Kamis, 31 Desember 2009

Visi dan Misi Kabupaten Pati (I)

Pencapaian tujuan suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh visi yang telah ditetapkan, yang merupakan gambaran tujuan jangka panjang secara abstrak yang ingin diwujudkan. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka dibuatlah misi yang merupakan cerminan dari langkah-langkah konkrit yang hendak dicapai. Oleh karena itu, visi dan misi harus bersifat rasional dan disesuaikan dengan kemampuan serta kondisi organisasi yang bersangkutan.

Berdasarkan Peraturan Bupati Pati Nomor 25 Tahun 2006 tanggal 1 Desember 2006 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pati tahun 2006-2011, dan dalam rangka menghadapi pelaksanaan otonomi daerah, maka visi Kabupaten Pati adalah “Terwujudnya Pati Bumi Mina Tani, Berbasis Keunggulan Pertanian dan Industri yang Berkelanjutan”.

Pelaksanaan visi tersebut ditunjang oleh beberapa misi, antara lain:
a. Mengembangkan pengamalan nilai-nilai agama untuk peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan berbasis kemajemukan masyarakat.
b. Menciptakan sistem pemerintahan yang baik dan demokratis melalui peningkatan profesionalisme aparatur dan lebih dekat kepada rakyat, serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
c. Mewujudkan peningkatan kualitas SDM melalui pemerataan pelayanan pendidikan, peningkatan derajat kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat.
d. Membangun ekonomi kerakyatan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan dan pertanian.
e. Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
f. Mendorong berkembangnya industri melalui optimalisasi potensi lokal dengan mewujudkan iklim investasi yang kondusif dan berkesinambungan.

Mengembangkan pengamalan nilai-nilai agama untuk peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan berbasis kemajemukan masyarakat.
Terkait dengan salah satu misi yang dimiliki oleh Kabupaten Pati, saya belum melihat adanya “pengembangan pengamalan nilai-nilai agama” di Kabupaten Pati. Tidak ada upaya yang konkrit untuk mencapai misi tersebut. Kabupaten Pati memang terkenal memiliki banyak kiai yang handal. Misalnya saja, kiai – salah satu penasehat spiritual Presiden SBY yang tersandung kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Apalagi, di Kecamatan Margoyoso banyak sekali pondok-pondok pesantren. Lalu, apakah banyaknya pondok pesantren, kiai, murid pondok pesantren, sekolah islam menjamin terciptanya keimanan dan ketakwaan seperti yang ada di dalam misi?

Walaupun sama-sama terletak di tepi Laut Jawa, Kabupaten pati memiliki karakteristik yang berbeda dengan Kabupaten Demak. Kabupaten Demak telah memiliki akar syariat Islam yang telah tertanam kuat sejak zaman dahulu. Saya juga pernah mendengar cerita jika masyarakat di Kabupaten Demak lebih mementingkan kehidupan akhirat daripada kehidupan duniawi. Hal ini tampak sangat jelas dari adanya bangunan-bangunan masjid yang tergolong mewah, sementara rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya masih termasuk berkekurangan. Sedangkan, Kabupaten Pati cenderung mengarah pada budaya Islam Kejawen, dengan masih ditemuinya makam-makam yang dikeramatkan, kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap mistis dan memiliki kekuatan, misalnya Genuk Kemiri.

Pendidikan agama yang diajarkan di sekolah-sekolah yang dimulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas juga tidak menjamin akhlak murid-muridnya. Ketika saya masih SMA dulu, saya disuruh untuk menghapal ayat Al Qur’an beserta dengan artinya. Ya, saya memang berhasil menghapalnya dengan lancar, tetapi sebenarnya tujuan saya lebih berorientasi kepada ‘nilai agama’. Saya tidak ingin rapor saya jelek, termasuk nilai pelajaran agama sekalipun. Jadi, begitu saya lulus dari SMA, langsung menguap lah semua hapalan ayat-ayat saya.

Begitu pula pada saat peringatan Hari Besar Islam, seperti Nuzulul Qur’an, Idhul Adha, Maulid Nabi Muhammad SAW, di sekolah, saya malah merasa dininabobokkan. Apa setan mengganggu diri saya? Namun, tidak hanya saya saja yang mengantuk, tetapi juga sebagian besar murid yang hadir di acara tersebut. lalu

Lalu, pengamalan nilai-nilai agama apa yang dikembangkan? Kemudian, kemajemukan masyarakat? Saya masih tidak mengerti makna dari kemajemukan itu. Apakah karena adanya perbedaan agama antarpenduduk? Jika memang demikian, kemajemukan itu tidak sepenuhnya tampak di Kabupaten Pati. Hal ini terkait dengan jumlah penduduk agama Islam di Kabupaten Pati mencapai lebih dari 90%.

Menciptakan sistem pemerintahan yang baik dan demokratis melalui peningkatan profesionalisme aparatur dan lebih dekat kepada rakyat, serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
Mewujudkan sistem pemerintahan yang baik dan demokratis sangatlah sulit untuk dilaksanakan. Ada beberapa prinsip good governance yang harus dipenuhi agar pemerintah dikatakan berjalan dengan baik. Salah satunya adalah transparansi alias keterbukaan. Prinsip transparansi ini sangat penting untuk menghindari adanya KKN di badan pemerintahan. Jadi, masyarakat dapat mengetahui pertanggungjawaban yang dibuat oleh instansi yang bersangkutan melalui media cetak dan elektronik, tidak hanya disembunyikan di dalam lemari arsip seperti yang terjadi selama ini.

Selama ini, masyarakat merasa kesulitas untuk mengakses informasi yang ada di dalam instansi. Apa ada ‘sesuatu’ yang mesti disembunyikan agar tidak ketahuan? Apa ada anggota DPRD/investor/kontraktor yang ‘nakal’?

Menurut misi tersebut, sistem pemerintahan yang baik dicapai dari adanya profesionalisme aparatur dan lebih dekat dengan rakyat. Profesionalisme seperti apa? Secara keseluruhan, birokrasi di Indonesia memang berbelit dan harus melalui banyak pintu terlebih dahulu. Dosen saya pernah mengatakan bahwa uang hasil perpanjangan SIM/STNK itu sebenarnya mengalir kemana? Padahal, di Indonesia sendiri jumlah kendaraan bermotor, terutama sepeda motor, semakin membengkak setiap tahunnya. Berbagai macam diklan, seminar, maupun pelatihan-pelatihan tidak sepenuhnya mampu meningkatkan profesionalisme pemerintah sebagai pemegang amanat rakyat.

Oh ya, dosen saja juga pernah bercerita … ada 2 orang yang berobat, orang pertama membayar lebih mahal daripada orang kedua karena dia tidak memiliki kartu Askes. Sedangkan, orang kedua menggunakan Askes. Lalu, apa yang terjadi? Pelayanan petugas kesehatan terhdap kedua pasien tersebut berbeda – ada diskriminasi – karena pasien yang memakai Askes tidak mendapat pelayanan yang ramah dan optimal. Petugas kesehatan menganggap, secara sepihak, bahwa penggunaan Askes akan mengurangi pendapatan yang diperoleh oleh RS, Puskesmas, dan lain sebagainya, tempat dimana dirinya bekerja, yang akan berdampak pada berkurangnya tunjangan insentif yang akan diterima petugas tersebut. Padahal, pemegang Askes pun sebenarnya membayar premi kesehatan setiap bulannya yang dipotong dari gaji bulanan, tetapi petugas tidak mau tahu. Walaupun sederhana, ‘senyuman’ mampu menunjukkan keprofesionalan kita dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat.

Bersambung ...