Kamis, 18 September 2008

Kota Tertutup? Jakarta (1)

Di banyak kota, melonjaknya jumlah penduduk masih dalam batas daya dukung lingkungan dan daya tampung kota-kota tersebut. Namun, di megapolitas seperti jakarta, lonjakan manusia yang mendiami kota itu sudah mulai menimbulkan masalah. Hal yang perlu diingat adalah bahwa daya dukung lingkungan kota, daya serap ketenagakerjaan maupun daya layanan pengelola kota sudah cukup kewalahan menghadapi tantangan penghuni.


Gejala-gejala kejenuhan kota-kota itu sempat menimbulkan gagasan-gagasan para ahli dan penata kota untuk membendung arus urbanisasi itu, atau setidaknya menguranginya, dan kalau perlu menutup kota tersebut dari pendatang baru.


Salah satu gagasan yang dilaksanakan dalam mewujudkan jakarta sebagai kota tertutup adalah dengan cara mengontrol dan memperketat penduduk pendatang. Pemberia kartu penduduk yang dibatasi hanya pada para pendatang yang mempunyai pekerjaan yang tetap dan sempat tinggal, maupun pengawasan para tamu yang menginap dengan kewajiban melapor kepada Ketua RT maupun RW, memang sempat mengurangi bertambahnya penduduk baru. Namun, dalam kenyataannya hal ini sering tidak diiringi dengan pengurangan banyaknya pendatang. Hal ini disebabkan banyaknya pendatang yang datang tanpa meminta bukti identitas diri di tempat yang baru itu.


Banyak usaha dan peraturan telah dicoba diusahakan untuk menutup kota dari serbuan para pendatang tersebut. Namun, tampaknya gejala urbanisasi telah sedemikian kuatnya, sehingga setiap usaha pengontrolan pada para pendatang maupun usaha penutupan kota akan sulit berhasil.


Selama faktor-faktor pendorong dan penarik masih ada, dan selama tingkat kehidupan di kota masih sangat mencolok, maka gejala perpindahan penduduk dari desa ke kota atau dari daerah-daerah minus ke daerah-daerah surplus, akan mengakibatkan ketidakseimbangan distribusi penduduk yang mengakibatkan konsentrasi-konsentrasi penduduk yang tinggi di daerah-daerah tertentu atau lebih-lebih di kota-kota tertentu.


Sebetulnya, masalah yang ditimbulkan oleh urbanisasi bukanlah menyangkut kurangnya lahan dunia, tetapi menyangkut kurang meratanya pembangunan di atas lahan tersebut. Melihat kenyataan ini, maka usaha penutupan kota tidak mungkin bisa dilakukan secara sepihak oleh pengelola kota sendiri. Suatu koordinasi yang terpadu dengan usaha pemerataan pemukiman dan distribusi kerja perlu dipikirkan dan dilakukan secara bersama-sama di seluruh Indonesia. Seperti misalnya, koordinasi dengan proyek-proyek transmigrasi, dengan pembangunan kota-kota baru dan lainnya.


Pada umumnya, penanganan yang terpadu adalah realisasi yang lebih wajar yang bisa ditempuh daripada penutupan kota. Yaitu, berupa pembangunan wilayah atau pusat-pusat pertumbuhan baru di luar kota yang dapat sekaligus menyerap angkatan-angkatan kerja dan tempat permukiman untuk mereka. Akan tetapi, hal yang sering terjadi adalah pengadaan dua faktor penarik berupa ‘wisma’ dan karya ini belum cukup mampu bersaing dengan daya tarik kota besar, karena pada dasarnya manusia jua membutuhkan sarana lain, seperti atraksi budaya dan rekreasi yang umumnya mudah didapat di kota besar.


Martin Gallent, wakil ketua New York City Planning Comission, ketika ditanya mengenai konsep ‘kota tertutup’ mengemukakan, memang pernah dicari jalan agar kota New York yang dijluki kota kosmopolitan itu mau ditutup untuk para pendatang baru. Namun, rupanya hal itu merupakan pemikiran yang tidak realistis. Karena, soal daya tarik kota besar bukn hanya karena luasnya lapangan kerja, tetapi juga mencakup daya tarik romantisme dan avonturisme kota yang penuh dengan hal-hal yang heterogen, keserbaanekaan, obyek rekreasi dn seni yang beranekaragam. Campur aduknya penduduk serta hiruk pikuknya suasana misalnya, dan pilihan yang lebih luas dan bebas merupakan daya tarik tersendiri. Hal-hal tersebut tidak mungkin dijumpai di desa-desa atau di kota-kota kecil.


Masalah urbanisasi tidak bisa dilepaskan dari kegiatan pembangunan kota (urban development), dan bukan hanya itu, kedua keadaan ini akan saling berkaitan, saling mempenagruhi dan merupakan lingkaran setan yang tidak ketahuan ujung pangkalnya.


Sudah umum diketahui bahwa urbanisasi yang berjalan terus-menerus menuntut kota-kota untuk memenuhi tuntutan kebutuhan mereka yang berbondong-bondong memasuki kota tersebut. Sebaliknya, setiap aktivitas pembangunan kota akan menarik tenaga kerja dari luar kota dan hasil pembangunan kota yang menarik tentu akan menghisap minat orang-orang dari daerah yang pembangunan di daerahnya belum kelihatan. Akibat yang akan muncul dapat diperkirakan, bahwa pembangunan kota justru merupakan daya tarik yang menghasilkan urbanisasi pula. Menghentikan urbanisasi akan berakibat juga pada pembangunan yang sedang berjalan.


Banyak pemikir ternyata telah melihat dan mengutarakan bahwa pembangunan kota dan pemekaran kota ternyata ada batasnya. Dan pada suatu saat akan mencapai suatu titik jenuh.


Seperti kita ketahui, pemekaran kota secara besar-besaran baru dialami manusia sejak revolusi industri tiga abad silam. sementara gejala pemekaran dan pembangunan kota yang mencolok baru terjadi sejak perang dunia kedua.


Patrick Geddes, seorang ahli tata kota yang terkenal, dalam Encyclopedia of Urban Planning membagi pemekaran dan pembangunan kota dalam enam tahapan dimana terjadi interaksi antara faktor-faktor pembangunan kota dan kemerosotan kota, yaitu dimulai dari tahap Eopolis, Polis, Metropolis, Megapolis, Tyranopolis, dan Nekropolis.


Bersambung …


Sumber:

Ahmad, Ahmaddin. 2002. Re_Desain Jakarta: Tata Kota Tata Kita 2020. Jakarta: Kota Kita Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar