Tampilkan postingan dengan label kabupaten pati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kabupaten pati. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 Agustus 2010

Gambaran Umum Kabupaten Pati (II)

Kesehatan
Perkembangan kondisi kesehatan masyarakat menunjukan perubahan yang positif. Keberhasilan bidang ini dapat dilihat dari perkembangan beberapa indikator umum diantaranya adalah : perkembangan angka harapan hidup mesyarakat Kab. Pati pada tahun 1996 sebesar 58,61 tahun meningkat menjadi 71,6 tahun untuk tahun 1999 dan pada tahun 2003 naik menjadi 72,7 tahun, angka harapan hidup Kab. Pati setiap tahunnya masih diatas rata-rata Jawa Tengah sebesar 69,1 tahun tahun 2003. (IPM Kab. Pati tahun 2003).

Cakupan pelayanan kesehatan telah menjangkau keseluruh wilayah se Kabupaten Pati, hal itu dapat dilihat dari perkembangan sarana kesehatan. Pada tahun 1995 Rumah Sakit 6 buah, Puskesmas 28 buah, Puskesmas Pembantu 45 buah, Puskesling 27 buah, Polindes 84 buah, Rumah Bersalin 6 buah, Balai Pengobatan 13 buah. Pada tahun 2004 mengalami peningkatan sebagai berikut : Rumah Sakit 8 buah, Puskesmas sebanyak 29 buah, Puskesmas Pembantu sebanyak 50 buah, Pukesling sebanyak 29 buah, Polindes sebanyak 198 buah, Rumah Sakit Bersalin sebanyak 13 buah, Balai Pengobatan 37 buah. Peningkatan derajat kesehatan telah menyebabkan perubahan pola hidup sebagian masyarakat. Oleh karena itu tantangan kedepan yang harus diwaspadai adalah berkembangnya penyakit yang disebabkan oleh perubahan pola hidup dan lingkungan , disamping tuntutan akan kualitas pelayanan kesehatan yang makin prima, profesionalisme aparatur kesehatan, sarana prasarana kesehatan dan mewujudkan budaya dan perilaku sehat bagi masyarakat. (Pati Dalam Angka tahun 1997 dan tahun 2004)


Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Berdasarkan harga konstan 1993 pertumbuhan ekonomi tahun 1993-1996 rata-rata sebesar 0,54% sedangkan tahun 1998 setelah terjadi krisis, pertumbuhan ekonomi minus 4,02%. Pada tahun 1999 kembali mengalami pertumbuhan sebesar 1,55% dan pada empat tahun terakhir mengalami pertumbuhan sebagai berikut : tahun 2000 sebesar 0,36%, tahun 2001 sebesar 2,99%, tahun 2002 sebesar 2,71% dan tahun 2003 sebesar 3,08%. Kontribusi masing-masing lapangan usaha terhadap pertumbuhan ekonomi pada tahun 1994 sampai dengan tahun 1999 mengalami pergeseran, tahun 1994 sektor pertanian memberikan kontribusi 44,27%, sektor perdagangan memberikan kontribusi 17,90%, sektor indutri pengolahan memberi kontribusi sebesar 11,61% dan sektor jasa-jasa memberi kontribusi sebesar 9,34%. Pada tahun 1999 sektor pertanian menjadi 48,24%, sektor perdagangan, hotel dan restoran tinggal 16, 87%, sektor industri pengolahan menjadi 12,03% dan sektor jasa-jasa tinggal 7,80%. Sedangkan sektor lainnya ada yang naik dan ada yang turun. Selama lima tahun terakhir sektor terbesar yang memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pati adalah sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel, restoran dan industri pengolahan. Peranan sektor-sektor tersebut pada tahun 2003 sebesar 45,82%, 17,14% dan 12,39%. Sementara untuk peranan sektor lainnya besarnya masih di bawah sepuluh persen. Aktivitas ekonomi tersebut merupakan pertanda bahwa dimasa yang akan datang selain sektor pertanian, sektor perdagangan, industri pengolahan dan jasa akan menjadi aktivitas utama perekonomian Kabupaten Pati. Perkembangan pendapatan per kapita dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 atas harga berlaku dan konstan terlihat meunjukkan peningkatan. Pada tahun 2003 pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Pati atas dasar harga berlaku mencapai Rp.2.853.293 atau mengalami pertumbuhan 3,08% lebih tinggi dari tahun sebelumnnya (Tahun 2002 sebesar Rp.2.653.652 atau dengan pertumbuhan ekonomi 2,71%). Sedangkan atas dasar harga konstan 1993 pada tahun 2002 pendapatan per kapita Kabupaten Pati tercatat sebesar Rp.837.537, kemudian berkembang pada tahun 2003 menjadi Rp.861.255. Tantangan yang dihadapi dalam bidang ekonomi adalah adanya globalisasi perdagangan yang berdampak pada makin ketatnya persaingan usaha terutama dari sisi teknologi, permodalan dan kualitas sumber daya manusia. Tantangan lainnya masih rentannya struktur ekonomi, kesempatan berusaha, ketimpangan pendapatan dan belum berkembangnya ekonomi kerakyatan, masih rendahnya investasi serta masih belum memadainya infrastruktur ekonomi dan perdagangan.


Keuangan Daerah
Penerimaan keuangan daerah semakin membaik setelah diberlakukannya otonomi daerah. Penerimaan keuangan daerah pada tahun 1997/1998 sebesar Rp.57.699.669.000,00, tahun 2002 menjadi Rp.324.089.778.500,00, sumbangan yang berasal dari PAD sebesar Rp.23.411.773.000,00 atau sebesar 7,22 %. Selama lima (5) tahun terakhir penerimaan keuangan daerah mengalami kenaikan rata-rata sebesar 20%, pada tahun 2002 penerimaan sebesar Rp.324.087.778.500,00 yang berasal dari PAD sebesar Rp.23.411.773.000,00 atau sebesar 7,22% dan pada tahun 2006 jumlah penerimaan daerah mencapai Rp.637.166.877.000,00 yang berasal dari PAD sebesar Rp.56.824.933.000,00 atau sebesar 8,92%. Tantangan pembangunan keuangan daerah adalah masih besarnya ketergantungan penerimaan keuangan daerah dari dana perimbangan dan belum seimbangnya proporsi pengeluaran daerah untuk belanja aparatur dengan belanja publik.


Politik
Pendekatan politik massa mengambang (Floating Mass) sebagai upaya untuk mengendalikan dinamika politik masyarakat demi pembangunan ekonomi menjadikan pembangunan politik mengalami stagnasi. Pada sisi lain, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi tidak lebih sebagai kewajiban dari pada hak. Meningkatnya taraf hidup dan derajat pendidikan masyarakat serta terbukanya informasi, menimbulkan tuntutan yang lebih besar dalam partisipasi politik, namun saluran yang tersedia tidak memadai. Terjadinya krisis ekonomi sejak awal Mei 1997 berlanjut menjadi krisis multidemensi secara akumulatif menimbulkan desakan kuat pada tuntutan reformasi. Reformasi politik nasional yang menemukan momentum di tahun 1998, secara monumental diwujudkan dalam pemilu tahun 1999 dan pemilu legislatif serta pemilu presiden / wakil presiden tahun 2004, melalui dua kali perubahan perundang-undangan politik. Dalam penyelenggaraan pemerintahan juga terus dilakukan pembenahan ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta berbagai Peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan. Tingginya dinamika politik dan perlunya konsolidasi dan sinkronisasi ketentuan normatif maka lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengganti Undang-Undang sebelumnya. Tantangan pembangunan politik adalah mempertahankan momentum reformasi agar sesuai dengan tujuannya serta membangun budaya politik yang santun.


Aparatur Pemerintah Daerah
Dimasa lalu, aparatur pemerintah diposisikan sebagai salah satu pilar kekuasaan politik. Hal ini menyebabkan aparatur pemerintah berada dalam posisi yang tidak netral, kurang profesional dan kurang mempertimbangkan aspek kompetensi, sehingga menimbulkan dampak inefisiensi, ketidaksesuaian antara struktur organisasi dengan jumlah pegawai, kualitas aparatur dan beban kerja. Jumlah aparatur Pemerintah Kabupaten Tahun 1997 sebelum otonomi sebanyak 2.180 orang pegawai. Dengan berlakunya otonomi daerah terdapat pelimpahan pegawai dari instansi vertikal sehingga sampai dengan tahun 2005 jumlah pegawai sebanyak 12.301 Pegawai Megeri Sipil (PNS) dan 5.134 Tenaha Harian Lepas (TPHL). Berdasarkan data Badan Kepegawaian Daerah per September 2005. Pada satu sisi jumlah pegawai yang besar tersebut merupakan aset, namun disisi lain apabila tidak dapat dioptimalkan akan merupakan beban bagi pemerintah daerah. Oleh karena itu tantangan bidang aparatur adalah Mengoptimalkan kinerja aparatur agar mampu menjadi aset pembangunan sehingga menjadi sosok aparatur yang profesional dan berkarakter.


Kinerja Aparatur Pemerintah
Kinerja Pemerintah Daerah sebagai pelayan masyarakat dapat diukur dari kinerja pelayanan publik. Kondisi masa lalu masih menunjukkan adanya banyak kelemahan dalam penyelenggaran pelayanan publik seperti : diskriminasi pelayanan, tumpang tindih perijinan, prosedur yang berbelit maupun keterbatasan. Cakupan layanan setelah era reformasi, penyelenggaraan pelayanan publik semakin mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan. Beberapa langkah perubahan yang dilakukan dalam rangka peningkatan pelayanan publik antara lain : upaya penyempurnaan sistem, regulasi, pembentukan Kantor Pelayanan Terpadu dan Kebijakan Pelayanan One Stop Service (OSS) untuk mendorong masuknya investor ke Kabupaten Pati. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah terkait dengan pelayanan publik adalah semakin meningkatnya tuntutan publik akan sistem mananjemen pemerintahan yang menekankan pada kualitas pelayanan publik, yang memperhatikan dan mengutamakan hak-hak publik melalui optimalisasi penggunaan tehnologi dan informasi.


Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK)
Penyelenggaraan pemerintahan sangat ditentukan keberhasilannya oleh instalasi birokrasi pemerintah. Sebelum era otonomi daerah, pembentukan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah sangat diwarnai dengan nuangsa sentralistik, dimana semuanya ditentukan oleh pusat. Setelah tahun 2001 kelembagaan pemerintah daerah semakin memperhatikan nuansa lokal. Kondisi delematis tersebut semakin nampak ketika daerah diberi kebebasan untuk menentukan jenis dan jumlah unit organisasi berdasarkan kemampuan, kebutuhan dan beban kerja sebagaimana dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000. Secara faktual kombinasi pertimbangan manajerial dan non manajerial dalam penempatan apartur sulit dielakkan. Hal ini semakin mencolok ketika muncul Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 sebagai revisi Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 dimana didalamnya memberi banyak pembatasan terhadap jumlah dan jenis unit organisasi. Terjalinya perubahan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ke Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 membuka harapan baru bagi daerah dalam mengatasi situasi dilematis. Tantangan ke depan terkait dengan aspek kelembagaan adalah tuntutan instansi pemerintahan untuk dapat memberikan kinerja yang terbaik dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik; mampu mengantisipasi dan mengakomodasi dampak positif perubahan lingkungan eksternal maupun internal dari berbagai aspek, seperti desentralisasi, demokratisasi, globalisasi maupun perkembangan teknologi dan informasi.


Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi sejalan dengan perubahan peradaban dan budaya manusia, yang berdampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia, termasuk bagi pelaksanaan pembangunan daerah. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, telah banyak diaplikasikan hasil-hasil pengembangan pengetahuan dan teknologi, disertai dengan adanya berbagai penelitian dan pengembangan untuk mengatasi berbagai permasalahan strategis daerah secara terarah dan berkelanjutan. Tantangan utama yang dihadapi adalah semakin derasnya pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut perubahan sikap dan perilaku agar tidak menjadi korban perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti memunculkan kesenjangan arus globalisasi yang berdampak pada perubahan paradigma sistem dan mekanisme pemerintahan, instansi dan aparatur harus semakin tanggap dan mampu dalam menyiapkan dan mengaplikasikan berbagai hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi serta hasil-hasil penelitian demi kesejahteraan manusia.


Hukum
Pembangunan bidang hukum telah berkembang begitu pesat seiring dengan berkembangnya dinamika penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik. Selama 2 tahun terakhir telah dihasilkan berbagai produk legislasi daerah sebanyak 4 buah Peraturan Daerah yang berupa Perda baru. Berbagai permasalahan yang ditemukan selama ini terkait dengan aspek hukum adalah masih lemahnya kinerja penegak hukum daerah terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi, masih perlu ditingkatkannya kualitas dan kuantitas produk hukum daerah, perlu dikembangkannya budaya / kesadaran hukum masyarakat. Tantangan pembangunan hukum pada masa yang akan datang adalah jaminan akan kepastian, rasa keadilan dan perlindungan hukum. Hal ini sejalan dengan semakin besarnya tuntutan untuk membentuk tata Peraturan Daerah yang baik disertai dengan peningkatan kinerja lembaga dan aparatur hukum serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat dan HAM.


Keamanan dan Ketertiban
Pada era masa lalu, penyelenggara pemerintahan menggunakan keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai salah satu prasyarat utama untuk keberhasilan pelaksanaan pembangunan; sebagai dampaknya tingkat kriminalitas cenderung rendah. Pada era reformasi cenderung terjadi peningkatan gangguan kriminalitas sebagai akibat tingginya angka pengangguran, kemiskinan dan faktor ekonomi lainnya. Data 3 tahun terakhir menunjukkan grafik peningkatan gangguan masyarakat dan kriminalitas dari 98 kali pada tahun 2003 menjadi 99 kali pada tahun 2004 dan tahun 2005 terjadi 102 kali. Tantangan utama yang dihadapi pada masa yang akan datang adalah semakin tinggi dan kompleknya gangguan keamanan dan ketertiban yang disebabkan dampak dari permasalahan ekonomi, kependudukan, ketenagakerjaan dan maupun faktor-faktor lainnya.


Budaya Masyarakat
Sebagai wilayah pesisir/pantai dan kota pensiunan, Kabupaten Pati memiliki beberapa jenis budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Budaya tersebut lahir dari proses akulturasi asli dengan budaya yang dibawa para pendatang. Banyak sekali peninggalan dalam bentuk kesenian maupun keragaman budaya itu menjadi kekayaan yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Tantangan budaya yang dihadapi adalah semakin besarnya pengaruh globalisasi yang berdampak pada perubahan budaya lokal, yang bila tidak diantisipasi dan dikendalikan tentunya akan berdampak negatif pada nilai-nilai budaya lokal.


Transportasi
Pelayanan transportasi darat Kabupaten Pati mencapai 706,664 km, terdiri dari jalan Negara sepanjang 44,010 km, jalan Provinsi 107,970 km dan jalan Kabupaten 554,684 km serta jalan Desa/Kelurahan dengan panjang 51,2 km. Dilihat kondisinya, jalan Kabupaten Pati yang diaspal 698,414 km atau sebesar 98,83%, jalan kerikil 8,25 km atau 1,17%. Kondisi dari masingmasing jalan adalah jalan Negara 27,060 km dalam keadaan baik, 16.950 km dalam keadaan sedang; jalan Provinsi 62,920 km dalam keadaan baik, 45,050 km dalam keadaan sedang; jalan Kabupaten 247,474 km dalam keadaan baik 192,425 km dalam keadaan sedang, 106,535 dalam keadaan rusak dan 8,250 km dalam keadaan rusak berat. Pergerakan penumpang dilayani oleh keberadaan angkutan umum, minibus dan angkutan kota. Selain itu juga dilayani dengan ojek untuk pergerakan dalam kota dan ke desa, becak dan dokar. Di Kabupaten Pati terdapat 3 buah terminal tipe B yaitu terminal Pati, terminal Juwana dan terminal Tayu. Transportasi laut dilayani oleh keberadaan Pelabuhan Juwana yang merupakan pelabuhan bongkar muat Papal Niaga dan Papal Nelayan (sumber data Kabupaten Pati dalam angka Tahun 2004). Tantangan kedepan adalah semakin besarnya pengerukan barang dan jasa yang menuntut terbangunnya sistem jaringan transportasi yang efektif dan efisien.


Air Bersih
Pemenuhan air bersih masyarakat Kabupaten Pati sebagian besar menggunakan perubahan sumur dangkal maupun sumur dalam dan sebagian kecil masyarakat Pati yang menggunakan fasilitas air bersih dari PDAM atau sebesar 15.839 pelanggan. Terutama masyarakat Kec. Pati dan Juwana. Tantangan kedepan yang dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan air bersih adalah terpenuhinya air bersih dari PDAM untuk masyarakat terutama untuk masyarakat wilayah Pati Selatan. Tantangan lainnya adalah semakin maraknya pembuatan sumur pantek untuk pertanian dan untuk cucian mobil sehingga dapat menyedot sumur-sumur bagi rumah penduduk.


Daerah Aliran Sungai (DAS)
Diwilayah Kabupaten Pati banyak mengalir sungai yang tergolong besar yang langsung bermuara pada laut Jawa dan bersumber langsung dari hulu/ pegunungan muria. Sebagai daerah yang hilir, dengan sendirinya merupakan daerah limpasan debit air dari sungai yang melintas dan mengakibatkan terjadinya banjir. Kondisi ini diperparah lagi dengan penggundulan hutan-hutan di lereng gunung muria dan semakin dangkalnya muara sungai sehingga apabila terjadi hujan di lereng gunung muria, air sungai akan meluap dan menggenangi wilayah Kabupaten Pati. Penanganan banjir kiriman ini sangat dipengaruhi oleh belum optimalnya pengelolaan drainase, pola penataan dan pengelolaan kawasan wilayah sungai di daerah hulu dalam lingkup lintas wilayah. Kondisi lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tidak lagi memenuhi fungsí hidrologi mengakibatkan semakin besarnya debit banjir. Tantangan kedepan adalah pengelolaan drainase secara terpadu mencakup wilayah hulu dan hilir serta mewujudkan penghijauan diseluruh wilayah Kabupaten Pati.


Sampah
Produksi sampah pada tahun 2003 mencapai + 189,98 m3/hari, sedangkan pada tahun 2004 sebesar + 193,02 m3/hari. Pada tahun 2004 cakupan pelayanan sampah baru mencapai 92,05% dari volume produksi sampah yang dilayani oleh 63 kontainer diangkat dari TPS (Tempat Pembuangan Sementara) ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Tantangan ke depan yang dihadapi dalam pengelolaan sampah adalah semakin meningkatnya volume produksi sampah, kapasitas pelayanan dan semakin terbatasnya lahan tempat pembuangan akhir serta teknologi pengolahan sampah.


Tata Ruang
Pada tahun 1984/1985 telah ditetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 1985 tentang Rencana Induk Kecamatan (RIK) Pati Tahun 1984-1994 yang direvisi pada tahun 1993/1994 tetapi sampai direvisi lagi pada tahun 2004 belum diterbitkan Peraturan Daerah (Perda). Untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati telah disusun Tahun 1991/1992 dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pati Tahun 1992-2002 yang kemudian menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang telah disusun lagi Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati Tahun 2002-2012. Permasalahan yang dihadapi dalam penataan ruang adalah pemanfaatan dan pengendalian tata ruang yang tidak konsisten dan belum adanya desempatan serta komitmen antar pelaku pembangunan dalam pengelolaan tata ruang.


Perumahan
Empat (4) tahun terakhir perumahan di Kabupaten Pati dengan status kepemilikan rumah milik sendiri terus mengalami peningkatan, pada tahun 2003 sebesar 312.221 unit, tahun 2004 sebesar 347.832 unit, tahun 2005 sebesar 354.224 unit dan pada tahun 2006 sebesar 361.435 unit. Jumlah tersebut baru mencapai 95% dari kebutuhan rumah sebesar 379.507 unit. Sedangkan perumahan yang penyediaannya dari Perumnas, KPR / BTN, Real Estate, penerangan empat tahun terakhir relatif tidak mengalami perubahan yaitu untuk Perumnas 2 unit, KPR/BTN 4 unit, Real Estate 9 unit. Pesatnya perkembangan permukiman yang tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur yang memadai akan berdampak pada peningkatan limpasan air yang mengakibatkan kebutuhan rumah yang ditunjang oleh tersedianya sarana dan prasarana lingkungan yang memadai. Tantangan kedepan adalah meningkatnya kebutuhan rumah yang ditunjang oleh tersedianya sarana prasarana lingkungan yang memadai.

Sumber : RPJPD Kabupaten pati 2006-2026

Sabtu, 07 Agustus 2010

Gambaran Umum Kabupaten Pati (I)

Kondisi Greografis
Kabupaten Pati merupakan kabupaten sebelah timur ibukota Provinsi Jawa Tengah sebelum Kabupaten Rembang, dengan luas wilayah 150.368 hektar terletak pada 1100 50’sampai 111015’ Bujur Timur dan 6025’ sampai 7000’ Lintang Selatan, sedangkan luas perairan laut kurang lebih 4 mil dari garis pantai (kurang 7,2 x 60 km2). Letak Kabupaten Pati disebelah utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jepara dan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Rembang dan Laut Jawa, serta disebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan. Disebelah barat Kabupaten Pati berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Jepara. Secara administrasi, Kabupaten Pati terbagi atas 21 kecamatan, 401 desa dan 5 kelurahan. Dua puluh satu (21) wilayah kecamatan meliputi : Kec. Pati, Margorejo, Gembong, Tlogowungu, Tayu, Cluwak, Dukuhseti, Gunungwungkal, Margoyoso, Juwana, Trangkil, Wedarijaksa, Batangan, Jakenan, Jaken, Pucakwangi, Winong, Kayen, Sukolilo, Tambakromo dan Gabus.


Sumber Daya Alam
Luas Kabupaten Pati seluas 150.368 hektar, dimanfaatkan sebagai lahan sawah seluas 58.739 hektar (39,06%) dan lahan bukan sawah seluas 91.629 hektar (60,94%). Penggunaan lahan sawah meliputi : pengairan setengah tenis (18.313 Ha), pengairan teknis (8.969 Ha), pengairan sederhana (7.086 Ha), pengairan desa (1.767 Ha) dan tadah hujan (22.283 Ha), lainnya (312 Ha). Proporsi terbesar lahan sawah tersebut dipergunakan untuk tadah hujan (14,82%) dan pengairan teknis (12,18%). Sementara itu luas lahan bukan sawah sebagian besar dipergunakan untuk perumahan dan pekarangan seluas 28.291 Ha (18,81%), tegalan seluas 27.671 Ha (18,40%), hutan negara seluas 17.866 Ha (11,88%) dan tambak seluas 10.628 Ha (7,07%). Sisanya 4,85% dipergunakan untuk hutan rakyat, perkebunan, kolam dan lainnya. Tantangan yang dihadapi dalam tata guna lahan adalah menjaga terjadinya perubahan peruntukan tata guna lahan agar tetap selaras dengan keseimbangan ekosistem dan sinkronisasi penggunaan tata guna lahan dengan kawasan Hinterland.


Kondisi Topografi
Dilihat dari topografinya Kabupaten Pati mempunyai ketinggian terendah 1 meter, tertinggi 1.280 meter dan rata-rata 17 meter diatas permukaan air laut. Rata-rata curah hujan di Kabupaten Pati sebanyak 1.603 mm dengan 88 hari hujan, untuk keadaan hujan cukup, sedangkan untuk temperatur terendah 240C dan tertinggi 390C. Berdasarkan curah hujan wilayah di Kabupaten Pati terbagi atas berbagai type iklim (Oldeman) Wilayah Kabupaten Pati bagian utara merupakan Tanah Red,Yellow, Latosol, Aluvial, Hedromer dan Regosol. Sedangkan bagian selatan merupakan tanah aluvial, hidromer dan Gromosol. Wilayah bagian utara tanahnya relatif subur. Sedangkan tanah wilayah bagian selatan relatif tandus.Tantangan yang dihadapi adalah menjaga keseimbangan antara wilayah Pati Selatan dan Pati Utara dalam satu kesatuan ekologi.


Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Pati tahun 1989 sebanyak 1.058.385 jiwa, tahun 1994 sebanyak 1.113.958 jiwa, tahun 1999 sebanyak 1.160.197 jiwa dan pada tahun 2004 sebanyak 1.218.267 jiwa. Pada tahun 1989 laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,72% dan selama kurun waktu 15 tahun laju pertumbuhan penduduk Kab. Pati mengalami naik turun dan tahun 2004 menjadi 1,89%. Laju pertumbuhan penduduk tersebut masih diatas laju pertumbuhan penduduk rata-rata di Jawa Tengah yang sebesar 1,08% pada tahun 2004. Dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,89% per tahun, maka jumlah penduduk pada tahun 2026 diperkirakan akan mencapai 1.724.822 jiwa. Tantangan kependudukan adalah pengendalian laju pertumbuhan, kualitas, penyebaran penduduk serta penyediaan sarana dan prasarana.


Kedudukan Kabupaten Pati
Kedudukan Kabupaten Pati sebagai ibukota eks Karesidenan Pati seharusnya merupakan pusat pertumbuhan ekonomi dan pusat pertumbuhan pemerintahan bagi kabupaten-kabupaten disekitarnya. Sebagai ibukota eks Karesidenan Pati perkembangan kota dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pati masih kalah apabila dibandingkan dengan Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara dan Blora, dimana kabupatenkabupaten tersebut pertumbuhan ekonominya sangat didukung oleh adanya industri-industri besar yang dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan taraf hidup masyarakat dan mempercepat pertumbuhan kota, sedangkan untuk Kab. Pati yang sangat dominan menyumbangkan kontribusi pada PDRB adalah sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor industri pengolahan. Untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan mempercepat pertumbuhan kota, Kab. Pati sesuai mottonya ”Bumi Mina Tani” maka tantangan kedepan adalah meningkatkan pembangunan kawasan agropolitan melalui kemitraan antar daerah, masyarakat dan dunia usaha dibidang agrobisnis dan usaha mikro kecil menengah berbasis lokal lainnya dan mengembangkan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang baik, mengembangkan dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan secara kreatif dan optimal. Tantangan lainnya yang dihadapi adalah semakin meningkatnya kependudukan, ketenagakerjaan, sosial kemasyarakatan dan infrastruktur publik dan pendukung lainnya.


Ketenagakerjaan
Struktur penduduk menurut ketenagakerjaan dapat digambarkan berdasarkan pada angkatan kerja di Kab. Pati. Jumlah angkatan kerja empat (4) tahun terakhir Kab. Pati adalah sebagai berikut : angkatan kerja tahun 2001 sebesar 606.856 jiwa atau 51,41% dari jumlah penduduk, tahun 2002 angkatan kerja sebesar 612.036 jiwa atau 51,48% dari jumlah penduduk, tahun 2003 angkatan kerja sebesar 667.657 jiwa atau 55,84% dari jumlah penduduk dan tahun 2004 angkatan kerja sebesar 598.680 atau 49,14% dari jumlah penduduk. Jumlah yang bukan angkatan kerja empat (4) tahun terakhir adalah : tahun 2001 sebesar 350.563 jiwa atau 29,69% dari jumlah penduduk , tahun 2002 sebesar 378.254 jiwa atau 31,81% dari jumlah penduduk, tahun 2003 sebesar 339.551 jiwa atau 28, 39% dari jumlah penduduk dan tahun 2004 sebesar 642.202 jiwa atau 52,71% dari jumlah penduduk. Selama empat (4) tahun terakhir rata-rata jumlah angkatan kerja sebesar 51,97% dan yang bukan angkatan kerja sebesar 35,65%.

Berdasarkan struktur umur usia produktif tahun 2002-2004 dengan pertumbuhan rata-rata 2,10% pertahun, penduduk usia produktif pada tahun 2026 diproyeksikan akan mencapai 1.205.455 jiwa atau 69,89% dari jumlah penduduk (Data diolah dari Profil Kecamatan tahun 2004).Tingkat partisipasi angkatan kerja empat (4) tahun terakhir adalah sebagai berikut tahun 2001 sebesar 63,38%, tahun 2002 sebesar 58,36%, tahun 2003 sebesar 66,29% dan tahun 2004 sebesar 53,89%. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yakni pada tahun 2026 sebesar 67,19%. Tantangan kedepan adalah perlunya peningkatan lapangan pekerjaan yang cukup guna menampung banyaknya penduduk usia kerja yang setiap tahunnya semakin meningkat. Tantangan lainnya adalah mengembangkan struktur penduduk menurut ketenagakerjaan, sehingga mencapai komposisi yang proporsional.


Indek Pembangunan Manusian (IPM)
Berdasarkan sensus tahun 2003 nilai IPM Kab. Pati adalah sebesar 68,4 atau turun 0,1 dibanding tahun 2002 tetapi masih diatas rata-rata provinsi Jawa Tengah yang tercatat 66,2 dan masih tertinggi bila dibandingkan kabupaten di eks Karesidenan Pati, karena IPM Kabupaten Blora hanya tercatat sebesar 64,4, Rembang 64,8, Kudus 67,4 dan Jepara 66,7. Dengan angka tersebut Kabupaten Pati menduduki urutan kesepuluh (10) dari 35 kab/kota se Jawa Tengah. Kondisi tersebut merupakan salah satu indikator terhadap kualitas pembangunan manusia di Kab. Pati.

Sejak adanya krisis moneter tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 penduduk miskin mengalami peningkatan rata-rata sebesar 33,33%, tahun 2001 mengalami penurunan 20,65% dari tahun 2000, pada tahun 2002 sampai dengan 2004 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 34,11%. Pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin karena alasan ekonomi sebesar 123.204 KK atau 34,34% dari jumlah penduduk. Tantangan kedepan adalah upaya pengentasan penduduk miskin tersebut. Keadaan tersebut juga menunjukan bahwa masalah kesejahteraan sosial di Kabupaten Pati merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat.


Pendidikan
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dan sangat menentukan bagi masa depan bangsa dalam penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas. Berdasarkan data tahun 1995, fasilitas pendidikan yang tersedia sebagai berikut : TK 319 buah, SD/MI 1.005 buah, SLTP/MTs 174 buah, SLTA/MA 66 buah. Pada tahun 2004 fasilitas pendidikan yang tersedia untuk jenjang pendidikan TK sebanyak 373 buah, SD/MI sebanyak 894 buah, SLTP/MTs sebanyak 195 buah, SLTA/MA sebanyak 81 buah dan Perguruan Tinggi sebanyak 5 buah.

Daya tampung SD swasta mampu menampung 1.571 murid, sedangkan SD negeri dapat menampung sebanyak 106.429 murid atau 67,75 kali SD swasta. Untuk SLTP swasta mampu menampung 3.945 murid sedangkan SLTP negeri 29.822 murid atau 7,56 kali SLTP swasta. Untuk SMA negeri walaupun jumlah sekolahnya setengah dari SMU swasta tetapi muridnya masih relatif lebih banyak yaitu 6.635 murid, sedangkan swasta sebanyak 6.431 murid, daya tampung tersebut bisa seperti itu karena SMU negeri masing-masing jenjang kelasnya terdiri dari 9 kelas. Sedangkan SMU swasta sangat bervariasi tergantung kepercayaan orang tua murid yang menilai mutu/kualitas dari sekolahannya. Untuk SMK baik swasta maupun negeri yang ada di Kabupaten Pati mampu menampung 8.094 murid. Gambaran tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, peran serta atau partisipasi swasta dalam pemenuhan pendidikan semakin tinggi.

Hasil kelulusan tahun 2005/2006 SD/MI sebesar 100%, SMP sebesar 92,47%, MTs sebesar 90,20% dan SMA sebesar 97,24%, SMK sebesar 91,70%, MA sebesar 94,41%. Angka partisipasi kasar tahun 2005 untuk SD/MI/sederajat sebesar 116,43%, SMP/Mts/sederajat sebesar 93,91% dan SMU/MA/SMK/sederajat sebesar 42,56%. Sedangkan angka partisipasi murni tahun 2005 untuk SD/MI/sederajat sebesar 98,56% SMP/MTs/sederajat sebesar 76,36% dan SMU/MA/SMK/sederajat sebesar 30,63%. Kinerja pendidikan saat ini juga belum sepenuhnya mampu memberi layanan pendidikan secara penuh disetiap jenjang. Sementara dari sisi tenaga pengajar masih diperlukan peningkatan kualitas. Tantangan pembangunan pendidikan adalah penyediaan sarana prasarana pendidikan yang memenuhi syarat (layak pakai) meningkatkan proporsi sebaran fasilitas pendidikan selaras dengan persebaran penduduk, meningkatkan APK-APM dari SD, SMP, SMA, kualitas mutu tenaga pendidikan, meningkatkan kualitas kelulusan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja, kesejahteraan guru dan tenaga pendidikan.

Sumber : RPJPD Kabupaten Pati 2006-2026

Selasa, 02 Maret 2010

Genuk Kemiri

Genuk Kemiri merupakan salah satu di antara belasan objek wisata yang “menarik” di Kabupaten Pati. Menarik? Sebenarnya, saya ga sepakat dengan kata menarik itu. Hmm, sebenarnya apa yang menarik dari objek wisata yang ada di kabupatenku? Duh, sebenarnya saya tidak mau menjelek-jelekkan, tetapi saya sedang berbicara tentang kenyataan hidup. Apa sih yang membuat Pati menarik dengan objek wisata yang sangat-sangat minimalis sekali? Cuma ada gua – itupun sudah mulai berkarat, ada waduk – yaa, masih bagus lah, ada genuk – cukup unik, dan sebagainya. Akan tetapi, masalah terbesarnya adalah … semua itu ga satu2nya ada di dunia ini. Gua, genuk, ataupun waduk juga bisa ditemui di daerah lain, dan tidak perlu jauh-jauh datang ke Kabupaten Pati. Malah, dengan fokus objek yang sama, kondisinya lebih bagus di daerah lain. Bagaimanakah ini? Kabupaten Pati BELUM punya suatu objek wisata yang khas, yang bisa menandakan bahwa itulah Pati. Wah, Kabupaten Pati memang ga bisa mengandalkan pemasukannya dari sektor pariwisata. Seandainya saja Candi Borobudur dipindahkan ke Kabupaten Pati? Atau, seandainya saja ditemukan tambang emas atau tambang minyak atau tambang batu bara di kabupatenku, pasti akan laen ceritanya. Hehe, saya memang sedang mengkhayal …

Sumber : Hasil Dokumentasi Pribadi, 2009
Gambar 1.1
Genuk Kemiri

Sumber : Hasil Dokumentasi Pribadi, 2009
Gambar 1.2
Ruang Tempat Genuk Kemiri Berada

Yuk, saya balik lagi ke bahasan sebelumnya, yaitu Genuk Kemiri. Genuk, atau yang biasa disebut sebagai tempayan (dalam http://dadilimbuksik.multiply.com) merupakan sejenis keramik yang digunakan untuk upacara-upacara tertentu di kalangan masyarakat Bidayuh, Iban, Kenyah, Murut dan sebagainya. Walah, saya ga mengerti apa itu Bidayuh, Iban, Kenyah, Murut. Ya mpun lah, mari kita lewati saja.

Gambaran Umum Genuk Kemiri
Berdasarkan gambaran umum yang saya ambil dari beberapa situs internet, maka Genuk Kemiri memiliki lokasi yang ditengarai bekas pusat pemerintahan Kadipaten Pati, sebelum dipindahkan ke Kampung Kaborongan, Kelurahan Pati Lor hingga sekarang, semula berupa tanah kosong yang banyak ditumbuhi pohon besar dan rumpun bambu. Bagian depan masuk lokasi tersebut terdapat pohon beringin tua. Kawasan itu mulai ditata dan diperindah, ketika masa Pemkab Pati dijabat Bupati Sunardji. Selain dipasang tembok pembatas keliling, bekas bangunan pendapa kabupaten juga dipindahkan ke lokasi tersebut, sehingga pada setiap peringatan HUT Pati yang tiap tahun jatuh pada 7 Agustus, pendapa berfungsi sebagai tempat malam tirakatan.

Sumber : Hasil Dokumentasi Pribadi, 2009
Gambar 1.3
Pohon Beringin di Area Objek Wisata Genuk Kemiri

Di belakang sisi utara pendapa terdapat cungkup mirip sebuah makam. Di dalam bangunan itulah terdapat sebuah genuk (tempayan) yang dikenal sebagai Genuk Kemiri yang kondisinya sudah tidak utuh lagi karena pecah. Di lokasi genuk itu, biasanya dijadikan tempat orang untuk ngalap berkah. Pada sisi belakang pendapa terdapat makam tua yang diyakini warga sebagai makam sesepuh Kemiri.

Sumber : Hasil Dokumentasi Pribadi, 2009
Gambar 1.4
Tulisan Jawa yang Terdapat di Depan Ruangan Makam

Sejak dipindahkan bekas bangunan pendapa kabupaten, tempat tersebut bila malam tidak gulita karena diberi penerangan listrik. Selain itu, Balai Desa Serirejo juga sudah dipindahkan ke lokasi tersebut. Balai Desa Sarirejo memiliki bentuk yang unik dengan ukiran yang memenuhi sisi atap dan tiang penyangga. Lantai nya pun mewah dan modern, berupa keramik merah.
Sumber : Hasil Dokumentasi Pribadi, 2009
Gambar 1.5
Kantor Desa Sarirejo

Sumber : Hasil Dokumentasi Pribadi, 2009
Gambar 1.6
Balai Desa Sarirejo


Sumber : Hasil Dokumentasi Pribadi, 2009
Gambar 1.7
Ukiran di Balai Desa Sarirejo

Aksesibilitas

Untuk mencapai ke objek wisata Genuk Kemiri, maka dapat ditempuh dengan berjalan kaki ataupun naik kendaraan bermotor, misalnya sepeda motor, mobil, dan truk. Untuk kendaraan berat (seperti bus, truk kontainer) tidak dapat masuk, karena letak Genuk Kemiri berada di dalam gang, yaitu di tengah-tengah permukiman penduduk yang cukup padat. Adapun, jalan di depan Genuk Kemiri telah beraspal (walaupun ga mulus-mulus amat) dengan lebar kira-kira 3-4 meter (jalan lingkungan).

Isi
Isi apa ini? Hehe, tentu saja isi dari objek wisata Genuk Kemiri, bagaimana keadaan di dalamnya, ada penjaganya atau tidak, dan lain sebagainya. Nah, Genuk Kemiri ini terletak di dalam suatu ruangan yang dikeramatkan, dimana hanya penjaganya (ga tahu namanya siapa? Maksudnya, jika penjaga makam dinamakan juru kunci, kalau penjaga Genuk Kemiri disebut apa ya???) yang memiliki kunci untuk membuka ruangan yang berisi Genuk Kemiri tersebut. Yang dinamakan Genuk Kemiri ternyata adalah sebuah lubang berisi air yang di atasnya diberi kelambu dan terdapat pula kemenyan. Hal itu menandakan betapa keramatnya Genuk Kemiri. Mungkin saja, banyak orang yang percaya bahwa air dalam genuk tersebut banyak mengandung berkah (walaupun saya sendiri kurang percaya akan hal tersebut).

Kemudian, penjaga Genuk Kemiri tersebut bernama Bapak Slamet, yang telah bertahun-tahun diberikan amanah untuk menjadi juru jaga tempat tersebut. Beliau pun sudah berpengalaman, bahkan beliau juga menceritakan rentetan kisah panjang tentang asal muasal terjadinya Genuk Kemiri. Sebagai generasi muda, waduh, saya tidak begitu paham dengan cerita beliau. Namun, cerita tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut, melibatkan banyak sekali tokoh pada saat Kabupaten Pati mulai terbentuk. Selain melihat Genuk Kemiri, Bapak Slamet mengajak kami berdua (pada saat mengunjungi Genuk Kemiri, saya bersama ibu saya …, keleatan banget kalo anak mami) mengunjungi makam Joyokusumo, yang tidak berada terlalu jauh dengan Genuk Kemiri. Huff, di dalam ruangan yang merupakan makam tersebut, saya takut banget. Rasanya merinding ga karuan. Yah, bagaimana lagi … lha, pada saat itu saya bersama makam, sih. Di dinding di ruangan tempat makam tersebut berada, digantungkan beberapa pigura, salah satunya adalah silsilah keluarga Kerajaan Pesantenan Pati. Sayangnya, silsilah tersebut ditulis oleh tangan, seandainya dicetak dengan printer pasti hasilnya akan lebih maksimal.

Sumber : Hasil Dokumentasi Pribadi, 2009
Gambar 1.8
Bapak Slamet, Penjaga Genuk Kemiri

Sumber : Hasil Dokumentasi Pribadi, 2009
Gambar 1.9
Silsilah Kerajaan Kadipaten Pati

Sumber : Hasil Dokumentasi Pribadi, 2009
Gambar 1.10
Makam Joyokusumo

Bapak Slamet pun bercerita bahwa telah menjadi kebiasaan yang turun temurun, jika Bupati dan Wakil Bupati yang terpilih pasti akan mengunjungi (sowan) ke Genuk Kemiri, mungkin untuk meminta restu. Saya tahu perbuatan tersebut dilarang oleh agama, tetapi hal itu tidak bisa terlepas dari istilah Islam Kejawen yang tidak bisa ditinggalkan oleh penganutnya. Setiap ada masalah yang menimpa Kabupaten Pati, misalnya demo memprotes kenaikan tarif PDAM, maka beberapa saat kemudian, demo tersebut sirna dan tidak lagi terdengar gaungnya. Menurut Bapak Slamet, pada saat terjadi situasi genting, maka Bupati Pati yang saat itu sedang berkuasa sowan ke Genuk Kemiri (biasanya Bupati Pati datang pada pukul 2 malam). Genuk Kemiri sudah dianggap sebagai “Danyang Kabupaten Pati”.

Kamis, 18 Februari 2010

Visi dan Misi Kabupaten Pati (II)

Pencapaian tujuan suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh visi yang telah ditetapkan, yang merupakan gambaran tujuan jangka panjang secara abstrak yang ingin diwujudkan. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka dibuatlah misi yang merupakan cerminan dari langkah-langkah konkrit yang hendak dicapai. Oleh karena itu, visi dan misi harus bersifat rasional dan disesuaikan dengan kemampuan serta kondisi organisasi yang bersangkutan.

Berdasarkan Peraturan Bupati Pati Nomor 25 Tahun 2006 tanggal 1 Desember 2006 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pati tahun 2006-2011, dan dalam rangka menghadapi pelaksanaan otonomi daerah, maka visi Kabupaten Pati adalah “Terwujudnya Pati Bumi Mina Tani, Berbasis Keunggulan Pertanian dan Industri yang Berkelanjutan”.

Pelaksanaan visi tersebut ditunjang oleh beberapa misi, antara lain:
a. Mengembangkan pengamalan nilai-nilai agama untuk peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan berbasis kemajemukan masyarakat.
b. Menciptakan sistem pemerintahan yang baik dan demokratis melalui peningkatan profesionalisme aparatur dan lebih dekat kepada rakyat, serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
c. Mewujudkan peningkatan kualitas SDM melalui pemerataan pelayanan pendidikan, peningkatan derajat kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat.
d. Membangun ekonomi kerakyatan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan dan pertanian.
e. Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
f. Mendorong berkembangnya industri melalui optimalisasi potensi lokal dengan mewujudkan iklim investasi yang kondusif dan berkesinambungan.

Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Sarana merupakan fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Sedangkan, prasarana adalah kelengkapan dasar fisik suatu lingkungan, kawasan, kota atau wilayah (spatial space) sehingga memungkinkan ruang tersebut berfungsi sebagaimana mestinya. Pembangunan sarana di Kabupaten Pati yang sudah menampakkan hasilnya dan dapat kita lihat sekarang ini adalah pembangunan jalan lingkar selatan. Pembangunan jalan lingkar tersebut bertujuan untuk memindahkan jalur pantura yang semula melewati tengah kota, sehingga tengah kota tidak lagi tercemar oleh polusi suara maupun udara, dan tidak lagi membahayakan pengemudi kendaraan. Namun, sayangnya … pembangunan jalan lingkar selatan tersebut baru selesai sebagian. Truk-truk besar masih saja melewati tengah kota, baik untuk menuju Kota Semarang maupun Surabaya. Menurut saya, infrastruktur jalan merupakan infrastruktur yang paling penting dibandingkan dengan yang lainnya. Jalan yang bagus dan lebar, seperti Jalan Semarang – Demak, akan memudahkan pendistribusian barang dan jasa. Walaupun pembangunan maupun perbaikan jalan membutuhkan dana yang cukup besar, tetapi dampak multiplier effect nya akan terasa kemudian.

Hmm, selain jalan lingkar selatan, ada satu hal penting yang juga patut untuk mendapatkan perhatian dimana semua orang, khususnya penduduk Kabupaten Pati, pun mengetahuinya. Pembangunan sarana dan prasarana yang ada sangat sangat terpusat di Kecamatan Pati yang tentu saja berperan sebagai ibukota dari Kabupaten Pati. Berbagai macam fasilitas hiburan, seperti Stadion Joyokusumo, Alun-Alun Kota Pati, Taman Hutan Kota Pati, dan lain sebagainya … semuanya terletak di Kecamatan Pati. Belum lagi macam-macam tempat perbelanjaan yang tersebar di sepanjang Jalan Panglima Sudirman. Sebenarnya, apabila dilihat dengan tidak sungguh-sungguh pun, hal tersebut tidak adil bagi kecamatan lain di Kabupaten Pati. Begitu pula dengan SMA Negeri 1, 2, dan 3 Pati yang tentu saja menjadi favorit bagi pelajar di Kabupaten Pati, yang ditandai oleh banyaknya anak-anak yang berasal dari kecamatan lain yang merelakan diri berpisah dengan keluarga (nge-kos) untuk dapat mengasah ilmu di ketiga sekolah tersebut. Intinya adalah terjadi disparitas yang cukup parah antara Kecamatan Pati dengan 20 kecamatan lain yang ada di Kabupaten Pati.

Ada suatu model pembangunan yang bernama growth center, yang berbicara bahwa pemerintah sebaiknya membangun daerah yang yang memiliki potensi yang tinggi, seperti daerah yang menjadi pusat ekonomi, pemerintahan, perdagangan dan jasa, yang kemudian diharapkan daerah tersebut dapat menyebarkan pengaruhnya ke daerah-daerah sekitarnya. Pemerintah memang harus memilih satu diantara dua pilihan, pemusatan ataukah pemerataan? Pemikirannya dulu … pemusatan akan berdampak pada pemerataan. Akan tetapi, entah kapan hal tersebut akan terjadi, apalagi mengingat bahwa Kabupaten Pati adalah sebuah kabupaten yang belum semaju kabupaten tetangga-tetangganya. Kudus memiliki industri rokok, Rembang sekarang terkenal dengan pengembangan good governance-nya, Jepara unggul dalam ukirannya.

Saya kagum dengan pembangunan sarana dan prasarana Demak yang sekarang ini. Menurut Bapak, sejak memiliki Bupati baru yang memiliki latar belakang pendidikan perencanaan kota, maka Demak menjadi lebih maju. Jalan pantura diperbaiki … bagus banget sekarang (saya sampai kaget ketika mau pulang ke Pati setelah tidak bisa pulang selama sebulan dan terkungkung di Semarang), di pinggir jalan tersebut ada trotoar yang diperuntukkan bagi pejalan kaki (berarti memanusiakan manusia, hehe …), pasar-pasar direnovasi menjadi lebih tertata dan keliatan rapi dengan cat yang berwarna-warni, dan mungkin pembangunan yang lainnya akan menyusul. Seperti juga Walikota Surakarta yang berhasil menyelesaikan permasalahan permukiman kumuh dengan cara damai, bukan dengan penggusuran semata.

Saya pun kemudian menjadi iri … kenapa ya Kabupaten Pati setidaknya tidak bisa meniru Demak? Padahal, jalan lingkar selatan saja dibangun terlebih dahulu dibandingkan dengan perbaikan Jalan pantura Semarang – Demak. Yang justru berkembang adalah pembangunan karaoke-karaoke yang marak dan mulai dipusatkan di sekitar Pasar Wagenan, Kecamatan Margorejo. Saya sedih … kenapa bisa Pati dijuluki kota seribu karaoke? Tidaklah apa-apa jika sebutan tersebut bernada positif. Sayangnya, semua itu bernada negatif, dan bisa-bisa di kemudian hari terkenal pula akan wisata sex-nya. Semua itu, sungguh-sungguh memprihatinkan. Kotaku … kampungku … tempat tinggalku … tanah kelahiranku …

Senin, 18 Januari 2010

Kemiskinan dan Kualitas SDM di Kabupaten Pati

Saya termasuk salah satu orang yang beruntung. Bagaimana tidak? Saya bisa bersekolah hingga masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri, saya bisa makan hingga 10 kali sesuka saya, bisa membeli baju satu bulan sekali kalau saya mau, bisa bermain-main dengan notebook setiap waktu, dan bisa … bisa … bisa lainnya. Namun, semua itu terjadi karena adanya dukungan finansial dari orang tua. Tanpa mereka, saya tidak akan mampu menjalani hidup.

Satu hal yang selalu mengganggu nurani saya. Saya tidak bisa adil. Ketika sedang lapar dan makanan belum tersedia, seringkali saya berpikir tentang kaum duafa. Apakah mereka bisa makan hari ini? Bagaimana jika mereka tidak mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari? Akan tetapi, ketika makanan telah terhidang, saya menjadi lupa pada mereka. Pikiran saya seketika berubah menjadi “masa bodoh dengan nasib mereka”. Lalu, apakah saya ini tergolong sebagai penjahat?

Kabupaten Pati dan Kemiskinan
Salah satu dosen saya pernah membacakan daftar perkembangan wilayah kabupateb/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasilnya, tidaklah mengejutkan. Sebagai ibukota provinsi, Kota Semarang merupakan satu-satunya kota yang memiliki perkembangan wilayah yang pesat. Untunglah, Kabupaten Pati tidak terpuruk di peringkat bawah. Kabupaten ini berada pada tingkat perkembangan wilayah yang sedang-sedang saja. Tidak lambat, tetapi juga tidak cepat. Hmm, bisa dibilang kecepatannya mencapai 60 km/jam jika kita sedang mengendarai sepeda motor.

Berdasarkan data yang saya peroleh di BPS (Provinsi Jawa Tengah dalam Angka, 2007), penduduk miskin di Kabupaten Pati pada tahun 2002, 2003, dan 2004 adalah sebagai berikut.

Tabel I.1
Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Pati 2002-2004
Sumber : BPS Kabupaten Pati, 2006

Sedangkan, untuk presentase penduduk miskin dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Sumber : Hasil Analisis Penulis, 2009
Gambar 1.1
Presentase Penduduk Miskin Kabupaten Pati 2002-2004


Dari grafik di atas, dapat kita ketahui bahwa pada tahun 2003 terjadi penurunan presentase penduduk miskin sebesar 1.85% dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, angka ini naik sebesar 0.01% pada tahun 2004. Jadi, sekitar 2500 penduduk yang tergolong tidak miskin mengalami perubahan status menjadi miskin pada tahun 2004. Jumlah tersebut kecil apabila kita mengingat total jumlah penduduk Kabupaten Pati yang mencapai 1,1 juta.

BPS juga mengeluarkan indikator kemiskinan yang digunakan untuk menilai keluarga miskin yang layak menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Indikator kemiskinan tersebut, meliputi :
• Luas lantai bangunan tempat tinggal bangunan kurang dari 8 m2 per orang.
• Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
• Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
• Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
• Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
• Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
• Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
• Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
• Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
• Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
• Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas /poliklinik.
• Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0.5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000,- per bulan.
• Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
• Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000,- seperti sepeda motor (kredit/non-kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Namun, 2500 jiwa ini tidak boleh dipandang remeh begitu saja. Apabila diasumsikan bahwa setiap keluarga memiliki 4 anggota, maka dapat dikatakan bahwa terdapat 650 KK yang menderita kemiskinan. Dengan total 247.900 jiwa penduduk miskin, saya agak sanksi dengan upaya pemerintah kabupaten untuk mengatasi permasalahan ini. Ya, berat juga sih …

Kemudian, presentase penduduk miskin di Kabupaten Pati pada 2002 – 2004, masih selalu berputar-putar pada angka 20%. Nyawa lebih dari 200 ribu penduduk dipertaruhkan di sini. O ya, hampir lupa. Batas kemiskinan memang meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya inflasi yang terjadi dalam lingkup nasional, bukan karena adanya peningkatan taraf hidup masyarakat. Kita pasti sudah paham betul apabila terjadi kenaikan harga barang-barang kebutuhan dan sektor jasa. Misalnya saja, apabila kita membeli gorengan Rp. 1000 dapat 3, tahun berikutnya bisa-bisa kita hanya mendapat 2 potong saja. Itupun dengan ukuran yang lebih kecil daripada sebelumnya. Maklum, saya ini hobinya makan gorengan …

Kabupaten Pati dan Pendidikan
Masih berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS, pada tahun 2006 ada 632.692 penduduk yang telah lulus SD+ tidak/belum pernah sekolah dan tidak/belum tamat SD, 194.871 penduduk tamat SMP, dan 176.549 penduduk tamat SMA/Perguruan Tinggi/Akademi.

Sumber : Hasil Analisis Penulis, 2009
Gambar 1.2
Presentase Penduduk yang Bersekolah di Kabupaten Pati Tahun 2006


Setelah saya mencoba mengolahnya dengan menggunakan pie chart, waw … hasilnya sungguh sangat mengejutkan. Ternyata, lebih dari 50% penduduk Kabupaten Pati merupakan tamatan SD. Bagaimana ini? Tingkat pendidikan biasanya terkait dengan tinggi rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki. Hal tersebut menandakan bahwa kualitas sumber daya manusia di Kabupaten Pati masih tergolong rendah. Sebenarnya, saya tidak ingin mengatakan demikian, tetapi kenyataan berbicara lain. Nah, kemudian … bisakah kita asumsikan bahwa rendahnya kualitas sumber daya manusia akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Pati?

Secara umum, Indonesia masih mengandalkan bahan baku dan tenaga buruh yang murah untuk menarik investor, dan begitu pula yang terjadi di Kabupaten Pati. Dengan kualitas sumber daya manusia yang tidak memadai, maka mau tidak mau masyarakat tidak mempunyai pilihan lain selain menjadi buruh pabrik. Pilihan lain yang tidak kalah sulit adalah menjadi petani, nelayan, pedagang. Hal ini pun juga tidak mudah untuk dijalani. Petani membutuhkan lahan + pupuk + bibit, nelayan membutuhkan perahu + jala + solar, sedangkan pedagang membutuhkan warung/kios + barang. Ketiga profesi tersebut memiliki ujung yang sama, ketiganya membutuhkan uang/modal/suntikan dana. Ya kalau usahanya lancar, jika tidak … apa yang akan terjadi?

Dari sinilah awal mula terjadinya kemiskinan. Masyarakat tidak memiliki penghasilan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya, kualitas hidup menjadi semakin menurun, yang dapat dilihat dari kondis rumah, apakah memiliki jaringan sanitasi yang memadai, ada/tidaknya dapur, bahan pembuat rumah (dinding/bambu/kayu), dan masih banyak kriteria-kriteria lainnya.

Kamis, 31 Desember 2009

Visi dan Misi Kabupaten Pati (I)

Pencapaian tujuan suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh visi yang telah ditetapkan, yang merupakan gambaran tujuan jangka panjang secara abstrak yang ingin diwujudkan. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka dibuatlah misi yang merupakan cerminan dari langkah-langkah konkrit yang hendak dicapai. Oleh karena itu, visi dan misi harus bersifat rasional dan disesuaikan dengan kemampuan serta kondisi organisasi yang bersangkutan.

Berdasarkan Peraturan Bupati Pati Nomor 25 Tahun 2006 tanggal 1 Desember 2006 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pati tahun 2006-2011, dan dalam rangka menghadapi pelaksanaan otonomi daerah, maka visi Kabupaten Pati adalah “Terwujudnya Pati Bumi Mina Tani, Berbasis Keunggulan Pertanian dan Industri yang Berkelanjutan”.

Pelaksanaan visi tersebut ditunjang oleh beberapa misi, antara lain:
a. Mengembangkan pengamalan nilai-nilai agama untuk peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan berbasis kemajemukan masyarakat.
b. Menciptakan sistem pemerintahan yang baik dan demokratis melalui peningkatan profesionalisme aparatur dan lebih dekat kepada rakyat, serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
c. Mewujudkan peningkatan kualitas SDM melalui pemerataan pelayanan pendidikan, peningkatan derajat kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat.
d. Membangun ekonomi kerakyatan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan dan pertanian.
e. Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
f. Mendorong berkembangnya industri melalui optimalisasi potensi lokal dengan mewujudkan iklim investasi yang kondusif dan berkesinambungan.

Mengembangkan pengamalan nilai-nilai agama untuk peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan berbasis kemajemukan masyarakat.
Terkait dengan salah satu misi yang dimiliki oleh Kabupaten Pati, saya belum melihat adanya “pengembangan pengamalan nilai-nilai agama” di Kabupaten Pati. Tidak ada upaya yang konkrit untuk mencapai misi tersebut. Kabupaten Pati memang terkenal memiliki banyak kiai yang handal. Misalnya saja, kiai – salah satu penasehat spiritual Presiden SBY yang tersandung kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Apalagi, di Kecamatan Margoyoso banyak sekali pondok-pondok pesantren. Lalu, apakah banyaknya pondok pesantren, kiai, murid pondok pesantren, sekolah islam menjamin terciptanya keimanan dan ketakwaan seperti yang ada di dalam misi?

Walaupun sama-sama terletak di tepi Laut Jawa, Kabupaten pati memiliki karakteristik yang berbeda dengan Kabupaten Demak. Kabupaten Demak telah memiliki akar syariat Islam yang telah tertanam kuat sejak zaman dahulu. Saya juga pernah mendengar cerita jika masyarakat di Kabupaten Demak lebih mementingkan kehidupan akhirat daripada kehidupan duniawi. Hal ini tampak sangat jelas dari adanya bangunan-bangunan masjid yang tergolong mewah, sementara rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya masih termasuk berkekurangan. Sedangkan, Kabupaten Pati cenderung mengarah pada budaya Islam Kejawen, dengan masih ditemuinya makam-makam yang dikeramatkan, kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap mistis dan memiliki kekuatan, misalnya Genuk Kemiri.

Pendidikan agama yang diajarkan di sekolah-sekolah yang dimulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas juga tidak menjamin akhlak murid-muridnya. Ketika saya masih SMA dulu, saya disuruh untuk menghapal ayat Al Qur’an beserta dengan artinya. Ya, saya memang berhasil menghapalnya dengan lancar, tetapi sebenarnya tujuan saya lebih berorientasi kepada ‘nilai agama’. Saya tidak ingin rapor saya jelek, termasuk nilai pelajaran agama sekalipun. Jadi, begitu saya lulus dari SMA, langsung menguap lah semua hapalan ayat-ayat saya.

Begitu pula pada saat peringatan Hari Besar Islam, seperti Nuzulul Qur’an, Idhul Adha, Maulid Nabi Muhammad SAW, di sekolah, saya malah merasa dininabobokkan. Apa setan mengganggu diri saya? Namun, tidak hanya saya saja yang mengantuk, tetapi juga sebagian besar murid yang hadir di acara tersebut. lalu

Lalu, pengamalan nilai-nilai agama apa yang dikembangkan? Kemudian, kemajemukan masyarakat? Saya masih tidak mengerti makna dari kemajemukan itu. Apakah karena adanya perbedaan agama antarpenduduk? Jika memang demikian, kemajemukan itu tidak sepenuhnya tampak di Kabupaten Pati. Hal ini terkait dengan jumlah penduduk agama Islam di Kabupaten Pati mencapai lebih dari 90%.

Menciptakan sistem pemerintahan yang baik dan demokratis melalui peningkatan profesionalisme aparatur dan lebih dekat kepada rakyat, serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
Mewujudkan sistem pemerintahan yang baik dan demokratis sangatlah sulit untuk dilaksanakan. Ada beberapa prinsip good governance yang harus dipenuhi agar pemerintah dikatakan berjalan dengan baik. Salah satunya adalah transparansi alias keterbukaan. Prinsip transparansi ini sangat penting untuk menghindari adanya KKN di badan pemerintahan. Jadi, masyarakat dapat mengetahui pertanggungjawaban yang dibuat oleh instansi yang bersangkutan melalui media cetak dan elektronik, tidak hanya disembunyikan di dalam lemari arsip seperti yang terjadi selama ini.

Selama ini, masyarakat merasa kesulitas untuk mengakses informasi yang ada di dalam instansi. Apa ada ‘sesuatu’ yang mesti disembunyikan agar tidak ketahuan? Apa ada anggota DPRD/investor/kontraktor yang ‘nakal’?

Menurut misi tersebut, sistem pemerintahan yang baik dicapai dari adanya profesionalisme aparatur dan lebih dekat dengan rakyat. Profesionalisme seperti apa? Secara keseluruhan, birokrasi di Indonesia memang berbelit dan harus melalui banyak pintu terlebih dahulu. Dosen saya pernah mengatakan bahwa uang hasil perpanjangan SIM/STNK itu sebenarnya mengalir kemana? Padahal, di Indonesia sendiri jumlah kendaraan bermotor, terutama sepeda motor, semakin membengkak setiap tahunnya. Berbagai macam diklan, seminar, maupun pelatihan-pelatihan tidak sepenuhnya mampu meningkatkan profesionalisme pemerintah sebagai pemegang amanat rakyat.

Oh ya, dosen saja juga pernah bercerita … ada 2 orang yang berobat, orang pertama membayar lebih mahal daripada orang kedua karena dia tidak memiliki kartu Askes. Sedangkan, orang kedua menggunakan Askes. Lalu, apa yang terjadi? Pelayanan petugas kesehatan terhdap kedua pasien tersebut berbeda – ada diskriminasi – karena pasien yang memakai Askes tidak mendapat pelayanan yang ramah dan optimal. Petugas kesehatan menganggap, secara sepihak, bahwa penggunaan Askes akan mengurangi pendapatan yang diperoleh oleh RS, Puskesmas, dan lain sebagainya, tempat dimana dirinya bekerja, yang akan berdampak pada berkurangnya tunjangan insentif yang akan diterima petugas tersebut. Padahal, pemegang Askes pun sebenarnya membayar premi kesehatan setiap bulannya yang dipotong dari gaji bulanan, tetapi petugas tidak mau tahu. Walaupun sederhana, ‘senyuman’ mampu menunjukkan keprofesionalan kita dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat.

Bersambung ...

Jumat, 30 Oktober 2009

The Black Side : Drag di Kabupaten Pati

Apa itu drag? Dan, apa itu race? Ketika pertama kali mendengar istilah drag race, saya menganggap bahwa “drag race” itu merupakan dua kata yang menjadi satu kesatuan, tidak terpisahkan. Namun, begitu bertanya kepada salah satu ahlinya, ternyata drag dan race memiliki makna yang berbeda, walaupun keduanya sama-sama mempertunjukkan kelihaian dalam menggunakan sepeda motor.

Drag merupakan suatu balapan dimana para pembalapnya tidak menggunakan alat pengaman apapun. Tidak ada helm atau baju pelindung. Just for fun! menurut mereka. Akan tetapi, bagi saya … bermain drag seperti bermain-main dengan nyawa. Drag memiliki istilah lain sebagai balapan liar. Liar? Artinya, kegiatan ini sebenarnya ilegal untuk dilaksanakan. Tidak ada izin untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut, terutama dari pihak kepolisian.

Drag di Kabupaten Pati?
Saya tidak memiliki bukti yang otentik tentang keberadaan para pembalap liar di Kabupaten Pati. Sebenarnya, saya ingin mengambil foto mereka. Namun, sayangnya saya tidak bisa. Saya hanyalah seorang wanita yang tidak mungkin kelayapan di tengah malam buta. Seandainya saya pria, mungkin ceritanya akan lain lagi.

Berdasarkan hasil dengar sana sini, biasanya balapan liar diadakan pada hari Sabtu malam (saya tidak tahu apakah informasi tersebut benar) sekitar pukul 01.00 dini hari, dimana orang-orang sedang menikmati mimpinya masing-masing dan para dragger (saya menyebutnya demikian) justru mencari kesenangan dengan taruhan yang nilainya sangat sangat mahal, tidak bisa diukur dengan uang, yaitu nyawa yang menentukan apakah kita masih hidup di dunia ini.

Ada beberapa tempat yang biasa mereka gunakan untuk melakukan balapan liar, misalnya di Simpang Lima Pati sebelum digunakan sebagai tempat mangkal para pedagang kaki lima, di depan SMA Negeri 1 Pati beserta Keluarga Sehat Hospital, serta jalan lingkar selatan (JLS) Kabupaten Pati. Saya pernah mendengar cerita seram yang mengatakan bahwa pernah ada kepala manusia yang menggelinding masuk ke halaman SMA Negeri Pati. Huff, sungguh mengerikan! Kecelakaan-kecelakaan yang mengenaskan itulah yang menjadikan SMA Negeri 1 Pati menjadi angker hingga sekarang. Selain Jalan Panglima Sudirman, para pembalap juga menggunakan JLS yang hingga kini pembangunannya belum selesai direalisasikan, karena menunggu dana dari pusat yang tidak kunjung turun. Untuk saat ini, JLS masih berupa jalan tanah berdebu dan memang cocok untuk dijadikan menjadi ajang balapan.

Latar Belakang
Ada berbagai macam alasan yang melatarbelakangi adanya kegiatan drag yang penuh resiko dan berbahaya ini. Para dragger yang semuanya berjenis kelamin laki-laki ini merasakan tantangan tersendiri ketika balapan. Saya pun pernah mendengar bagaimana bangganya seorang cowok ketika dia mengebut dan berhasil mendahului sebuah bus malam yang melaju kencang di depan SMA Negeri 1 Pati, tanpa helm maupun pelindung. Betapa mengerikan tindakan yang dilakukannya.

Pencarian Jati Diri
Usia muda merupakan masa pencarian jati diri. Siapakah diri saya sebenarnya. Itulah pertanyaan yang mungkin saja tidak dapat dijawab dengan mudah. Masa-masa remaja tersebut menjadi masa yang rentan akan pengaruh orang lain. kita bisa saja “ngikut-ngikut” tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Banyak di antara mereka yang mencari tantangan tersendiri untuk membuktikan eksistensinya, untuk membuktikan bahwa dia ‘gentle’, pemberani, hingga keinginan untuk mendapat pengakuan dari orang lain.

Konflik Keluarga
Banyak anak yang melarikan diri ke dunia luar karena situasi di dalam rumah yang tidak mendukung. Perceraian, pertengkaran yang terjadi berulang-ulang, perselingkuhan, ayah yang mempunyai istri lebih dari satu, merupakan sederet kisah yang mampu membuat seorang anak pergi dan mencari kenyamann di luar. Home sweet home tidaklah ada di dalam kamus mereka.

Ada seorang cowok bermana Y. Y ini tampan, anak orang berada, mempunyai kekasih seorang putri dokter, tetapi dia tetap saja tidak bahagia. Penyebabnya, ibu Y berselingkuh dengan salah satu pejabat teras di Kabupaten Pati. Y pun marah pada ayah dan ibunya. Ibunya yang tidak bisa setia kepada ayahnya, dan ayahnya yang dianggap tidak bisa “mengendalikan” ibunya. Padahal, sebagai anak cowok, dia membutuhkan ayahnya sebagai panutan. Akhirnya, Y menjadi rusak. Materi memang selalu terpenuhi, tetapi tidak untuk kasih sayang. Salah satu kegiatan yang disukainya adalah balapan, karena dapat menghilangkan semua stres, kemarahan, kekesalan yang aa di dalam hatinya. Terakhir kali saya mendengar berita, Y dikabarkan tewas di arena balapan liar. Padahal, usianya masih sangat muda …

Sungguh sangat disayangkan apabila ada banyak orang yang menganggap dirinya tidak lagi berharga dan kemudian membuang hidupnya sendiri. Berapa banyak pemuda generasi penerus bangsa yang terjun ke dunia balapan liar? Para pemuda yang belum mampu mengontrol dirinya sendiri. Namun, saya pun mengakui bahwa situasi yang mereka alam sangatlah sulit untuk dijalani.

Lingkungan
Apa yang membentuk karakteristik seseorang? Apabila mendengarkan pelajaran Biologi SMA dengan seksama, maka ada dua hal yang berperan penting di dalam kehidupan seseorang, yaitu genetis yang diturunkan oleh keluarga serta lingkungan tempat kita dibesarkan. Nah, saya merasa bahwa lingkungan yang buruk akan mempengaruhi seseorang untuk berbuat buruk. Tergantung diri kita, apakah pendirian kita kuat menghadapi godaan tersebut setiap hari? Apabila banyak teman-teman kita yang mengikuti balapan liar, kemudian mereka mengajak kita ikut, apakah kita akan menolak? Tentu saja akan sangat sulit lepas dari pengaruh teman. Seringkali, kita menjadi takut akan kehilangan teman-teman kita. Apalagi, jika orang tua juga tidak memberikan kontrol yang cukup kuat untuk anaknya.

Solusi
Sebenarnya, yang saya tulis di sini bukanlah solusi, tetapi lebih kepada bagaimana untuk menghambat bertambahnya kawula muda yang terjun ke dunia balap liar. Saya merasa jika para polisi tidak akan sanggup membuat para pembalap jera dan bahkan justru menjadi tertantang untuk mencoba dan mencoba lagi. Misalnya saja, para pembalap ditangkap polisi, kemudian dibina dan pada akhirnya dilepaskan, saya tidak yakin apabila mereka berhenti dari balap liar, karena mereka cenderung telah menganggap bahwa drag adalah dunianya, dengan istiliah “drag is my worlds …”

Oleh karena itu, diperlukan kontrol yang kuat dari pihak keluarhga maupun lingkungan. Orang tua harus memberikan kepercayaan kepada anaknya bahwa anaknya keluar rumah untuk melakukan kegiatan yang positif. Selain itu, orang tua jangan sampai berbuat egois berkaitan dengan konflik yang sedang terjadi di dalam rumah. Pikirkan juga kebahagiaan anaknya, bagaimana perasaan anak menghadapi orang tua yang bertengkar. Kemudian, sebaiknya juga berikanlah lingkungan yang baik bagi perkembangan jiwa anak, seperti sekolah yang baik, lingkungan rumah yang baik, dan lain sebagainya.

Kamis, 10 September 2009

Gunung Rowo, Aset Wisata Kabupaten Pati

Sejarah Gunung Rowo dimulai ketika Laksamana Cheng Ho mengunjungi Sunan Muria. Kemudian, ketika melihat objek wisata yang saat ini dinamakan Gunung Rowo, mereka berdua memiliki pendapat yang berbeda. Sunan Muria menganggapnya sebagai “gunung”, sedangkan Laksamana Cheng Ho berpikir bahwa tempat tersebut berupa “rawa”. Oleh karena itu, untuk menengahi perselisihan tersebut, tempat tersebut dinamakan Gunung Rowo yang merupakan gabungan dari kata gunung dan rawa.

Itulah mitos yang saya dengar dari ibu saya. Tentang kebenaran cerita tersebut pun saya tidak yakin. Apakah seorang laksamana yang begitu terkenal dan dipuja mau menjalin hubungan dengan Sunan Muria? Apakah Laksamana Cheng Ho dan Sunan Muria hidup di zaman yang sama? Percaya atau tidak, hal itu tergantung dari diri kita sendiri. Mitos merupakan cerita dari mulut ke mulut yang tidak diketahui kebenarannya. Oleh karena ceritanya beredar dari mulut ke mulut, maka pengarangnya pun anonim alias tidak diketahui.

Gunung Rowo merupakan salah satu objek wisata alam di Kabupaten Pati yang patut mendapatkan perhatian, selain Goa Pancur, air terjun, dan lain sebagainya. Gunung Rowo terletak di Desa Sitiluhur, Kecamatan Gembong (dekat dengan SDN Sitiluhur), kurang lebih sekitar 15 kilometer dari pusat kota melewati Desa Tamansari, Purwasari, Guwo. Jarak yang cukup jauh apabila ditempuh dengan menggunakan sepeda motor.


Gambar 1.1
Gunung Rowo


Gambar 1.2
Gunung Rowo Dilihat dari Pos Pemantau


Gambar 1.3
Gunung Rowo Untuk Para Penggembala Sapi

Untuk sampai ke Gunung Rowo, maka terlebih dahulu kita melalui kawasan permukiman padat penduduk, kemudian ada pula kawasan perkebunan yang terbentang luas (ketela, tebu, pohon randu, buah-buahan, dan hasil alam lainnya) serta hutan jati yang meranggas di musim kemarau, sehingga apabila malam telah tiba, keadaan hutan tersebut gelap gulita. Kata ibu, di balik hutan yang jati, ada perkampungan penduduk. Hebat kan?

Aksesibilitas ke Gunung Rowo cukup mudah dicapai, dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor, mobil, truk – seperti mau Pramuka, naik truk terbuka. Lebar jalannya kira-kira 3 meter, dengan kondisi jalan yang telah beraspal (walaupun jalannya tidak bisa sebagus di pusat kota). jalan tersebut hanya cukup dilewati oleh satu truk. Untuk mendahului dari kanan pun susah, padahal menggunakan sepeda motor. Truk tersebut pada umumnya mengangkat hasil bumi Tlogowungu untuk didistribusikan kepada konsumen. Oleh karena itu, dengan adanya pelebaran jalan – salah satu usaha yang patut diupayakan, diharapkan aliran barang maupun jasa dapat berjalan dengan lebih lancar.

Signate telah tersedia di pinggir jalan menuju objek wisata Gunung Rowo, sehingga pengunjung tidak akan tersesat, selain dikarenakan hanya ada satu jalan utama menuju ke objek wisata tersebut. Kemudian, ketika telah hampir sampai di depan pintu masuk, kita ditarik biaya retribusi dengan harga yang terjangkau oleh semua kalangan. Tidak perlu khawatir, kocek tidak akan terkuras di tempat ini. Retribusi tersebut digunakan untuk disetor ke kas pemerintah daerah, sedangkan sisanya digunakan untuk merawat dan menjaga kebersihan objek wisata.

Objek wisata yang lebih terkenal dibandingkan dengan Waduk Seloromo ini sangat mengesankan. Mata kita dimanjakan oleh suasana pedesaan yang masih alami yang dikelilingi oleh perbukitan. Namun, ada satu hal yang cukup mengganggu saya, yaitu banyaknya sampah yang terbawa air hingga ke tepi waduk, sehingga mengotori tempat tersebut.


Gambar 1.4
Sampah yang Terbawa ke Tepi Gunung Rowo

Pada saat hari aktif, kondisi Gunung Rowo relatif sepi. Namun, ketika hari libur atau hari libur sekolah tiba, objek wisata tersebut lumayan ramai dikunjungi, terutama anak-anak bersama keluarga mereka. Fasilitas yang ditawarkan pun cukup lengkap, meliputi deretan warung makan sederhana, bangku-bangku semen yang dapat digunakan untuk memandang Gunung Rowo, lalu ada pula tukang sol sepatu yang kelihatannya cukup laris. Selain itu, juga terdapat pos pemantau yang dapat digunakan untuk melihat Gunung Rowo dari atas. Ada pula menara pengawas air yang berfungsi untuk melihat ketinggian air waduk. Hal ini menandakan bahwa telah terdapat penanganan yang relatif baik terhadap objek wisata Gunung Rowo apabila dibandungkan dengan Waduk Seloromo.


Gambar 1.5
Deretan Warung Makan di Gunung Rowo


Gambar 1.6
Bangku Semen Tempat Bersantai bagi Pengunjung Gunung Rowo


Gambar 1.7
Pos Pemantau Objek Wisata Gunung Rowo


Gambar 1.8
Menara Pengawas Ketinggian Air


Gambar 1.9
Tempat Duduk Pengunjung Gunung Rowo


Gambar 1.10
Tempat Singgah Pengunjung Gunung Rowo

Setelah melewati jembatan untuk menuju Gunung Rowo, ada dua buah jalan yang bercabang, yaitu jalan menuju pos pemantau serta jalan menuju menara pengawas ketinggian air.


Gambar 1.11
Jembatan Penghubung Gunung Rowo dengan Permukiman Penduduk

Ada beberapa kendala yang terkait dengan objek wisata Gunung Rowo, misalnya kebersihan. Pos pemantau kurang terawat, ditandai dengan banyaknya coretan-coretan tipeX di bagian kayunya. Hal ini menandakan kurangnya kesadaran pengunjung untuk ikut menjaga, merawat, dan melestarikan Gunung Rowo. Selain itu, ada beberapa masalah lain, meliputi:
Kondisi Gunung Rowo yang tergolong panas, padahal saya merasa sudah terdapat lebih dari cukup pohon yang dapat digunakan untuk mengurangi suhu udara.
Terdapat beberapa ayunan yang telah berkarat dan ada ayunan yang tinggal kerangkanya saja.
Baik dar bangku pengunjung maupun pos pemantau, keduanya sama-sama tidak dapat digunakan untuk melihat pemandangan Gunung Rowo secara utuh, karena terhalang oleh rimbunnya pepohonan – dan hal ini merupakan dilema. Untuk melihat pemandangan Gunung Rowo, dapat dilihat dari posisi jembatan yang menghubungkan area wisata Gunung Rowo dengan kawasan permukiman penduduk.
Jalan menuju permukiman penduduk dengan area wisata Gunung Rowo masih menjadi satu, sehingga retribusi tidak dapat ditarik secara maksmal. Petugas penarik retribusi harus jeli melihat mana penduduk yang bertempat tinggal di dekat Gunung Rowo dan mana yang termasuk pengunjung.


Gambar 1.12
Tangga di Objek Wisata Gunung Rowo Menuju Permukiman Penduduk

Kurangnya promosi yang ditawarkan oleh Pemerintah Kabupaten Pati sebagai pengelola aset wisata Gunung Rowo. Patut disadari bahwa Kabupaten Pati bukanlah kabupaten yang menggantungkan pendapatannya dari sektor pariwisata. Walaupun demikian, sektor tersebut penting untuk dikembangkan, selain untuk menambah pendapatan daerah, juga untuk lebih memperkenalkan Kabupaten Pati di mata nasional. Bahkan, apabila memungkinkan, dapat pula dibuat paket-paket wisata yang harganya terjangkau oleh semua pihak.

Freestyle di Stadion Joyokusumo

Kata “wow” itulah yang pertama kali saya ucapkan ketika melihat pertunjukan freestyle di Stadion Joyokusumo. Bagaimana tidak? beberapa pemuda melakukan aktraksi di atas sepeda motornya dengan sangat mengesankan. Atraksi yang dipertunjukkan cukup menghibur, yang dibuktikan dengan membludaknya pemain yang memadati halaman stadion. Adapun, penontonnya berasal dari berbagai golongan usia. Sebagian besar penonton berjenis kelamin laki-laki, walaupun ada juga beberapa cewek yang ikut menikmati serunya berkendara di atas sepeda motor dengan berbagai maca gaya yang ditampilkan.


Gambar 1.1
Lapangan Joyokusumo Sebagai Tempat Pertunjukan Freestyle


Gambar 1.2
Pentonton yang Memadati Lapangan Joyokusumo

Suasana pertunjukam freestyle ini tergolong tenang. Penonton berdecak kagum sambil sesekali memberikan aplause kepada pengendara yang memberikan gaya yang berbahaya dan menantang. Aksi “standing” dengan berbagai macam variasinya yang menghiasi sepanjang pertunjukan diadakan dalam waktu yang tidak menentu. Selain itu, terdapat beberapa polisi yang bertugas untuk menjaga ketertiban selama pertunjukan berlangsung. Hal tersebut merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin saja terjadi dan tidak diinginkan.


Gambar 1.3
Gaya Standing dari Para Freestyler 1


Gambar 1.4
Gaya Standing dari Para Freestyler 2

Lalu, apa yang didapat dari kegiatan freestyle tersebut? Tak lebih dan tak bukan adalah sebagai penyaluran hobi maupun bakat para pemain. Dengan bebas, mereka dapat mengekspresikan diri sendiri, atau dapat pula disebabkan oleh keinginan untuk menarik perhatian para cewek. Which ones do you choose? Let’s see!