Tampilkan postingan dengan label zaztra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label zaztra. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Juni 2009

Kesalahan

“Mas, tolong jangan pergi dari sisiku! Bagaimana denganku? Apakah kau tega membiarkanku sendirian merawat anakmu? Mas, kamu calon ayah bagi anak kita!” kata Aura setengah menangis.
“Maafkan Mas, Dek. Mas juga sebenarnya tidak ingin meninggalkan kalian. Tapi, nyawa orang-orang juga penting …”
“Jadi, apakah aku tidak penting bagimu? Mas …”
“Bukan! Bukan begitu, Dek! Cintaku padamu lebih daripada yang kau ketahui selama ini.”
“Kalau begitu, jangan pergi! Tetaplah di sini bersamaku!”
“Tapi, Dek. Mas nggak mungkin mengkhianati negara. Mas nggak mungkin tega membiarkan para pemberontak menginjak harga diri negara ini.”
“Buat apa Mas terus membela negeri yang sudah bobrok ini? Di sini, nyawa manusia tak lebih hanya sebagai mainan.”
“Jangan begitu, Dek. Kita lahir, makan, tertawa, menangis di negeri ini. Seberapapun buruknya negeri ini, Mas tetap wajib untuk membelanya.”

Dan, tidak ada yang bisa menghalangi kepergian Dika, termasuk istrinya sendiri.
“Tuhan, semoga tidak akan terjadi apa-apa dengan suamiku. Semoga dia kembali dengan selamat. Tanpa terluka sedikitpun. Aku ingin melihat senyumnya lagi, dan bukan senyum kebekuan yang selama ini selalu menghantui dan mengganggu tidurku.”
Sudah satu bulan berlalu, tetapi Aura belum mendapat kabar apapun dari suaminya. Dia sudah bertanya kesana kemari, tetapi hasilnya tetap nihil belaka. Dia menjadi gampang capek sekarang. Ternyata, membawa bayi kemana-mana itu sungguh berat. Ingin cepat-cepat saja dia melahirkan. Tentu, dengan suami yang selalu menemani kapanpun dia membutuhkannya.

Tiga bulan berlalu. Akhirnya, pasukan suaminya pulang juga. Dengan bergegas, Aura menyiapkan semuanya dengan semangat. Matanya berbinar-binar bahagia. Sebentar lagi, tentu dia akan bertemu dengan pujaan hatinya. Dengan bersenandung kecil, Aura berdandan dengan hati berbunga. Walaupun sedang hamil, dia tidak ingin terlihat jelek di mata suaminya.

Hingga lelah Aura mencari-cari di dalam kerumunan tentara yang baru saja turun dari pesawat. Namun, dia tidak juga mendapati wajah suaminya.
“Mana janjimu dulu untuk kembali, Mas? Mengapa kamu tidak ada hingga tentara terakhir? Apa yang sudah terjadi dengan dirimu? Mas, dimana kah dirimu?”
Aura hampir putus asa. Dia sudah bertanya, tetapi tidak ada yang mengaku mengenal suaminya. Dia menjadi bingung. Di saat Aura hampir meninggalkan helipad, sejumlah tentara membawa turun peti-peti …, ada 5 peti. Seketika, Aura mempunyai firasat yang sangat buruk. Mungkinkan di antara peti-peti itu ada suaminya?

Setelah memeriksanya, Aura lega. Tidak ada …
“Kalau suamiku meninggal, pasti aku akan diberitahu. Entah dimana dia sekarang.”
Tiba-tiba, mata Aura tertumbuk pada peti keenam. Karena penasaran, didekatinya peti itu. Aura pun langsung pingsan sektika mendapati foto suaminya terpampang di depan peti. Dingin … tak bernyawa.

Sudah beberapa hari Aura tidak menyentuh makanan. Bukannya dia tidak ingin makan, tetapi karena dia merasa tidak bisa menelan. Hatinya mati, mungkin begitu pula dengan otaknya, syarafnya …
“Negara macam apa ini yang tidak bisa melindungi warganya sendiri. Aku benci negara ini! Karena dia, aku kehilangan suamiku, anakku, semuanya! Dasar sialan! Negara sialan! Mengapa aku bisa terlahir di negeri brengsek ini?”
Anak Aura memang tidak sempat lahir ke dunia karena keguguran. Uang pensiun suaminya pun tidak pernah disentuhnya sama sekali.

Kemudian, Aura pun memutuskan untuk kembali aktif pada sebuah LSM yang sudah 5 tahun digelutinya sebelum bertemu dengan Mas Dika. Setelah kejadian itu, Aura tumbuh menjadi seseorang yang memiliki kepribadian yang kuat. Dendam telah mengubahnya, kepribadiannya yang rendah hati telah tergantikan oleh sikap tegas. Dia tidak bertele-tele, selalu tepat pada sasaran yang diinginkannya. Dan, selama ini dia selalu berhasil. Oleh karena itu, negara tidak suka dengan sepak terjangnya. Dengan sebuah tuduhan palsu, Aura dijebloskan ke penjara, walau tidak seperti Aung Sun Kyi yang sempat memperoleh nobel perdamaian. Anehnya, Aura tidak merasa takut sama sekali. Sejak hari itu … dia tidak lagi takut pada apapun. Sejak hari itu …, hatinya telah mati bersama suaminya.

Di dalam penjara …
“Mas, apa yang sedang Mas lakukan saat ini? Apa kau ada di sini melihatku? Apakah tindakan yang kulakukan ini benar? Negara telah menghancurkan hidupmu, hidupku, dan hidup bayi kita. Tidak kah kau mengerti?”
Aura dipenjara tanpa batas waktu yang ditentukan. Dia memang sudah mendengar bahwa banyak tawanan yang menghilang tanpa pernah terdengar kabarnya lagi. Apapun yang akan terjadi nanti, Aura sudah siap. Sudah tidak ada bedanya dia mati sekarang atau besok. Semua tampak sama bagi dirinya. Dia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi di dunia ini. Semua telah direnggut oleh negara.

Ya, hari itu akhirnya datang juga. Tanpa banyak komentar, Aura dibawa ke sebuah mobil dengan mata tertutup. Dia tidak gentar ataupaun merasa takut, walaupun sudah mengerti apa yang akan terjadi pada dirinya. Ternyata, waktunya sudah tiba. Memang, inilah resiko yang harus dia tanggung.
Begitu penutup matanya dibuka, dia sudah menduga bahwa hidupnya akan berakhir di lapangan ini. “Aku akan mengingatnya!”
Apakah aku dapat bertemu dengan suamiku?”
Aku tidak akan pernah mengakui kesalahan yang ditimpakan kepadaku, karena aku memang tidak pernah merasa bersalah.
Mata Aura sudah ditutup. Sebentar lagi … Sebentar lagi …
“Tunggu!”
Tiba-tiba sebuah suara menghentikan prosesi kematian itu. Seakan baru terbangun dari mimpi panjang, Aura tersentak dengan suara itu. Mirip dengan suara suaminya. Dari kejauhan.

Ternyata, kematian suaminya dipalsukan. Dia sedang mengemban suatu misi penting negara, dan malangnya … Aura tidak mengetahui apapun. Dia tidak pernah diberitahu apapun. Aura tidak lagi mengenal suaminya. Siapa dia yang telah tega menghancurkan hidup istrinya sendiri?
“Maafkan Mas, Dek. Mas tidak bisa menyelamatkanmu.”
Jadi, inikah suaminya yang sebenarnya? Yang selalu dinantinya setiap malam? Yang selalu dicintai seumur hidupnya? Namun, yang begitu dingin, angkuh, dan kejam?

