Jumat, 13 Agustus 2010

Cinta Nana untuk Aldi

Sejak malam itu, hati Nana selalu dirundung gelisah. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi menatap kehidupan dengan kepala tengadah. Dia bukan Nana yang dulu lagi. Sekarang, dia sudah kotor. Walaupun telah berendam selama satu jam, walaupun telah menggosok tubuhnya berulang kali, tetapi dia bukanlah seorang gadis yang masih suci. Ah, Nana ingin menangis, meraung-raung, berteriak untuk melepaskan semua ini.

“Tuhan, mengapa aku begitu bodoh? Aku … aku …,” Nana tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena di detik berikutnya matanya telah kembali tertutup oleh air mata. Namun, nasi telah menjadi bubur. Apa yang dapat dia lakukan sekarang?
“Ya, aku harus menguburnya dalam-dalam,” tekad Nana.

Dua bulan kemudian, apa yang semual dikhawatirkan oleh Nana benar-benar terjadi. Kini, dia benar-benar panik. Dia tidak tahu apa yang mesti dilakukannya.

“Sudah dua bulan …,” gumam Nana lirih, hampir pingsan melihat tes uji kehamilan yang menunjukkan dua buah garis merah yang jelas. Nana merasa sangat lemas, tidak sanggup lagi berdiri. Dunia Nana menjadi terbalik seketika, runtuh menimpanya, membuat jiwanya hancur menjadi kepingan. Kiamat sudah!

Tak ada yang Nana lakukan selain menangis sepanjang hari. Dia tidak lag memiliki nafsu makan, apalagi tidur pulas. Yang tidak bisa dia lakukan lagi, sejak …

Nana ingin mati sekalian saja. Namun, dia tidak bisa melakukannya! Sudah ada seseorang yang berada di dalam tubuhnya dan menyatu bersama dengannya. Dia tidak tega untuk membunuh janin itu bersama dengannya. Janin ini tidak berdosa, dia berhak untuk mendapatkan kehidupan dan menghirup udara bebas di luar rahim ibunya. Yang pasti, dia tidak minta untuk dilahirkan ke dunia.

“Aldi …,” panggil Nana lirih. Seandainya tidak sedang mengandung, dia tidak akan mau mengemis di hadapan Aldi seperti saat ini.
“Ada apa?” tanya Aldi agak ketus pada Nana.
Nana tersentak. Padahal, sebelum ini, Aldi selalu bersikap manis kepadanya, tidak pernah berkata kasar sekalipun.
“Al, aku hamil,” kata Nana sangat pelan hampir tidak terdengar.
“Apa?” teriak Aldi. Ternyata, kata-kata itu masih bisa didengarnya. Bagai disambar petir Aldi mendengarnya.
Cepat! Gugurkan dia, Na! Aku belum siap punya anak,” kata Aldi panik.
“Tapi, dia tetap anakmu.”
“Tidak.”
“Al, dia tetaplah darah dagingmu.”
“Na, dengarkan kata-kataku. Kita berdua akan hancur karena anak sialan ini!”
“Jadi …,” Nana menatap Aldi dengan perasaan yang bercampur aduk. Wajahnya semakin bertambah pucat. Tiba-tiba, dia merasakan firasat yang buruk datang menghampirinya.
“Na, aku belum siap menjadi ayah!”
Hati nana sangat sakit mendengarnya. Padahal, selama ini, dia begitu percaya kepada Aldi. Aldi yang mampu membangkitkan rasa cinta yang entah sekian tahun terkubur di dasar hatinya. Aldi yang baik, pengertian, selalu siap menolong itu sudah tidak ada lagi. Kini, yang dilihatnya adalah seorang cowok yang tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dimana Aldi yang dulu?
Seketika Nana tersadar. Ternyata, cinta selama ini telah membutakan matanya, menutup telinganya, membelenggu hatinya.
“Jadi, semua itu benar? Aku … telah dijadikan taruhan olehmu dan teman-temanmu?” kata Nana dengan suara bergetar.
Aldi terkejut menyadari ke arah mana pembicaraan mereka saat ini. Dia terdiam tak menanggapi. Bukannya tak mau bertanggungjawab, tetapi karena dia tidak pernah menyangka kejadiannya akan berakhir dengan jalan cerita seperti ini.
“Jawab, Al! Aku ingin mendengarnya langsung darimu,” kata Nana dengan suara serak.
Aldi tetap membisu. Dia diam saja, berusaha tidak menanggapi pertanyaan Nana. Dia masih punya hati. Jika dia mengatakan semuanya, gadis yang ada di hadapannya sekarang pasti akan sangat … sangat terluka.
“Al, aku siap mendengar apapun darimu.”
Walaupun sebenarnya Nana tidak pernah siap menghadapi apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini.
Setelah didesak terus oleh Nana, akhirnya Aldi menyerah. Dia sungguh ingin menggeleng, tetapi entah mengapa dia justru mengangguk membenarkannya.
Nana memandang Aldi dengan perasaan terluka, perih, kecewa, sakit …
Kini, dia sudah tidak bisa lagi menahan air matanya, dia tidak peduli lai seandainya Aldi melihatnya menangis di hadapannya.
“Maafkan aku, Na! Aku … aku …,” kata Aldi sambil meraih tangan Nana. Namun, Nana menepisnya.
“Sudahlah, kamu tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Aku sudah tahu …”jawab Nana setelah dia bisa mengatur perasaannya. Bukankah kenyataan ini terlalu memilukan?
“Al, jadi kamu tidak pernah mencintaiku?”
Kali ini Nana sudah siap mendengar jawaban tidak dari mulut Aldi.
“Na, maaf. Aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya ingin …”
Sebelum Aldi sempat meneruskan kata-katanya, Nana sudah memotong,” Ya, aku tahu.” Nana tersenyum pilu,” terima kasih karena kau telah memberikan makna cinta untukku. Setelah hari ini, semoga kamu tidak pernah melihatku lagi.”
Nana beranjak dari kursinya. Akan tetapi, Aldi masih saja duduk, masih terpana dengan kata-kata yang diucapkan oleh Nana. Begitu tersadar, Aldi berlari mengejar, tetapi Nana sudah menghilang. Padahal, tadi dia sudah siap apabila dipukul, ditampar, atau diapakan juga.
Itulah terakhir kali Aldi melihat Nana. Sejak saat itu, Nana sudah tidak pernah masuk kuliah. Kosnya kosong, dan dia pergi tanpa pamit. Teman-temannya pun tidak ada yang tahu dimana Nana terakhir berada. Nana bagaikan ditelan bumi. Entah kemana dia pergi, Aldi tidak tahu …
Nana memutuskan untuk tinggal di kota ini. Kota yang damai. Kota yang bisa digunakannya untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Dengan uang tabungannya, Nana mengontrak sebuah rumah kecil yang akan ditinggalinya bersama anaknya kelak. Anak dari seseorang yang sangat dicintainya …

Ckittt …, Aldi mengerem mobilnya. Di hadapannya, ada seorang anak kecil yang hendak menyeberang. Untunglah, dia bisa menghentikan laju mobilnya tepat pada waktunya. Terlambat sedikit saja, Aldi tidak yakin lagi apakah anak itu akan selamat atau tidak. Dia merasa bersalah, hanya karena dia tidak ingin terlambat menghadiri rapat bersama Bapak Bupati, dia mau saja menerobos lampu kuning.
Aldi turun dari mobilnya.
“Dek, kamu tidak apa-apa?” tanya Aldi pada anak kecil yang memakai seragam SD itu.
“Aldi tidak apa-apa kok, Om,” jawabnya polos sambil tersenyum memperlihatkan deretan giginya.
Deg! Aldi merasa ada yang tidak beres dengan jantungnya. Nama anak ini sama dengan dirinya. Dan, apabila diperhatikan, bisa dibilang anak ini mirip dengannya.
“Mungkinkah?”
Namun, Aldi menepis pikirannya jauh-jauh.
“Tidak mungkin,” gumamnya pada dirinya sendiri.
“Da … da …, Om,” teriak anak itu dari seberang jalan.
Aldi hanya tersenyum dan segera teringat dengan rapat yang harus dihadirinya. Segera dilarikannya mobil itu menuju kantor Bupati dengan perasaan yang tidak tenang. Aldi masih memikirkan anak SD itu. Seakan, ada ikatan batin yang tidak terlihat di antara mereka berdua.

“Ibu, tadi di jalan, Aldi melihat Ayah,” kata Aldi senang.
“Apa, Aldi? Kamu melihat Ayah?” tanya Nana tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan dari anaknya.
“Aldi beneran melihat Ayah?” tanya Nana untuk kedua kalinya, hanya untuk meyakinkan telinganya apakah dia salah dengar atau tidak.
“Iya, Bu. Aldi bener-bener melihat Ayah. Ayah yang ada di foto itu,” tunjuk Aldi pada sebuah foto kusam yang dipajangnya di ruang tamu. Foto satu-satunya yang dimiliki oleh Nana.
“Aldi pasti salah lihat. Ayah kan sedang pergi berlayar …”
“Untuk menangkap ikan ya, Bu? Terus, ikannya yang kita makan itu? Besok, Aldi juga mau menjadi kapten kapal …”
“Kalau begitu, Ibu mau dengar Aldi nyanyi.”
Aldi pun mulai menyanyi diiringi tepukan dari Nana. “Nenek moyangku seorang pelaut …”
Siang harinya, Aldi sudah melupakan sosok yang bernama ‘ayah’. Dia sudah bermain bersama dengan teman-teman sebayanya. Dari kejauhan, Nana tersenyum. Sekarang, Aldi telah tumbuh menjadi seseorang yang tampan, pintar, dan baik hati, seperti … Ah Nana berusaha membuang kenangan masa lalunya yang tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam pikirannya.
“Maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak pernah mengenalkan sosok Ayah bagimu.”

“Dok, bagaimana keadaan Aldi?” Aldi seperti memanggil dirinya sendiri.
“Dia berhasil melewati masa kritisnya. Untunglah, Anda cepat membawanya ke sini. Jika tidak, saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada anak itu.”
“Terima kasih, Dokter sudah menyelamatkan nyawa Aldi.”
“Itu memang sudah menjadi kewajiban kami untuk menolong sesama,” jawab Doketer itu tersenyum,” sebentar lagi ibu anak itu akan ke sini.”
“Iya, terima kasih, Dokter,” seru Aldi sambil menyalami Dokter itu.

Satu jam berlalu, ketika seorang wanita dengan langkah tergesa-gesa segera mendatangi ruangan dokter. Aldi tidak memperhatikannya, bukankah wajar saja jika setiap hari ada ratusan orang yang berlalulalang di lorong rumah sakit ini?
“Dok, bagaimana anak saya?” kata wanita itu dengan setengah menangis.
“Tenang dulu, Bu,” jawab Dokter itu dengan sabar.
“Saya harus tenang bagaimana melihat anak saya terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit!”
“Saya tahu bahwa Ibu cemas. Tapi, Aldi tidak apa-apa. Dia selamat berkat seseorang.”
Nana memandang memandang wajah dokter itu tidak mengerti.
“Maksud Dokter?”
“Untuk anak sekecil itu, Aldi telah kehilangan banyak darah. Tapi, mohon maaf sebelumnya, karena kami tidak memiliki persediaan daerah putra Anda. Golongan darahnya, A.”
Nana masih tidak mengerti. Wajar saja jika golongan dalah Aldi A, lha dia kan mempunyai golongan darah A dan begitu pula ayah biologisnya.
“Lalu, apa masalahnya, Dok?”
“Putra Anda memiliki Rh –, sangat jarang orang Indonesia memiliki golongan darah Rh –, darah ini termasuk jenis langka.”
Nana mengangguk mengerti.
“Untunglah, bapak yang ada di luar tadi memiliki golongan darah yang sama dengan putra Ibu. Ini termasuk keajaiban dan anugerag bagi putra Ibu.”
“Terima kasih, Dokter.”
“Sama-sama, Bu.”
“Jadi, Bapak itu sekarang masih ada di luar?”
Dokter itu mengangguk.

Nana segera bergegas keluar mencari pria yang telah menolong nyawa anaknya. Dia harus mengucapkan terima kasih banyak kepadanya, bahkan beribu terima kasih. Tanpa Aldi, dia tak akan lagi sanggup bertahan hidup …
Dilihatnya pria itu sedang membaca pengumuman yang ada di rumah sakit. Dia memunggungi Nana. Nana pun segera menuju ke tempat pria itu.
“Maaf, Pak. Saya IBu dari dari anak yang Bapak tolong …”
“Ya …,” Pria itu berbalik dan seketika Nana pingsan melihatnya.

Ketika terbangun, Nana mendapati dirinya terbaring di atas tempat tidur rumah sakit.
“Sejak kapan aku berbaring di sini?” Nana mengingat-ingat, tapi dia tetap tidak mengingatnya.
“Dokter …”
“Anda ini bagaimana to? Kok bisa pingsan? Bapak itu yang membawa Anda kemari.”
Begitu mendengar kata-kata Dokter, Nana kembali mengingat semuanya.
Ya, dia tadi melihat Aldi …
“Lalu, dimana Bapak itu sekarang?”
“Oh, dia sudah pulang, Bu?”
Ada rasa kecewa di hati Nana. “Ya Tuhan, rasa apa ini?”
“ … tapi, dia akan kemari lagi nanti sore.”
Nana mengangguk.

Sore hari … di rumah sakit.
“Benarkah dia anakku?”
Nana mengangguk. Kini dia lebih bisa menerima kenyataan dibandingkan dengan 7 tahun yang lalu. Waktu yang cukup lama untuk menawar racun dalam hatinya.
“Dia mirip sekali denganku, Na.”
Nana hanya tersenyum.
“Terima kasih kamu sudah mau menyelamatkan Aldi, walaupun aku masih merasa aneh dengan kehadiran dua Aldi di sini.
“Al, setelah sekian tahun lamanya, akhirnya aku bisa mengatakan bahwa aku baik-baik saja.”
Aldi tersentuh mendengarnya. Wanita yang duduk di depannya ini sangatlah tabah, lebih dari yang diduganya selama ini.
“Maafkan aku, Na,” kata Aldi sambil memegang tangan Nana.
“Sudah tidak apa-apa. Hidupku kini hanya tercurah untuk Aldi. Yah, memang aku dulu begitu bodoh, tidak mengerti apa-apa.”
“Tidak, Na. Semua itu salahku. Seandainya aku tidak main-main …”
Aldi seakan menerawang kembali masa-masa ketika dia dulu bersama Nana.
“Maafkan aku.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Al. Aku senang akhirnya dapat bertemu denganmu lagi, walaupun dalam keadaan yang tidak menyenangkan seperti ini,” kata Nana tersenyum.
“Lalu, selanjutnya apa rencanamu setelah ini, Na?”
Nana terdiam sesaat.
“Aku akan hidup berdua dengan anakku. Dia merupakan satu-satunya bukti bahwa aku ada di dunia ini.”
“Bolehkah aku menjenguk Aldi kapan-kapan?” kata Aldi berdiri dari tempat duduknya.
“Jangan pergi, Al!” Nana memegang tangan Aldi. Namun, sesaat kemudian segera dilepaskannya.
“Maaf, aku lupa jika aku tidak mempunyai hak untuk menahanmu di sini bersamaku. Maaf!”
“Kamu ingin agar aku menemanimu?”
Nana dan Aldi berpandangan.
“Tidak. Lupakan saja pembicaraan tadi.”
“Baiklah, aku pergi dulu.”

Nana mengangguk. Dia menatap kepergian Aldi dengan hati yang sangat terluka. Ternyata, tidak cukup cinta antara Aldi dengan putranya sendiri. Apalagi, cinta untuk seorang Nana yang tidak mempunyai hubungan darah. Padahal, Nana hanyalah manusia biasa yang juga membutuhkan kasih sayang, walaupun selama ini dia berusaha sabar untuk menghadapi berbagai badai yang menerjangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar