Senin, 01 Juni 2009

Rama dan Sinta

Rama : “Penjaga! Bawa Laksmana kemari!”
Penjaga : “Baik, Tuan. Segera saya laksanakan.”
Beberapa saat kemudian, Laksmana dibawa menghadap Rama.
Laksmana : “Kakanda … (mendekati Rama)
Rama : “Berlutut!”
Laksmana pun menuruti perkataan kakaknya.
Laksmana : “Kakanda, saya …”
Rama : “Sudahlah, tidak perlu kau jelaskan lagi. Aku sudah tahu. Hanya satu yang aku sayangkan. Kau telah tega mengkhianati kepercayaan yang sudah aku berikan.”
Laksmana : “Bukan! Saya tidak berselingkuh dengn Sinta.”
Rama : “Lalu apa? Bagaimana kau bisa menjelaskan kemesraanmu sewaktu kalian berada di taman?”
Laksmana : “…”
Rama : “Sudah cukup aku bersabar menghadapi kelakuanmu!” (Rama melemparkan kendi yang ada di dekatnya tepat ke kepala Laksmana)
Laksmana hanya diam saja walaupun kepalanya mulai berdarah. Dia tidak melawan sedikitpun.
Rama : “Kenapa kau diam saja, Laksmana? Apakah kau tidak berani melawan?”
Laksmana : (menunduk) ”Maafkan Laksmana jika telah membuat Kakanda kecewa.”
Rama : “Jangan panggil aku Kakanda. Mulai sekarang, kamu bukanlah adikku lagi. Aku tidak akan mengakuimu!”
Laksmana : (mendongak dengan terkejut) “Tapi Kakanda!”
Rama membalikkan badannya. Hening sesaat.
Laksmana : “Kakanda …” (lirih)
Rama : “Jangan panggil aku Kakanda” (dengan suara sedingin es)
Laksmana : (putus asa) “Kumohon percayalah pada saya. Saya tidak melakukan perbuatan seperti yang dituduhkan, Kakanda. Bagaimana caranya agar Kakanda percaya?”
Rama diam saja. Beberapa saat kemudian, dia melemparkan sebilah pisau ke arah Laksmana. Laksmana memandang pisau itu dengan mata berkaca-kaca.
Laksmana : “Kakanda … pisau ini …”
Rama : “Ya, Laksmana. Itu pisau Ayah. Dan, sekarang aku ingin menggunakannya.”
Laksmana : “Tapi, untuk apa?”
Dalam beberapa detik, Laksmana terkejut dengan apa yang dia pikirkan. Apakah kakaknya …
Rama : “Kau bukan seseorang yang bodoh, Laksmana. Kamu pasti tahu apa yang kuinginkan.”
Laksmana : (dengan suara sendu) “Dulu, sewaktu masih hidup, Ayah pernah mengatakan bila pisau itu berbahaya, karena … sebelum digunakan harus dilumuri dengan darah saudara kandungnya sendiri.”
Laksmana mengatakannya dengan suara yang teramat berat.
Rama : “Apa jawabanmu?”
Laksamana terdiam. Ternyata, Kakanda tidak pernah mempercayainya. Dan, sekarang kakaknya menginginkan kematiannya. Apakah dia mempunyai pilihan lain? Apakah dia sanggup menolak permintaan kakaknya?
Laksmana : “Kakanda, suatu kehormatan bila saya dapat melakukannya. Apakah tidak ada lagi tali kasih yang menghubungkan kita berdua?”
Laksmana tersenyum. Namun, dia sudah tidak sanggup lagi menahan air mata yang mengalir dan meleleh di pipinya.
Laksmana : (membatin dalam hati) “Ayah, kau selalu mengajarkanku bahwa seorang pria pantang untuk menangis. Tapi, Ayah … untuk kali ini aku tidak bisa lagi menuruti kata-kata Ayah. Ayah, apakah setelah aku menghilang dari dunia ini, aku bisa bertemu dengan Ayah kembali?”
Sesaat kemudian,
Laksmana mengambil pisau yang berada di dekatnya. Tangannya bergetar, sebisa mungkin dia memegangnya dengan erat.
Laksmana : “Maafkan saya Kakanda kalau selama ini saya selalu merepotkan Kakanda dan telah membuat Kakanda marah.”
Laksmana mengarahkan pisau itu tepat ke jantungnya. Dia memejamkan mata. Sedangkan, Rama tidak bergeming dari tempatnya. Crepp! Suara itu memenuhi seluruh ruangan, menggetarkan dada. Laksmana ambruk di tempatnya. Darah segar tampak mengalir deras membasahi lantai. Napas Laksmana terengah-engah. Dia tidak tahu apakah dia bisa memasuki pintu surga?