Malam itu, Aura menghilang dengan sejuta nyeri yang menyesakkan dada. Menimbulkan api membara yang memenuhi hatinya, seakan ingin meledak. Nekat, Aura mendekati salah satu pengawal dan merebut pistolnya. Lalu, dia menembak dada suaminya dua kali. Aura pun langsung ikut roboh ketika tembakan para tentara tepat mengenai jantungnya.

Biarlah begini saja akhir dari hidupnya …

Ternyata, itu cuma ada di dalam pikiran Aura. Dia belum membunuh suaminya. Suaminya masih berdiri memandangnya. Ternyata, di dalam hatinya ada rasa ingin membunuh yang begitu kuat. Tidak! Dia mencintai suaminya tanpa syarat. Sekalipun suaminya telah berubah, dia tidak akan berubah … dia tetap mencintai suaminya.

“Mas, bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kali?” tanya Aura pilu.
Suaminya mengangguk. Aura menangis dalam diam. Bukan! Dia bukan menangis karena menyesali kebodohannya. Dia hanya merasa bahagia karena bisa bertemu dengan suaminya dalam keadaan hidup, walaupun dalam keadaan yang tidak terduga …

***

Di sebuah rumah nun jauh …
“Papa, kita pergi ke taman yuk?”
“Oke. Sebentar lagi kan Kiki sudah mulai masuk sekolah.”
“Mas Dika nggak akan pergi lagi, kan?”
“Tidak, Sayang. Aku nggak akan pernah meninggalkan kalian …”

TAMAT

Senin, 01 Juni 2009

Rama dan Sinta

Rama : “Penjaga! Bawa Laksmana kemari!”
Penjaga : “Baik, Tuan. Segera saya laksanakan.”
Beberapa saat kemudian, Laksmana dibawa menghadap Rama.
Laksmana : “Kakanda … (mendekati Rama)
Rama : “Berlutut!”
Laksmana pun menuruti perkataan kakaknya.
Laksmana : “Kakanda, saya …”
Rama : “Sudahlah, tidak perlu kau jelaskan lagi. Aku sudah tahu. Hanya satu yang aku sayangkan. Kau telah tega mengkhianati kepercayaan yang sudah aku berikan.”
Laksmana : “Bukan! Saya tidak berselingkuh dengn Sinta.”
Rama : “Lalu apa? Bagaimana kau bisa menjelaskan kemesraanmu sewaktu kalian berada di taman?”
Laksmana : “…”
Rama : “Sudah cukup aku bersabar menghadapi kelakuanmu!” (Rama melemparkan kendi yang ada di dekatnya tepat ke kepala Laksmana)
Laksmana hanya diam saja walaupun kepalanya mulai berdarah. Dia tidak melawan sedikitpun.
Rama : “Kenapa kau diam saja, Laksmana? Apakah kau tidak berani melawan?”
Laksmana : (menunduk) ”Maafkan Laksmana jika telah membuat Kakanda kecewa.”
Rama : “Jangan panggil aku Kakanda. Mulai sekarang, kamu bukanlah adikku lagi. Aku tidak akan mengakuimu!”
Laksmana : (mendongak dengan terkejut) “Tapi Kakanda!”
Rama membalikkan badannya. Hening sesaat.
Laksmana : “Kakanda …” (lirih)
Rama : “Jangan panggil aku Kakanda” (dengan suara sedingin es)
Laksmana : (putus asa) “Kumohon percayalah pada saya. Saya tidak melakukan perbuatan seperti yang dituduhkan, Kakanda. Bagaimana caranya agar Kakanda percaya?”
Rama diam saja. Beberapa saat kemudian, dia melemparkan sebilah pisau ke arah Laksmana. Laksmana memandang pisau itu dengan mata berkaca-kaca.
Laksmana : “Kakanda … pisau ini …”
Rama : “Ya, Laksmana. Itu pisau Ayah. Dan, sekarang aku ingin menggunakannya.”
Laksmana : “Tapi, untuk apa?”
Dalam beberapa detik, Laksmana terkejut dengan apa yang dia pikirkan. Apakah kakaknya …
Rama : “Kau bukan seseorang yang bodoh, Laksmana. Kamu pasti tahu apa yang kuinginkan.”
Laksmana : (dengan suara sendu) “Dulu, sewaktu masih hidup, Ayah pernah mengatakan bila pisau itu berbahaya, karena … sebelum digunakan harus dilumuri dengan darah saudara kandungnya sendiri.”
Laksmana mengatakannya dengan suara yang teramat berat.
Rama : “Apa jawabanmu?”
Laksamana terdiam. Ternyata, Kakanda tidak pernah mempercayainya. Dan, sekarang kakaknya menginginkan kematiannya. Apakah dia mempunyai pilihan lain? Apakah dia sanggup menolak permintaan kakaknya?
Laksmana : “Kakanda, suatu kehormatan bila saya dapat melakukannya. Apakah tidak ada lagi tali kasih yang menghubungkan kita berdua?”
Laksmana tersenyum. Namun, dia sudah tidak sanggup lagi menahan air mata yang mengalir dan meleleh di pipinya.
Laksmana : (membatin dalam hati) “Ayah, kau selalu mengajarkanku bahwa seorang pria pantang untuk menangis. Tapi, Ayah … untuk kali ini aku tidak bisa lagi menuruti kata-kata Ayah. Ayah, apakah setelah aku menghilang dari dunia ini, aku bisa bertemu dengan Ayah kembali?”
Sesaat kemudian,
Laksmana mengambil pisau yang berada di dekatnya. Tangannya bergetar, sebisa mungkin dia memegangnya dengan erat.
Laksmana : “Maafkan saya Kakanda kalau selama ini saya selalu merepotkan Kakanda dan telah membuat Kakanda marah.”
Laksmana mengarahkan pisau itu tepat ke jantungnya. Dia memejamkan mata. Sedangkan, Rama tidak bergeming dari tempatnya. Crepp! Suara itu memenuhi seluruh ruangan, menggetarkan dada. Laksmana ambruk di tempatnya. Darah segar tampak mengalir deras membasahi lantai. Napas Laksmana terengah-engah. Dia tidak tahu apakah dia bisa memasuki pintu surga?

Tiba-tiba, Sinta masuk dengan setengah berlari.
Sinta : “Rama, apa yang telah kau lakukan terhadap Laksmana? Bukankah dia adikmu sendiri?”
Sinta mendekati Laksmana dan meletakkan kepalanya di pangkuan Sinta.
Sinta : “Cepat tolong dia, Rama. Kalau tidak cepat-cepat, dia tidak akan hidup.”
Rama : “Biarkan saja dia mati. Aku tidak pernah mempunyai adik yang selingkuh dengan iparnya sendiri.”
Sinta : “Kami tidak berselingkuh …”
Rama : “Omong kosong.”
Sinta : “Rama, aku akan melakukan apa saja! Ya, aku akan melakukan apa saja asal kamu mau menyelamatkan Laksmana.”
Rama : “Sebegitu pentingkah Laksmana bagimu?”
Sinta : “Bukan begitu. Aku mencintaimu, Rama. Tapi, hari ini … aku tidak mengenalmu. Entah hilang kemana Rama yang sangat kucintai.”

Rama tidak menanggapi. Hari itu, bumi kehilangan seorang ksatria. Sejak saat itu pula, setiap hari Sinta mengalirkan air mata mengenang Laksmana. Tidak ada lagi senyuman yang menghiasi wajahnya. Mendung selalu menggelayuti dirinya. Apakah karena kesalahannya, Laksmana … . Sinta tidak sanggup lagi menghadapi hidup.

Di kamar Rama dan Sinta …
Rama : “Sinta, sekarang hanya aku yang memilikimu. Tidak akan ada orang yang sanggup memisahkan cinta kita. Sinta membeku, ternyata …
Sinta : “Cinta apa, Rama? (suara dingin). Aku sudah tidak mengenalmu. Kamu siapa?”
Rama mendekap Sinta dari belakang. Namun, Sinta tidak bergeming, tidak menanggapi, tetapi tidak pula menolak.
Sinta : “Mengapa kau tega membunuh Laksmana?”
Rama : “Sinta, aku tidak membunuh, tetapi dia sendiri yang melakukannya.”
Sinta : “Tidak ada bedanya bagiku.”
Setitik air mata membasahi tangan Rama.
Rama :”Jadi, kau masih mencintai Laksmana? (melepaskan pelukan Sinta)
Sinta : “Kamu tidak adil pada kami. Kamu tidak mendengarkan penjelasan kami.”
Rama :”Jadi, apa maumu sekarang?”
Sinta : “Aku akan pergi darimu. Aku tidak sanggup lagi melihat kekejaman yang kau lakukan. Aku sudah tidak tahan lagi, Rama.
Rama : “Itukah yang kau inginkan?”
Sinta mengangguk.
Rama : “Tidak bisa! Kamu harus tetap disini bersamaku. Aku mencintaimu, Sinta. Apakah kau tidak juga mengerti?”
Sinta : “Kalau kau mencintaiku, lepaskanlah aku …”
Sinta melangkah pergi meninggalkan Rama. Namun, sebelum mencapai pintu, Sinta merasakan ada sesuatu yang menancap di punggungnya. Ketika berbalik, dia melihat Rama masih memegang busur.
Rama : “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi, Sinta. Dengan begini, seumur hidup hanya aku yang pernah memilikimu. Hahaha …” (tawa Rama membahana memenuhi seisi ruangan)

Rabu, 22 Oktober 2008

Puisi Tak Jadi

Seringku memimpikanmu, bukanlah kesalahan

Seringku memikirkanmu, bukanlah masalah

Jika hanya ada rasa hambar atau pahit

Bayagmu melangkah pasti menjauhiku

Meraba, mencari bentuk cintaku padamu

Kamu tahu?


Bila kuterperosok ke dalam jurang

ampir menemui kematian,

Bercumbu dengan maut

Atu tahu, kau akan tersenyum

mencemooh

Tak mau menarikku dalam

Kau berharap bahwa aku tak pernah ada


Gumpalan cinta yang meronta mencari asa

Isyaratkan bahasa asa hati manusia

Laksana gerimis yang berpisah dengan pelangi

Angkasa yang tak berlumur kasih rembulan

Nuansa ini!

Gemuruh ombak menghempasku, kasar


Aku ingin mereka bahagia

Nyata, tidak

Aku menjadi beban

Tak mampu beri kebanggaan


Maafkan …

Karena aku hanya seorang bodoh

Tak mengerti apapun

Tak mampu dalam apapun

Hanya jadi penghalang


Bila kupu-kupu telah mengepakkan sayap indahnya

Membius penghuni taman hingga terpana

Lebah hanya menangis menahan lara

Iri yang tak lagi tertahan

Menggerogoti sekeping hati, mulai menghitam

Mulai menghilang


Embun, bukankah kau ikut bersedih untukku?

Kita meneteskan air mata bersama

Meratapi diri yang tak berguna

Sudah tak ada harapan

Hanya kesuraman yang menanti


Dan, bila luka menjemput hati

Membawanya pergi menuju sudut gelap

Pelangi pun menghilang tertelan awan

Adakah tersisa jawab?


Jumat, 12 September 2008

Adakah Bahagia Untukku? (VII)

“Ayo, kita pulang. Aku nggak mau kamu kedinginan di sini,” kata Dicka.

“Tenang saja … kan ada kamu,” canda Ana. Di tangannya tergenggam sebuah benda yang selama ini hanya menjadi sepotong mimpi. Mereka pun tersenyum bersama, sebagai tanda bahwa mereka saling memahami.

Di kejauhan, ombak semakin sering menjilat – jilat pasir.

Dicka pun mengantar Ana pulang ke kosnya. Namun, alangkah terkejutnya mereka, ketika melihat ayah Ana sudah berdiri menanti di depan pagar dengan gusar.

“Mengapa Ayah bisa tahu …,” batin Ana heran.

Tetapi, tiba – tiba dia sangat paham saat melihat pandangan mata Leni. Tatapan itu sudah mengatakan semuanya.

“An, ayo ikut Ayah!” paksa ayahnya,”Ayah harus mengatakan sesuatu pada kamu.”

“Tapi …”

Dicka yang masih ada di samping Ana pun akhirnya ikut berbicara.

Om, maaf jika saya lancang. Saya mohon Om mau merestui hubungan kami. Kami saling mencintai.”

“Tidak bisa! Ana harus melanjutkan kuliahnya dulu. Lagipula, kamu tidak pantas berada di samping putriku.”

“Ayah!” protes Ana.

“Diam! Ayah pasti akan mencarikan seorang pria yang sejajar dengan keluarga kita!” Ayah Ana berteriak. Padahal, pada saat itu mereka sedang berada di pinggir jalan.

“An, kamu sudah berani melawan Ayah?”

Ana benar – benar bingung. Keputusan apa yang akan dia ambil? Ayah atau kekasihnya?

“Maaf …,” gumam Ana sambil menggandeng tangan Dicka, mengajaknya pergi.

“An … apa kamu yakin dengan keputusanmu?”

Ana mengangguk pelan. Air matanya menitik jatuh.

“Aku nggak apa – apa. Ayo!”

Kemudian, mereka segera pergi dari tempat kos Ana. Sampai – sampai Ayah Ana syok melihatnya. Beliau tidak akan pernah percaya jika putrinya yang lembut bisa menentang dirinya.

Setelah dapat mengatasi keterkejutannya, Ayah Ana segera memerintahkan beberapa anak buahnya untuk mengejar mereka.

“Cepat! Jangan biarkan mereka lolos!” teriaknya.

“Ka, kita dikejar,” kata Ana, ketika dia melihat beberapa tangan kanan Ayahnya.

“Ya, aku tahu.”

Pada saat itu, jalanan sepi, sehingga Dicka pun menambah kecepatan motornya.

“Aku percaya padamu. Aku percaya kita akan bahagia,” gumam Ana.

Dicka tidak menjawab. Dia sedang memusatkan perhatiannya ke depan. Tiba – tiba, sebuah mobil memotong jalan. Dicka yang sedang mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi segera mengerem. Namun, ternyata semuanya sudah terlambat.

Dicka merasa dirinya melayang ke udara sebelum membentur jalan. Sudah tak terbayangkan lagi bagaimana nyeri yang menyengat di sekujur tubuhnya. Namun, di tengah kesadarannya yang semakin menipis, dia masih mencari – cari sosok Ana. Di mana dia?

Matanya sudah semakin mengabur, ketika dia melihat Ana bersimbah darah, dan … dia tidak bergerak. Dicka seketika menjadi panik. Dengan menyeret – nyeret kakinya menahan sakit, Dicka menuju ke arah Ana.

“An, bangun! Aku ada di sini!” kata Dicka sambil mengguncang – guncang tubuh Ana.

Cringg …, sebuah cincin terjatuh dari tangan Ana.

Dari kejauhan Dicka mendengar orang – orang mulai berkerumun dan berteriak.

“Tapi, mereka meneriakkan apa?” tanya Dicka. Semua tampak bagaikan mimpi bagi dirinya. Apakah ini sebuah mimpi buruk? Tapi, mengapa dia tidak terbangun juga?

Suara ombak memecah karang seperti nyanyian pelantun rindu bagi mereka.

Dicka merogoh sesuatu dari dalam kantongnya. Sebuah benda yang tidak pernah terlepas dari dirinya, dan telah menjadi bagian dari hidupnya.

“Ini!” katanya pada Ana,”maaf kalo nggak ada pembungkusnya,”

Benda itu berkilauan ditempa mentari senja.

“Aku takut nggak sempat memberikannya padamu.”

Ann tersenyum. Manis sekali.

Dicka terbangun dengan jantung berdebar dengan kepala pening. Mengapa aku ada di sini? Bau rumah sakit ini sudah sangat dikenalnya.

Tiba – tiba, dia merasa telah kehilangan sesuatu. Dimana Ana? Hanya ada ayah di sampingnya.

“Yah, Ana dimana?” tanya Dicka gelisah, sambil mencengkeram lengan ayahnya.

Namun, ayahnya tidak menjawab. Beliau justru meletakkan tangannya di atas tangan Dicka dan tersenyum pilu. Dicka pun merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Ana … dimana dia? Dicka nggak membunuhnya, kan?”

Semua ini bukan salahmu, nak. Semua bukan salahmu.”

Seketika, dunia Dicka menjadi runtuh.

“Ayah?”

Dicka pun menangis di dada Ayahnya.

“Sudahlah. Semua ini bukan salahmu,” jawab Ayah berusaha menenangkan anaknya.

Dicka sudah tidak lagi mempunyai semangat untuk hidup. Seseorang yang selalu mengisi lorong – lorong hatinya, kini sudah menghilang. Menghilang untuk selamanya. Menghilang, tanpa pernah bisa kembali. Ya, Ana sungguh tega meninggalkannya sendirian di sini, tak mengajaknya.

Hari ini … . Dia sungguh tidak bisa menghadapi hari ini. Seharian, dia hanya mengurung diri di kamarnya. Dia tidak makan, tidak minum, tidak menginginkan apapun. Para perawat sampai bingung dibuatnya. Walaupun ayahnya selalu mengatakan bahwa semua ini bukanlah kesalahannya, Dicka tetap merasa dirinya berdosa.

Seharusnya, Ana tidak perlu lari bersamanya. Seharusnya, Ana masih hidup hingga sekarang dan memiliki kebahagiaannya. Seharusnya, Ana masih bisa menikmati hari – harinya … . Dan, semua ini karena dia. Dia lah yang telah membunuh Ana.

“Tuhan, ambil saja nyawa yang tidak berharga ini! Tapi, kembalikan Ana untukku. Mengapa Engkau justru memilih dia dan membuatku tersiksa seperti ini? Mengapa lagi – lagi aku harus kehilangan dirinya? Belum cukupkah jika Kau hanya mengambil Ibu dariku? Tuhan, aku tidak mengerti semua ini!”

Akhirnya, Dicka memutuskan untuk pergi ke rumah Ana, meskipun dia tahu kehadirannya nanti justru akan semakin menambah suasana menjadi kacau. Namun, dia tidak peduli. Dibunuh pun tidak apa – apa. Dicka hanya ingin melihat Ana untuk yang terakhir. Ana – nya yang cantik, baik, lembut, …

Tak ada gunanya jika dia hanya berada di rumah sakit seperti ini dan merenungi kenangan – kenangannya bersama Ana, dan menangis … hingga air matanya mengering.

“Ana, apakah kau merasa kesepian berada di sana? Sungguh, aku ingin menemanimu.”

Ayah Ana menyambut kedatangan Dicka dengan histeris.

“Mau apa kamu ke sini? Pergi! Kamu yang telah membunuh putriku,” teriak Ayah Ana.

Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dicka. Namun, dia seolah sudah tidak merasakan apapun.

“Sabar, Pak!” kata seseorang sambil berusaha menenangkan Pak Budi.

“Lepaskan! Biarkan aku membunuhnya.”

“Sudahlah, Pak. Semua ini sudah merupakan suratan takdir. Bapak harus mengikhlaskan kepergian putri Bapak.”

“Apa? Suratan takdir? Bila cowok brengsek itu tidak mendekati putriku, semua tidak akan berakhir seperti ini!”

“Lepaskan!”

Saat itu, Dicka sudah tidak mendengar apapun.

“Aku datang, An. Aku ada di sini menemanimu. Mengapa kamu tidak terbangun juga? Bukankah kau juga mencintaiku? ” bisik Dicka mencium kening Ana.

Orang – orang mulai berteriak. Tapi, Dicka sudah tidak mendengar apapun.

“Jangan, Pak! Apa yang akan Bapak lakukan?”

Akan tetapi, tidak ada orang yang berani mendekat. Pak Budi mengacung – ngacungkan pisau yang dibawanya ke hadapan orang – orang yang hadir. Dan, semua hanya bisa terpana … terdiam, ketika Pak Budi mendekati Dicka.

Ketika berbalik, Dicka merasakan ada sebuah benda dingin yang menembus perutnya. Dia melihat darah mengalir membasahi bajunya. Merah …

Semua terkejut menyaksikan kejadian itu. Tubuh Dicka roboh. Darah mengalir cepat menggenangi lantai yang berwarna putih.

“An, aku tahu saat ini pasti akan datang …”

Hingga akhir, Dicka tidak pernah mengerti rencana Tuhan untuknya, dan dia tersenyum.

Hari itu … hari yang tak terlupakan.

TAMAT

Senin, 30 Juni 2008

Disappeared Love

I never forgot that place, a place which always remembered me to someone. My special one. He had filled my heart with much of love until now. I couldn’t force myself to lose him from my brain. I thought, thought and thought him everyday in my life. Oh, my God! May be, I would be a foolish girl because of that.

I was here. I stood in the front of this remembrance place. And, I didn’t know what I did. My head was blank. I just looked on surrounding for a minute. Really didn’t know what to do. Yeah, everything was still same, like when I was in Junior High School. I smell the grass fragrance and got some sense with it. This place always made a beautiful song in my head. Yes, football field saved many memories on my happy and sad story.

I just watched and imagined him again, his smile, his laugh, all about him. I wouldn’t live without his voice in my ears. Slowly, I felt something comeback in my life. My memories replayed like a film. I saw it more and more clearly. I could see him running to me.

Nin, mm…”

“What’s wrong, Sam?” I asked him.

“I am so confused to say it.”

I heard my heart beat fast.

“What will he say? I was thinking it hard. But, I couldn’t find the answer. May he tell his love to me? Here? Now?” I thought it in my brain.

“What do you want? I will be so happy for helping you.”

“Really?”

“Yeah, everything you need.”

“If you say so …”

“I wait your words,” I gave comment.

“Well …”

“Ya?”

“Can you tell Mr. Joko if I won’t come playing football this afternoon?”

“No problem,” I answered.

“I am glad to hear that.”

“By the way, why you can’t go?

Sammy closed his mouth.

“Oops, sorry. It’s my secret.”

“Can’t I know?”

“No, it is very secret.”

“No?”

“No,”

“Let me guess.”

“Up to you, Nin. I am sure you can’t think about it.”

“I will begin! Mm …, you will go with your girlfriend?”

When I asked that question, I really hoped if my question was wrong. Suddenly, I felt confused. While he said “yes”, I didn’t want to cope this reality faster. I was scared.

“Wrong! You know that I haven’t a girlfriend. Next!”

What a relief to find it. I could breathe again.

“So, do you accompany your mother to go to supermarket?”

“Still wrong,” he said that with a happy face.

He tried to tempt! But, how handsome he is.

‘Okay, my last question. You help your friend?”

”No, Nin! You lose. You can’t guess it.”

“I surrender, Sam. It’s not a quiz. Do you understand?”

“Sorry, I don’t.”

“I am sorry, too. I won’t tell Mr. Joko.”

I had walked to go from him when Sammy followed my step.

“Wait! I will say it.”

I stopped and so did he. I saw he was panting after running after me.

“Actually, I am so embarrassed to say that. Well …”

“What!”

“I want to play PS.”

“Play Station?” I almost shouted if Sammy didn’t close my mouth with his hand.

“Sst …” It’s our secret.”

“Oh, Sammy. You are very naughty. I can’t help you.”

“You are like a teacher, Nin.”

“ So? “

“You had promised me!”

“But, I can’t …”

“Of course, you can. It will be our secret.”

“But …”

“Please! You are my best friend.”

“I surrendered and began to talk,” Never mind. I’ll do that.”

“Thank you, Nin.” Bye!”

I trusted if Sammy won’t play PS for twice. I knew he had a high responsibility with all his jobs. I never denied it. He is a good man for everybody, included me!

***

In these three years, I always stayed in the same class with Sammy. And, I didn’t know why. I only realized if God was beside me anytime. Protected and saved my life perfectly. Thanks, God. You had given me a best friend.

Sammy was my best friend I ever had. He made me foolish and happy everyday. His silhouette accompanied me wherever I went. Day after day had left fast. I began realizing my heart. My love for him, and it was bigger and bigger than before. I couldn’t stop it.

Actually, I wanted to tell my feeling. But, I forced myself not to do that. I had no desire to break our relationship. I hoped he had a same heart with me. Just it! I thought like that for a long time, until … something happened. Changed my life to be darkness where there were no candles. I was like in to the other world. I wasn’t here with my friends, because my soul had lost. May be, forever. Yes, my heart never comeback again. I said it ‘a tragic incident’.

I was walking in a beautiful Monday morning when someone called my name. I stopped and turned around fast. And, I saw Sammy was running to get to my place.

“Sammy? Why do you run like that?”

“I was scared you will leave me before I say something.”

“What’s that? Is it important?”

“Sure. It’s very very important for me.”

“Tell me now.”

“I am sorry, Nin. I can’t tell you.”

“Is it a secret?”

Sammy nodded.

“Again?” I didn’t believe it. Too much secret in his life. And, I was disappointed with myself because I couldn’t guess his thinking.

“Let you tell me what happen?”

“I want you watching my truly action this evening.”

“What action? Magic?” I didn’t understand what he said.

“I am kidding. Can you watch me in my football match?” he asked my softly.

“Huh, narcissi.”

“What did you say?”

“Nothing. Forget it.”

“ … “

“Don’t worry, Sam. I’ll see you.”

“At 4 o’clock. Don’t late, okay?”

“I’ll never disappoint you.”

“I trust you.”

“But, what’s going on?”

“It is still my secret. You don’t know yet. Bye.”

“Bye …”

I didn’t know what he wanted to say to me?

“No. No, Nin. Absolutely, there weren’t connections between you and Sammy. We just friend,” I tried to release this weight from my heart,” my God. I hope it won’t be a dream only. Sammy invited me!” I screamed it in my heart.

Everything entered to my head. I never found the answer till I had headache.

“Sam, don’t do this to me!” I said it with myself.

Even, I couldn’t focus my eyes in my lesson. He had filled my body and got my heart.

Suddenly …

“Nin, please! Answer the question number 3,” Mrs. Lydia pointed me.

Oh, she made me get heart attack. Tragically, I didn’t think that task yet.

“What must I do?” I was really confused.

“Why you don’t go to the whiteboard?”

“Immediately, Mam.”

I walked slowly. Didn’t know what must I did. Suddenly, Sandra gave her book, and whispered,” You look so confused. You can bring my book.”

“Thank you.”

Fortunately, Mrs. Lydia didn’t realize what we did. Because of Sandra’s book, I could write the answer succeedly.

***


The bell rang. After taking my books from the desk, I met Sandra.

“San, thank you. You are so kind.”

“That’s right. I’ll be happy helping you.”

“Without your book, Mrs. Lydia will be angry with me.”

“It’s okay.”

“Thank you so much. I like you.”

“I like you, too.”

“Bye, San. Have a nice day.”

“Bye!”

I didn’t know if Sammy watched behind us.


After I went home, I made my face over and wore the most beautiful gown I had.

“You look beautiful, honey,” I heard Mom gave a comment.

“Thanks, Mom.”

“What are you going to do?” she asked me.

“I will watch football match in my school at 4 o’clock.”

“Good luck.”

“For what, Mom?”

But, Mommy didn’t explain it.

“Okay, does she know? It’s impossible. I never tell her about him.”

“It is 03.40. Hurry up!”

“Slow down, Mom. Only 5 minutes to get there.”

“Be careful, sweetie.”

“Bye, Mom,” I kissed Mom charmly.


I arrived there at 03. 45.

“Huff, I am not late yet,” I said.

Immediately, I found the empty lounge and sit there. The players didn’t enter the field yet. I sought Sammy between of his friends.

“Where is he? I can’t find him.”

“Hi, Nin,” A voice shouted near my ear.

“What?” I shouted too. I was taken aback by his act.

“ …”

“Sammy! You scared me.”

“ … “

“Don’t you gather with your friends?”

“Five minutes again.”

“What do you want to tell me?”

“I can’t say it now, Nin,”

“So, when?”

“After this match. Don’t go home. Lose or win, I will tell you.”

“Good luck, Sam.”

Sammy waved his hand to me.


The match began. In my lounge, I prayed for his victory. One hundred minutes had left. Finally, our school win with score 3 – 2. And, two of those goals were from Sammy’s kick. He was so great!

After it finished, he walked to me.

“Hi, Nin.”

“Hi. Do you need tissue?”

“Oh, you can understand me well. I love it.”

Then, I gave it to him. Unconsciously, my hands were shaky.

“Are you alright?” Sammy asked.

“Yes, I am fine.”

I look at surrounding. The field was quiet. Many people had gone home. Only I and Sammy here, and this condition made me nervous.

“Nin, I want to say something important to you.”

“I know that. What’s next?”

“This!” he said that and gave me a letter. A pink letter for exactly.

Twilight came fast than I guess. The sun shined beautifully.

“What letter? For me?” I could almost hear my own heartbeat waiting his answer.

“Sandra.”

“Sandra?” I didn’t believe what I heard.

“Yes.”

“Sandra, our classmate?”

“Is there anyone else beside her?”

“ … “

“ …”

“So, you want me to give this letter to her?”

“Absolutely, I love her, Nin.”

Deg! I felt that the world became ruins in one second. The sun doesn’t appear its shine again. I was in the darkness.

“Where was Sammy? I didn’t see him. My eyes? What was going on to my eyes? It is so dark here,” I said to my heart.

“Nin? What’s wrong with you?” Sammy shook my body.

“Who’s voice? There is someone called me.”

“Nin?”

My soul had comeback.

“Sammy …”

“What’s happen, Nin?”

“I don’t know. What’s matter with me?”

“Don’t you remember?”

I shook my head.

“Suddenly you blacked out. Luckily, I hold you. So, you don’t fall. I catch you now.”

“Sam, I make you bother.”

“No matter. Are you sick?”

“I don’t know what happen with me.”

”Okay, I will bring you home. Just relax! Don’t think something anymore.”

“Thanks, Sam.”

“No problem. I am your friend.”


At my home …

“Mrs. Burhan, Nindya blacked out in the field. I hope she will be better as soon as possible.”

“Thanks, Sam. You are a good boy. Nindya is lucky to get a friend like you.”

“You are welcome, Mam.”

Mom smiled.

“Excuse me. I have to go now. I don’t give news to my parents where I am. May be, they are confused me now. Good evening.”

“Good evening.”


Mom was worried with my condition.

“Nin, you have a nice friend. He brings you safely. He doesn’t hurt you.”

“Sure.”

He had hurt my heart, not my body.

“Mom, may I get alone?”

“Of course, honey. Please, tell me if you need something. Good night and have a nice dreams.”

“Okay.”

Mom left my room. I was alone here. I couldn’t stand with this. I cried for a long time until the dawn came, till the sunrise brought its shine to my window. I shouldn’t accept all of these. It was so pain to remember. But, why I couldn’t forget? Oh, my God! Give me Your way! What must I do to face these bitter facts? Tell me more!


Knock … knock … knock …!

“Wake up, honey. Are you fine?”

There wasn’t answer.

“May I enter your room?”

I was stunned hearing Mom’s voice. I wiped off my tears. I didn’t want Mom knew my problems.

“Wait a minute, Mom.”

I opened my door and saw Mom felt surprised looking my face. Did she know it? I hoped not. But, I usually shouldn’t keep my troubles hidden from her.

“Honey, tell me your problems to me. As your mother, I am asking you. Please!” Mom waited my agreement.

I just kept on silent.

“Wait! Mom won’t enter to the office today. I will accompany my sweet daughter,” Mom added.

I surrendered. I couldn’t lie with her. At last, I told her everything about my feeling to Sammy.

“So, the conclusion is he loves the other girl. Is it right?”

I nodded. “Yes. My heart was broken, Mom!”

Mom caressed my hair softly. I knew that she loved me.

“That will be alright, honey. I am sure you are a strong girl and can face your heart. I know you need a long time, may be one year, two years, but it doesn’t matter. You can forget him! Trust your Mom. You can forget it!”

“But, I see him everyday, Mom. And, he asks me to give his letter.”

“Alright. Give the letter to Sandra. But, you must show if you are fine without him.”

***

“Hi, Sammy.”

“Hi, Nin. Are you okay?”

“Cool it. I am fine.”

“Btw, you have given my letter?” he whispered in my ear.

“Not yet. But, I’ll give it during a break.”

My heart was so pain when I said that. I tried to control my tears. I couldn’t want to cry in front of him. I smiled and he did too.

“Wait my news!” I run leaving him.

During the break, I met Sandra on her desk.

“San, I want to give something for you.”

“Nindya? What is it?”

“This!” I give him that letter and smiled.

“Letter?”

“Yes, a love letter for you from someone.”

“Really? From who?”

“Sammy.” I almost couldn’t say that name. It was pain for me. Then, I said good bye to Sandra. I saw she read it with a happy face. Sandra was very lucky getting Sammy’s love. Of course, they would be happy ever after.

The next day, I heard that Sandra accepted his love. I wouldn’t cheat myself to say if I wasn’t glad with their happiness.

“Nindya!”

There was someone behind me. I knew him. After taking a breath for a while, I turned around to face him.

“Hi, Sam. Congratulation!”

“Yeah, because of your struggle. I can’t get her without your help.”

“It’s okay.”

“Sorry, I disturb you with my demand. Sandra is a calm girl. I don’t have courage to give it directly. You are really my best friend.”

***

Approximately one year later, Sandra and Sammy entered to SMA N 3, while I was in SMA N 1. I chose to separate with both of them. I didn’t stand longer to see them. I tried and I failed. I couldn’t forget him until now. I had to accept if he didn’t love me.

I said good bye to my memory place. But, suddenly I heard somebody called my name.

“Sammy?” I didn’t believe what I saw. I found he stared me. It must be a dream and I would open my eyes soon.

“Nindya? What are you doing here?”

I realize it wasn’t the dream only. He was real and standing in front of me.”

“I miss this place!”

“ … “

“I must go now. Bye!” I run fast, left him alone there.”

“Nindya Novita Sari! Wait me!” I saw Sammy was running after me. I run … and run … until I fell down. I didn’t see the rocks near my feet. I sprained my ankle. I couldn’t walk again now.

“Nindya, what happen with you?”

“My ankle …”

“Let’s go home!”

“Okay and thank you.”

We sit in the football field; saw the sunset together for a minute.

“But, before that … I need to know your reason about your deed. Why do you never replay my phone?” Sammy asked to me.

“I am sorry. I can’t explain it.”

“Why?”

“It’s a secret.”

“Okay, up to you.”

“How about Sandra? Where is she? You don’t bring her along with you?”

“We have separated. We felt not to be made for each other.”

I was only in a silent, waited what would he say.

“Do you know? I am stupid boy. I realize if I love someone else when I leave her alone for a long time. And, she is here in front of me.”

I was so surprised hearing that.

“Yes, Nin. I love you with all of my heart. Can you accept me?”

“I doubt I can’t.”

“Why?”

“ I … I am frightened you will leave me again and again,” I was sad when I told it. Unconsciously, I cried. And, Sammy saw my tears.

“Please, forgive me! I have made too much hurt. I am improper to you.”

I just bowed my head.

“But, I will never surrender for getting you. I promise I won’t leave you alone. I love you, Nin!” Sammy added,” lets go!”

Suddenly …

“I love you, too. I love you, Sam. I can’t live without you.”

Sammy kissed my hand softly, and said,” Will you be my girlfriend?”

“Yes! A thousand times yes!”


In a beautiful twilight in November, I found my truly love.


The End


by Ratna Novita Sari



Rabu, 04 Juni 2008

Adakah Bahagia Untukku? (V)


“An …”
Suara itu, batin Ana dengan kaget …, ternyata ayah sudah pulang.
“Ya, ayah?” tanya Ana sambil berbalik menghadap ke arah ayahnya.
“Kamu sudah berjanji …”
“Ya.”
“Tentunya, kamu nggak akan menghindar.”
Ana merasa badannya lemas dalam sekejap. Dia tidak akan pernah melupakan janjinya pada ayah. Ya, dia memang tidak bisa lagi menghindar. Tidak akan bisa.
Ana memandang langit – langit di kamarnya. Memang, tidak ada apa – apa di sana. Hanya saja, Ana seolah melihat bayangan ayah dengan dirinya sedang berbicara di ruang tamu …
Ketika dia tiba di rumah, ayah sedang membaca koran sambil minum kopi. Padahal, tidak biasanya ayah pulang sesore ini. Namun, untunglah. Ayah pasti bisa menolongnya.
“Ayah!”
“Ada apa?” tanya ayah. Tak sekalipun dia menoleh pada Ana.
“Ayah, aku butuh …”
“Uang? Berapa?”
Ayah seakan bisa membaca pikiran Ana.
“Dua puluh enam juta.”
Ayah sekalipun tak bereaksi ataupun menunjukkan emosinya. Ana menjadi takut.
“Buat apa?” Akhirnya ayah berkata setelah lama berdiam diri. Ana menunggu dengan tegang.
“Buat temanku.”
“Itu saja? Ana, dengar. Ayah tidak akan membantu temanmu jika kau tidak memberi ayah alasan yang masuk akal.”
Ana menyerah. Dia tidak punya pilihan lain. Hanya ayah yang bisa membantunya.
“An, hindari dia.”
“Tapi, ayah…” protes Ana,” dia sudah menolongku.”
“Ya, ayah sudah dengar,” jawab ayah tegas,”Siapa tadi nama temanmu?”
“Dicka.”
“Ayah merasa kamu tidak cocok dengannya. Dia hanya ingin memperalatmu. Kamu tidak pantas bergaul dengannya.”
“Ayah tahu apa tentangku? Tidak ada. Ayah tidak mengerti aku. Aku juga tak pernah mengenal siapa ayah sebenarnya,” keluh Ana dengan suara serak. Ditahannya air mata yang ingin mengalir turun dengan susah payah.
“Kalau begitu, ayah juga tidak bisa membantunya …”
“Ayah …” Hilang sudah satu – satunya harapan. Ana tahu, Dicka bukanlah anak orang kaya. Lagipula, ayahnya sedang bertugas beberapa bulan dan rasanya sungguh mustahil untuk menghubunginya.
“ … kecuali kau mau menerima persyaratan dari ayah.”
Harapan Ana kembali melambung.
“Apa?” tanya Ana dengan semangat.
“Kamu tidak boleh menemuinya. Empat bulan lagi kamu akan kuliah, dan tidak akan bertemu dengannya lagi. Jadi, selesaikan semuanya dari sekarang,” tegas ayah.
“Ya, ayah. Aku janji.”
Apakah aku punya pilihan lain? pikir Ana.
“Ayah tahu kamu sudah dewasa.”
Ana tidak mengerti apa yang dikatakan ayahnya.
Kini, tinggal satu bulan lagi. Ana belum juga mengatakan apa – apa pada Dicka. Dia masih bingung. Reaksi apa yang akan ditunjukkan Dicka nanti? Sedih atau justru tenang – tenang saja?
Mengapa aku berpikir dia akan sedih? Kami hanya teman biasa. Sebentar saja dia pasti sudah melupakanku, pikir Ana.
“Kamu mau ngomong apaan, sih?”
“Aku serius, Ka.”
“Iya. Lalu …”
“Aku akan pergi …”
“Aduh, mau pergi aja harus bilang – bilang. Jangan lupa oleh – olehnya, ya.”
Hati Ana menjadi bimbang. Katakan atau tidak? Dia tidak diberi kesempatan dua kali.
Setelah menghela napas, Ana berkata,”Ka, aku akan pergi sebulan lagi. Jadi, mungkin kita tidak akan bertemu lagi setelah itu.”
“Untuk apa?”
“Kuliah,” jawab Ana singkat.
Dicka terpana. Lalu, dia mengatakan,”Oh, selamat ya. Kamu akan jadi mahasiswi, dong. Kamu kan pintar, nggak kayak aku.”
Ana merasa sedih. Dicka juga. Akan tetapi, mereka tidak mau menampakkan perasaannya masing – masing dengan jujur.
“Aku nggak bermaksud …”
“Udah dulu, ya. Aku mau pergi,” kata Dicka. Dia tidak ingin Ana tahu bila dia sangat membutuhkannya. Selalu membutuhkan kehadiran Ana. Selalu! Selalu! Dan selalu! Saat ini, dia tidak tahan harus berhadapan dengan Ana lebih lama lagi.
“Tunggu …”
“Apa?”
“Nggak ada apa – apa.”
Biarlah perasaan cinta ini terpendam saja di dalam hatiku, batin Ana.

Sesampainya di rumah, Dicka menyalahkan dirinya sendiri.
“Bodoh! Bodoh! Bodoh! Dasar Dicka bodoh. Mengapa aku nggak nyadar?” katanya sambil memukul – mukul kepalanya dengan tangan,” sudah banyak tanda yang ditunjukkan Ana. Apakah semuanya sudah terlambat sekarang?”
Dicka mengenang kembali pertemuan mereka yang aneh. Ana yang menolongnya sewaktu di warung, di arena balap. Dia jadi tersenyum – senyum sendiri.
Ana yang selalu menjaganya, memberinya semangat, dan selalu mendukungnya. Dia lah teman yang selalu ada di sisinya. Tidak seperti orang lain yang baru mengaku sebagai teman di saat suka saja.
Dicka masih ingat saat Ana pernah bilang,”Tuhan itu ada. Dia selalu berada di samping kita. Kita diberi kesehatan yang tak ternilai harganya. Banyak orang kaya yang sakit – sakitan, lho. Terus, buat apa harta mereka? Ka, kamu jangan merusak dirimu sendiri, ya. Buat apa? Nggak bakalan ada gunanya. Tindakanmu justru akan menyusahkan orang lain.”
Lalu, Ana menepuk bahunya pelan.

Saat ini, dia akan pergi dari kehidupan Dicka, mungkin untuk selamanya. Dia tidak tahu harus sedih atau tertawa. Ternyata, Tuhan memang senang mempermainkan dirinya. Bila Ana tidak ada, bagaimana dengannya?
“Apakah aku merasa senang bila dia pergi? Tidak.”
Entah sejak kapan, Dicka berhenti main cewek dan minum. Ana sudah memberi warna dalam hidupnya. Lalu, dia akan kehilangannya begitu saja?
Mengapa dia baru sadar, betapa berartinya seseorang ketika hampir kehilangan? Apakah itu cinta? Cinta yang tidak dipenuhi oleh nafsu.

Keesokan harinya, Dicka bergegas menemui Ana.
“Lho, kenapa matamu?”
“Ah, nggak apa – apa. Aku nggak bisa tidur semalaman.”
“Memangnya kamu sedang mikirin apa sampai nggak bisa tidur?”
“Mikirin kamu.”
“Hah?”
“Aku mencintaimu, An.”
“Tunggu! Tunggu dulu.”
“Apa?”
“Maksudmu?”
“Maksudku, aku benar – benar mencintaimu. Maukah kamu menjadi …”
Ana tentu saja terkejut setengah mati mendengarnya.
“Apa – apaan ini? Kenapa tiba – tiba?”
“Jawabanmu?”
“Ka, kamu lagi demam, ya.”
“Jawabanmu?”
Ana sebenarnya ingin berkata ‘ya’, tetapi lagi – lagi perkataan ayahnya merasuk ke dalam pikirannya.
“Maaf … aku tidak bisa.”
“Kenapa? Bukankah kau juga mencintaiku?”
Jantung Ana sudah benar – benar copot dari tempatnya. Sejak kapan Dicka tahu? Sekarang, sudah tak ada gunanya berbohong.
“Ya, aku memang mencintaimu,” kata Ana dengan pahit.
“Lalu, masalahnya apa? Kita kan masih bisa bertemu saat kau pulang ke rumah.”
“ … tapi, aku sudah berjanji pada ayah,” kata Ana,” bila ayah mau memberiku dua puluh enam juta …”
Ana terkejut sendiri. Apa yang sudah dikatakannya tadi? Namun, untunglah Dicka tak mungkin tahu soal itu.
“Jadi, kau yang … Katakan, An. Ngapain kamu melakukannya. Aku nggak butuh pertolonganmu.”
Dicka tampak sama kagetnya dengan Ana.
“Ka, aku takut. Aku sudah tak punya jalan lain. Aku tak mau kehilanganmu. Yah, setidaknya aku bisa melihatmu sampai hari ini,” kata Ana seraya mencoba untuk tersenyum, walau saat itu dia ingin menangis.
Sebenarnya, Dicka ingin memeluk Ana dan membisikkan kata – kata bahwa semua akan baik – baik saja. Akan tetapi, ternyata dia hanya terpaku di tempatnya saja, hingga Ana berkata,”Besok aku akan berangkat.”
“Secepat itu?” tanya Dicka kaget.
“Ya, keberangkatanku dipercepat satu minggu.”
Hening.
Sesaat kemudian,”Jadi, lupakan aku.”
Ketika mengucapkanya, hati Ana seperti teriris sembilu. Rasanya pedih sekali.
“Ya, bila kau takdirku, suatu saat, entah kapan, entah dimana, kita akan bertemu lagi. Dan, aku nggak akan melupakanmu.”
Dicka benar – benar paham, dirinya tak mungkin pantas untuk Ana. Dia terlalu tinggi untuk digapai.

Ana mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Perasaannya mengatakan bahwa Dicka ada di dekatnya, sedang memandangnya.
“Kamu lihat apa? Cepat naik!”
“Ya, ayah.”
“An, ayo!” seru ibunya.
Ana bergegas menuju ke dalam mobil. Sekali lagi, diedarkan pandangannya. Tiba – tiba, matanya terpaku pada sosok seseorang yang sedang berdiri di balik rimbunnya pepohonan.
Dicka sedang memandang ke arah mobil … seakan ingin menembus kaca mobil yang gelap untuk memandang Ana. Dan, Ana ingin sekali berlari menghampirinya, tetapi saat itu mobil sudah melaju meninggalkan halaman rumah.
Maafkan aku, dirimu akan selalu tersimpan di hatiku, batin Ana … setelah yang kita alami bersama.

Sepeninggalan Ana, hidup Dicka menjadi kacau dan hampa. Diacuhkannya saja teman – temannya yang mengajakanya balapan. Dia tidak menginginkan apapun. Dia hanya ingin bersama Ana. Senyumnya, tatapan matanya, suaranya, semuanya. Mengapa dia merasa tersiksa begini?
Ya, dia memang harus mengakhiri semuanya.
Saat membuka mata, Dicka sudah berada di rumah sakit. Dan, ayahnya sedang terkantuk – kantuk di sampingnya. Menunggunya? Lalu, sejak kapan ayah pulang? Dan, mengapa dia tidak ingat sama sekali apa yang menimpanya. Dicka termenung sendirian. Rasanya, dia seperti baru saja terbangun dari tidur yang panjang.
“Dasar anak tidak tahu diri. Bagaimana kalau Ayah tidak pulang tadi!” teriak ayahnya.
“Pak, harap tenang,” kata salah seorang perawat.
“Maaf,” jawab Ayah, tanpa mengurangi volume suaranya.
“Emangnya aku kenapa?” tanya Dicka bingung.
“Seharusnya Ayah yang tanya. Mengapa kamu melakukannya?”
“Melakukan apa?”
“Lihat tanganmu,” jawab Ayah dengan jengkel.
Dan, ketika melihat perban di tangannya, Dicka kembali mengingat semuaya. Semua masalah yang bertumpuk di pikirannya, hingga dia memutuskan untuk …
“Ngapain Ayah nolong Dicka segala?” protesnya,”aku ingin mati saja. Aku sudah terlalu lelah …”
Plak ! Sebuah tamparan mendarat di pipi Dicka.
“Ayah …”
Ayahnya sudah tak mempedulikan lagi pandangan kaget di sekeliling mereka.
“Tapi, bukankah ayah lebih senang jika aku menghilang selamanya?”
“Dicka, hanya kamu satu – satunya milik ayah di dunia. Bagaimana ayah bisa hidup tanpamu? Ayah sangat menyayangimu,” kata Ayah sambil memegang tangan Dicka yang gemetar.
“Tapi, bukankah selama ini …”
“Sssst … sudahlah, nak. Masalah itu jangan diungkit – diungkit lagi,” kata ayahnya lembut.
Sejak kapan terakhir kali Ayah memanggilnya dengan sebutan ‘nak’? Dicka sudah tak mengingatnya lagi.
“Ayah akui bila selama ini ayah yang salah karena telah mengacuhkanmu. Ayahmu ini gagal. Maaf, nak. Ayah membiarkanmu tumbuh sendirian.”
“Ya! Ayah memang keterlaluan, mau menang sendiri …!”
Dicka tidak jadi meneruskan kata – katanya ketika dia melihat ayah memandangnya dengan tatapan kosong.
“Ayah?”
Tiba – tiba Ayah berkata,” Bila melihatmu, ayah selalu merasa sedang berhadapan dengan perempuan itu.” Dan, Dicka melihat ada rasa sakit di mata ayah.
“Siapa? Ibu?” tanya Dicka.
“Jangan menyebut – nyebut namanya lagi.”
Dicka langsung terdiam tak berkomentar.
Kemudian, katanya,” Ayah tidak berharap banyak bila kamu mau memaafkan ayah. Kamu sudah terlalu banyak disakiti.”
Dicka merasa bimbang. Di satu sisi, dia benar – benr ingin memaafkan ayahnya, tetapi dia masih ingat dengan jelas bagaimana ayah menghajarnya tanpa belas kasihan.
Namun, tiba – tiba dia teringat dengan perkataan Ana.
“Maafkan Dicka juga, Yah. Selama ini aku nggak pernah membuat Ayah merasa bangga.”
Ya, harus ada kesempatan kedua bagi kita berdua, batin Dicka. Dan, mereka tersenyum. Senyuman yang penuh kelegaan.
Memang tak ada pelukan hangat. Namun, saat itulah Dicka merasakan kehangatan yang mengalir ke dalam hatinya. Dia tahu … salah satu kebahagiaannya telah kembali. Ayah menyayanginya, mengkhawatirkannya.
“Ayah, aku akan mencoba untuk berubah.”
“Ya, ayah juga.”
Sejak saat itu, Ayah sungguh – sungguh membuktikan ucapannya. Begitu juga dengan Dicka. Dia tidak ingin membuat ayahnya kecewa.
Bersambung ...