Jumat, 12 September 2008

Adakah Bahagia Untukku? (VII)

“Ayo, kita pulang. Aku nggak mau kamu kedinginan di sini,” kata Dicka.

“Tenang saja … kan ada kamu,” canda Ana. Di tangannya tergenggam sebuah benda yang selama ini hanya menjadi sepotong mimpi. Mereka pun tersenyum bersama, sebagai tanda bahwa mereka saling memahami.

Di kejauhan, ombak semakin sering menjilat – jilat pasir.

Dicka pun mengantar Ana pulang ke kosnya. Namun, alangkah terkejutnya mereka, ketika melihat ayah Ana sudah berdiri menanti di depan pagar dengan gusar.

“Mengapa Ayah bisa tahu …,” batin Ana heran.

Tetapi, tiba – tiba dia sangat paham saat melihat pandangan mata Leni. Tatapan itu sudah mengatakan semuanya.

“An, ayo ikut Ayah!” paksa ayahnya,”Ayah harus mengatakan sesuatu pada kamu.”

“Tapi …”

Dicka yang masih ada di samping Ana pun akhirnya ikut berbicara.

Om, maaf jika saya lancang. Saya mohon Om mau merestui hubungan kami. Kami saling mencintai.”

“Tidak bisa! Ana harus melanjutkan kuliahnya dulu. Lagipula, kamu tidak pantas berada di samping putriku.”

“Ayah!” protes Ana.

“Diam! Ayah pasti akan mencarikan seorang pria yang sejajar dengan keluarga kita!” Ayah Ana berteriak. Padahal, pada saat itu mereka sedang berada di pinggir jalan.

“An, kamu sudah berani melawan Ayah?”

Ana benar – benar bingung. Keputusan apa yang akan dia ambil? Ayah atau kekasihnya?

“Maaf …,” gumam Ana sambil menggandeng tangan Dicka, mengajaknya pergi.

“An … apa kamu yakin dengan keputusanmu?”

Ana mengangguk pelan. Air matanya menitik jatuh.

“Aku nggak apa – apa. Ayo!”

Kemudian, mereka segera pergi dari tempat kos Ana. Sampai – sampai Ayah Ana syok melihatnya. Beliau tidak akan pernah percaya jika putrinya yang lembut bisa menentang dirinya.

Setelah dapat mengatasi keterkejutannya, Ayah Ana segera memerintahkan beberapa anak buahnya untuk mengejar mereka.

“Cepat! Jangan biarkan mereka lolos!” teriaknya.

“Ka, kita dikejar,” kata Ana, ketika dia melihat beberapa tangan kanan Ayahnya.

“Ya, aku tahu.”

Pada saat itu, jalanan sepi, sehingga Dicka pun menambah kecepatan motornya.

“Aku percaya padamu. Aku percaya kita akan bahagia,” gumam Ana.

Dicka tidak menjawab. Dia sedang memusatkan perhatiannya ke depan. Tiba – tiba, sebuah mobil memotong jalan. Dicka yang sedang mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi segera mengerem. Namun, ternyata semuanya sudah terlambat.

Dicka merasa dirinya melayang ke udara sebelum membentur jalan. Sudah tak terbayangkan lagi bagaimana nyeri yang menyengat di sekujur tubuhnya. Namun, di tengah kesadarannya yang semakin menipis, dia masih mencari – cari sosok Ana. Di mana dia?

Matanya sudah semakin mengabur, ketika dia melihat Ana bersimbah darah, dan … dia tidak bergerak. Dicka seketika menjadi panik. Dengan menyeret – nyeret kakinya menahan sakit, Dicka menuju ke arah Ana.

“An, bangun! Aku ada di sini!” kata Dicka sambil mengguncang – guncang tubuh Ana.

Cringg …, sebuah cincin terjatuh dari tangan Ana.

Dari kejauhan Dicka mendengar orang – orang mulai berkerumun dan berteriak.

“Tapi, mereka meneriakkan apa?” tanya Dicka. Semua tampak bagaikan mimpi bagi dirinya. Apakah ini sebuah mimpi buruk? Tapi, mengapa dia tidak terbangun juga?

Suara ombak memecah karang seperti nyanyian pelantun rindu bagi mereka.

Dicka merogoh sesuatu dari dalam kantongnya. Sebuah benda yang tidak pernah terlepas dari dirinya, dan telah menjadi bagian dari hidupnya.

“Ini!” katanya pada Ana,”maaf kalo nggak ada pembungkusnya,”

Benda itu berkilauan ditempa mentari senja.

“Aku takut nggak sempat memberikannya padamu.”

Ann tersenyum. Manis sekali.

Dicka terbangun dengan jantung berdebar dengan kepala pening. Mengapa aku ada di sini? Bau rumah sakit ini sudah sangat dikenalnya.

Tiba – tiba, dia merasa telah kehilangan sesuatu. Dimana Ana? Hanya ada ayah di sampingnya.

“Yah, Ana dimana?” tanya Dicka gelisah, sambil mencengkeram lengan ayahnya.

Namun, ayahnya tidak menjawab. Beliau justru meletakkan tangannya di atas tangan Dicka dan tersenyum pilu. Dicka pun merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Ana … dimana dia? Dicka nggak membunuhnya, kan?”

Semua ini bukan salahmu, nak. Semua bukan salahmu.”

Seketika, dunia Dicka menjadi runtuh.

“Ayah?”

Dicka pun menangis di dada Ayahnya.

“Sudahlah. Semua ini bukan salahmu,” jawab Ayah berusaha menenangkan anaknya.

Dicka sudah tidak lagi mempunyai semangat untuk hidup. Seseorang yang selalu mengisi lorong – lorong hatinya, kini sudah menghilang. Menghilang untuk selamanya. Menghilang, tanpa pernah bisa kembali. Ya, Ana sungguh tega meninggalkannya sendirian di sini, tak mengajaknya.

Hari ini … . Dia sungguh tidak bisa menghadapi hari ini. Seharian, dia hanya mengurung diri di kamarnya. Dia tidak makan, tidak minum, tidak menginginkan apapun. Para perawat sampai bingung dibuatnya. Walaupun ayahnya selalu mengatakan bahwa semua ini bukanlah kesalahannya, Dicka tetap merasa dirinya berdosa.

Seharusnya, Ana tidak perlu lari bersamanya. Seharusnya, Ana masih hidup hingga sekarang dan memiliki kebahagiaannya. Seharusnya, Ana masih bisa menikmati hari – harinya … . Dan, semua ini karena dia. Dia lah yang telah membunuh Ana.

“Tuhan, ambil saja nyawa yang tidak berharga ini! Tapi, kembalikan Ana untukku. Mengapa Engkau justru memilih dia dan membuatku tersiksa seperti ini? Mengapa lagi – lagi aku harus kehilangan dirinya? Belum cukupkah jika Kau hanya mengambil Ibu dariku? Tuhan, aku tidak mengerti semua ini!”

Akhirnya, Dicka memutuskan untuk pergi ke rumah Ana, meskipun dia tahu kehadirannya nanti justru akan semakin menambah suasana menjadi kacau. Namun, dia tidak peduli. Dibunuh pun tidak apa – apa. Dicka hanya ingin melihat Ana untuk yang terakhir. Ana – nya yang cantik, baik, lembut, …

Tak ada gunanya jika dia hanya berada di rumah sakit seperti ini dan merenungi kenangan – kenangannya bersama Ana, dan menangis … hingga air matanya mengering.

“Ana, apakah kau merasa kesepian berada di sana? Sungguh, aku ingin menemanimu.”

Ayah Ana menyambut kedatangan Dicka dengan histeris.

“Mau apa kamu ke sini? Pergi! Kamu yang telah membunuh putriku,” teriak Ayah Ana.

Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dicka. Namun, dia seolah sudah tidak merasakan apapun.

“Sabar, Pak!” kata seseorang sambil berusaha menenangkan Pak Budi.

“Lepaskan! Biarkan aku membunuhnya.”

“Sudahlah, Pak. Semua ini sudah merupakan suratan takdir. Bapak harus mengikhlaskan kepergian putri Bapak.”

“Apa? Suratan takdir? Bila cowok brengsek itu tidak mendekati putriku, semua tidak akan berakhir seperti ini!”

“Lepaskan!”

Saat itu, Dicka sudah tidak mendengar apapun.

“Aku datang, An. Aku ada di sini menemanimu. Mengapa kamu tidak terbangun juga? Bukankah kau juga mencintaiku? ” bisik Dicka mencium kening Ana.

Orang – orang mulai berteriak. Tapi, Dicka sudah tidak mendengar apapun.

“Jangan, Pak! Apa yang akan Bapak lakukan?”

Akan tetapi, tidak ada orang yang berani mendekat. Pak Budi mengacung – ngacungkan pisau yang dibawanya ke hadapan orang – orang yang hadir. Dan, semua hanya bisa terpana … terdiam, ketika Pak Budi mendekati Dicka.

Ketika berbalik, Dicka merasakan ada sebuah benda dingin yang menembus perutnya. Dia melihat darah mengalir membasahi bajunya. Merah …

Semua terkejut menyaksikan kejadian itu. Tubuh Dicka roboh. Darah mengalir cepat menggenangi lantai yang berwarna putih.

“An, aku tahu saat ini pasti akan datang …”

Hingga akhir, Dicka tidak pernah mengerti rencana Tuhan untuknya, dan dia tersenyum.

Hari itu … hari yang tak terlupakan.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar