Rabu, 04 Juni 2008

Adakah Bahagia Untukku? (V)


“An …”
Suara itu, batin Ana dengan kaget …, ternyata ayah sudah pulang.
“Ya, ayah?” tanya Ana sambil berbalik menghadap ke arah ayahnya.
“Kamu sudah berjanji …”
“Ya.”
“Tentunya, kamu nggak akan menghindar.”
Ana merasa badannya lemas dalam sekejap. Dia tidak akan pernah melupakan janjinya pada ayah. Ya, dia memang tidak bisa lagi menghindar. Tidak akan bisa.
Ana memandang langit – langit di kamarnya. Memang, tidak ada apa – apa di sana. Hanya saja, Ana seolah melihat bayangan ayah dengan dirinya sedang berbicara di ruang tamu …
Ketika dia tiba di rumah, ayah sedang membaca koran sambil minum kopi. Padahal, tidak biasanya ayah pulang sesore ini. Namun, untunglah. Ayah pasti bisa menolongnya.
“Ayah!”
“Ada apa?” tanya ayah. Tak sekalipun dia menoleh pada Ana.
“Ayah, aku butuh …”
“Uang? Berapa?”
Ayah seakan bisa membaca pikiran Ana.
“Dua puluh enam juta.”
Ayah sekalipun tak bereaksi ataupun menunjukkan emosinya. Ana menjadi takut.
“Buat apa?” Akhirnya ayah berkata setelah lama berdiam diri. Ana menunggu dengan tegang.
“Buat temanku.”
“Itu saja? Ana, dengar. Ayah tidak akan membantu temanmu jika kau tidak memberi ayah alasan yang masuk akal.”
Ana menyerah. Dia tidak punya pilihan lain. Hanya ayah yang bisa membantunya.
“An, hindari dia.”
“Tapi, ayah…” protes Ana,” dia sudah menolongku.”
“Ya, ayah sudah dengar,” jawab ayah tegas,”Siapa tadi nama temanmu?”
“Dicka.”
“Ayah merasa kamu tidak cocok dengannya. Dia hanya ingin memperalatmu. Kamu tidak pantas bergaul dengannya.”
“Ayah tahu apa tentangku? Tidak ada. Ayah tidak mengerti aku. Aku juga tak pernah mengenal siapa ayah sebenarnya,” keluh Ana dengan suara serak. Ditahannya air mata yang ingin mengalir turun dengan susah payah.
“Kalau begitu, ayah juga tidak bisa membantunya …”
“Ayah …” Hilang sudah satu – satunya harapan. Ana tahu, Dicka bukanlah anak orang kaya. Lagipula, ayahnya sedang bertugas beberapa bulan dan rasanya sungguh mustahil untuk menghubunginya.
“ … kecuali kau mau menerima persyaratan dari ayah.”
Harapan Ana kembali melambung.
“Apa?” tanya Ana dengan semangat.
“Kamu tidak boleh menemuinya. Empat bulan lagi kamu akan kuliah, dan tidak akan bertemu dengannya lagi. Jadi, selesaikan semuanya dari sekarang,” tegas ayah.
“Ya, ayah. Aku janji.”
Apakah aku punya pilihan lain? pikir Ana.
“Ayah tahu kamu sudah dewasa.”
Ana tidak mengerti apa yang dikatakan ayahnya.
Kini, tinggal satu bulan lagi. Ana belum juga mengatakan apa – apa pada Dicka. Dia masih bingung. Reaksi apa yang akan ditunjukkan Dicka nanti? Sedih atau justru tenang – tenang saja?
Mengapa aku berpikir dia akan sedih? Kami hanya teman biasa. Sebentar saja dia pasti sudah melupakanku, pikir Ana.
“Kamu mau ngomong apaan, sih?”
“Aku serius, Ka.”
“Iya. Lalu …”
“Aku akan pergi …”
“Aduh, mau pergi aja harus bilang – bilang. Jangan lupa oleh – olehnya, ya.”
Hati Ana menjadi bimbang. Katakan atau tidak? Dia tidak diberi kesempatan dua kali.
Setelah menghela napas, Ana berkata,”Ka, aku akan pergi sebulan lagi. Jadi, mungkin kita tidak akan bertemu lagi setelah itu.”
“Untuk apa?”
“Kuliah,” jawab Ana singkat.
Dicka terpana. Lalu, dia mengatakan,”Oh, selamat ya. Kamu akan jadi mahasiswi, dong. Kamu kan pintar, nggak kayak aku.”
Ana merasa sedih. Dicka juga. Akan tetapi, mereka tidak mau menampakkan perasaannya masing – masing dengan jujur.
“Aku nggak bermaksud …”
“Udah dulu, ya. Aku mau pergi,” kata Dicka. Dia tidak ingin Ana tahu bila dia sangat membutuhkannya. Selalu membutuhkan kehadiran Ana. Selalu! Selalu! Dan selalu! Saat ini, dia tidak tahan harus berhadapan dengan Ana lebih lama lagi.
“Tunggu …”
“Apa?”
“Nggak ada apa – apa.”
Biarlah perasaan cinta ini terpendam saja di dalam hatiku, batin Ana.

Sesampainya di rumah, Dicka menyalahkan dirinya sendiri.
“Bodoh! Bodoh! Bodoh! Dasar Dicka bodoh. Mengapa aku nggak nyadar?” katanya sambil memukul – mukul kepalanya dengan tangan,” sudah banyak tanda yang ditunjukkan Ana. Apakah semuanya sudah terlambat sekarang?”
Dicka mengenang kembali pertemuan mereka yang aneh. Ana yang menolongnya sewaktu di warung, di arena balap. Dia jadi tersenyum – senyum sendiri.
Ana yang selalu menjaganya, memberinya semangat, dan selalu mendukungnya. Dia lah teman yang selalu ada di sisinya. Tidak seperti orang lain yang baru mengaku sebagai teman di saat suka saja.
Dicka masih ingat saat Ana pernah bilang,”Tuhan itu ada. Dia selalu berada di samping kita. Kita diberi kesehatan yang tak ternilai harganya. Banyak orang kaya yang sakit – sakitan, lho. Terus, buat apa harta mereka? Ka, kamu jangan merusak dirimu sendiri, ya. Buat apa? Nggak bakalan ada gunanya. Tindakanmu justru akan menyusahkan orang lain.”
Lalu, Ana menepuk bahunya pelan.

Saat ini, dia akan pergi dari kehidupan Dicka, mungkin untuk selamanya. Dia tidak tahu harus sedih atau tertawa. Ternyata, Tuhan memang senang mempermainkan dirinya. Bila Ana tidak ada, bagaimana dengannya?
“Apakah aku merasa senang bila dia pergi? Tidak.”
Entah sejak kapan, Dicka berhenti main cewek dan minum. Ana sudah memberi warna dalam hidupnya. Lalu, dia akan kehilangannya begitu saja?
Mengapa dia baru sadar, betapa berartinya seseorang ketika hampir kehilangan? Apakah itu cinta? Cinta yang tidak dipenuhi oleh nafsu.

Keesokan harinya, Dicka bergegas menemui Ana.
“Lho, kenapa matamu?”
“Ah, nggak apa – apa. Aku nggak bisa tidur semalaman.”
“Memangnya kamu sedang mikirin apa sampai nggak bisa tidur?”
“Mikirin kamu.”
“Hah?”
“Aku mencintaimu, An.”
“Tunggu! Tunggu dulu.”
“Apa?”
“Maksudmu?”
“Maksudku, aku benar – benar mencintaimu. Maukah kamu menjadi …”
Ana tentu saja terkejut setengah mati mendengarnya.
“Apa – apaan ini? Kenapa tiba – tiba?”
“Jawabanmu?”
“Ka, kamu lagi demam, ya.”
“Jawabanmu?”
Ana sebenarnya ingin berkata ‘ya’, tetapi lagi – lagi perkataan ayahnya merasuk ke dalam pikirannya.
“Maaf … aku tidak bisa.”
“Kenapa? Bukankah kau juga mencintaiku?”
Jantung Ana sudah benar – benar copot dari tempatnya. Sejak kapan Dicka tahu? Sekarang, sudah tak ada gunanya berbohong.
“Ya, aku memang mencintaimu,” kata Ana dengan pahit.
“Lalu, masalahnya apa? Kita kan masih bisa bertemu saat kau pulang ke rumah.”
“ … tapi, aku sudah berjanji pada ayah,” kata Ana,” bila ayah mau memberiku dua puluh enam juta …”
Ana terkejut sendiri. Apa yang sudah dikatakannya tadi? Namun, untunglah Dicka tak mungkin tahu soal itu.
“Jadi, kau yang … Katakan, An. Ngapain kamu melakukannya. Aku nggak butuh pertolonganmu.”
Dicka tampak sama kagetnya dengan Ana.
“Ka, aku takut. Aku sudah tak punya jalan lain. Aku tak mau kehilanganmu. Yah, setidaknya aku bisa melihatmu sampai hari ini,” kata Ana seraya mencoba untuk tersenyum, walau saat itu dia ingin menangis.
Sebenarnya, Dicka ingin memeluk Ana dan membisikkan kata – kata bahwa semua akan baik – baik saja. Akan tetapi, ternyata dia hanya terpaku di tempatnya saja, hingga Ana berkata,”Besok aku akan berangkat.”
“Secepat itu?” tanya Dicka kaget.
“Ya, keberangkatanku dipercepat satu minggu.”
Hening.
Sesaat kemudian,”Jadi, lupakan aku.”
Ketika mengucapkanya, hati Ana seperti teriris sembilu. Rasanya pedih sekali.
“Ya, bila kau takdirku, suatu saat, entah kapan, entah dimana, kita akan bertemu lagi. Dan, aku nggak akan melupakanmu.”
Dicka benar – benar paham, dirinya tak mungkin pantas untuk Ana. Dia terlalu tinggi untuk digapai.

Ana mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Perasaannya mengatakan bahwa Dicka ada di dekatnya, sedang memandangnya.
“Kamu lihat apa? Cepat naik!”
“Ya, ayah.”
“An, ayo!” seru ibunya.
Ana bergegas menuju ke dalam mobil. Sekali lagi, diedarkan pandangannya. Tiba – tiba, matanya terpaku pada sosok seseorang yang sedang berdiri di balik rimbunnya pepohonan.
Dicka sedang memandang ke arah mobil … seakan ingin menembus kaca mobil yang gelap untuk memandang Ana. Dan, Ana ingin sekali berlari menghampirinya, tetapi saat itu mobil sudah melaju meninggalkan halaman rumah.
Maafkan aku, dirimu akan selalu tersimpan di hatiku, batin Ana … setelah yang kita alami bersama.

Sepeninggalan Ana, hidup Dicka menjadi kacau dan hampa. Diacuhkannya saja teman – temannya yang mengajakanya balapan. Dia tidak menginginkan apapun. Dia hanya ingin bersama Ana. Senyumnya, tatapan matanya, suaranya, semuanya. Mengapa dia merasa tersiksa begini?
Ya, dia memang harus mengakhiri semuanya.
Saat membuka mata, Dicka sudah berada di rumah sakit. Dan, ayahnya sedang terkantuk – kantuk di sampingnya. Menunggunya? Lalu, sejak kapan ayah pulang? Dan, mengapa dia tidak ingat sama sekali apa yang menimpanya. Dicka termenung sendirian. Rasanya, dia seperti baru saja terbangun dari tidur yang panjang.
“Dasar anak tidak tahu diri. Bagaimana kalau Ayah tidak pulang tadi!” teriak ayahnya.
“Pak, harap tenang,” kata salah seorang perawat.
“Maaf,” jawab Ayah, tanpa mengurangi volume suaranya.
“Emangnya aku kenapa?” tanya Dicka bingung.
“Seharusnya Ayah yang tanya. Mengapa kamu melakukannya?”
“Melakukan apa?”
“Lihat tanganmu,” jawab Ayah dengan jengkel.
Dan, ketika melihat perban di tangannya, Dicka kembali mengingat semuaya. Semua masalah yang bertumpuk di pikirannya, hingga dia memutuskan untuk …
“Ngapain Ayah nolong Dicka segala?” protesnya,”aku ingin mati saja. Aku sudah terlalu lelah …”
Plak ! Sebuah tamparan mendarat di pipi Dicka.
“Ayah …”
Ayahnya sudah tak mempedulikan lagi pandangan kaget di sekeliling mereka.
“Tapi, bukankah ayah lebih senang jika aku menghilang selamanya?”
“Dicka, hanya kamu satu – satunya milik ayah di dunia. Bagaimana ayah bisa hidup tanpamu? Ayah sangat menyayangimu,” kata Ayah sambil memegang tangan Dicka yang gemetar.
“Tapi, bukankah selama ini …”
“Sssst … sudahlah, nak. Masalah itu jangan diungkit – diungkit lagi,” kata ayahnya lembut.
Sejak kapan terakhir kali Ayah memanggilnya dengan sebutan ‘nak’? Dicka sudah tak mengingatnya lagi.
“Ayah akui bila selama ini ayah yang salah karena telah mengacuhkanmu. Ayahmu ini gagal. Maaf, nak. Ayah membiarkanmu tumbuh sendirian.”
“Ya! Ayah memang keterlaluan, mau menang sendiri …!”
Dicka tidak jadi meneruskan kata – katanya ketika dia melihat ayah memandangnya dengan tatapan kosong.
“Ayah?”
Tiba – tiba Ayah berkata,” Bila melihatmu, ayah selalu merasa sedang berhadapan dengan perempuan itu.” Dan, Dicka melihat ada rasa sakit di mata ayah.
“Siapa? Ibu?” tanya Dicka.
“Jangan menyebut – nyebut namanya lagi.”
Dicka langsung terdiam tak berkomentar.
Kemudian, katanya,” Ayah tidak berharap banyak bila kamu mau memaafkan ayah. Kamu sudah terlalu banyak disakiti.”
Dicka merasa bimbang. Di satu sisi, dia benar – benr ingin memaafkan ayahnya, tetapi dia masih ingat dengan jelas bagaimana ayah menghajarnya tanpa belas kasihan.
Namun, tiba – tiba dia teringat dengan perkataan Ana.
“Maafkan Dicka juga, Yah. Selama ini aku nggak pernah membuat Ayah merasa bangga.”
Ya, harus ada kesempatan kedua bagi kita berdua, batin Dicka. Dan, mereka tersenyum. Senyuman yang penuh kelegaan.
Memang tak ada pelukan hangat. Namun, saat itulah Dicka merasakan kehangatan yang mengalir ke dalam hatinya. Dia tahu … salah satu kebahagiaannya telah kembali. Ayah menyayanginya, mengkhawatirkannya.
“Ayah, aku akan mencoba untuk berubah.”
“Ya, ayah juga.”
Sejak saat itu, Ayah sungguh – sungguh membuktikan ucapannya. Begitu juga dengan Dicka. Dia tidak ingin membuat ayahnya kecewa.
Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar