Rabu, 05 Maret 2014

Bila Esok Hari Menjelang


Karya : Ratna Novita Sari 

Pagi itu, Wulan tergesa - gesa menuju kelasnya, dia tidak ingin terlambat mengikuti ulangan kimia Pak Narto, si guru killer itu, karena selangkah saja di belakang beliau, jangan harap diperbolehkan memasuki kelas. Wulan melirik jam sekilas, pukul 07. 05, itu artinya bel sudah berbunyi 5 menit yang lalu, dengan harap – harap cemas, ia mempercepat langkah kakinya.
Tiba – tiba, Pak Narto muncul di ujung koridor, kontan Wulan berlari sekuat tenaga menuju kelasnya. Dan lucunya, begitu melihat Wulan lari – larian menuju kelas dari arah yang berlawanan, beliau ikut mempercepat langkah kakinya. Tapi syukurlah, pertandingan adu cepat – cepatan masuk kelas itu, akhirnya dimenangkan oleh Wulan. Dengan senyum penuh kemenangan dan nafas ngos – ngosan, Wulan memasuki kelas.
“ Gila kamu, Lan ! Di hari sepenting ini kamu masih aja telat, “ kata Sita, teman sebangkunya, heran.
            “ Hehe….., sory, kamu kan tahu kalau aku emang nggak bisa bangun pagi, “
“ Gimana coba kalau tadi kamu nggak boleh masuk kelas, bisa mati aku sendirian,” sungut Sita.
Pak Narto mulai berkeliling membagikan kertas soal. Hmm, 70 soal dalam waktu 1 jam, lumayan juga. Wulan dengan segera mulai mengerjakan dengan serius, begitu juga teman – temannya yang lain. Pukul 09. 30, bel berbunyi 3 kali, tapi tidak ada yang bergeming, masih sibuk tengok kanan dan kiri.
“ Ayo anak – anak ! Kumpulkan, kalau tidak saya tinggal !, “ ancam Pak Narto.
Wulan melenggang mengumpulkan lembar jawabnya di saat teman – temannya yang lain memanfaatkan situasi yang ramai ini untuk mencontek.
“ Gimana, Lan ? Sukses ?, “ tanya Adi.
Insyaallah, “ jawab Wulan sambil tersenyum lebar.
“ Pintere cah iki, “ sambung temannya yang lain.
Wulan memang tergolong anak yang cerdas, tapi dia bukan anak yang rajin, lihat saja nilai sejarah atau biologinya, berbeda jauh dengan nilai – nilai IPAnya yang gemilang.
***
Malamnya, Wulan menginap di rumah Sita, mumpung besok ada libur sehari, sekalian untuk mengerjakan makalah Biologi.
“ Kadang aku iri dengan kamu, Lan , “ kata  Sita tiba – tiba, saat mereka hanya berdua di kamar.
Wulan hanya tersenyum kecut.
“ Kamu cantik, pinter, supel, ….., “ tambah Sita.
“ Stop….stop, aku nggak mau dengar, “ potong Wulan.
“ Kamu seakan nggak pernah punya masalah, Lan, itu yang paling bikin aku iri sama kamu, sedangkan aku, kamu tahu sendiri kan ? Segudang masalah selalu setia menemaniku setiap saat, bahkan untuk saat ini. Tapi kamu ? Seakan Tuhan nggak adil melimpahkan semua masalah padaku, “ kata Sita menumpahkan uneg – unegnya.
Wulan terdiam, agak lama, sampai Sita mengira dia sudah tidur. Tapi akhirnya, terdengar suara Wulan, pelan.
“ Kamu jangan punya pikiran begitu, Sit. Tuhan toh menciptakan berbagai orang dengan kelebihan dan kekurangan masing – masing. Aku justru ingin seperti kamu, begitu mudah kamu dapat mengekspresikan perasaanmu. Kamu manis dan terlihat lemah, itu dua sifat yang membuat semua laki – laki  selalu ingin melindungi kamu. Dan senyummu, ah, seperti seorang bayi, polos dan tanpa dosa. Tak seorang pun bisa membenci kamu. Sungguh, aku ingin seperti kamu, “
“ Semua orang mengira aku anak yang kuat, tak punya masalah sama sekali. Padahal, apa kau tahu ? kalau segudang masalah mungkin hadir di benakku saat ini? Apa kau tahu rasanya sakit sekali saat kau harus tersenyum saat hati ini ingin menangis ?, “
Kini giliran Sita yang terdiam. Lama.
“ Lan, …., “ panggil Sita pelan, tapi Wulan tidak menyahut. Sita mengira Wulan sudah tidur, kemudian dia menyusul.
Tapi sebenarnya Wulan tidak tidur, untung lampu kamar sudah dimatikan, sehingga Sita tidak tahu kalau dia hanya pura – pura. Wulan mulai memikirkan hidupnya sendiri. Tanpa terasa ingatannya kembali ke satu tahun yang lalu. Dia masih kelas 1 SMA waktu itu. Saat itu tengah malam, dia sedang belajar di kamar, saat dia mendengar suara gaduh dari kamar orang tuanya. Wulan tidak berani mendekat dan bertanya apa yang terjadi, tapi mau tak mau hal itu menyita perhatiannya dan membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya.
Keesokan harinya, dia melihat mata ibunya sembab. Dan ayahnya tidak ikut sarapan seperti biasanya. Saat dia bertanya apa yang terjadi, ibunya hanya tersenyum dan menjawab ayahnya piket pagi. Tapi, dia bukan anak kecil seperti dua adiknya yang lain, yang gampang dibohongi, dia tahu persis kalau ibunya pasti menangis semalaman sampai merah seperti itu, dan itu pasti gara – gara ayahnya. Dia tidak berani bertanya lebih lanjut karena khawatir menyinggung perasaan ibunya. Toh malam harinya ayah pulang ke rumah, dan suasana berlangsung seperti biasa. Dia hanya berani bertanya dalam hati dan menebak – nebak apa yang terjadi.
Seminggu kemudian, hal itu terulang lagi. Disusul dengan bantingan pintu dan deru mobil ayahnya keluar. Dia memberanikan diri menemui ibunya. Terlihat, ibunya menangis sesenggukan di atas kasar..
“ Bu, ….,” kata Wulan, pelan.
“ Wulan ? Ada apa, sayang ?, “ spontan ibunya menghapus bekas air matanya.
“ Sebenarnya apa yang terjadi, Bu ? Wulan bukan anak kecil lagi. Wulan tahu ada sesuatu yang terjadi diantara ibu dan ayah. Wulan ingin tahu, apa ayah yang menyebabkan ibu seperti ini ?, “ tanyanya.
“ Di mana adik – adikmu, Lan ?, “
“ Ibu tenang saja, Nena dan Dodi sudah tidur dari tadi, “ jawabnnya.
Tak disangka, ibunya memeluknya, dan menangis sesenggukan. Wulan membiarkan ibunya menangis sampai lega. 10 menit kemudian, ibunya menceritakan sesuatu yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
“ Baiklah, karena kamu sudah besar, ibu akan menceritakannya padamu. Ayahmu mempunyai wanita lain,” kata ibunya pelan, air mata kembali menetes di wajah ibunya.
Saat mendengar itu, bumi yang dipijakinya seakan runtuh. Anak mana yang tidak sakit hati melihat ayahnya mempunya wanita idaman lain. Untuk sesaat dia hanya terdiam, tak tahu harus berkata apa.
“ Ibu diberitahu Bu Bekti, kalau ayahmu membelikan wanita itu rumah  di samping rumahnya. Semula ibu juga tidak percaya, tapi saat ibu tanyakan, ayahmu mengakuinya, “
“ Tapi, kenapa bisa Bu ? Kenapa ayah berbuat seperti itu ?,”
“ Mungkin ibu yang salah tidak bisa memuaskan ayahmu, “
“ Tidak ! Ayah yang salah ! Ayah yang mudah tergoda ! Ibu adalah wanita yang sempurna bagi Wulan, “ teriak Wulan..
 Tapi ibu mohon sayang, jangan sampai adik – adikmu tentang hal ini, “
“ Iya bu, Wulan janji, “
“ Dan jangan sampai ayahmu tahu kalau kamu sudah mengetahuinya, ibu tidak ingin kamu bertengkar dengan ayahmu, Nak, ibu ingin kamu tetap menghormatinya seperti dulu, “ pinta ibu.
Wulan hanya terdiam, dia tidak bisa janji untuk soal ini.
“ Tapi, bagaimana bisa Wulan menghormati seorang ayah yang telah mengkhianati keluarganya, Bu ?, “
“ Dia tetap ayahmu, Sayang, dan kamu wajib menghormatinya, “
Malam itu, Wulan tidak bisa sejenak pun memejamkan matanya. Ingin rasanya ia memarahi ayahnya, tapi apa bisa ? Apa ia punya keberanian untuk itu ? Dia tidak mengerti kenapa ayahnya bisa melakukan perbuatan yang memalukan itu. Selama ini dia mengenal ayahnya sebagai sosok yang dekat dengan keluarganya. Seorang suami dan ayah yang baik. Dia tidak bisa mengerti.
Dua bulan kemudian, ayahnya berjanji untuk memutuskan wanita itu dan kembali pada keluarganya. Ayahnya mengaku khilaf dan ibunya memaafkan. Sebuah alasan yang klise. Tapi, semenjak malam itu, rumah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuknya. Karena bagaimanapun, hal itu mempengaruhi sikapnya pada ayahnya, Dia dan ayahnya layaknya orang asing, tidak pernah ada kehangatan seperti dulu lagi. Ayahnya juga merasakan perubahan sikapnya dan pernah menanyakan alasannya, tapi ia berusaha menutupinya dan mengatakan tidak ada apa – apa. Ayahnya toh tetap berusaha menjadi seorang ayah yang baik di depan anak – anaknya, tapi dia tidak bisa menghormati ayhnya seperti dulu lagi. Satu – satunya hal yang membuat ia bertahan di rumah itu adalah ibu dan adik – adiknya.
Lamunannya buyar oleh dentang jam dari ruang tengah. Berbunyi 12 kali. Dan Wulan mulai memejamkan matanya, berharap esok hari akan lebih baik.
***
Keesokan harinya, bukan kedamaian yang Wulan dapat saat ia pulang ke rumah, justru pertengkaran hebat antara ayah dan ibunya, kali ini bahkan terang – terangan di depan adik – adiknya. Ternyata selama ini ayahnya masih berhubungan dengan wanita itu dan ibu baru mengetahuinya. Tentu saja ibunya tidak lagi menahan emosi dan langsung mendampratnya. Sebagai anak tertua, tentu saja dia tidak  bisa tinggal diam melihat ibunyadiperlakukan seperti itu.
“ Ayah ! Wulan mohon, jangan kembali lagi ke wanita itu, keluarga ini membutuhkan ayah, “ pinta Wulan.
“ Diam ! Anak tidak usah ikut campur urusan orang tua !, “ bentak ayahnya.
“ Kemana ayah yang selama ini Wulan kenal ? Sekarang ayah tak lebih dari seorang pengkhianat !, “
Plok, sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Wulan.
“ Pukul saja Wulan sampai Ayah puas, asal ayah tidak kembali pada wanita jalang itu !, “
Ayahnya terdiam, kemudian pergi dari rumah. Satu minggu kemudian, ayahnya pulang dan berbicara empat mata dengan ibunya. Ayahnya ingin menikahi wanita itu dan menjadikannya istri kedua. Tapi ibunya menolak dan memilih untuk bercerai. Ibunya tidak kuat kalau di madu, dan harga dirinya sebagai seorang wanita tidak mengijinkan untuk itu.  
Tiga bulan kemudian ayah dan ibu Wulan resmi bercerai. Meskipun ibu selalu terlihat sedih, tapi tampaknya tetap lebih baik dibandingkan ketika bersama ayah. Wulan dan adik – adiknya selalu berusaha membuat ibu mereka bahagia dengan caranya masing – masing. Meskipun tidak bersama lagi, ayah tetap mengirimkan bantuan untuk pendidikan Wulan dan adik – adiknya.
Di mata teman – temannya tidak ada yang berubah dalam diri Wulan kecuali sekarang dia tampak lebih pendiam dan dewasa dalam menyikapi apapun. Wulan tidak ingin menjadi anak cengeng dan hanya meratapi nasib hidupnya. Dia bertekad untuk menjadi sumber kekuatan bagi ibu dan adik – adiknya.
Tak ada waktu untuk meratapi kesedihan. Hidup bagi Wulan adalah bagaimana membuat ibu dan adik – adiknya bahagia. Dalam setiap keterbatasan, Wulan dan adik– adiknya berusaha mencari secercah harapan untuk hidup lebih baik di kemudian hari.