Tiba-tiba, Sinta masuk dengan setengah berlari.
Sinta : “Rama, apa yang telah kau lakukan terhadap Laksmana? Bukankah dia adikmu sendiri?”
Sinta mendekati Laksmana dan meletakkan kepalanya di pangkuan Sinta.
Sinta : “Cepat tolong dia, Rama. Kalau tidak cepat-cepat, dia tidak akan hidup.”
Rama : “Biarkan saja dia mati. Aku tidak pernah mempunyai adik yang selingkuh dengan iparnya sendiri.”
Sinta : “Kami tidak berselingkuh …”
Rama : “Omong kosong.”
Sinta : “Rama, aku akan melakukan apa saja! Ya, aku akan melakukan apa saja asal kamu mau menyelamatkan Laksmana.”
Rama : “Sebegitu pentingkah Laksmana bagimu?”
Sinta : “Bukan begitu. Aku mencintaimu, Rama. Tapi, hari ini … aku tidak mengenalmu. Entah hilang kemana Rama yang sangat kucintai.”

Rama tidak menanggapi. Hari itu, bumi kehilangan seorang ksatria. Sejak saat itu pula, setiap hari Sinta mengalirkan air mata mengenang Laksmana. Tidak ada lagi senyuman yang menghiasi wajahnya. Mendung selalu menggelayuti dirinya. Apakah karena kesalahannya, Laksmana … . Sinta tidak sanggup lagi menghadapi hidup.

Di kamar Rama dan Sinta …
Rama : “Sinta, sekarang hanya aku yang memilikimu. Tidak akan ada orang yang sanggup memisahkan cinta kita. Sinta membeku, ternyata …
Sinta : “Cinta apa, Rama? (suara dingin). Aku sudah tidak mengenalmu. Kamu siapa?”
Rama mendekap Sinta dari belakang. Namun, Sinta tidak bergeming, tidak menanggapi, tetapi tidak pula menolak.
Sinta : “Mengapa kau tega membunuh Laksmana?”
Rama : “Sinta, aku tidak membunuh, tetapi dia sendiri yang melakukannya.”
Sinta : “Tidak ada bedanya bagiku.”
Setitik air mata membasahi tangan Rama.
Rama :”Jadi, kau masih mencintai Laksmana? (melepaskan pelukan Sinta)
Sinta : “Kamu tidak adil pada kami. Kamu tidak mendengarkan penjelasan kami.”
Rama :”Jadi, apa maumu sekarang?”
Sinta : “Aku akan pergi darimu. Aku tidak sanggup lagi melihat kekejaman yang kau lakukan. Aku sudah tidak tahan lagi, Rama.
Rama : “Itukah yang kau inginkan?”
Sinta mengangguk.
Rama : “Tidak bisa! Kamu harus tetap disini bersamaku. Aku mencintaimu, Sinta. Apakah kau tidak juga mengerti?”
Sinta : “Kalau kau mencintaiku, lepaskanlah aku …”
Sinta melangkah pergi meninggalkan Rama. Namun, sebelum mencapai pintu, Sinta merasakan ada sesuatu yang menancap di punggungnya. Ketika berbalik, dia melihat Rama masih memegang busur.
Rama : “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi, Sinta. Dengan begini, seumur hidup hanya aku yang pernah memilikimu. Hahaha …” (tawa Rama membahana memenuhi seisi ruangan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar