lalu masih menunjukkan adanya banyak kelemahan dalam penyelenggaran pelayanan publik seperti : diskriminasi pelayanan, tumpang tindih perijinan, prosedur yang berbelit maupun keterbatasan. Cakupan layanan setelah era reformasi, penyelenggaraan pelayanan publik semakin mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan. Beberapa langkah perubahan yang dilakukan dalam rangka peningkatan pelayanan publik antara lain : upaya penyempurnaan sistem, regulasi, pembentukan Kantor Pelayanan Terpadu dan Kebijakan Pelayanan One Stop Service (OSS) untuk mendorong masuknya investor ke Kabupaten Pati. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah terkait dengan pelayanan publik adalah semakin meningkatnya tuntutan publik akan sistem mananjemen pemerintahan yang menekankan pada kualitas pelayanan publik, yang memperhatikan dan mengutamakan hak-hak publik melalui optimalisasi penggunaan tehnologi dan informasi.


Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK)
Penyelenggaraan pemerintahan sangat ditentukan keberhasilannya oleh instalasi birokrasi pemerintah. Sebelum era otonomi daerah, pembentukan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah sangat diwarnai dengan nuangsa sentralistik, dimana semuanya ditentukan oleh pusat. Setelah tahun 2001 kelembagaan pemerintah daerah semakin memperhatikan nuansa lokal. Kondisi delematis tersebut semakin nampak ketika daerah diberi kebebasan untuk menentukan jenis dan jumlah unit organisasi berdasarkan kemampuan, kebutuhan dan beban kerja sebagaimana dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000. Secara faktual kombinasi pertimbangan manajerial dan non manajerial dalam penempatan apartur sulit dielakkan. Hal ini semakin mencolok ketika muncul Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 sebagai revisi Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 dimana didalamnya memberi banyak pembatasan terhadap jumlah dan jenis unit organisasi. Terjalinya perubahan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ke Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 membuka harapan baru bagi daerah dalam mengatasi situasi dilematis. Tantangan ke depan terkait dengan aspek kelembagaan adalah tuntutan instansi pemerintahan untuk dapat memberikan kinerja yang terbaik dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik; mampu mengantisipasi dan mengakomodasi dampak positif perubahan lingkungan eksternal maupun internal dari berbagai aspek, seperti desentralisasi, demokratisasi, globalisasi maupun perkembangan teknologi dan informasi.


Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi sejalan dengan perubahan peradaban dan budaya manusia, yang berdampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia, termasuk bagi pelaksanaan pembangunan daerah. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, telah banyak diaplikasikan hasil-hasil pengembangan pengetahuan dan teknologi, disertai dengan adanya berbagai penelitian dan pengembangan untuk mengatasi berbagai permasalahan strategis daerah secara terarah dan berkelanjutan. Tantangan utama yang dihadapi adalah semakin derasnya pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut perubahan sikap dan perilaku agar tidak menjadi korban perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti memunculkan kesenjangan arus globalisasi yang berdampak pada perubahan paradigma sistem dan mekanisme pemerintahan, instansi dan aparatur harus semakin tanggap dan mampu dalam menyiapkan dan mengaplikasikan berbagai hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi serta hasil-hasil penelitian demi kesejahteraan manusia.


Hukum
Pembangunan bidang hukum telah berkembang begitu pesat seiring dengan berkembangnya dinamika penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik. Selama 2 tahun terakhir telah dihasilkan berbagai produk legislasi daerah sebanyak 4 buah Peraturan Daerah yang berupa Perda baru. Berbagai permasalahan yang ditemukan selama ini terkait dengan aspek hukum adalah masih lemahnya kinerja penegak hukum daerah terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi, masih perlu ditingkatkannya kualitas dan kuantitas produk hukum daerah, perlu dikembangkannya budaya / kesadaran hukum masyarakat. Tantangan pembangunan hukum pada masa yang akan datang adalah jaminan akan kepastian, rasa keadilan dan perlindungan hukum. Hal ini sejalan dengan semakin besarnya tuntutan untuk membentuk tata Peraturan Daerah yang baik disertai dengan peningkatan kinerja lembaga dan aparatur hukum serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat dan HAM.


Keamanan dan Ketertiban
Pada era masa lalu, penyelenggara pemerintahan menggunakan keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai salah satu prasyarat utama untuk keberhasilan pelaksanaan pembangunan; sebagai dampaknya tingkat kriminalitas cenderung rendah. Pada era reformasi cenderung terjadi peningkatan gangguan kriminalitas sebagai akibat tingginya angka pengangguran, kemiskinan dan faktor ekonomi lainnya. Data 3 tahun terakhir menunjukkan grafik peningkatan gangguan masyarakat dan kriminalitas dari 98 kali pada tahun 2003 menjadi 99 kali pada tahun 2004 dan tahun 2005 terjadi 102 kali. Tantangan utama yang dihadapi pada masa yang akan datang adalah semakin tinggi dan kompleknya gangguan keamanan dan ketertiban yang disebabkan dampak dari permasalahan ekonomi, kependudukan, ketenagakerjaan dan maupun faktor-faktor lainnya.


Budaya Masyarakat
Sebagai wilayah pesisir/pantai dan kota pensiunan, Kabupaten Pati memiliki beberapa jenis budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Budaya tersebut lahir dari proses akulturasi asli dengan budaya yang dibawa para pendatang. Banyak sekali peninggalan dalam bentuk kesenian maupun keragaman budaya itu menjadi kekayaan yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Tantangan budaya yang dihadapi adalah semakin besarnya pengaruh globalisasi yang berdampak pada perubahan budaya lokal, yang bila tidak diantisipasi dan dikendalikan tentunya akan berdampak negatif pada nilai-nilai budaya lokal.


Transportasi
Pelayanan transportasi darat Kabupaten Pati mencapai 706,664 km, terdiri dari jalan Negara sepanjang 44,010 km, jalan Provinsi 107,970 km dan jalan Kabupaten 554,684 km serta jalan Desa/Kelurahan dengan panjang 51,2 km. Dilihat kondisinya, jalan Kabupaten Pati yang diaspal 698,414 km atau sebesar 98,83%, jalan kerikil 8,25 km atau 1,17%. Kondisi dari masingmasing jalan adalah jalan Negara 27,060 km dalam keadaan baik, 16.950 km dalam keadaan sedang; jalan Provinsi 62,920 km dalam keadaan baik, 45,050 km dalam keadaan sedang; jalan Kabupaten 247,474 km dalam keadaan baik 192,425 km dalam keadaan sedang, 106,535 dalam keadaan rusak dan 8,250 km dalam keadaan rusak berat. Pergerakan penumpang dilayani oleh keberadaan angkutan umum, minibus dan angkutan kota. Selain itu juga dilayani dengan ojek untuk pergerakan dalam kota dan ke desa, becak dan dokar. Di Kabupaten Pati terdapat 3 buah terminal tipe B yaitu terminal Pati, terminal Juwana dan terminal Tayu. Transportasi laut dilayani oleh keberadaan Pelabuhan Juwana yang merupakan pelabuhan bongkar muat Papal Niaga dan Papal Nelayan (sumber data Kabupaten Pati dalam angka Tahun 2004). Tantangan kedepan adalah semakin besarnya pengerukan barang dan jasa yang menuntut terbangunnya sistem jaringan transportasi yang efektif dan efisien.


Air Bersih
Pemenuhan air bersih masyarakat Kabupaten Pati sebagian besar menggunakan perubahan sumur dangkal maupun sumur dalam dan sebagian kecil masyarakat Pati yang menggunakan fasilitas air bersih dari PDAM atau sebesar 15.839 pelanggan. Terutama masyarakat Kec. Pati dan Juwana. Tantangan kedepan yang dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan air bersih adalah terpenuhinya air bersih dari PDAM untuk masyarakat terutama untuk masyarakat wilayah Pati Selatan. Tantangan lainnya adalah semakin maraknya pembuatan sumur pantek untuk pertanian dan untuk cucian mobil sehingga dapat menyedot sumur-sumur bagi rumah penduduk.


Daerah Aliran Sungai (DAS)
Diwilayah Kabupaten Pati banyak mengalir sungai yang tergolong besar yang langsung bermuara pada laut Jawa dan bersumber langsung dari hulu/ pegunungan muria. Sebagai daerah yang hilir, dengan sendirinya merupakan daerah limpasan debit air dari sungai yang melintas dan mengakibatkan terjadinya banjir. Kondisi ini diperparah lagi dengan penggundulan hutan-hutan di lereng gunung muria dan semakin dangkalnya muara sungai sehingga apabila terjadi hujan di lereng gunung muria, air sungai akan meluap dan menggenangi wilayah Kabupaten Pati. Penanganan banjir kiriman ini sangat dipengaruhi oleh belum optimalnya pengelolaan drainase, pola penataan dan pengelolaan kawasan wilayah sungai di daerah hulu dalam lingkup lintas wilayah. Kondisi lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tidak lagi memenuhi fungsí hidrologi mengakibatkan semakin besarnya debit banjir. Tantangan kedepan adalah pengelolaan drainase secara terpadu mencakup wilayah hulu dan hilir serta mewujudkan penghijauan diseluruh wilayah Kabupaten Pati.


Sampah
Produksi sampah pada tahun 2003 mencapai + 189,98 m3/hari, sedangkan pada tahun 2004 sebesar + 193,02 m3/hari. Pada tahun 2004 cakupan pelayanan sampah baru mencapai 92,05% dari volume produksi sampah yang dilayani oleh 63 kontainer diangkat dari TPS (Tempat Pembuangan Sementara) ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Tantangan ke depan yang dihadapi dalam pengelolaan sampah adalah semakin meningkatnya volume produksi sampah, kapasitas pelayanan dan semakin terbatasnya lahan tempat pembuangan akhir serta teknologi pengolahan sampah.


Tata Ruang
Pada tahun 1984/1985 telah ditetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 1985 tentang Rencana Induk Kecamatan (RIK) Pati Tahun 1984-1994 yang direvisi pada tahun 1993/1994 tetapi sampai direvisi lagi pada tahun 2004 belum diterbitkan Peraturan Daerah (Perda). Untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati telah disusun Tahun 1991/1992 dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pati Tahun 1992-2002 yang kemudian menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang telah disusun lagi Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati Tahun 2002-2012. Permasalahan yang dihadapi dalam penataan ruang adalah pemanfaatan dan pengendalian tata ruang yang tidak konsisten dan belum adanya desempatan serta komitmen antar pelaku pembangunan dalam pengelolaan tata ruang.


Perumahan
Empat (4) tahun terakhir perumahan di Kabupaten Pati dengan status kepemilikan rumah milik sendiri terus mengalami peningkatan, pada tahun 2003 sebesar 312.221 unit, tahun 2004 sebesar 347.832 unit, tahun 2005 sebesar 354.224 unit dan pada tahun 2006 sebesar 361.435 unit. Jumlah tersebut baru mencapai 95% dari kebutuhan rumah sebesar 379.507 unit. Sedangkan perumahan yang penyediaannya dari Perumnas, KPR / BTN, Real Estate, penerangan empat tahun terakhir relatif tidak mengalami perubahan yaitu untuk Perumnas 2 unit, KPR/BTN 4 unit, Real Estate 9 unit. Pesatnya perkembangan permukiman yang tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur yang memadai akan berdampak pada peningkatan limpasan air yang mengakibatkan kebutuhan rumah yang ditunjang oleh tersedianya sarana dan prasarana lingkungan yang memadai. Tantangan kedepan adalah meningkatnya kebutuhan rumah yang ditunjang oleh tersedianya sarana prasarana lingkungan yang memadai.

Sumber : RPJPD Kabupaten pati 2006-2026

Tidak ada komentar:

Posting Komentar