Jumat, 05 September 2008

Adakah Bahagia Untukku? (VI)

“Selamat ya …”

“Terima kasih. Tanpa dukungan kalian, saya tidak akan dapat berada di sini,” jawab Dicka sambil menyalami orang – orang yang mengelilingi dirinya.

“Kamu memang hebat …”

“Kalau boleh tahu, kemenangan ini kau persembahkan untuk siapa?” tanya wartawan sebuah koran lokal.

Sambil tersenyum, dia menjawab,”Untuk Ayah yang selalu mendukungku dan seseorang yang selalu ada di hatiku.”

“Siapa dia?”desak wartawan itu.

“Maaf, saya tidak bisa mengatakannya.”

“Satu pertanyaan lagi!”

“Ya?”

“Bagaimana perasaan Anda ketika menjadi juara dalam perlombaan tahun ini?”

“Tentu saja saya merasa senang sekali. Sekarang, impian saya telah menjadi kenyataan. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya.”


Arena balap masih berteriak – teriak menggaungkan namanya. Namun, Dicka seakan sudah tenggelam ke dalam dunianya. Di antara gemuruh para penonton yang memadati arena, dia merasa sangat kesepian. Senyuman yang selalu dia sunggingkan selama ini hanyalah sebuah senyum kepalsuan.

Sejak hari itu …, dia tidak dapat tersenyum sama seperti dulu. Gadis yang selalu diharapkannya setiap malam, mungkin tidak akan pernah kembali ke dalam hidupnya. Ya, dia sudah pergi.


Satu minggu sebelumnya …

“An, tahu nggak? Dia tuh cakep banget, keren, cool, …”

“Kamu ini lagi ngomongin apa, sih?” tanya Ana tidak mengerti.

“Nih, lihat sendiri,” jawab Leni, teman satu kosnya, menyodorkan sebuah koran lokal ke tangannya,”tapi, kamu nggak boleh ikut – ikutan ngefans lho sama dia. Dia sudah menjadi milikku.”

“Aduh, Leni. Nggak pernah kenal juga …”

“Makanya, minggu depan aku ingin mengajakmu untuk menemuinya. Yah, setidaknya aku bisa foto bareng dengan dia. Lalu, fotonya akan kupajang di kamarku, dan aku bisa memimpikannya setiap malam.”

“Ngaco.”

“Biarin. Terserah aku, dong.”

“Len, belum apa – apa juga …”

“Biarin.”

“Untuk menemui artis kan harus bikin janji dulu. Nah, mana mungkin mereka ngijinin kamu nyelonong seenaknya?” protes Ana.

“Lho, siapa bilang dia artis?”

“Jadi …” kata Ana sambil terus membolak – balik koran itu. Akhirnya, dia menyerah,”Halaman berapa, Len?”

“Kayaknya sih, fotonya tadi ada di halaman 7. Cari lagi yang teliti, dong.”

“Iya, iya. Trus, kamu tadi mau ngomong apa?”

“Oh ya, hampir lupa. Dia tuh bukan artis, tapi seorang pembalap.”

Hampir terlepas koran yang dipegang Ana karena terkejut. Sudah lama dia tidak mendengar kata itu, sejak …

“Ka, seandainya aku dapat bertemu denganmu,” gumam Ana.

“An, kamu ngomong apa barusan? Aku kok nggak denger.”

“Oh, nggak ada apa – apa, kok,” jawab Ana berbohong,”Aku balik ke kamar dulu, ya,”

“Kok, tiba – tiba …” kata Leni bingung.

Lebih bingung lagi ketika dia melihat air yang menggenang di pelupuk mata Ana.

“Apakah aku sudah berkata sesuatu yang menyakiti hatinya?” tanya Leni tidak mengerti,”entar, deh.”

Leni pun ikut berangsur pergi, meninggalkan begitu saja korannya yang terbuka …

Dicka Hermawan S, pendatang baru berbakat yang ikut meramaikan ketatnya persaingan dalam dunia balap, berhasil menggenggam gelar juara tahun ini. Yang perlu dicatat adalah dia telah mencapai garis finish pertama sebanyak delapan kali dari tiga belas kali pertandingan. Dia seakan tidak dapat dibendung oleh lawan – lawannya. Sungguh suatu prestasi yang menkjubkan …


“An, kamu kenapa kemarin?”

Ana hanya diam saja.

“Kamu sakit?”

Ana menggeleng.

“Apa aku berbuat sesuatu yang salah padamu?”

Ana menggeleng lagi.

“Lalu, ada apa sampai kamu nangis segala?”

Deg! Hampir copot jantung Ana mendengar kata – kata Leni.

Ternyata Leni melihatnya kemarin, batin Ana.

“Kalau lagi ada masalah, bilang saja ke aku. Jangan dipendam sendirian. Bisa stres, lho.”

“Oh, aku baik – baik saja, kok. Cuma …”

“Cuma …” kata Leni menirukan ucapan Ana.

“Nggak. Cuma pusing sedikit, tapi sudah sembuh. Tenang saja.”

Namun, Leni tidak bisa semudah itu mempercayai kata – kata Ana.

Pasti ada sesuatu yang tidak beres, entah apa. Ana sedang menyembunyikan sesuatu dariku, pikir Leni.

Tapi, Leni tidak memaksa Ana untuk menceritakan ‘sesuatu’ itu padanya, karena dia yakin bila suatu saat nanti Ana sendiri yang akan mengatakan yang sesungguhnya.


Akhirnya, minggu berikutnya, Ana sudah ada di arena balap. Dia tidak bisa menolak ketika Leni ngotot … Bukan! Leni memaksanya untuk ikut.

“Ayolah, An. Daripada hari ini nggak ada kegiatan, mending kita nonton. Pasti seru.”

“Tahu darimana kalau balapan itu seru?”

“Ya, dari mana – mana, lah.”

“Nggak.”

“Kok, gitu … . Masa sama temen sendiri tega, sih?”

“Terserah aku, dong.”

“Ayo, dong,” rajuk Leni.

“Kenapa nggak nonton bareng pacarmu? Daripada denganku?”

“Pacar yang mana?”

“Itu, yang namanya …”

“Oh, Andi.”

“Ya, betul. Andi.”

“Dia sih sudah aku putus sebulan yang lalu.”

“Apa? Baru dua bulan pacaran juga.”

“Nggak apa – apa, dong. Andi tuh orangnya kekanak – kanakan banget, nggak kayak si dia yang dewasa.”

“Oo … pangeran kesianganmu itu.”

“Jangan ngeledek, ya. Nanti nyesel, lho kalau nggak datang.”

“…”

“Ngomong – ngomong, aku kok nggak pernah liat kamu berduaan dengan cowok, sih?”

“Nggak pengen aja.”

“Kenapa? Mmm … pasti kamu sudah punya pacar, ya. Dimana dia sekarang?”

Ana menggeleng. Dan, saat itulah Leni melihat wajah Ana yang sendu. Padahal, tidak biasanya dia sedih seperti itu.

Dia paham dan segera mengalihkan pembicaraan.

“Pokoknya, kamu harus ikut. Nanti, kutraktir bakso di warungnya Pak Paijo.”

“Nggak usah, aku mau di kos saja.”

“Oke, ini cara terakhir. Kalau kamu nggak bisa njawab pertanyaanku, kamu harus pergi. Gampang, kok.”

“…”

“Katakan sama aku, alasanmu nggak pengen pergi. Itu aja.”

Dan, pertanyaan itulah yang tidak bisa dijawab Ana.

“Jawab atau ikut.” Leni memberikan dua pilihan yang sama sulitnya.

“Aku ikut, deh,” jawab Ana akhirnya. Lemas.

“Mengapa kamu nggak mau njawab? Aku tahu. Soalnya, pacarmu yang entah ngilang kemana itu, juga seorang pembalap. Betul nggak yang aku bilang?”

Sebenarnya, Ana tahu jika Leni mengatakannya setengah bercanda, tetapi itulah. Yang dikatakannya … benar. Dan, dia tidak ingin mengatakan masalahnya pada Leni. Tidak untuk sekarang.

“Kalau mau berangkat, sekarang aja, yuk,” kata Ana sambil berusaha menyembunyikan rasa sedih yang tiba – tiba menyergap hatinya.


Dan, di sinilah dia berada. Di arena balap yang sebenarnya ingin dia hindari, karena selalu mengingatkan dia pada kenangan – kenangannya yang berharga, sekaligus seringkali membuatnya … merasa hampa.

Tiba – tiba, Leni mengagetkannya.

“An, tahu nggak? Pertandingan kali ini merupakan pertandingan yang terakhir. Makanya, aku ngotot banget pengen lihat.”

“Lalu?”

Tahu aja, kamu. Sebenarnya, aku hanya ingin melihat pangeranku. Ketika aku melihatnya, aku langsung jatuh cinta. Apa itu namanya? Aku kayak ngalamin love in the first sight.”

“Tunggu dulu. Jadi, sebelumnya kamu sudah pernah ke sini?”

“… . Iya, sih. Sa … sama Andi.”

“Oo … ketahuan sekarang. Kamu mutusin dia gara – gara pangeran antah berantahmu itu.”

“Kamu ngerti juga akhirnya.”

“Kamu ngapain sih, Len. Cinta kok dibuat mainan.”

Lho, kita hidup di dunia ini kan hanya sekali. Sebisa mungkin, aku akan menikmatinya. Nggak kayak kamu yang nungguin si dia terus. Eh, sampai jambul uwanen bisa – bisa kamu cuma bisa bengong doang. “

“Kamu ngeledek aku, ya. Mana kepalamu, kujitak biar tahu rasa.”

Jangan, dong. Emangnya, kepalaku ini bathok kelapa?”

Saat ini, Ana sungguh bersyukur mempunyai teman sebaik Leni. Leni yang selalu memandang dunia dengan positif. Leni yang selalu ceria, dan mampu menghiburnya dengan kata – katanya.

“Jangan bercanda melulu, ah. Sebentar lagi balapannya dimulai. Nanti, akan kutunjukkan yang mana pangeranku. Sabar aja,” kata Leni menoleh ke arah Ana. Dan, dia terkejut ketika melihat Ana justru sedang membaca majalah dengan santai.

“Apa – apaan, sih? Masa baca majalah di tempat seperti ini?”

Kemudian, Leni segera merebut majalah itu dari tangan Ana, dan segera memasukkannya ke dalam tas. Tanpa menghiraukan protes dari Ana, Leni berteriak kegirangan,” Itu tuh, An. Yang pake helm sama pakaian warna merah. Kyaaa …, dia emang top.”

“Ya … ya …, nggak teriak juga sudah kedengaran kok,” jawab Ana akhirnya ikut memperhatikan pria yang ditunjuk Leni.

“Terus kenapa? Nggak ada yang istimewa dari dia.” Padahal, di dalam hati, Ana merasa penasaran juga. Cara dia ngebut …, cara dia mengendarai motornya, mirip dengan Dicka. Ah, tapi mana mungkin dia ada di sini, pikir Ana.

“Ya sudah, terserah kamu, deh kalau mau tetap setia sama pacarmu yang nggak ketahuan itu. Yang penting, kamu nanti harus menemani aku minta foto bareng dia.”

“Lho, kenapa ngajak aku? Kamu kan sudah dewasa.”

“Sudahlah. Ikut saja, jangan banyak protes.”

Ana menyerah, dan mengikuti Leni menuju ruangan ganti pemain.

Ketika tiba di sana, sudah banyak orang yang mengerumuni pembalap itu.

“An, kamu tunggu di sini, ya?”

“Tenang aja, aku nggak mungkin pergi, kok.”

Ana melihat Leni dengan gesitnya ikut merengsek maju dan beberapa detik kemudian dia sudah tertutup oleh lautan manusia. Dia hanya geleng – geleng kepala melihatnya.


Ana kemudian mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Arena balap memang sudah tidak asing lagi baginya, tetapi tempat ini selalu mengingatkannya pada sosok itu, yang mengisi hari – harinya dengan rasa yang tidak menentu. Kadang sedih, kadang bahagia. Dan, dia mengerti bila memang begitulah alur hidup mengalir.

Saat Leni pergi, kesedihan Ana kembali lagi. Dia merasa sendirian …

Entah sudah berapa lama dia menunggu, ketika akhirnya Leni berlari – lari kecil sambil berteriak memanggil – manggil namanya.

“Ana …, aku sudah mendapatkannya!”

Ana pun hanya tersenyum dari kejauhan dan melambaikan tangannya. Namun, tiba – tiba, dia merasa tangannya menegang. Ana terkejut melihat dia … . Dia yang ada beberapa meter di belakang Leni. Dia yang selama ini muncul hanya sebagai bayangan.


Jantung Dicka seakan berhenti berdetak ketika dia mendengar nama Ana disebut – sebut. Mungkinkah dia Ana – nya?

Selama ini, namanya selalu menghantui kemanapun Dicka pergi. Dia pasti menoleh ketika ada seseorang yang dipanggil Ana. Namun, setelah itu dia pasti merasa kecewa. Mereka bukanlah Ana – nya. Mereka hanya orang – orang yang mempunyai nama yang sama dengan kekasih hatinya.

Kali inipun sama. Dicka menoleh, dan mendapati dirinya hampir pingsan karena tidak percaya. Dia melihat Ana sedang menatapnya …

Tuhan, apakah aku sedang melihat fatamorgana? pikir Dicka. Namun, beberapa detik kemudian, dia yakin bahwa semua itu bukanlah ilusi semata. Sinar matanya masih sama seperti dulu, dan dia tak mungkin melupakannya.

Dicka segera berlari pergi. Ditinggalkan begitu saja para cewek yang tadi mengerumuninya. Juga, tak dihiraukannya teriakan protes dari mereka. Ya, Ana tidak boleh menghilang kembali dari kehidupannya.


Waktu seolah berhenti seketika. Mereka saling berpandangan. Lama. Tak ada satupun kata – kata yang keluar. Namun, pandangan mata yang saling menatap rindu itu, sudah cukup untuk meyakinkan bahwa cinta di antara mereka belum sedikitpun berubah.

Beberapa saat kemudian, ketika mereka sudah sadar dari sihir yang seakan membius mereka …

“An …” kata Dicka, yang kemudian menggandeng tangan Ana dan mengajaknya pergi. Ana mengangguk. Dia lupa bila beberapa langkah di samping mereka, Leni menatap tidak mengerti. Ada sejuta perasaan yang memenuhi hatinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar