Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 05 Maret 2014

Bila Esok Hari Menjelang


Karya : Ratna Novita Sari 

Pagi itu, Wulan tergesa - gesa menuju kelasnya, dia tidak ingin terlambat mengikuti ulangan kimia Pak Narto, si guru killer itu, karena selangkah saja di belakang beliau, jangan harap diperbolehkan memasuki kelas. Wulan melirik jam sekilas, pukul 07. 05, itu artinya bel sudah berbunyi 5 menit yang lalu, dengan harap – harap cemas, ia mempercepat langkah kakinya.
Tiba – tiba, Pak Narto muncul di ujung koridor, kontan Wulan berlari sekuat tenaga menuju kelasnya. Dan lucunya, begitu melihat Wulan lari – larian menuju kelas dari arah yang berlawanan, beliau ikut mempercepat langkah kakinya. Tapi syukurlah, pertandingan adu cepat – cepatan masuk kelas itu, akhirnya dimenangkan oleh Wulan. Dengan senyum penuh kemenangan dan nafas ngos – ngosan, Wulan memasuki kelas.
“ Gila kamu, Lan ! Di hari sepenting ini kamu masih aja telat, “ kata Sita, teman sebangkunya, heran.
            “ Hehe….., sory, kamu kan tahu kalau aku emang nggak bisa bangun pagi, “
“ Gimana coba kalau tadi kamu nggak boleh masuk kelas, bisa mati aku sendirian,” sungut Sita.
Pak Narto mulai berkeliling membagikan kertas soal. Hmm, 70 soal dalam waktu 1 jam, lumayan juga. Wulan dengan segera mulai mengerjakan dengan serius, begitu juga teman – temannya yang lain. Pukul 09. 30, bel berbunyi 3 kali, tapi tidak ada yang bergeming, masih sibuk tengok kanan dan kiri.
“ Ayo anak – anak ! Kumpulkan, kalau tidak saya tinggal !, “ ancam Pak Narto.
Wulan melenggang mengumpulkan lembar jawabnya di saat teman – temannya yang lain memanfaatkan situasi yang ramai ini untuk mencontek.
“ Gimana, Lan ? Sukses ?, “ tanya Adi.
Insyaallah, “ jawab Wulan sambil tersenyum lebar.
“ Pintere cah iki, “ sambung temannya yang lain.
Wulan memang tergolong anak yang cerdas, tapi dia bukan anak yang rajin, lihat saja nilai sejarah atau biologinya, berbeda jauh dengan nilai – nilai IPAnya yang gemilang.
***
Malamnya, Wulan menginap di rumah Sita, mumpung besok ada libur sehari, sekalian untuk mengerjakan makalah Biologi.
“ Kadang aku iri dengan kamu, Lan , “ kata  Sita tiba – tiba, saat mereka hanya berdua di kamar.
Wulan hanya tersenyum kecut.
“ Kamu cantik, pinter, supel, ….., “ tambah Sita.
“ Stop….stop, aku nggak mau dengar, “ potong Wulan.
“ Kamu seakan nggak pernah punya masalah, Lan, itu yang paling bikin aku iri sama kamu, sedangkan aku, kamu tahu sendiri kan ? Segudang masalah selalu setia menemaniku setiap saat, bahkan untuk saat ini. Tapi kamu ? Seakan Tuhan nggak adil melimpahkan semua masalah padaku, “ kata Sita menumpahkan uneg – unegnya.
Wulan terdiam, agak lama, sampai Sita mengira dia sudah tidur. Tapi akhirnya, terdengar suara Wulan, pelan.
“ Kamu jangan punya pikiran begitu, Sit. Tuhan toh menciptakan berbagai orang dengan kelebihan dan kekurangan masing – masing. Aku justru ingin seperti kamu, begitu mudah kamu dapat mengekspresikan perasaanmu. Kamu manis dan terlihat lemah, itu dua sifat yang membuat semua laki – laki  selalu ingin melindungi kamu. Dan senyummu, ah, seperti seorang bayi, polos dan tanpa dosa. Tak seorang pun bisa membenci kamu. Sungguh, aku ingin seperti kamu, “
“ Semua orang mengira aku anak yang kuat, tak punya masalah sama sekali. Padahal, apa kau tahu ? kalau segudang masalah mungkin hadir di benakku saat ini? Apa kau tahu rasanya sakit sekali saat kau harus tersenyum saat hati ini ingin menangis ?, “
Kini giliran Sita yang terdiam. Lama.
“ Lan, …., “ panggil Sita pelan, tapi Wulan tidak menyahut. Sita mengira Wulan sudah tidur, kemudian dia menyusul.
Tapi sebenarnya Wulan tidak tidur, untung lampu kamar sudah dimatikan, sehingga Sita tidak tahu kalau dia hanya pura – pura. Wulan mulai memikirkan hidupnya sendiri. Tanpa terasa ingatannya kembali ke satu tahun yang lalu. Dia masih kelas 1 SMA waktu itu. Saat itu tengah malam, dia sedang belajar di kamar, saat dia mendengar suara gaduh dari kamar orang tuanya. Wulan tidak berani mendekat dan bertanya apa yang terjadi, tapi mau tak mau hal itu menyita perhatiannya dan membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya.
Keesokan harinya, dia melihat mata ibunya sembab. Dan ayahnya tidak ikut sarapan seperti biasanya. Saat dia bertanya apa yang terjadi, ibunya hanya tersenyum dan menjawab ayahnya piket pagi. Tapi, dia bukan anak kecil seperti dua adiknya yang lain, yang gampang dibohongi, dia tahu persis kalau ibunya pasti menangis semalaman sampai merah seperti itu, dan itu pasti gara – gara ayahnya. Dia tidak berani bertanya lebih lanjut karena khawatir menyinggung perasaan ibunya. Toh malam harinya ayah pulang ke rumah, dan suasana berlangsung seperti biasa. Dia hanya berani bertanya dalam hati dan menebak – nebak apa yang terjadi.
Seminggu kemudian, hal itu terulang lagi. Disusul dengan bantingan pintu dan deru mobil ayahnya keluar. Dia memberanikan diri menemui ibunya. Terlihat, ibunya menangis sesenggukan di atas kasar..
“ Bu, ….,” kata Wulan, pelan.
“ Wulan ? Ada apa, sayang ?, “ spontan ibunya menghapus bekas air matanya.
“ Sebenarnya apa yang terjadi, Bu ? Wulan bukan anak kecil lagi. Wulan tahu ada sesuatu yang terjadi diantara ibu dan ayah. Wulan ingin tahu, apa ayah yang menyebabkan ibu seperti ini ?, “ tanyanya.
“ Di mana adik – adikmu, Lan ?, “
“ Ibu tenang saja, Nena dan Dodi sudah tidur dari tadi, “ jawabnnya.
Tak disangka, ibunya memeluknya, dan menangis sesenggukan. Wulan membiarkan ibunya menangis sampai lega. 10 menit kemudian, ibunya menceritakan sesuatu yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
“ Baiklah, karena kamu sudah besar, ibu akan menceritakannya padamu. Ayahmu mempunyai wanita lain,” kata ibunya pelan, air mata kembali menetes di wajah ibunya.
Saat mendengar itu, bumi yang dipijakinya seakan runtuh. Anak mana yang tidak sakit hati melihat ayahnya mempunya wanita idaman lain. Untuk sesaat dia hanya terdiam, tak tahu harus berkata apa.
“ Ibu diberitahu Bu Bekti, kalau ayahmu membelikan wanita itu rumah  di samping rumahnya. Semula ibu juga tidak percaya, tapi saat ibu tanyakan, ayahmu mengakuinya, “
“ Tapi, kenapa bisa Bu ? Kenapa ayah berbuat seperti itu ?,”
“ Mungkin ibu yang salah tidak bisa memuaskan ayahmu, “
“ Tidak ! Ayah yang salah ! Ayah yang mudah tergoda ! Ibu adalah wanita yang sempurna bagi Wulan, “ teriak Wulan..
 Tapi ibu mohon sayang, jangan sampai adik – adikmu tentang hal ini, “
“ Iya bu, Wulan janji, “
“ Dan jangan sampai ayahmu tahu kalau kamu sudah mengetahuinya, ibu tidak ingin kamu bertengkar dengan ayahmu, Nak, ibu ingin kamu tetap menghormatinya seperti dulu, “ pinta ibu.
Wulan hanya terdiam, dia tidak bisa janji untuk soal ini.
“ Tapi, bagaimana bisa Wulan menghormati seorang ayah yang telah mengkhianati keluarganya, Bu ?, “
“ Dia tetap ayahmu, Sayang, dan kamu wajib menghormatinya, “
Malam itu, Wulan tidak bisa sejenak pun memejamkan matanya. Ingin rasanya ia memarahi ayahnya, tapi apa bisa ? Apa ia punya keberanian untuk itu ? Dia tidak mengerti kenapa ayahnya bisa melakukan perbuatan yang memalukan itu. Selama ini dia mengenal ayahnya sebagai sosok yang dekat dengan keluarganya. Seorang suami dan ayah yang baik. Dia tidak bisa mengerti.
Dua bulan kemudian, ayahnya berjanji untuk memutuskan wanita itu dan kembali pada keluarganya. Ayahnya mengaku khilaf dan ibunya memaafkan. Sebuah alasan yang klise. Tapi, semenjak malam itu, rumah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuknya. Karena bagaimanapun, hal itu mempengaruhi sikapnya pada ayahnya, Dia dan ayahnya layaknya orang asing, tidak pernah ada kehangatan seperti dulu lagi. Ayahnya juga merasakan perubahan sikapnya dan pernah menanyakan alasannya, tapi ia berusaha menutupinya dan mengatakan tidak ada apa – apa. Ayahnya toh tetap berusaha menjadi seorang ayah yang baik di depan anak – anaknya, tapi dia tidak bisa menghormati ayhnya seperti dulu lagi. Satu – satunya hal yang membuat ia bertahan di rumah itu adalah ibu dan adik – adiknya.
Lamunannya buyar oleh dentang jam dari ruang tengah. Berbunyi 12 kali. Dan Wulan mulai memejamkan matanya, berharap esok hari akan lebih baik.
***
Keesokan harinya, bukan kedamaian yang Wulan dapat saat ia pulang ke rumah, justru pertengkaran hebat antara ayah dan ibunya, kali ini bahkan terang – terangan di depan adik – adiknya. Ternyata selama ini ayahnya masih berhubungan dengan wanita itu dan ibu baru mengetahuinya. Tentu saja ibunya tidak lagi menahan emosi dan langsung mendampratnya. Sebagai anak tertua, tentu saja dia tidak  bisa tinggal diam melihat ibunyadiperlakukan seperti itu.
“ Ayah ! Wulan mohon, jangan kembali lagi ke wanita itu, keluarga ini membutuhkan ayah, “ pinta Wulan.
“ Diam ! Anak tidak usah ikut campur urusan orang tua !, “ bentak ayahnya.
“ Kemana ayah yang selama ini Wulan kenal ? Sekarang ayah tak lebih dari seorang pengkhianat !, “
Plok, sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Wulan.
“ Pukul saja Wulan sampai Ayah puas, asal ayah tidak kembali pada wanita jalang itu !, “
Ayahnya terdiam, kemudian pergi dari rumah. Satu minggu kemudian, ayahnya pulang dan berbicara empat mata dengan ibunya. Ayahnya ingin menikahi wanita itu dan menjadikannya istri kedua. Tapi ibunya menolak dan memilih untuk bercerai. Ibunya tidak kuat kalau di madu, dan harga dirinya sebagai seorang wanita tidak mengijinkan untuk itu.  
Tiga bulan kemudian ayah dan ibu Wulan resmi bercerai. Meskipun ibu selalu terlihat sedih, tapi tampaknya tetap lebih baik dibandingkan ketika bersama ayah. Wulan dan adik – adiknya selalu berusaha membuat ibu mereka bahagia dengan caranya masing – masing. Meskipun tidak bersama lagi, ayah tetap mengirimkan bantuan untuk pendidikan Wulan dan adik – adiknya.
Di mata teman – temannya tidak ada yang berubah dalam diri Wulan kecuali sekarang dia tampak lebih pendiam dan dewasa dalam menyikapi apapun. Wulan tidak ingin menjadi anak cengeng dan hanya meratapi nasib hidupnya. Dia bertekad untuk menjadi sumber kekuatan bagi ibu dan adik – adiknya.
Tak ada waktu untuk meratapi kesedihan. Hidup bagi Wulan adalah bagaimana membuat ibu dan adik – adiknya bahagia. Dalam setiap keterbatasan, Wulan dan adik– adiknya berusaha mencari secercah harapan untuk hidup lebih baik di kemudian hari.

Kamis, 21 Oktober 2010

Pangeran Katak

“Tuhan, mengapa semua menjadi begini? Aku merasa tidak akan sanggup lagi menjalani hidup, Tuhan. Apa yang harus kulakukan? Hidupku tidak pernah sama lagi sejak dia meninggalkanku,” keluhku dalam hati.
Sudah berpuluh tempat aku jelajahi untuk melupakan Gilang, tetapi hasilnya nihil alias nol besar. Percuma saja! Walaupun dia pergi ke ujung dunia atau kemanapun, bayangan Gilang selalu tampak di depan mataku. Menghantuiku!
Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Hening. Hanya ada angin yang berhembus perlahan dan membelai rambutku. Mengingatkanku kembali akan masa-masa indah bersamanya. Aku tertawa sekaligus menangis.
“Putri …”
Tiba-tiba ada sepotong suara yang mengagetkanku. Namun, tidak ada siapapun di padang rumput ini. Sama sekali tidak ada satupun manusia di sini. Dan, aku mulai berpikir yang tidak-tidak.
“Jangan-jangan, ada …,” aku tidak sanggup meneruskan ucapannya. Lututku bergetar hebat, jantungku pun ikut berdebar kencang, bahkan kesedihanku tadi menguap begitu saja entah kemana.
“Putri …”
Suara itu memanggilku lagi. Kini aku benar-benar tidak bisa bergerak. Semua anggota tubuhku seketika telah menjadi batu. Berdiri pun tidak sanggup, apalagi berteriak minta tolong.
Setelah sekian menit berubah menjadi patung, aku akhirnya bisa mengeluarkan suara juga.
“Ka … kamu siapa?” kataku seperti orang yang sedang tersedak.
Hening beberapa saat.
“Aku ada di sini, Putri. Di dekat sepatumu.”
Hah? Aku hanya terbengong mendengarnya. Kuarahkan juga mataku untuk melihat ada apa di kakiku.
“Kataaaaaak,” tanpa sadar aku berteriak sekencang-kencangnya. Setelah agak tenang, otakku mulai berpikir. Bagaimana mungkin ada seorang katak hijau yang dapat berbicara? Ini kan bukan negeri impian. Bukan negeri dongeng seperti dalam buku-buku cerita yang pernah kubaca sewaktu kecil. Apakah ini nyata? Kucubit pipiku untuk memastikan bahwa semuanya hanyalah mimpi belaka, dan aku akan segera terbangun di tempat tidurku yang nyaman.
Aduh! Pipiku terasa sakit. Dalam sekejap, dunia seakan berputar di sekelilingku.
“Putri, kamu tidak apa-apa?”
“Jangan panggil aku putri. Aku bukan putri,” aku berteriak pada katak itu.
Kaget, bingung, takut bercampur aduk menjadi satu dalam diriku.

“Ibu, aku pulang,” kataku seraya menenangkan diri. Menganggap bahwa apa yang kualami setengah jam yang lalu hanyalah ilusi semata. Titik!
“Kamu makan dulu sana.”
“Iya.”
Setelah makan, aku kembali ke kamar. Namun, aku melihat seekor makhluk sedang bertengger di atas kasurku.
“Kyaaa,” aku berteriak kencang.
“Ada apa, Ndin? Ada apa?” kata Ibu berlari penuh kepanikan menuju kamarku.
“Tidak. Tidak ada apa-apa kok, Bu. Tadi aku cuma kaget liat katak di atas tempat tidur. Tapi, sekarang kataknya sudah pergi, kok. Maaf, Bu.”
“Cepetan tidur. Sudah malam,” jawab Ibu.
Aku mengangguk.
“Bagaimana katak bisa masuk ke kamarku?” tanyaku heran. Namun, ketika melihat jendela kamarku yang masih terbuka, aku langsung diam.
“Pergi!” Aku mengarahkan sapu ke tubuh katak itu.
Akan tetapi, suara itu tiba-tiba terdengar lagi.
“Jangan, Putri!”
Sapuku mengawang di udara.
“Kamu bisa berbicara?” tanyaku terbata.
“Iya, Putri.”
Aku tidak berani berkata apa-apa. Seakan kakiku sudah terpaku di lantai. Mau lari pun rasanya tidak sanggup.
“Kamu siapa?”
“Aku, Putri?”
“Siapa lagi?”
“Aku Pangeran Suryo.”
“Hah?”
Mana mungkin? Saat ini kan sudah modern, mana ada cerita dongeng seperti itu? Aku tertawa. Sampai-sampai rasanya tidak bisa berhenti.
“Aku serius, Putri.”
“Katak, aku bukan Putri,” kataku pada katak itu sambil terus tersenyum. “Aku Andin.”
“Aku serius, Putri Andin.”
“He … he … he …, jangan panggil aku Putri. Tidak cocok, dan aku bukanlah putri.”
“…”
“Jadi, bagaimana Pangeran bisa kembali menjadi manusia? Berarti, harus ada seorang cewek yang mencium Pangeran, ya?”
“Mungkin.”
“Hah? Beneran?”
“Mana aku tahu.”
“Pangeran mau kucium? Sini!” kataku setengah bercanda.
“Ogah! Dicium cewek seperti kamu bisa mati aku!” Nah nah, mulai muncul sifat asli seorang pangeran. Ga elit!
“Ih, menghina. Ya sudah, terserah Pangeran. Sana! Minggir dari kamarku! Pangeran tidur di lantai saja! Makan tuh nyamuk!”
“Kamu berani kasar dengan Pangeran! Biar kalau aku menjadi manusia lagi, aku akan menyuruh pengawalku untuk menangkapmu! Seorang Pangeran tidak mungkin tidur di lantai! Kamu saja yang tidur di lantai!”
“Apa? Ini katak berani ngatur-ngatur! Tidak bisa. Pangeran harus minggir. Siapa tahu Pangeran cuma ngaku-ngaku, aku kan tidak tahu.”
“Tiba-tiba, suara Ibu mengagetkanku.
“Andin, kamu bicara dengan siapa?” seru beliau dari luar kamar.
“Nggak kok, Bu. Aku cuma ngomong sendirian.”
Kruyukkk.
“Ndin, suara apa itu?”
“Oh, malam dingin begini membuatku lapar lagi.”
“Ya, sudah. Di dapur masih ada makanan.”
“Makasih, Bu.”
Aku pun mengambil makanan, melewati kamar Ibu. Untunglah, beliau sudah kembali tidur.
“Nih, makanan. Pangeran lapar, kan?” Aku menyodorkan sepiring makanan ke dekat kaki katak itu.”
Aku tersenyum. Aku seperti menemukan mainan baru. Dan, aku seakan merasa bagaikan seorang putri dari negeri dongeng. Ya, walaupun tidak mungkin menjadi nyata.
Sambil mengunyah makanan, katak itu berkata,” Hmm, makanannya enak sekali. Ibumu memang pandai memasak.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Tidur sana! Pangeran di bawah, aku di atas.”
“Nggak bisa. Kita tidur sekasur saja. Biar lebih gampang. Masa Pangeran tidur di lantai?”
“Dasar Pangeran manja! Siapa tahu sebenarnya kamu ini cuma tukang becak.”
“Jangan berani kurang ajar ya sama Pangeran!”
Karena kelelahan, aku tertidur dan nggak mikirin lagi pangeran tidur dimana.

Keesokan pagi …
“Selamat pagi, Ndin.”
“Pagi,” jawab Andin.
Ketika membuka mata, Andin hampir pingsan melihat seekor katak telah berada di atas selimutnya.
“Aaaa …,” Andin berteriak sekencang-kencangnya, tetapi beberapa detik kemudian, dia menutup mulutnya sendiri. Takut mengganggu orang rumah yang masih terlelap.
“Pangeran jangan seenaknya gitu, dong. Masa baru membuka mata, aku langsung melihat sepasang mata yang memandangku,”protes Andin marah,” mentang-mentang pangeran bisa berbuat seenaknya. Kalau aku mati kena serangan jantung, pangeran lah yang akan aku hantui.”
“Suka-suka, dong. Oh ya, banyak yang salah, tuh. “
“Hah?” Andin tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Pangeran.
“Matematika dan Bahasa Inggris. Aku liatnya sambil menahan tawa, lho. Masa soal-soal segampang itu saja nggak bisa.”
“Emang umur Pangeran sekarang berapa?”
“…”
“Berapa?”
“17 tahun.”
“Hah, berarti kita sebaya, dong.”
“Iya, yang membedakan kita, kamu tuh bodoh, sedangkan aku pinter.”
“Nyebelin banget nih Pangerab. Padahal, pangeran yang berada dalam impianku selalu ramah, sopan, pengertian, tampan, dan punya segudang kebaikan lainnya. Wew! Tapi, Pangeran yang satu ini beda banget dari harapan,” kata Andin dalam hati.

“Pangeran, makasih ya,” Andin tertawa-tawa ga jelas gitu di depan seekor katak. Kalau ada yang melihat, pasti bakal menyangka kalau Andin sudah sakit jiwa. Untunglah, saat itu dia sedang ada di kamar.
“Nih, makanan enak buat Pangeranku.”
“Emang ada apa?” tanya Pangeran heran.
Andin tersenyum bahagia.
“Tadi, PR kuu paling perfect, lho.”
“Selamat, ya,” kata Pangeran datar.
“Kok tanggapannya gitu?”
“Biasa aja kenapa? Pake histeris segala.”
“Ya udah, terserah,” jawab Andin cemberut.
“Andin marah ya? Maaf.”
“Nggak mau. Pokoknya malam ini Pangeran tifur di bawah. Titik!”

Keesokan harinya, kemarahan Andin telah surut.
“Pangeran?” panggil Andin, tetapi tidak ada jawaban,” Pangeran, cepetan keluar, donk.”
Hening.
Andin tidak tahu lagi apa yang mesti dia lakukan. Sudah seisi rumah digeledah, tetapi tidak ketemu juga. Ibunya sampai heran melihatnya.
“Ada apa, Ndin? Kamu sedang mencari apa?”
“Katak,” jawab Andin singkat.
“Sejak kapan kamu suka katak?”
“Nggak tahu, Bu,” jawab Andin sambil mencari Pangeran di kolong meja makan.
Ibu masih terbengong keheranan, ketika Andin teringat pada suatu tempat.
“Ya, Pangeran pasti ada di sana.”

“Pangeran ada dimana?”
Teriakan Andin menggema di padang rumput. Beberapa orang yang sedang melintas melihatya dengan pandangan yang mengatakan bahwa dia telah sinting. Tapi, mau bagaimana lagi? Masa mencari seorang Pangeran? Di padang rumput? Memang mana ada sih yang percaya kalau ada seorang Pangeran yang berubah menjadi katak.
Sudah satu jam lebih Andin mencari di sela-sela rumput, di lubang-lubang pohon, tetapi tidak ada hasilnya. Dia merasa putus asa. Dia sudah lelah berjalan, sudah lelah berteriak. Akhirnya, Andin memutuskan untuk pulang, tentu saja dengan wajah cemberut dan menggerutu.
“Dasar Pangeran bodoh! Kalau ketemu, biar kuinjak dia.”
Namun, Andin tiba-tiba sadar,” Ngapain ya, aku memikirkan Pangeran? dia kan bukan siapapun. Kenal wajahnya saha tidak, ngaku-ngaku dari Keraton, padahal nggak ada beritanya sama sekali. Tapi, aku … sudah sepuluh hari kita bersama, bertengkar, tertawa.”
Tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak di rerumputan.
“Wah, Pangeran!” kata Andin sambil mendekati rumput itu. Namun, alangkah terkejutnya Andin, yang muncul justru seekor ular yang berdesis dengan jarak hanya setengah meter dari tempatnya berdiri. Sungguh, dia tidak berani bergerak selangkah pun. Ular itu perlahan-lahan mulai mendekatinya. Sumpah, baru kali ini dia bertatapan dengan ular. Andin melihat bisanya menyembur-nyembur keluar.
Hanya tinggal berjarak satu detik saja, ketika tiba-tiba seekor katak menerjang ular itu. Berusaha mengusirnya agar menjauhi Andin.
Dengan kepala matanya sendiri, Andin melihat bagaimana perjuangan katak itu. Bukankah makanan ular memang katak?
Hingga beberapa saat kemudian, katak itu terluka, seakan dia sudah menyerah sebentar lagi. Melihat hal itu, akhirnya Andin tidak bisa tinggal diam. Dia mencari apa saja yang dapat digunakan untuk menolong katak itu. Untunglah, dia kemudian menemukan batu tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tanpa berpikir panjang, Andin saat itu sudah tidak peduli lagi apakah ular itu akan menggigitnya, dia menghantamkan batu itu tepat ke tubuh ular, berkali-kali hingga ular itu pergi meninggalkan katak.
Andin segera bergegas mendekati katak itu dan meletakkannya dengan hati-hati di telapak tangannya.
“Pangeran! Bangun Pangeran!” kata Andin cemas. Sejak tadi Pangeran tidak juga membuka mata. Dia ternyata mengalami luka yang cukup parah di sekujur tubuhnya.
“Pangeran, apakah kau mendengar suaraku?” Namun, pangeran tidak juga bergerak.
“Ya Tuhan, semua ini salahku. Kalau saja Pangeran tidak menolongku, dia tidak akan menjadi begini,” batin Andin. Perlahan-lahan, air mata mulai mengalir membasahi pipinya, walaupun dia sudah berusaha menyekanya, tetapi masih saja tetap keluar.
Andin memeluk Pangeran,” betapa aku sangat menyayangimu, Pangeran. Sungguh, aku tidak ingin Pangeran menghilang dari hidupku.”
Tanpa terasa, air mata Andin menetes membasahi kepala katak.

Tiba-tiba, ada cahaya yang keluar dari tubuh katak. Cahaya yang sangat indah menyelimuti mereka berdua. Andin merasa silau. Dan, ketika membuka mata, dia telah meliha seorang pria yang sedang berdiri di hadapannya. Semua bagaikan mimpi.
Andin bingung. Sejak kapan ada seorang cowok di tempat ini? Namun, dia langsung sadar ketika katak yang ada di dalam pelukannya menghilang.
“Pangeran?”
Beberapa saat Andin terpana dan tidak bisa mengatakan apapun. Apakah ini hanya fatamorgana? Berulang kali dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanyalah mimpi.
Cowok ini, tidak seperti pangeran-pangeran Yogya yang selama ini dia bayangkan. Memakai blangkon dan segala atribut pakaian Jawa. Bukan! Cowok ini seperti dirinya, memakai baju biasa dan berpenampilan biasa pula. Namun, Pangeran memang mempunyai wajah tampan dan kharisma seorang pangeran.
“Terima kasih, Ndin. Aku tidak akan kembali menjadi manusia tanpamu.”
Andin tidak berkata apapun selama beberapa saat.
“Ti … tidak apa-apa, Pangeran. Seharusnya, aku yang berterima kasih karena Pangeran sudah menolongku.”

Hari-hari berlalu. Andin kembali menjalani kegiatannya sehari-hari. Kadang-kadang dia merindukan Pangeran, tetapi dia tahu jika dia takkan bertemu kembali dengan pangeran. Andin tidak percaya akan janji pangeran yang berkata bahwa suatu hari nanti pasti akan berkunjung ke rumah. Namun, kapan? Bukankah kata ‘suatu hari’ itu terasa begitu jauh?
“Hh …” Andin merasa lelah sekali hari ini dan memutuskan untuk membaca koran saja. Alangkah terkejutnya Andin ketika dia melihat salah satu artikel, yang berjudul “Pangeran telah Kembali.” Di koran itu, terpampang foto Pangeran Suryo, tidak mungkin Andin salah mengenalinya, sedang berpelukan dengan Sri Sultan. Menurut artikel itu, Pangeran sudah menghilang sejak tiga bulan yang llau, tetapi tidak disiarkan kepada publik, karena hanya akan membuat semua masyarakat merasa khawatir. Maklum, Pangeran Suryo merupakan pewaris tunggal Kesultanan.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang telah menolong saya. Seumur hidup, saya tidak akan melupakan kebaikan hatinya,” kata Pangeran Suryo.
“Ya Tuhan, ternyata Pangeran tidak melupakannya,” batin Andin tersenyum.

Hari Minggu yang cerah, Andin pergi ke mall bersama dengan teman-temannya. Ketika sedang memilih-milih barang, walaupun hanya sekilas, dia melihat Pangeran Suryo melintas.
“Tunggu sebentar, Mi,” katanya pada Ami.
“Oke, tapi jangan lama-lama!”
“Sip.”
Tanpa pikir panjang, Andin mengejar Pangeran.
Namun, alangkah terkejutnya dirinya, ketika melihat Pangeran berjalan berdampingan dengan cewek yang seusia dengannya. Kemudian, dia menyadari bahwa memang seorang rakyat jelata biasa seperti dirinya tidak boleh berteman dengan seorang Pangeran.
Pangeran yang ada di dalam mimpinya … menunggang seekor kuda putih dan menghampirinya.
Dan, bukankah kenyataan itu tidak seindah impian?

TAMAT

Jumat, 13 Agustus 2010

Cinta Nana untuk Aldi

Sejak malam itu, hati Nana selalu dirundung gelisah. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi menatap kehidupan dengan kepala tengadah. Dia bukan Nana yang dulu lagi. Sekarang, dia sudah kotor. Walaupun telah berendam selama satu jam, walaupun telah menggosok tubuhnya berulang kali, tetapi dia bukanlah seorang gadis yang masih suci. Ah, Nana ingin menangis, meraung-raung, berteriak untuk melepaskan semua ini.

“Tuhan, mengapa aku begitu bodoh? Aku … aku …,” Nana tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena di detik berikutnya matanya telah kembali tertutup oleh air mata. Namun, nasi telah menjadi bubur. Apa yang dapat dia lakukan sekarang?
“Ya, aku harus menguburnya dalam-dalam,” tekad Nana.

Dua bulan kemudian, apa yang semual dikhawatirkan oleh Nana benar-benar terjadi. Kini, dia benar-benar panik. Dia tidak tahu apa yang mesti dilakukannya.

“Sudah dua bulan …,” gumam Nana lirih, hampir pingsan melihat tes uji kehamilan yang menunjukkan dua buah garis merah yang jelas. Nana merasa sangat lemas, tidak sanggup lagi berdiri. Dunia Nana menjadi terbalik seketika, runtuh menimpanya, membuat jiwanya hancur menjadi kepingan. Kiamat sudah!

Tak ada yang Nana lakukan selain menangis sepanjang hari. Dia tidak lag memiliki nafsu makan, apalagi tidur pulas. Yang tidak bisa dia lakukan lagi, sejak …

Nana ingin mati sekalian saja. Namun, dia tidak bisa melakukannya! Sudah ada seseorang yang berada di dalam tubuhnya dan menyatu bersama dengannya. Dia tidak tega untuk membunuh janin itu bersama dengannya. Janin ini tidak berdosa, dia berhak untuk mendapatkan kehidupan dan menghirup udara bebas di luar rahim ibunya. Yang pasti, dia tidak minta untuk dilahirkan ke dunia.

“Aldi …,” panggil Nana lirih. Seandainya tidak sedang mengandung, dia tidak akan mau mengemis di hadapan Aldi seperti saat ini.
“Ada apa?” tanya Aldi agak ketus pada Nana.
Nana tersentak. Padahal, sebelum ini, Aldi selalu bersikap manis kepadanya, tidak pernah berkata kasar sekalipun.
“Al, aku hamil,” kata Nana sangat pelan hampir tidak terdengar.
“Apa?” teriak Aldi. Ternyata, kata-kata itu masih bisa didengarnya. Bagai disambar petir Aldi mendengarnya.
Cepat! Gugurkan dia, Na! Aku belum siap punya anak,” kata Aldi panik.
“Tapi, dia tetap anakmu.”
“Tidak.”
“Al, dia tetaplah darah dagingmu.”
“Na, dengarkan kata-kataku. Kita berdua akan hancur karena anak sialan ini!”
“Jadi …,” Nana menatap Aldi dengan perasaan yang bercampur aduk. Wajahnya semakin bertambah pucat. Tiba-tiba, dia merasakan firasat yang buruk datang menghampirinya.
“Na, aku belum siap menjadi ayah!”
Hati nana sangat sakit mendengarnya. Padahal, selama ini, dia begitu percaya kepada Aldi. Aldi yang mampu membangkitkan rasa cinta yang entah sekian tahun terkubur di dasar hatinya. Aldi yang baik, pengertian, selalu siap menolong itu sudah tidak ada lagi. Kini, yang dilihatnya adalah seorang cowok yang tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dimana Aldi yang dulu?
Seketika Nana tersadar. Ternyata, cinta selama ini telah membutakan matanya, menutup telinganya, membelenggu hatinya.
“Jadi, semua itu benar? Aku … telah dijadikan taruhan olehmu dan teman-temanmu?” kata Nana dengan suara bergetar.
Aldi terkejut menyadari ke arah mana pembicaraan mereka saat ini. Dia terdiam tak menanggapi. Bukannya tak mau bertanggungjawab, tetapi karena dia tidak pernah menyangka kejadiannya akan berakhir dengan jalan cerita seperti ini.
“Jawab, Al! Aku ingin mendengarnya langsung darimu,” kata Nana dengan suara serak.
Aldi tetap membisu. Dia diam saja, berusaha tidak menanggapi pertanyaan Nana. Dia masih punya hati. Jika dia mengatakan semuanya, gadis yang ada di hadapannya sekarang pasti akan sangat … sangat terluka.
“Al, aku siap mendengar apapun darimu.”
Walaupun sebenarnya Nana tidak pernah siap menghadapi apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini.
Setelah didesak terus oleh Nana, akhirnya Aldi menyerah. Dia sungguh ingin menggeleng, tetapi entah mengapa dia justru mengangguk membenarkannya.
Nana memandang Aldi dengan perasaan terluka, perih, kecewa, sakit …
Kini, dia sudah tidak bisa lagi menahan air matanya, dia tidak peduli lai seandainya Aldi melihatnya menangis di hadapannya.
“Maafkan aku, Na! Aku … aku …,” kata Aldi sambil meraih tangan Nana. Namun, Nana menepisnya.
“Sudahlah, kamu tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Aku sudah tahu …”jawab Nana setelah dia bisa mengatur perasaannya. Bukankah kenyataan ini terlalu memilukan?
“Al, jadi kamu tidak pernah mencintaiku?”
Kali ini Nana sudah siap mendengar jawaban tidak dari mulut Aldi.
“Na, maaf. Aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya ingin …”
Sebelum Aldi sempat meneruskan kata-katanya, Nana sudah memotong,” Ya, aku tahu.” Nana tersenyum pilu,” terima kasih karena kau telah memberikan makna cinta untukku. Setelah hari ini, semoga kamu tidak pernah melihatku lagi.”
Nana beranjak dari kursinya. Akan tetapi, Aldi masih saja duduk, masih terpana dengan kata-kata yang diucapkan oleh Nana. Begitu tersadar, Aldi berlari mengejar, tetapi Nana sudah menghilang. Padahal, tadi dia sudah siap apabila dipukul, ditampar, atau diapakan juga.
Itulah terakhir kali Aldi melihat Nana. Sejak saat itu, Nana sudah tidak pernah masuk kuliah. Kosnya kosong, dan dia pergi tanpa pamit. Teman-temannya pun tidak ada yang tahu dimana Nana terakhir berada. Nana bagaikan ditelan bumi. Entah kemana dia pergi, Aldi tidak tahu …
Nana memutuskan untuk tinggal di kota ini. Kota yang damai. Kota yang bisa digunakannya untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Dengan uang tabungannya, Nana mengontrak sebuah rumah kecil yang akan ditinggalinya bersama anaknya kelak. Anak dari seseorang yang sangat dicintainya …

Ckittt …, Aldi mengerem mobilnya. Di hadapannya, ada seorang anak kecil yang hendak menyeberang. Untunglah, dia bisa menghentikan laju mobilnya tepat pada waktunya. Terlambat sedikit saja, Aldi tidak yakin lagi apakah anak itu akan selamat atau tidak. Dia merasa bersalah, hanya karena dia tidak ingin terlambat menghadiri rapat bersama Bapak Bupati, dia mau saja menerobos lampu kuning.
Aldi turun dari mobilnya.
“Dek, kamu tidak apa-apa?” tanya Aldi pada anak kecil yang memakai seragam SD itu.
“Aldi tidak apa-apa kok, Om,” jawabnya polos sambil tersenyum memperlihatkan deretan giginya.
Deg! Aldi merasa ada yang tidak beres dengan jantungnya. Nama anak ini sama dengan dirinya. Dan, apabila diperhatikan, bisa dibilang anak ini mirip dengannya.
“Mungkinkah?”
Namun, Aldi menepis pikirannya jauh-jauh.
“Tidak mungkin,” gumamnya pada dirinya sendiri.
“Da … da …, Om,” teriak anak itu dari seberang jalan.
Aldi hanya tersenyum dan segera teringat dengan rapat yang harus dihadirinya. Segera dilarikannya mobil itu menuju kantor Bupati dengan perasaan yang tidak tenang. Aldi masih memikirkan anak SD itu. Seakan, ada ikatan batin yang tidak terlihat di antara mereka berdua.

“Ibu, tadi di jalan, Aldi melihat Ayah,” kata Aldi senang.
“Apa, Aldi? Kamu melihat Ayah?” tanya Nana tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan dari anaknya.
“Aldi beneran melihat Ayah?” tanya Nana untuk kedua kalinya, hanya untuk meyakinkan telinganya apakah dia salah dengar atau tidak.
“Iya, Bu. Aldi bener-bener melihat Ayah. Ayah yang ada di foto itu,” tunjuk Aldi pada sebuah foto kusam yang dipajangnya di ruang tamu. Foto satu-satunya yang dimiliki oleh Nana.
“Aldi pasti salah lihat. Ayah kan sedang pergi berlayar …”
“Untuk menangkap ikan ya, Bu? Terus, ikannya yang kita makan itu? Besok, Aldi juga mau menjadi kapten kapal …”
“Kalau begitu, Ibu mau dengar Aldi nyanyi.”
Aldi pun mulai menyanyi diiringi tepukan dari Nana. “Nenek moyangku seorang pelaut …”
Siang harinya, Aldi sudah melupakan sosok yang bernama ‘ayah’. Dia sudah bermain bersama dengan teman-teman sebayanya. Dari kejauhan, Nana tersenyum. Sekarang, Aldi telah tumbuh menjadi seseorang yang tampan, pintar, dan baik hati, seperti … Ah Nana berusaha membuang kenangan masa lalunya yang tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam pikirannya.
“Maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak pernah mengenalkan sosok Ayah bagimu.”

“Dok, bagaimana keadaan Aldi?” Aldi seperti memanggil dirinya sendiri.
“Dia berhasil melewati masa kritisnya. Untunglah, Anda cepat membawanya ke sini. Jika tidak, saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada anak itu.”
“Terima kasih, Dokter sudah menyelamatkan nyawa Aldi.”
“Itu memang sudah menjadi kewajiban kami untuk menolong sesama,” jawab Doketer itu tersenyum,” sebentar lagi ibu anak itu akan ke sini.”
“Iya, terima kasih, Dokter,” seru Aldi sambil menyalami Dokter itu.

Satu jam berlalu, ketika seorang wanita dengan langkah tergesa-gesa segera mendatangi ruangan dokter. Aldi tidak memperhatikannya, bukankah wajar saja jika setiap hari ada ratusan orang yang berlalulalang di lorong rumah sakit ini?
“Dok, bagaimana anak saya?” kata wanita itu dengan setengah menangis.
“Tenang dulu, Bu,” jawab Dokter itu dengan sabar.
“Saya harus tenang bagaimana melihat anak saya terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit!”
“Saya tahu bahwa Ibu cemas. Tapi, Aldi tidak apa-apa. Dia selamat berkat seseorang.”
Nana memandang memandang wajah dokter itu tidak mengerti.
“Maksud Dokter?”
“Untuk anak sekecil itu, Aldi telah kehilangan banyak darah. Tapi, mohon maaf sebelumnya, karena kami tidak memiliki persediaan daerah putra Anda. Golongan darahnya, A.”
Nana masih tidak mengerti. Wajar saja jika golongan dalah Aldi A, lha dia kan mempunyai golongan darah A dan begitu pula ayah biologisnya.
“Lalu, apa masalahnya, Dok?”
“Putra Anda memiliki Rh –, sangat jarang orang Indonesia memiliki golongan darah Rh –, darah ini termasuk jenis langka.”
Nana mengangguk mengerti.
“Untunglah, bapak yang ada di luar tadi memiliki golongan darah yang sama dengan putra Ibu. Ini termasuk keajaiban dan anugerag bagi putra Ibu.”
“Terima kasih, Dokter.”
“Sama-sama, Bu.”
“Jadi, Bapak itu sekarang masih ada di luar?”
Dokter itu mengangguk.

Nana segera bergegas keluar mencari pria yang telah menolong nyawa anaknya. Dia harus mengucapkan terima kasih banyak kepadanya, bahkan beribu terima kasih. Tanpa Aldi, dia tak akan lagi sanggup bertahan hidup …
Dilihatnya pria itu sedang membaca pengumuman yang ada di rumah sakit. Dia memunggungi Nana. Nana pun segera menuju ke tempat pria itu.
“Maaf, Pak. Saya IBu dari dari anak yang Bapak tolong …”
“Ya …,” Pria itu berbalik dan seketika Nana pingsan melihatnya.

Ketika terbangun, Nana mendapati dirinya terbaring di atas tempat tidur rumah sakit.
“Sejak kapan aku berbaring di sini?” Nana mengingat-ingat, tapi dia tetap tidak mengingatnya.
“Dokter …”
“Anda ini bagaimana to? Kok bisa pingsan? Bapak itu yang membawa Anda kemari.”
Begitu mendengar kata-kata Dokter, Nana kembali mengingat semuanya.
Ya, dia tadi melihat Aldi …
“Lalu, dimana Bapak itu sekarang?”
“Oh, dia sudah pulang, Bu?”
Ada rasa kecewa di hati Nana. “Ya Tuhan, rasa apa ini?”
“ … tapi, dia akan kemari lagi nanti sore.”
Nana mengangguk.

Sore hari … di rumah sakit.
“Benarkah dia anakku?”
Nana mengangguk. Kini dia lebih bisa menerima kenyataan dibandingkan dengan 7 tahun yang lalu. Waktu yang cukup lama untuk menawar racun dalam hatinya.
“Dia mirip sekali denganku, Na.”
Nana hanya tersenyum.
“Terima kasih kamu sudah mau menyelamatkan Aldi, walaupun aku masih merasa aneh dengan kehadiran dua Aldi di sini.
“Al, setelah sekian tahun lamanya, akhirnya aku bisa mengatakan bahwa aku baik-baik saja.”
Aldi tersentuh mendengarnya. Wanita yang duduk di depannya ini sangatlah tabah, lebih dari yang diduganya selama ini.
“Maafkan aku, Na,” kata Aldi sambil memegang tangan Nana.
“Sudah tidak apa-apa. Hidupku kini hanya tercurah untuk Aldi. Yah, memang aku dulu begitu bodoh, tidak mengerti apa-apa.”
“Tidak, Na. Semua itu salahku. Seandainya aku tidak main-main …”
Aldi seakan menerawang kembali masa-masa ketika dia dulu bersama Nana.
“Maafkan aku.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Al. Aku senang akhirnya dapat bertemu denganmu lagi, walaupun dalam keadaan yang tidak menyenangkan seperti ini,” kata Nana tersenyum.
“Lalu, selanjutnya apa rencanamu setelah ini, Na?”
Nana terdiam sesaat.
“Aku akan hidup berdua dengan anakku. Dia merupakan satu-satunya bukti bahwa aku ada di dunia ini.”
“Bolehkah aku menjenguk Aldi kapan-kapan?” kata Aldi berdiri dari tempat duduknya.
“Jangan pergi, Al!” Nana memegang tangan Aldi. Namun, sesaat kemudian segera dilepaskannya.
“Maaf, aku lupa jika aku tidak mempunyai hak untuk menahanmu di sini bersamaku. Maaf!”
“Kamu ingin agar aku menemanimu?”
Nana dan Aldi berpandangan.
“Tidak. Lupakan saja pembicaraan tadi.”
“Baiklah, aku pergi dulu.”

Nana mengangguk. Dia menatap kepergian Aldi dengan hati yang sangat terluka. Ternyata, tidak cukup cinta antara Aldi dengan putranya sendiri. Apalagi, cinta untuk seorang Nana yang tidak mempunyai hubungan darah. Padahal, Nana hanyalah manusia biasa yang juga membutuhkan kasih sayang, walaupun selama ini dia berusaha sabar untuk menghadapi berbagai badai yang menerjangnya.

Jumat, 05 September 2008

Adakah Bahagia Untukku? (VI)

“Selamat ya …”

“Terima kasih. Tanpa dukungan kalian, saya tidak akan dapat berada di sini,” jawab Dicka sambil menyalami orang – orang yang mengelilingi dirinya.

“Kamu memang hebat …”

“Kalau boleh tahu, kemenangan ini kau persembahkan untuk siapa?” tanya wartawan sebuah koran lokal.

Sambil tersenyum, dia menjawab,”Untuk Ayah yang selalu mendukungku dan seseorang yang selalu ada di hatiku.”

“Siapa dia?”desak wartawan itu.

“Maaf, saya tidak bisa mengatakannya.”

“Satu pertanyaan lagi!”

“Ya?”

“Bagaimana perasaan Anda ketika menjadi juara dalam perlombaan tahun ini?”

“Tentu saja saya merasa senang sekali. Sekarang, impian saya telah menjadi kenyataan. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya.”


Arena balap masih berteriak – teriak menggaungkan namanya. Namun, Dicka seakan sudah tenggelam ke dalam dunianya. Di antara gemuruh para penonton yang memadati arena, dia merasa sangat kesepian. Senyuman yang selalu dia sunggingkan selama ini hanyalah sebuah senyum kepalsuan.

Sejak hari itu …, dia tidak dapat tersenyum sama seperti dulu. Gadis yang selalu diharapkannya setiap malam, mungkin tidak akan pernah kembali ke dalam hidupnya. Ya, dia sudah pergi.


Satu minggu sebelumnya …

“An, tahu nggak? Dia tuh cakep banget, keren, cool, …”

“Kamu ini lagi ngomongin apa, sih?” tanya Ana tidak mengerti.

“Nih, lihat sendiri,” jawab Leni, teman satu kosnya, menyodorkan sebuah koran lokal ke tangannya,”tapi, kamu nggak boleh ikut – ikutan ngefans lho sama dia. Dia sudah menjadi milikku.”

“Aduh, Leni. Nggak pernah kenal juga …”

“Makanya, minggu depan aku ingin mengajakmu untuk menemuinya. Yah, setidaknya aku bisa foto bareng dengan dia. Lalu, fotonya akan kupajang di kamarku, dan aku bisa memimpikannya setiap malam.”

“Ngaco.”

“Biarin. Terserah aku, dong.”

“Len, belum apa – apa juga …”

“Biarin.”

“Untuk menemui artis kan harus bikin janji dulu. Nah, mana mungkin mereka ngijinin kamu nyelonong seenaknya?” protes Ana.

“Lho, siapa bilang dia artis?”

“Jadi …” kata Ana sambil terus membolak – balik koran itu. Akhirnya, dia menyerah,”Halaman berapa, Len?”

“Kayaknya sih, fotonya tadi ada di halaman 7. Cari lagi yang teliti, dong.”

“Iya, iya. Trus, kamu tadi mau ngomong apa?”

“Oh ya, hampir lupa. Dia tuh bukan artis, tapi seorang pembalap.”

Hampir terlepas koran yang dipegang Ana karena terkejut. Sudah lama dia tidak mendengar kata itu, sejak …

“Ka, seandainya aku dapat bertemu denganmu,” gumam Ana.

“An, kamu ngomong apa barusan? Aku kok nggak denger.”

“Oh, nggak ada apa – apa, kok,” jawab Ana berbohong,”Aku balik ke kamar dulu, ya,”

“Kok, tiba – tiba …” kata Leni bingung.

Lebih bingung lagi ketika dia melihat air yang menggenang di pelupuk mata Ana.

“Apakah aku sudah berkata sesuatu yang menyakiti hatinya?” tanya Leni tidak mengerti,”entar, deh.”

Leni pun ikut berangsur pergi, meninggalkan begitu saja korannya yang terbuka …

Dicka Hermawan S, pendatang baru berbakat yang ikut meramaikan ketatnya persaingan dalam dunia balap, berhasil menggenggam gelar juara tahun ini. Yang perlu dicatat adalah dia telah mencapai garis finish pertama sebanyak delapan kali dari tiga belas kali pertandingan. Dia seakan tidak dapat dibendung oleh lawan – lawannya. Sungguh suatu prestasi yang menkjubkan …


“An, kamu kenapa kemarin?”

Ana hanya diam saja.

“Kamu sakit?”

Ana menggeleng.

“Apa aku berbuat sesuatu yang salah padamu?”

Ana menggeleng lagi.

“Lalu, ada apa sampai kamu nangis segala?”

Deg! Hampir copot jantung Ana mendengar kata – kata Leni.

Ternyata Leni melihatnya kemarin, batin Ana.

“Kalau lagi ada masalah, bilang saja ke aku. Jangan dipendam sendirian. Bisa stres, lho.”

“Oh, aku baik – baik saja, kok. Cuma …”

“Cuma …” kata Leni menirukan ucapan Ana.

“Nggak. Cuma pusing sedikit, tapi sudah sembuh. Tenang saja.”

Namun, Leni tidak bisa semudah itu mempercayai kata – kata Ana.

Pasti ada sesuatu yang tidak beres, entah apa. Ana sedang menyembunyikan sesuatu dariku, pikir Leni.

Tapi, Leni tidak memaksa Ana untuk menceritakan ‘sesuatu’ itu padanya, karena dia yakin bila suatu saat nanti Ana sendiri yang akan mengatakan yang sesungguhnya.


Akhirnya, minggu berikutnya, Ana sudah ada di arena balap. Dia tidak bisa menolak ketika Leni ngotot … Bukan! Leni memaksanya untuk ikut.

“Ayolah, An. Daripada hari ini nggak ada kegiatan, mending kita nonton. Pasti seru.”

“Tahu darimana kalau balapan itu seru?”

“Ya, dari mana – mana, lah.”

“Nggak.”

“Kok, gitu … . Masa sama temen sendiri tega, sih?”

“Terserah aku, dong.”

“Ayo, dong,” rajuk Leni.

“Kenapa nggak nonton bareng pacarmu? Daripada denganku?”

“Pacar yang mana?”

“Itu, yang namanya …”

“Oh, Andi.”

“Ya, betul. Andi.”

“Dia sih sudah aku putus sebulan yang lalu.”

“Apa? Baru dua bulan pacaran juga.”

“Nggak apa – apa, dong. Andi tuh orangnya kekanak – kanakan banget, nggak kayak si dia yang dewasa.”

“Oo … pangeran kesianganmu itu.”

“Jangan ngeledek, ya. Nanti nyesel, lho kalau nggak datang.”

“…”

“Ngomong – ngomong, aku kok nggak pernah liat kamu berduaan dengan cowok, sih?”

“Nggak pengen aja.”

“Kenapa? Mmm … pasti kamu sudah punya pacar, ya. Dimana dia sekarang?”

Ana menggeleng. Dan, saat itulah Leni melihat wajah Ana yang sendu. Padahal, tidak biasanya dia sedih seperti itu.

Dia paham dan segera mengalihkan pembicaraan.

“Pokoknya, kamu harus ikut. Nanti, kutraktir bakso di warungnya Pak Paijo.”

“Nggak usah, aku mau di kos saja.”

“Oke, ini cara terakhir. Kalau kamu nggak bisa njawab pertanyaanku, kamu harus pergi. Gampang, kok.”

“…”

“Katakan sama aku, alasanmu nggak pengen pergi. Itu aja.”

Dan, pertanyaan itulah yang tidak bisa dijawab Ana.

“Jawab atau ikut.” Leni memberikan dua pilihan yang sama sulitnya.

“Aku ikut, deh,” jawab Ana akhirnya. Lemas.

“Mengapa kamu nggak mau njawab? Aku tahu. Soalnya, pacarmu yang entah ngilang kemana itu, juga seorang pembalap. Betul nggak yang aku bilang?”

Sebenarnya, Ana tahu jika Leni mengatakannya setengah bercanda, tetapi itulah. Yang dikatakannya … benar. Dan, dia tidak ingin mengatakan masalahnya pada Leni. Tidak untuk sekarang.

“Kalau mau berangkat, sekarang aja, yuk,” kata Ana sambil berusaha menyembunyikan rasa sedih yang tiba – tiba menyergap hatinya.


Dan, di sinilah dia berada. Di arena balap yang sebenarnya ingin dia hindari, karena selalu mengingatkan dia pada kenangan – kenangannya yang berharga, sekaligus seringkali membuatnya … merasa hampa.

Tiba – tiba, Leni mengagetkannya.

“An, tahu nggak? Pertandingan kali ini merupakan pertandingan yang terakhir. Makanya, aku ngotot banget pengen lihat.”

“Lalu?”

Tahu aja, kamu. Sebenarnya, aku hanya ingin melihat pangeranku. Ketika aku melihatnya, aku langsung jatuh cinta. Apa itu namanya? Aku kayak ngalamin love in the first sight.”

“Tunggu dulu. Jadi, sebelumnya kamu sudah pernah ke sini?”

“… . Iya, sih. Sa … sama Andi.”

“Oo … ketahuan sekarang. Kamu mutusin dia gara – gara pangeran antah berantahmu itu.”

“Kamu ngerti juga akhirnya.”

“Kamu ngapain sih, Len. Cinta kok dibuat mainan.”

Lho, kita hidup di dunia ini kan hanya sekali. Sebisa mungkin, aku akan menikmatinya. Nggak kayak kamu yang nungguin si dia terus. Eh, sampai jambul uwanen bisa – bisa kamu cuma bisa bengong doang. “

“Kamu ngeledek aku, ya. Mana kepalamu, kujitak biar tahu rasa.”

Jangan, dong. Emangnya, kepalaku ini bathok kelapa?”

Saat ini, Ana sungguh bersyukur mempunyai teman sebaik Leni. Leni yang selalu memandang dunia dengan positif. Leni yang selalu ceria, dan mampu menghiburnya dengan kata – katanya.

“Jangan bercanda melulu, ah. Sebentar lagi balapannya dimulai. Nanti, akan kutunjukkan yang mana pangeranku. Sabar aja,” kata Leni menoleh ke arah Ana. Dan, dia terkejut ketika melihat Ana justru sedang membaca majalah dengan santai.

“Apa – apaan, sih? Masa baca majalah di tempat seperti ini?”

Kemudian, Leni segera merebut majalah itu dari tangan Ana, dan segera memasukkannya ke dalam tas. Tanpa menghiraukan protes dari Ana, Leni berteriak kegirangan,” Itu tuh, An. Yang pake helm sama pakaian warna merah. Kyaaa …, dia emang top.”

“Ya … ya …, nggak teriak juga sudah kedengaran kok,” jawab Ana akhirnya ikut memperhatikan pria yang ditunjuk Leni.

“Terus kenapa? Nggak ada yang istimewa dari dia.” Padahal, di dalam hati, Ana merasa penasaran juga. Cara dia ngebut …, cara dia mengendarai motornya, mirip dengan Dicka. Ah, tapi mana mungkin dia ada di sini, pikir Ana.

“Ya sudah, terserah kamu, deh kalau mau tetap setia sama pacarmu yang nggak ketahuan itu. Yang penting, kamu nanti harus menemani aku minta foto bareng dia.”

“Lho, kenapa ngajak aku? Kamu kan sudah dewasa.”

“Sudahlah. Ikut saja, jangan banyak protes.”

Ana menyerah, dan mengikuti Leni menuju ruangan ganti pemain.

Ketika tiba di sana, sudah banyak orang yang mengerumuni pembalap itu.

“An, kamu tunggu di sini, ya?”

“Tenang aja, aku nggak mungkin pergi, kok.”

Ana melihat Leni dengan gesitnya ikut merengsek maju dan beberapa detik kemudian dia sudah tertutup oleh lautan manusia. Dia hanya geleng – geleng kepala melihatnya.


Ana kemudian mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Arena balap memang sudah tidak asing lagi baginya, tetapi tempat ini selalu mengingatkannya pada sosok itu, yang mengisi hari – harinya dengan rasa yang tidak menentu. Kadang sedih, kadang bahagia. Dan, dia mengerti bila memang begitulah alur hidup mengalir.

Saat Leni pergi, kesedihan Ana kembali lagi. Dia merasa sendirian …

Entah sudah berapa lama dia menunggu, ketika akhirnya Leni berlari – lari kecil sambil berteriak memanggil – manggil namanya.

“Ana …, aku sudah mendapatkannya!”

Ana pun hanya tersenyum dari kejauhan dan melambaikan tangannya. Namun, tiba – tiba, dia merasa tangannya menegang. Ana terkejut melihat dia … . Dia yang ada beberapa meter di belakang Leni. Dia yang selama ini muncul hanya sebagai bayangan.


Jantung Dicka seakan berhenti berdetak ketika dia mendengar nama Ana disebut – sebut. Mungkinkah dia Ana – nya?

Selama ini, namanya selalu menghantui kemanapun Dicka pergi. Dia pasti menoleh ketika ada seseorang yang dipanggil Ana. Namun, setelah itu dia pasti merasa kecewa. Mereka bukanlah Ana – nya. Mereka hanya orang – orang yang mempunyai nama yang sama dengan kekasih hatinya.

Kali inipun sama. Dicka menoleh, dan mendapati dirinya hampir pingsan karena tidak percaya. Dia melihat Ana sedang menatapnya …

Tuhan, apakah aku sedang melihat fatamorgana? pikir Dicka. Namun, beberapa detik kemudian, dia yakin bahwa semua itu bukanlah ilusi semata. Sinar matanya masih sama seperti dulu, dan dia tak mungkin melupakannya.

Dicka segera berlari pergi. Ditinggalkan begitu saja para cewek yang tadi mengerumuninya. Juga, tak dihiraukannya teriakan protes dari mereka. Ya, Ana tidak boleh menghilang kembali dari kehidupannya.


Waktu seolah berhenti seketika. Mereka saling berpandangan. Lama. Tak ada satupun kata – kata yang keluar. Namun, pandangan mata yang saling menatap rindu itu, sudah cukup untuk meyakinkan bahwa cinta di antara mereka belum sedikitpun berubah.

Beberapa saat kemudian, ketika mereka sudah sadar dari sihir yang seakan membius mereka …

“An …” kata Dicka, yang kemudian menggandeng tangan Ana dan mengajaknya pergi. Ana mengangguk. Dia lupa bila beberapa langkah di samping mereka, Leni menatap tidak mengerti. Ada sejuta perasaan yang memenuhi hatinya.


Rabu, 04 Juni 2008

Adakah Bahagia Untukku? (V)


“An …”
Suara itu, batin Ana dengan kaget …, ternyata ayah sudah pulang.
“Ya, ayah?” tanya Ana sambil berbalik menghadap ke arah ayahnya.
“Kamu sudah berjanji …”
“Ya.”
“Tentunya, kamu nggak akan menghindar.”
Ana merasa badannya lemas dalam sekejap. Dia tidak akan pernah melupakan janjinya pada ayah. Ya, dia memang tidak bisa lagi menghindar. Tidak akan bisa.
Ana memandang langit – langit di kamarnya. Memang, tidak ada apa – apa di sana. Hanya saja, Ana seolah melihat bayangan ayah dengan dirinya sedang berbicara di ruang tamu …
Ketika dia tiba di rumah, ayah sedang membaca koran sambil minum kopi. Padahal, tidak biasanya ayah pulang sesore ini. Namun, untunglah. Ayah pasti bisa menolongnya.
“Ayah!”
“Ada apa?” tanya ayah. Tak sekalipun dia menoleh pada Ana.
“Ayah, aku butuh …”
“Uang? Berapa?”
Ayah seakan bisa membaca pikiran Ana.
“Dua puluh enam juta.”
Ayah sekalipun tak bereaksi ataupun menunjukkan emosinya. Ana menjadi takut.
“Buat apa?” Akhirnya ayah berkata setelah lama berdiam diri. Ana menunggu dengan tegang.
“Buat temanku.”
“Itu saja? Ana, dengar. Ayah tidak akan membantu temanmu jika kau tidak memberi ayah alasan yang masuk akal.”
Ana menyerah. Dia tidak punya pilihan lain. Hanya ayah yang bisa membantunya.
“An, hindari dia.”
“Tapi, ayah…” protes Ana,” dia sudah menolongku.”
“Ya, ayah sudah dengar,” jawab ayah tegas,”Siapa tadi nama temanmu?”
“Dicka.”
“Ayah merasa kamu tidak cocok dengannya. Dia hanya ingin memperalatmu. Kamu tidak pantas bergaul dengannya.”
“Ayah tahu apa tentangku? Tidak ada. Ayah tidak mengerti aku. Aku juga tak pernah mengenal siapa ayah sebenarnya,” keluh Ana dengan suara serak. Ditahannya air mata yang ingin mengalir turun dengan susah payah.
“Kalau begitu, ayah juga tidak bisa membantunya …”
“Ayah …” Hilang sudah satu – satunya harapan. Ana tahu, Dicka bukanlah anak orang kaya. Lagipula, ayahnya sedang bertugas beberapa bulan dan rasanya sungguh mustahil untuk menghubunginya.
“ … kecuali kau mau menerima persyaratan dari ayah.”
Harapan Ana kembali melambung.
“Apa?” tanya Ana dengan semangat.
“Kamu tidak boleh menemuinya. Empat bulan lagi kamu akan kuliah, dan tidak akan bertemu dengannya lagi. Jadi, selesaikan semuanya dari sekarang,” tegas ayah.
“Ya, ayah. Aku janji.”
Apakah aku punya pilihan lain? pikir Ana.
“Ayah tahu kamu sudah dewasa.”
Ana tidak mengerti apa yang dikatakan ayahnya.
Kini, tinggal satu bulan lagi. Ana belum juga mengatakan apa – apa pada Dicka. Dia masih bingung. Reaksi apa yang akan ditunjukkan Dicka nanti? Sedih atau justru tenang – tenang saja?
Mengapa aku berpikir dia akan sedih? Kami hanya teman biasa. Sebentar saja dia pasti sudah melupakanku, pikir Ana.
“Kamu mau ngomong apaan, sih?”
“Aku serius, Ka.”
“Iya. Lalu …”
“Aku akan pergi …”
“Aduh, mau pergi aja harus bilang – bilang. Jangan lupa oleh – olehnya, ya.”
Hati Ana menjadi bimbang. Katakan atau tidak? Dia tidak diberi kesempatan dua kali.
Setelah menghela napas, Ana berkata,”Ka, aku akan pergi sebulan lagi. Jadi, mungkin kita tidak akan bertemu lagi setelah itu.”
“Untuk apa?”
“Kuliah,” jawab Ana singkat.
Dicka terpana. Lalu, dia mengatakan,”Oh, selamat ya. Kamu akan jadi mahasiswi, dong. Kamu kan pintar, nggak kayak aku.”
Ana merasa sedih. Dicka juga. Akan tetapi, mereka tidak mau menampakkan perasaannya masing – masing dengan jujur.
“Aku nggak bermaksud …”
“Udah dulu, ya. Aku mau pergi,” kata Dicka. Dia tidak ingin Ana tahu bila dia sangat membutuhkannya. Selalu membutuhkan kehadiran Ana. Selalu! Selalu! Dan selalu! Saat ini, dia tidak tahan harus berhadapan dengan Ana lebih lama lagi.
“Tunggu …”
“Apa?”
“Nggak ada apa – apa.”
Biarlah perasaan cinta ini terpendam saja di dalam hatiku, batin Ana.

Sesampainya di rumah, Dicka menyalahkan dirinya sendiri.
“Bodoh! Bodoh! Bodoh! Dasar Dicka bodoh. Mengapa aku nggak nyadar?” katanya sambil memukul – mukul kepalanya dengan tangan,” sudah banyak tanda yang ditunjukkan Ana. Apakah semuanya sudah terlambat sekarang?”
Dicka mengenang kembali pertemuan mereka yang aneh. Ana yang menolongnya sewaktu di warung, di arena balap. Dia jadi tersenyum – senyum sendiri.
Ana yang selalu menjaganya, memberinya semangat, dan selalu mendukungnya. Dia lah teman yang selalu ada di sisinya. Tidak seperti orang lain yang baru mengaku sebagai teman di saat suka saja.
Dicka masih ingat saat Ana pernah bilang,”Tuhan itu ada. Dia selalu berada di samping kita. Kita diberi kesehatan yang tak ternilai harganya. Banyak orang kaya yang sakit – sakitan, lho. Terus, buat apa harta mereka? Ka, kamu jangan merusak dirimu sendiri, ya. Buat apa? Nggak bakalan ada gunanya. Tindakanmu justru akan menyusahkan orang lain.”
Lalu, Ana menepuk bahunya pelan.

Saat ini, dia akan pergi dari kehidupan Dicka, mungkin untuk selamanya. Dia tidak tahu harus sedih atau tertawa. Ternyata, Tuhan memang senang mempermainkan dirinya. Bila Ana tidak ada, bagaimana dengannya?
“Apakah aku merasa senang bila dia pergi? Tidak.”
Entah sejak kapan, Dicka berhenti main cewek dan minum. Ana sudah memberi warna dalam hidupnya. Lalu, dia akan kehilangannya begitu saja?
Mengapa dia baru sadar, betapa berartinya seseorang ketika hampir kehilangan? Apakah itu cinta? Cinta yang tidak dipenuhi oleh nafsu.

Keesokan harinya, Dicka bergegas menemui Ana.
“Lho, kenapa matamu?”
“Ah, nggak apa – apa. Aku nggak bisa tidur semalaman.”
“Memangnya kamu sedang mikirin apa sampai nggak bisa tidur?”
“Mikirin kamu.”
“Hah?”
“Aku mencintaimu, An.”
“Tunggu! Tunggu dulu.”
“Apa?”
“Maksudmu?”
“Maksudku, aku benar – benar mencintaimu. Maukah kamu menjadi …”
Ana tentu saja terkejut setengah mati mendengarnya.
“Apa – apaan ini? Kenapa tiba – tiba?”
“Jawabanmu?”
“Ka, kamu lagi demam, ya.”
“Jawabanmu?”
Ana sebenarnya ingin berkata ‘ya’, tetapi lagi – lagi perkataan ayahnya merasuk ke dalam pikirannya.
“Maaf … aku tidak bisa.”
“Kenapa? Bukankah kau juga mencintaiku?”
Jantung Ana sudah benar – benar copot dari tempatnya. Sejak kapan Dicka tahu? Sekarang, sudah tak ada gunanya berbohong.
“Ya, aku memang mencintaimu,” kata Ana dengan pahit.
“Lalu, masalahnya apa? Kita kan masih bisa bertemu saat kau pulang ke rumah.”
“ … tapi, aku sudah berjanji pada ayah,” kata Ana,” bila ayah mau memberiku dua puluh enam juta …”
Ana terkejut sendiri. Apa yang sudah dikatakannya tadi? Namun, untunglah Dicka tak mungkin tahu soal itu.
“Jadi, kau yang … Katakan, An. Ngapain kamu melakukannya. Aku nggak butuh pertolonganmu.”
Dicka tampak sama kagetnya dengan Ana.
“Ka, aku takut. Aku sudah tak punya jalan lain. Aku tak mau kehilanganmu. Yah, setidaknya aku bisa melihatmu sampai hari ini,” kata Ana seraya mencoba untuk tersenyum, walau saat itu dia ingin menangis.
Sebenarnya, Dicka ingin memeluk Ana dan membisikkan kata – kata bahwa semua akan baik – baik saja. Akan tetapi, ternyata dia hanya terpaku di tempatnya saja, hingga Ana berkata,”Besok aku akan berangkat.”
“Secepat itu?” tanya Dicka kaget.
“Ya, keberangkatanku dipercepat satu minggu.”
Hening.
Sesaat kemudian,”Jadi, lupakan aku.”
Ketika mengucapkanya, hati Ana seperti teriris sembilu. Rasanya pedih sekali.
“Ya, bila kau takdirku, suatu saat, entah kapan, entah dimana, kita akan bertemu lagi. Dan, aku nggak akan melupakanmu.”
Dicka benar – benar paham, dirinya tak mungkin pantas untuk Ana. Dia terlalu tinggi untuk digapai.

Ana mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Perasaannya mengatakan bahwa Dicka ada di dekatnya, sedang memandangnya.
“Kamu lihat apa? Cepat naik!”
“Ya, ayah.”
“An, ayo!” seru ibunya.
Ana bergegas menuju ke dalam mobil. Sekali lagi, diedarkan pandangannya. Tiba – tiba, matanya terpaku pada sosok seseorang yang sedang berdiri di balik rimbunnya pepohonan.
Dicka sedang memandang ke arah mobil … seakan ingin menembus kaca mobil yang gelap untuk memandang Ana. Dan, Ana ingin sekali berlari menghampirinya, tetapi saat itu mobil sudah melaju meninggalkan halaman rumah.
Maafkan aku, dirimu akan selalu tersimpan di hatiku, batin Ana … setelah yang kita alami bersama.

Sepeninggalan Ana, hidup Dicka menjadi kacau dan hampa. Diacuhkannya saja teman – temannya yang mengajakanya balapan. Dia tidak menginginkan apapun. Dia hanya ingin bersama Ana. Senyumnya, tatapan matanya, suaranya, semuanya. Mengapa dia merasa tersiksa begini?
Ya, dia memang harus mengakhiri semuanya.
Saat membuka mata, Dicka sudah berada di rumah sakit. Dan, ayahnya sedang terkantuk – kantuk di sampingnya. Menunggunya? Lalu, sejak kapan ayah pulang? Dan, mengapa dia tidak ingat sama sekali apa yang menimpanya. Dicka termenung sendirian. Rasanya, dia seperti baru saja terbangun dari tidur yang panjang.
“Dasar anak tidak tahu diri. Bagaimana kalau Ayah tidak pulang tadi!” teriak ayahnya.
“Pak, harap tenang,” kata salah seorang perawat.
“Maaf,” jawab Ayah, tanpa mengurangi volume suaranya.
“Emangnya aku kenapa?” tanya Dicka bingung.
“Seharusnya Ayah yang tanya. Mengapa kamu melakukannya?”
“Melakukan apa?”
“Lihat tanganmu,” jawab Ayah dengan jengkel.
Dan, ketika melihat perban di tangannya, Dicka kembali mengingat semuaya. Semua masalah yang bertumpuk di pikirannya, hingga dia memutuskan untuk …
“Ngapain Ayah nolong Dicka segala?” protesnya,”aku ingin mati saja. Aku sudah terlalu lelah …”
Plak ! Sebuah tamparan mendarat di pipi Dicka.
“Ayah …”
Ayahnya sudah tak mempedulikan lagi pandangan kaget di sekeliling mereka.
“Tapi, bukankah ayah lebih senang jika aku menghilang selamanya?”
“Dicka, hanya kamu satu – satunya milik ayah di dunia. Bagaimana ayah bisa hidup tanpamu? Ayah sangat menyayangimu,” kata Ayah sambil memegang tangan Dicka yang gemetar.
“Tapi, bukankah selama ini …”
“Sssst … sudahlah, nak. Masalah itu jangan diungkit – diungkit lagi,” kata ayahnya lembut.
Sejak kapan terakhir kali Ayah memanggilnya dengan sebutan ‘nak’? Dicka sudah tak mengingatnya lagi.
“Ayah akui bila selama ini ayah yang salah karena telah mengacuhkanmu. Ayahmu ini gagal. Maaf, nak. Ayah membiarkanmu tumbuh sendirian.”
“Ya! Ayah memang keterlaluan, mau menang sendiri …!”
Dicka tidak jadi meneruskan kata – katanya ketika dia melihat ayah memandangnya dengan tatapan kosong.
“Ayah?”
Tiba – tiba Ayah berkata,” Bila melihatmu, ayah selalu merasa sedang berhadapan dengan perempuan itu.” Dan, Dicka melihat ada rasa sakit di mata ayah.
“Siapa? Ibu?” tanya Dicka.
“Jangan menyebut – nyebut namanya lagi.”
Dicka langsung terdiam tak berkomentar.
Kemudian, katanya,” Ayah tidak berharap banyak bila kamu mau memaafkan ayah. Kamu sudah terlalu banyak disakiti.”
Dicka merasa bimbang. Di satu sisi, dia benar – benr ingin memaafkan ayahnya, tetapi dia masih ingat dengan jelas bagaimana ayah menghajarnya tanpa belas kasihan.
Namun, tiba – tiba dia teringat dengan perkataan Ana.
“Maafkan Dicka juga, Yah. Selama ini aku nggak pernah membuat Ayah merasa bangga.”
Ya, harus ada kesempatan kedua bagi kita berdua, batin Dicka. Dan, mereka tersenyum. Senyuman yang penuh kelegaan.
Memang tak ada pelukan hangat. Namun, saat itulah Dicka merasakan kehangatan yang mengalir ke dalam hatinya. Dia tahu … salah satu kebahagiaannya telah kembali. Ayah menyayanginya, mengkhawatirkannya.
“Ayah, aku akan mencoba untuk berubah.”
“Ya, ayah juga.”
Sejak saat itu, Ayah sungguh – sungguh membuktikan ucapannya. Begitu juga dengan Dicka. Dia tidak ingin membuat ayahnya kecewa.
Bersambung ...