Senin, 26 Maret 2012

Neraca Penatagunaan Tanah

1. Reformasi Hukum Pertanahan
Reformasi hukum pertanahan boleh jadi telah dimulai melalui penerbitan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang telah diundangkan pada tanggal 26 April 2007 yang lalu. Dalam ketentuan pelaksanaan pemanfaatan ruang, sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 32-34, harus dilaksanakan dengan pengembangan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya. Selain itu dalam ketentuanketentuan perencanaan tata ruang wilayah kota, sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 28-31, terdapat penegasan untuk menyediakan ruang terbuka hijau sekurangnya 30% dari luas wilayah kota, 20% di antaranya adalah ruang terbuka hijau publik dan 10% di antaranya adalah ruang terbuka hijau privat. Dalam hal ini pelaksanaan perencanaan ruang dan pemanfaatan ruang telah memasuki pengaturan ruang-ruang privat.

Pada tahun 2004 telah diterbitkan PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, sebagai tindak lanjut dari UUPR terdahulu. Di dalam PP tersebut telah mulai diperkenalkan neraca tanah yang digunakan dalam penatagunaan tanah, walau hingga saat ini belum ditindaklanjuti dengan pengaturan yang lebih mendalam. Oleh sebab itu dalam Pasal 33(2) UUPR yang mengatur pengembangan penatagunaan tanah harus melalui penyelenggaraan kegiatan dan penyusunan neraca penatagunaan tanah.

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota

















2. Penatagunaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Ketentuan Pasal 33 ayat (3) menyebutkan, dalam penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah. Hal ini membuka upaya bagi Pemerintah untuk memenuhi di antaranya ketentuan Pasal 29 yaitu aspek penyediaan lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH), dan secara khusus adalah untuk pembangunan prasarana (infrastruktur) kepentingan umum.
Selama ini telah dikenal dua metode yang berkaitan dengan penyediaan lahan publik, yaitu sebagaimana dapat dilihat dalam dua kebijakan :

a. Konsolidasi lahan (land consolidation), sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Lahan.
b. Akuisisi lahan (land acquisition), sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Infrastruktur Publik.

Dengan terbitnya UUPR No. 26 Tahun 2007, kaidah-kaidah penatagunaan tanah memerlukan penyesuaian metode lebih lanjut sehingga dapat selaras dengan maksud dan tujuan penataan ruang di dalam UUPR tersebut.


3. Pemanfaatan Ruang
Dalam pemanfaatan ruang wilayah kota, dilakukan :
a. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis;
b. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis; dan
c. Pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis.

Dalam rangka pelaksanaan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang strategis, ditetapkan kawasan budidaya yang dikendalikan dan kawasan budidaya yang didorong pengembangannya.

Pelaksanaan pembangunan dalam hal ini dilaksanakan secara terpadu. Adapun pemanfaatan ruang dilaksanakan sesuai dengan :
a. standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;
b. standar kualitas lingkungan; dan
c. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.


4. Neraca Penatagunaan Tanah
Neraca penatagunaan tanah pada dasarnya merupakan program operasionalisasi pemanfaatan ruang dalam upaya mewujudkan pola ruang dan struktur ruang wilayah dan kawasan strategis. Dalam penyusunannya telah mempertimbangkan berbagai ketentuan dan kaidah penataan ruang, meliputi di antaranya standar pelayanan minimal dan standar kualitas lingkungan.

Penyusunan neraca penatagunaan tanah meliputi :
a. penyajian neraca perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lain pada rencana tata ruang wilayah;
b. penyajian neraca kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lain pada rencana tata ruang wilayah;
c. penyajian ketersediaan tanah dan sumber daya alam lain dan penetapan prioritas penyediaannya pada rencana tata ruang wilayah.

Faktor ketersediaan dimaksudkan perlunya pertimbangan aspek meteorologi, klimatologi, geofisika, dan ketersediaan prasarana sumber daya air, termasuk sistem jaringan drainase dan pengendalian banjir.

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota























5. Metode Land Readjustment (LR)
Salah satu alternatif metode yang dapat dikembangkan untuk kegiatan penyusunan neraca penatagunaan tanah adalah metode penyesuaian batas-batas kepemilikan tanah (land readjustment) yang dilakukan dengan menggunakan penentuan kembali batas-batas peruntukan lahan berdasarkan arahan zonasi dalam rencana tata ruang. Dengan menyesuaikan batas-batas kepemilikan tanah, selanjutnya dapat diperoleh lahan yang dikontribusikan untuk ruang publik atau prasarana kepentingan umum lainnya. Prinsip dasar dari metode ini adalah : replot – reshuffle – contribution (penyesuaian batas tanah – penyesuaian lokasi – kontribusi lahan).

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota














Metode LR telah sukses diterapkan di Jepang dan Jerman, diikuti oleh Korea, Taiwan, dan Thailand, dan telah diujicobakan pada beberapa lokasi di Amerika, Asia, hingga Eropah. Beberapa varian yang lebih sederhana dari LR adalah land consolidation (Taiwan dan Indonesia), land banking (Australia), dan sebagainya.



Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota











6. Teknik Replotting
Teknik replotting adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki dalam penyusunan neraca penatagunaan tanah, karena akan mengalokasikan peruntukan ruang untuk berbagai jenis aktivitas pemanfaatan ruang.
Teknik replotting dalam metode LR memperhatikan sepenuhnya kaidah-kaidah penataan ruang, khususnya aspek perubahan nilai lahan. Dalam teknik replotting ini dilakukan penilaian lokasi serta aspek eksternalitasnya, penerapan standar dan model perencanaan, proporsi peruntukan lahan, serta suatu arahan untuk penyediaan ruang publik.

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota






7. Teknik Reshuffle
Dari hasil teknik replotting selanjutnya dapat dirancang batas-batas kepemilikan tanah secara rapi dan bentuk-bentuk persil yang lebih teratur dengan menggunakan teknik reshuffle. Teknik reshuffle memiliki pengertian realokasi batas-batas kepemilikan dan bentuk persil berdasarkan perubahan nilai lahan secara berkeadilan. Perubahan nilai lahan ini disesuaikan dengan jenis-jenis peruntukan dalam pemanfaatan ruang, berdasarkan kondisi awal sebelum pelaksanaan program.


8. Kontribusi Lahan
Proporsi ideal penyediaan ruang publik adalah minimal 30% dari suatu luasan kawasan. Bila 20% di antaranya adalah untuk ruang terbuka hijau publik, maka masih terdapat sekurangnya 10% untuk prasarana kepentingan umum lainnya, seperti jalan, saluran air, dan sebagainya.

Untuk memperoleh luasan ruang publik yang disyaratkan hingga saat ini masih menjadi masalah, mengingat selama ini aspek penyediaan lahan tersebut seakanakan masih menjadi tugas pemerintah. Mengingat kemanfaatannya adalah ditujukan kepada masyarakat luas, maka selayaknya masyarakat juga menanggung beban dalam penyediaan lahan publik tersebut.

Kontribusi lahan 30% diperoleh dari lahan masyarakat, dan bila menggunakan metode LR, maka angka tersebut dapat diperoleh melalui teknik replotting dan reshuffle. Kontribusi lahan dihitung secara proporsional sesuai dengan kondisi asal dan perubahan nilai lahan untuk setiap persil. Dengan demikian sebenarnya pemilik tanah tidak akan dirugikan walaupun telah mengkontribusikan sebagian lahannya, karena mendapatkan keuntungan dari peningkatan nilai lahannya.

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota

















9. Prasyarat Neraca Penatagunaan Tanah
Untuk melaksanakan suatu program neraca penatagunaan tanah pada suatu kawasan, diperlukan prasyarat : suatu perkiraan terjadinya peningkatan nilai lahan sekurangnya 150% setelah pelaksanaan program, sehingga rasio ini layak untuk mendapatkan kontribusi lahan. Berdasarkan perhitungan tertentu dari perubahan nilai lahan selanjutnya dapat dialokasikan sekurangnya 30% ruang publik pada kawasan tersebut.

Peningkatan nilai lahan secara drastis dapat ditimbulkan oleh :
- Pelaksanaan suatu program pembangunan oleh pemangku kepentingan pada kawasan tersebut, seperti misalnya pembangunan jalan, rumah sakit, pintu exit mass rapid transportation, dan sebagainya.
- Reklamasi atau pemulihan suatu kawasan dengan kualitas lahan rendah, seperti kawasan rawa, kawasan pasca bencana, dan sebagainya.
- Efek economic boom dari suatu kawasan yang memiliki intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi, seperti pusat perniagaan, kawasan pariwisata, sentra industri, dan sebagainya.

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota
















10. Iklim bagi Penyusunan Neraca Penatagunaan Tanah
Program penyusunan neraca penatagunaan tanah dapat dilakukan pada suatu kawasan dengan luasan sekitar 100 Ha, sehingga kegiatan replot dan reshuffle untuk mencapai target 30% ruang publik akan lebih leluasa untuk dilakukan.
Proporsi 20% ruang terbuka hijau publik bisa dikurangi bila selisih proporsi itu telah teralokasi pada kawasan lain di luar kawasan yang diprogramkan. Lingkup kawasan yang diprogramkan dapat diarahkan melalui RUTRK, RDTRK, atau Peraturan Zonasi; sehingga RUTRK, RDTRK, dan Peraturan Zonasi seharusnya telah mengindikasikan kawasan-kawasan yang akan diprogramkan untuk dilaksanakan neraca penatagunaan tanah.

Kontribusi 30% dari pemilik lahan dapat dikonversikan dengan nilai program pembangunan oleh Pemerintah, seperti pembangunan jalan dan sebagainya. Dalam beberapa hal perlu pengaturan lebih lanjut untuk menempatkan program pembangunan Pemerintah ini sebagai salah satu bentuk subsidi.

Neraca Penatagunaan Tanah, Perencanaan Kota


















Sumber: Modul Zonasi, Materi Pelatihan Tim Teknis Tata Ruang Departemen Pekerjaan Umum, 2008 (oleh : ‐ekadj dan Hardwn)

Teknik Teknik Peraturan Zonasi

Posted: 17 May 2009 11:07 PM PDT

Teknik pengaturan zonasi adalah berbagai varian dari zoning konvensional yang dikembangkan untuk memberikan keluwesan penerapan aturan zonasi.

Teknik pengaturan zonasi dapat dipilih dari berbagai alternatif dengan mempertimbangkan tujuan pengaturan yang ingin dicapai. Setiap teknik mempunyai karakteristik, tujuan, konsekuensi dan dampak yang berbeda. Oleh karena itu, pemilihannya harus dipertimbangkan dengan hati-hati.

Alternatif Teknik Pengaturan Zonasi
  • Alternatif teknik pengaturan zonasi yang dapat diterapkan antara lain:
  • Bonus/insentive zoning
  • Performance zoning
  • Fiscal zoning
  • Special zoning
  • Exclusionary zoning
  • Contract zoning
  • Negotiated development
  • TDR (Transfer of Development Right)
  • Design/historic preservation
  • Overlay zone
  • Floating zone
  • Flood plain zone
  • Conditional uses
  • Growth control
  • dan teknik lainnya yang dianggap sesuai

Bonus/insentive zoning
Izin peningkatan intensitas dan kepadatan pembangunan (tinggi bangunan, luas lantai) yang diberikan kepada pengembang dengan imbalan penyediaan fasilitas publik (arcade, plaza, pengatapan ruang pejalan, peninggian jalur pejalan atau bawah tanah untuk memisahkan pejalan dan lalu-lintas kendaraan, ruang bongkar-muat off-street untuk mengurangi kemacetan dll) sesuai dengan ketentuan yang berlalu.

Kelemahan: teknik ini dapat menyebabkan bengunan berdiri sendiri di tengah plaza, memutuskan shopping frontage, dll.

Performance zoning
Ketentuan pengaturan pada satu atau beberapa blok peruntukan yang didasarkan pada kinerja tertentu yang ditetapkan. Performace zoning harus diikuti dengan standar kinerja (performance standards) yang mengikat (misalnya tingkat LOS (Level of Service, Tingkat Pelayanan) jalan minimum, tingkat pencemaran maksimum, dll).

Fiscal zoning
Ketentuan/aturan yang ditetapkan pada satu atau beberapa blok peruntukan yang berorientasi kepada peningkatan PAD.

Special zoning
Ketentuan ini dibuat dengan spesifik sesuai dengan karakteristik setempat (universitas, pendidikan, bandar udara) untuk mengurangi konflik antara area ini dan masyarakat sekelilingnya dengan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan area tersebut. Umumnya untuk menjaga kualitas lingkungan (ketenangan, kelancaran lalu-lintas dan sebagainya).

Exclusionary zoning
Ketentuan/aturan pada satu/beberapa blok peruntukan yang menyebabkan blok peruntukan tersebut menjadi ekslusif. Ketentuan ini mengandung unsur diskriminasi (misalnya, penetapan luas persil minimal 5000m2 menyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah tidak dapat tinggal dalam blok tersebut).

Praktek zoning ini diterapkan pada zona yang mempunyai dampak pencegahan munculnya bangunan rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah dan moderat. Ketentuan ini dimotivasi oleh perhatian pada populasi masyarakat tertentu dibandingkan kebutuhan perumahan keseluruhan pada wilayah dimana masyarakat tersebut menjadi bagiannya.


Contract zoning
Ketentuan ini dihasilkan melalui kesepakatan antara pemilik properti dan komisi perencana (Dinas Tata Kota atau TKPRD/BKPRD) atau lembaga legislatif (DPRD) yang dituangkan dalam bentruk kontrak berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Negotiated development
Pembangunan yang dilakukan berdasarkan negosiasi antarstakeholder.

TDR (Transfer of Development Right)
Ketentuan untuk menjaga karakter kawasan setempat. Kompensasi diberikan pada pemilik yang kehilangan hak membangun atau pemilik dapat mentransfer/menjual hak membangunnya (biasanya luas lantai bangunan) kepada pihak lain dalam satu distrik/kawasan.

Design/historic preservation
Ketentuan-ketentuan pemanfaatan ruang dan elemen lainnya (keindahan, tata informasi dll) untuk memelihara visual dan karakter budaya, bangunan dan kawasan masyarakat setempat yang ditetapkan dalam peraturan-perundangan pelestarian.

Overlay zone
Satu atau beberapa zona yang mengacu kepada satu atau beberapa peraturan zonasi (misalnya kawasan perumahan di kawasan yang harus dilestarikan akan merujuk pada aturan perumahan dan aturan pelestarian bangunan/kawasan).

Floating zone
Blok peruntukan yang diambangkan pemanfaatan ruangnya, dan penetapan peruntukannya didsarkan pada kecenderungan perubahannya/perkembangannya, atau sampai ada penelitian mengenai pemanfaatan ruang tersebut yang paling tepat.

Flood plain zone
Ketentuan pemanfaatan ruang pada kawasan rawan banjir untuk mencegah atau mengurangi kerugian.

Conditional uses
Seringkali disebut sebagai pemanfaatan khusus, merupakan izin pemanfaatan ruang yang diberikan pada suatu zona jika kriteria atau kondisi khusus zona tersebut memungkinkan atau sesuai dengan pemanfaatan ruang yang diinginkan

Growth control
Pengendalian ini dilakukan melalui faktor faktor pertumbuhan seperti pembangunan sarana dan prasarana melalui penyediaan infrastruktur yang diperlukan, mengelola faktor ekonomi dan sosial hingga politik


Penerapan Teknik
Teknik pengaturan zonasi yang dipilih diterapkan pada suatu zonasi tertentu di blok tertentu. Dengan pengaturan zonasi yang cukup baik, maka teknik tersebut dapat diterapkan untuk suatu zonasi dimanapun letak zona tersebut. Dengan demikin aturan ini tidak berlaku untuk semua zona yang sejenis.



Contoh penerapan incentive zoning:
1. Untuk suatu zonasi yang tidak bergantung lokasi: “Pengembangan bangunan komersial skala BWK (zonasi K-3) dapat diberikan penambahan luas lantai sebanyak-banyaknya 10% dari luas lantai yang diperkenakan dari aturan yang berlaku apabila menyediakan fasilitas publik sebagai berikut:........, ......, .......”
2. Untuk zonasi pada blok tertentu: “Pengembangan bangunan komersial skala BWK (zonasi K-3) pada blok 14032-023, 14044.003 dan...., dapat diberikan penambahan luas lantai sebanyak-banyaknya 20% dari aturan yang berlaku apabila menyediakan fasilitas publik sebagai berikut:........, ......, .......”

Sumber: Modul Zonasi, Materi Pelatihan Tim Teknis Tata Ruang Departemen Pekerjaan Umum, 2008

Tahap Pembangunan Hutan Kota

Posted: 17 May 2009 10:46 PM PDT

1. Perencanaan
Dalam studi kajian perencanaan aspek yang diteliti meliputi : lokasi, fungsi dan pemanfaatan, aspek tehnik silvikultur, arsitektur lansekap, sarana dan prasarana, tehnik pengelolaan lingkungan. Bahan informasi yang dibutuhkan dalam studi meliputi :
  • Data fisik (letak, wilayah, tanah, iklim dan lain-lain);
  • Sosial ekonomi (aktivitas di wilayah bersangkutan dan kondisinya);
  • Keadaan lingkungan (lokasi dan sekitarnya);
  • Rencana pembangunan wilayah (RUTR,RTK,RTH), serta
  • Bahan-bahan penunjang lainnya.

Hasil studi berupa Rencana Pembangunan Hutan Kota yang terdiri dari tiga bagian, yakni:
  1. Rencana jangka panjang, yang memuat gambaran tentang hutan kota yang dibangun, serta target dan tahapan pelaksanaannya.
  2. Rencana detail yang memuat desain fisik atau rancang bangun untuk masing- masing komponen fisik hutan kota yang hendak dibangun serta tata letaknya.
  3. Rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana fisik dan biayanya.

2. Kelembagaan dan Organisasi Pelaksanaannya
Organisasi pembangunan dan pengelolaan hutan kota sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan keperluannya. Sistem pengorganisasian di suatu daerah mungkin berbeda dengan daerah lainnya. Salah satu bentuk pengorganisasiannya pembangunan dan pengelolaan hutan adalah seperti tercantum pada Gambar 2. Walikota atau Bupati sebagai kepala wilayah bertanggung jawab atas pembangunan dan pengembangan hutan kota di wilayahnya. Bidang perencanaan dan pengendalian dipegang oleh Bappeda Tingkat II yang dibantu oleh tim pembina yang terdiri dari Kanwil Departemen Kehutanan, Kanwil Departemen Pertanian dan Perkebunan, Kanwil Departemen Pekerjaan Umum, Kanwil Departemen Kesehatan, Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup dan yang lainnya menurut kebutuhan masing- masing kota atau daerah. Untuk pelaksanaannya dapat ditunjuk dinas-dinas yang berada di wilayahnya.

Pengelolaan hutan kota pada areal yang dibebani hak milik diserahkan kepada pemiliknya, namun dalam pelaksanaannya harus memperhatikan petunjuk dari bidang perencanaan dan pengendalian. Guna memperlancar pelaksanaannya kiranya perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada yang bersangkutan.


3. Pemilihan Jenis
Guna mendapatkan keberhasilan dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup di perkotaan, jenis yang ditanam dalam program pembangunan dan pengembangan hutan kota hendaknya dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan dengan tujuan agar tanaman dapat tumbuh baik dan tanaman tersebut dapat menanggulangi masalah lingkungan yang muncul di tempat itu dengan baik.

Untuk mendapat hasil pertumbuhan tanaman serta manfaat hutan kota yang maksimal, beberapa informasi yang perlu diperhatikan dan dikumpulkan antara lain:

1. Persyaratan edaphis: pH, jenis tanah, tekstur, altitude,salinitas dan lain-lain.
2. Persyaratan meteorologis: suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, radiasi matahari.
3. Persyaratan silvikultur: kemudahan dalam hal penyediaan benih dan bibit dan kemudahan dalam tingkat pemeliharaan.
4. Persyaratan umum tanaman:
  • Tahan terhadap hama dan penyakit,
  • Cepat tumbuh,
  • Kelengkapan jenis dan penyebaran jenis,
  • Mempunyai umur yang panjang,
  • Mempunyai bentuk yang indah,
  • Ketika dewasa sesuai dengan ruang yang ada,
  • Kompatibel dengan tanaman lain,
  • Serbuk sarinya tidak bersifat alergis,
5. Persyaratan untuk pohon peneduh jalan:
  • Mudah tumbuh pada tanah yang padat,
  • Tidak mempunyai akar yang besar di permukaan tanah,
  • Tanah terhadap hembusan angin yang kuat,
  • Dahan dan ranting tidak mudah patah,
  • Pohon tidak mudah tumbang,
  • Buah tidak terlalu besar,
  • Serasah yang dihasilkan sedikit,
  • Tahan terhadap pencemar dari kendaraan bermotor dan industri,
  • Luka akibat benturan mobil mudah sembuh,
  • Cukup teduh, tetapi tidak terlalu gelap,
  • Kompatibel dengan tanaman lain,
  • Daun, bunga, buah, batang dan percabangannya secara keseluruhan indah,


Beberapa metoda yang dapat dipergunakan untuk menebang pohon adalah :
a. Tumpangan (Toping)
Cara ini sangat biasa dipakai untuk menebang kayu di hutan. Penebang (belandong) pertama-tama akan menentukan arah rebah. Takik rebah dan takik balas dibuat baik dengan gergaji maupun dengan kapak. Cara ini hanya dapat dilakukan di daerah yang luas dan jauh dari jalan raya, pemukiman, jalur listrik, telepon dan lain-lain.

b. Penggalan (Sectioning)
Pemanjat pohon yang telah dilengkapi dengan tali pengaman yang dikaitkan ke tubuhnya kemudian memanjat pohon. Pemanjat menuju cabang pertama kemudian memotong dengan gergaji mesin atau kapak dan memotong cabang tersebut. Kemudian naik lagi dan memotong cabang yang lain dengan cara bersandar pada cabang lain yang aman. Demikian selanjutnya, pekerjaan diteruskan sampai ke atas. Pada saat tersebut, orang yang berada di tanah memotong-motong cabang dan ranting yang baru jatuh.
Setelah cabang-cabang terpotong, orang yang berada di bawah mulai membereskan cabang-cabang tersebut. Kemudian pemanjat turun dan pekerjaannya digantikan oleh yang lain untuk memenggal pohon bagian demi bagian yang dimulai dari bagian atas.
Bila pohon yang hendak ditebang memiliki dahan yang panjang, melintang di atas rumah, pagar, tanaman berharga dan kabel listrik, maka salah satu cara adalah dengan menggunakan tali.
Pengikatan, pemotongan dan penurunan, bagian demi bagian, walaupun ketinggalan jaman, tetapi kadang-kadang merupakan jalan yang terbaik.

c. High-lining
Cara lain yang menarik adalah high-lining. Jika pohon yang akan dipotong dikelilingi oleh benda-benda berharga yang tidak dapat disingkirkan, maka cabang dapat dipotong bagian demi bagian dan dijatuh-arahkan ke sasaran yang diinginkan. Cara ini dapat dilakukan dengan jalan menambatkan salah satu ujung tambang yang kuat pada pohon dan ujung lain di lokasi sasaran yang menjadi tempat jatuhnya bagian-bagian pohon. Tambang tersebut diusahakan mempunyai sudut kemiringan yang cukup. Tidak terlalu tajam, agar bagian pohon tidak meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi, namun sebaliknya tidak terlalu landai. Jika sudut kemiringan tambang terlalu landai, maka jatuhnya dahan tersebut mungkin akan terganggu, bahkan terhenti selain itu membutuhkan areal yang lebih jauh. Operasi pemindahan potongan cabang pohon ini berdasarkan gaya gravitasi. Dengan cara ini semua cabang dapat dipindahkan ke tempat lain dengan aman. Penebangan pohon dilakukan seperti pada cara penggalan.

d. Potong bawah (Bottoming)
Penebangan dengan cara menumbangkannya serta pembagian batang bagian demi bagian dari ujung sampai ke pangkal merupakan dua cara standar dalam penebangan pohon. Cara lainnya yang jarang ditemui adalah potong bawah (bottoming). Cara ini merupakan kebalikan dari cara yang telah dijelaskan terlebih dahulu (Haller, 1986).
Teknik ini hanya dapat dilakukan bila ada satu atau lebih pohon lain yang berukuran sama atau lebih besar di dekat pohon yang akan ditebang. Dalam cara ini, tali diikatkan di sekeliling tajuk pohon yang akan ditebang ke pohon yang tidak ditebang. Pohon yang telah diikat dengan tali di sekitar puncaknya kemudian bagian pangkalnya digergaji. Bagian pangkal/bawah dari pohon dipotong dengan posisi tetap berdiri. Panjang bagian batang yang dipotong sesuai dengan yang dikehendaki. Setelah pemotongan pohon diturunkan dengan cara mengulurkan tali sambil menjaga agar batang tetap tegak, kemudian sedikit demi sedikit pohon dipotong lagi. Demikian seterusnya sampai pohon habis terpotong.

Sumber: Departemen Kehutanan Republik Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar