Saya termasuk salah satu orang yang beruntung. Bagaimana tidak? Saya bisa bersekolah hingga masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri, saya bisa makan hingga 10 kali sesuka saya, bisa membeli baju satu bulan sekali kalau saya mau, bisa bermain-main dengan notebook setiap waktu, dan bisa … bisa … bisa lainnya. Namun, semua itu terjadi karena adanya dukungan finansial dari orang tua. Tanpa mereka, saya tidak akan mampu menjalani hidup.
Satu hal yang selalu mengganggu nurani saya. Saya tidak bisa adil. Ketika sedang lapar dan makanan belum tersedia, seringkali saya berpikir tentang kaum duafa. Apakah mereka bisa makan hari ini? Bagaimana jika mereka tidak mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari? Akan tetapi, ketika makanan telah terhidang, saya menjadi lupa pada mereka. Pikiran saya seketika berubah menjadi “masa bodoh dengan nasib mereka”. Lalu, apakah saya ini tergolong sebagai penjahat?
Kabupaten Pati dan Kemiskinan
Salah satu dosen saya pernah membacakan daftar perkembangan wilayah kabupateb/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasilnya, tidaklah mengejutkan. Sebagai ibukota provinsi, Kota Semarang merupakan satu-satunya kota yang memiliki perkembangan wilayah yang pesat. Untunglah, Kabupaten Pati tidak terpuruk di peringkat bawah. Kabupaten ini berada pada tingkat perkembangan wilayah yang sedang-sedang saja. Tidak lambat, tetapi juga tidak cepat. Hmm, bisa dibilang kecepatannya mencapai 60 km/jam jika kita sedang mengendarai sepeda motor.
Berdasarkan data yang saya peroleh di BPS (Provinsi Jawa Tengah dalam Angka, 2007), penduduk miskin di Kabupaten Pati pada tahun 2002, 2003, dan 2004 adalah sebagai berikut.
Sedangkan, untuk presentase penduduk miskin dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Dari grafik di atas, dapat kita ketahui bahwa pada tahun 2003 terjadi penurunan presentase penduduk miskin sebesar 1.85% dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, angka ini naik sebesar 0.01% pada tahun 2004. Jadi, sekitar 2500 penduduk yang tergolong tidak miskin mengalami perubahan status menjadi miskin pada tahun 2004. Jumlah tersebut kecil apabila kita mengingat total jumlah penduduk Kabupaten Pati yang mencapai 1,1 juta.
BPS juga mengeluarkan indikator kemiskinan yang digunakan untuk menilai keluarga miskin yang layak menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Indikator kemiskinan tersebut, meliputi :
• Luas lantai bangunan tempat tinggal bangunan kurang dari 8 m2 per orang.
• Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
• Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
• Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
• Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
• Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
• Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
• Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
• Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
• Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
• Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas /poliklinik.
• Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0.5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000,- per bulan.
• Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
• Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000,- seperti sepeda motor (kredit/non-kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Namun, 2500 jiwa ini tidak boleh dipandang remeh begitu saja. Apabila diasumsikan bahwa setiap keluarga memiliki 4 anggota, maka dapat dikatakan bahwa terdapat 650 KK yang menderita kemiskinan. Dengan total 247.900 jiwa penduduk miskin, saya agak sanksi dengan upaya pemerintah kabupaten untuk mengatasi permasalahan ini. Ya, berat juga sih …
Kemudian, presentase penduduk miskin di Kabupaten Pati pada 2002 – 2004, masih selalu berputar-putar pada angka 20%. Nyawa lebih dari 200 ribu penduduk dipertaruhkan di sini. O ya, hampir lupa. Batas kemiskinan memang meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya inflasi yang terjadi dalam lingkup nasional, bukan karena adanya peningkatan taraf hidup masyarakat. Kita pasti sudah paham betul apabila terjadi kenaikan harga barang-barang kebutuhan dan sektor jasa. Misalnya saja, apabila kita membeli gorengan Rp. 1000 dapat 3, tahun berikutnya bisa-bisa kita hanya mendapat 2 potong saja. Itupun dengan ukuran yang lebih kecil daripada sebelumnya. Maklum, saya ini hobinya makan gorengan …
Kabupaten Pati dan Pendidikan
Masih berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS, pada tahun 2006 ada 632.692 penduduk yang telah lulus SD+ tidak/belum pernah sekolah dan tidak/belum tamat SD, 194.871 penduduk tamat SMP, dan 176.549 penduduk tamat SMA/Perguruan Tinggi/Akademi.
Setelah saya mencoba mengolahnya dengan menggunakan pie chart, waw … hasilnya sungguh sangat mengejutkan. Ternyata, lebih dari 50% penduduk Kabupaten Pati merupakan tamatan SD. Bagaimana ini? Tingkat pendidikan biasanya terkait dengan tinggi rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki. Hal tersebut menandakan bahwa kualitas sumber daya manusia di Kabupaten Pati masih tergolong rendah. Sebenarnya, saya tidak ingin mengatakan demikian, tetapi kenyataan berbicara lain. Nah, kemudian … bisakah kita asumsikan bahwa rendahnya kualitas sumber daya manusia akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Pati?
Secara umum, Indonesia masih mengandalkan bahan baku dan tenaga buruh yang murah untuk menarik investor, dan begitu pula yang terjadi di Kabupaten Pati. Dengan kualitas sumber daya manusia yang tidak memadai, maka mau tidak mau masyarakat tidak mempunyai pilihan lain selain menjadi buruh pabrik. Pilihan lain yang tidak kalah sulit adalah menjadi petani, nelayan, pedagang. Hal ini pun juga tidak mudah untuk dijalani. Petani membutuhkan lahan + pupuk + bibit, nelayan membutuhkan perahu + jala + solar, sedangkan pedagang membutuhkan warung/kios + barang. Ketiga profesi tersebut memiliki ujung yang sama, ketiganya membutuhkan uang/modal/suntikan dana. Ya kalau usahanya lancar, jika tidak … apa yang akan terjadi?
Dari sinilah awal mula terjadinya kemiskinan. Masyarakat tidak memiliki penghasilan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya, kualitas hidup menjadi semakin menurun, yang dapat dilihat dari kondis rumah, apakah memiliki jaringan sanitasi yang memadai, ada/tidaknya dapur, bahan pembuat rumah (dinding/bambu/kayu), dan masih banyak kriteria-kriteria lainnya.
Kabupaten Pati dan Kemiskinan
Salah satu dosen saya pernah membacakan daftar perkembangan wilayah kabupateb/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasilnya, tidaklah mengejutkan. Sebagai ibukota provinsi, Kota Semarang merupakan satu-satunya kota yang memiliki perkembangan wilayah yang pesat. Untunglah, Kabupaten Pati tidak terpuruk di peringkat bawah. Kabupaten ini berada pada tingkat perkembangan wilayah yang sedang-sedang saja. Tidak lambat, tetapi juga tidak cepat. Hmm, bisa dibilang kecepatannya mencapai 60 km/jam jika kita sedang mengendarai sepeda motor.
Berdasarkan data yang saya peroleh di BPS (Provinsi Jawa Tengah dalam Angka, 2007), penduduk miskin di Kabupaten Pati pada tahun 2002, 2003, dan 2004 adalah sebagai berikut.
Tabel I.1
Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Pati 2002-2004
Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Pati 2002-2004
Sedangkan, untuk presentase penduduk miskin dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Dari grafik di atas, dapat kita ketahui bahwa pada tahun 2003 terjadi penurunan presentase penduduk miskin sebesar 1.85% dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, angka ini naik sebesar 0.01% pada tahun 2004. Jadi, sekitar 2500 penduduk yang tergolong tidak miskin mengalami perubahan status menjadi miskin pada tahun 2004. Jumlah tersebut kecil apabila kita mengingat total jumlah penduduk Kabupaten Pati yang mencapai 1,1 juta.
BPS juga mengeluarkan indikator kemiskinan yang digunakan untuk menilai keluarga miskin yang layak menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Indikator kemiskinan tersebut, meliputi :
• Luas lantai bangunan tempat tinggal bangunan kurang dari 8 m2 per orang.
• Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
• Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
• Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
• Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
• Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
• Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
• Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
• Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
• Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
• Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas /poliklinik.
• Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0.5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000,- per bulan.
• Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
• Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000,- seperti sepeda motor (kredit/non-kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Namun, 2500 jiwa ini tidak boleh dipandang remeh begitu saja. Apabila diasumsikan bahwa setiap keluarga memiliki 4 anggota, maka dapat dikatakan bahwa terdapat 650 KK yang menderita kemiskinan. Dengan total 247.900 jiwa penduduk miskin, saya agak sanksi dengan upaya pemerintah kabupaten untuk mengatasi permasalahan ini. Ya, berat juga sih …
Kemudian, presentase penduduk miskin di Kabupaten Pati pada 2002 – 2004, masih selalu berputar-putar pada angka 20%. Nyawa lebih dari 200 ribu penduduk dipertaruhkan di sini. O ya, hampir lupa. Batas kemiskinan memang meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya inflasi yang terjadi dalam lingkup nasional, bukan karena adanya peningkatan taraf hidup masyarakat. Kita pasti sudah paham betul apabila terjadi kenaikan harga barang-barang kebutuhan dan sektor jasa. Misalnya saja, apabila kita membeli gorengan Rp. 1000 dapat 3, tahun berikutnya bisa-bisa kita hanya mendapat 2 potong saja. Itupun dengan ukuran yang lebih kecil daripada sebelumnya. Maklum, saya ini hobinya makan gorengan …
Kabupaten Pati dan Pendidikan
Masih berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS, pada tahun 2006 ada 632.692 penduduk yang telah lulus SD+ tidak/belum pernah sekolah dan tidak/belum tamat SD, 194.871 penduduk tamat SMP, dan 176.549 penduduk tamat SMA/Perguruan Tinggi/Akademi.
Sumber : Hasil Analisis Penulis, 2009
Gambar 1.2
Presentase Penduduk yang Bersekolah di Kabupaten Pati Tahun 2006
Gambar 1.2
Presentase Penduduk yang Bersekolah di Kabupaten Pati Tahun 2006
Setelah saya mencoba mengolahnya dengan menggunakan pie chart, waw … hasilnya sungguh sangat mengejutkan. Ternyata, lebih dari 50% penduduk Kabupaten Pati merupakan tamatan SD. Bagaimana ini? Tingkat pendidikan biasanya terkait dengan tinggi rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki. Hal tersebut menandakan bahwa kualitas sumber daya manusia di Kabupaten Pati masih tergolong rendah. Sebenarnya, saya tidak ingin mengatakan demikian, tetapi kenyataan berbicara lain. Nah, kemudian … bisakah kita asumsikan bahwa rendahnya kualitas sumber daya manusia akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Pati?
Secara umum, Indonesia masih mengandalkan bahan baku dan tenaga buruh yang murah untuk menarik investor, dan begitu pula yang terjadi di Kabupaten Pati. Dengan kualitas sumber daya manusia yang tidak memadai, maka mau tidak mau masyarakat tidak mempunyai pilihan lain selain menjadi buruh pabrik. Pilihan lain yang tidak kalah sulit adalah menjadi petani, nelayan, pedagang. Hal ini pun juga tidak mudah untuk dijalani. Petani membutuhkan lahan + pupuk + bibit, nelayan membutuhkan perahu + jala + solar, sedangkan pedagang membutuhkan warung/kios + barang. Ketiga profesi tersebut memiliki ujung yang sama, ketiganya membutuhkan uang/modal/suntikan dana. Ya kalau usahanya lancar, jika tidak … apa yang akan terjadi?
Dari sinilah awal mula terjadinya kemiskinan. Masyarakat tidak memiliki penghasilan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya, kualitas hidup menjadi semakin menurun, yang dapat dilihat dari kondis rumah, apakah memiliki jaringan sanitasi yang memadai, ada/tidaknya dapur, bahan pembuat rumah (dinding/bambu/kayu), dan masih banyak kriteria-kriteria lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar