Ada dua masa penting yang sangat berarti di dalam hidupku, yaitu pada saat sebelum dan sesudah aku memasuki Jurusan Planologi ini.
Pra-masuk Plano
Aku merasa sangat bahagia pada saat kelas 2 SMA. Hidup ini indah. Kujalani hari-hari yang menyenangkan bersama para guru, teman-teman, dan keluargaku. Aku pun pernah merasakan makna cinta …, walaupun akhirnya patah hati, sih.
Namun, hidupku berubah (nggak sampai 1800) sejak aku naik ke kelas 3. Kehidupanku yang enjoyable berangsur-angsur mulai menghilang dari hadapanku. Tak ada lagi keceriaan seperti dulu. Tak ada gurauan lepas, canda yang bisa membuatku tertawa. Ya, aku mulai mengalami sindrom ketegangan, ketakutan, …
Banyak try out melelahkan yang harus kujalani. Bimbingan belajar yang seolah mampu membuat kepalaku ingin meledak karena tekanan panas yang terlalu berlebihan. (Perlu diingat! Tidak hanya otak, mesin pun kalau terus menerus digunakan akan cepat rusak). Rasanya, ingin kuceburkan saja kepalaku ke air dingin.
Aku melalui semuanya dengan beban yang menggantung di bahuku. Bagaimana tidak beban? Meskipun tidak bisa dibandingkan dengan sekolah-sekolah favorit di Semarang, SMA-ku merupakan SMA yang terbaik di Pati. Tentu saja, orang tua, kakek, nenek, om, bulik, … semuanya mengharapkan aku dapat masuk ke fakultas favorit dengan jurusan terbaik yang dimilikinya. Jujur, pada saat itu, aku sudah lupa bagaimana caranya untuk tertawa, tersenyum, menangis. Aku seperti robot yang belajar dan belajar.
Sebenarnya, aku ingin berlari kencang hingga ke ujung mimpi. Namun, bagaimana caranya? Aku tidur untuk melupakan semua. Akan tetapi, begitu terbangun, aku kembali mengingat masalah-masalah itu. Pantas saja, banyak orang yang memilih untuk menggunakan narkoba!
Waktu pun terus berlalu tanpa menyisakan ruang untuk mengisi kebahagiaan yang telah lama kosong. Semua anak kelas 3 sibuk mencari cara untuk dapat memasuki perguruan tinggi favoritnya masing-masing. Segala jalur ditempuh, mulai jalur prestasi olahraga dan seni, PSSB, de el el (maaf, aku lupa yang laen!)
Tentu saja atas saran dari orang tua, aku memilih memasukkan dataku lewat jalur PSSB, dengan pilihan jurusan yang kumasuki sekarang. Padahal, baik aku maupun ayah ibuku tidak tahu jurusan apa itu. Nama PWK terasa asing di telinga kami.
Hingga akhirnya, aku tidak diterima lewat PSSB. Aku menjadi semakin putus asa. Teman-teman sudah mulai mendapatkan sekolah dan aku belum. Ada rasa panik yang menjalar di hati. O y, teman-temanku yang diterima di Kedokteran membayar 175 juta, sedang Teknik Sipil 50 juta. Jadi untuk diterima PSSB, memang harus mengeluarkan uang sebanyak itu. Mana aku sanggup. Orag tuaku hanyalah guru yang mempunyai penghasilan yang relatif kecil.
Lau, aku mencoba jalur UM UGM. Ternyata, aku tidak diterima juga. Tubuhku seakan hancur seketika bersama dengan hatiku. Aku semakin terpuruk. Senyumku pun semakin menghilang. Aku takut jika mengecewakan orang tua yang telah membesarkan aku dengan sepenuh hati.
Hingga akhirnya, UM Undip hadir memnberikan seberkas cahaya yang masuk ke celah hatiku. Pada saat pengumuman, aku tidak berharap banyak. Akan tetapi, ketika mengetahui bahwa aku diterima, aku melonjak girang. Ya Allah, ternyata aku masih bisa tertawa. Namun, gembira itu hanya sesaat. SPMP untuk Teknik cukup besar. Apakah ayah ibu mau membayarnya? Untunglah, mereka bersedia, walaupun aku tahu bahwa uang yang dibayarkan adalah hasil dari hutang. Keluargaku memang tidak kaya, tetapi ayah ibu ternyata ingin memberikan masa depan yang terbaik bagi anaknya.
Terima kasih Ayah, Ibu … Aku tidak akan mampu membalas jasa kalian selama ini, walaupun ditukar dengan nyawa sekalipun.
Pasca-masuk Plano
Ketika menginjakkan kakiku pertama kali di lingkungan Undip, aku merasakan kemegahan yang menakjubkan. Bagaiamana tidak? Aku yang berasal dari kota kecil tidak mengira akan dapat masuk ke Undip, universitas favorit di Jawa Tengah. Universitas ini besarnya mungkin berpuluh-puluh kali lipat dari SMAku dulu. Walaupun sebebanrnya, aku sangat ingin masuk ke UGM …, tetapi aku berusaha untuk mengalihkan kecintaanku pada Undip, meskipun aku hanya mampu memberikan setengah hatiku.
Begitu aku masuk ke halaman Plano, aku melihat gedung bercat kuning merah yang tampak mencolok. Apabila dibandingkan dengan Arsitek dan Sipil, luas wilayah Plano relatif kecil. Maklum, jurusan ini baru berdiri pada tahun 1992.
# Semester 1
Aku menderita penyakit homesick. Setiap hari, aku merindukan rumah, ingin pulang tidak bisa, ingin berlari … itupun mustahil. Aku berusaha mati-matian menahan perasaan ini. Satu minggu pertama, kulalui malam dengan semua ketidakpastian. Hidupku terasa hampa tanpa kehadiran keluarga yang selama ini selalu hadir memenuhi hatiku dengan cinta, kasih, dan perhatian. Aku tidak bisa pulang karena ada program kampus yang sungguh menjengkelkan, OSPEK. Aku mau menolak, tetapi tidak tahu caranya. Sampai sekarang, aku selalu berpikir apa gunanya OSPEK? Cuma bentakan-bentakan tak berarti yang kadang membuat orang sakit dan menangis. Mengapa jurusan tidak membuat suatu program yang lebih berguna bagi mahasiswa?
OSPEK, bagiku merupakan pelampiasan kekesalan dan rasa dendam yang selama ini menumpuk kepada adik-adik angkatannya. Alasannya, karena mereka dulu juga diperlakukan sama. Nah, kan? Tak lain, OSPEK adalah lingkaran setan yang sulit untuk dihancurkan. Lha, bagaimana bisa? Jurusan saja mendukung kegiatan itu sepenuhnya.
Puncak dari OSPEK itu adalah pelantikan. Pelantikan yang hingga saat ini belum kulupakan. Satu hari dalam penderitaan. Detik demi detik dimarahi terus seakan tidak pernah akan habis. Capek semua ini badan.
Bahkan, malam hari menjelang pelantikan, aku menulis di diary … saking takutnya …
Satu hari menjelang pelantikan, Tuahn menurunkan hujan ke atas bumi. Mengapa? Karena Dia tahu bahwa itu adalah hujan terakhir yang dapat kulihat. Hujan yang dicurahkan sebagai hadiah ungkapan terakhir untukku. Karena, esok hari ‘kan kusongsong kematian. Atau, mungkin juga, Tuhan merasa kasihan padaku dan meneteskan butir-butir air mata untukku?
Kecuali Engkau, siapapun tidak berhak mengatur berapa lama waktu hidup manusia di dunia ini. Tapi, aku adalah suatu pengecualian. Aku tahu, bila esok menjelang, aku sudah tidak akan berada di dunia ini lagi. Lalu, kemana? Entahlah, nggak mungkin juga demi aku, Engkau menghentikan waktuMu.
Biarlah kusongsong fajar nanti dengan segala arti kepasrahan, tentang makna hidup, tentang makna kematian. Selama ini, Tuhan sudah selalu menjagaku, memberiku banyak karunia, dan aku bukanlah orang tak tahu malu yang hanya selalu menengadahkan tangan.
Aku minta padaMu, hilangkanlah ketakutan yang senantiasa membayang di setiap helai nafasku, agar aku bisa menerimanya degan hati lapang.
19 Januari 2008
#Semester 2
Di semester 2 ini memang sudah tidak ada pelantikan. Akan tetapi, aku mengalami syok berat. Tugas-tugas di semester 1 yang ringan, tiba-tiba menjadi berat di smester 2. Aku tak lagi mampu bersenang-senang apalagi bersantai-santai. Pekerjaan berat selalu mengintai setiap waktu, mulai dari tugas individu, tugas kelompok, maupun survei.
Pada saat survei GPS, aku dan teman-temanku persis seperti anak terlantar. Singgah dari masjid ke masjid nggak tentu arah. Wuih, pengalaman yang melelahkan, tetapi juga mengesankan. Badan memang capek semua, tetapi ada asyiknya juga, koq.
Plano itu jurusan yang sukanya jalan-jalan melulu. Setiap tahun, KKLnya pasti keluar negeri. Mulai Singapore, Malaysia, dan yang terakhir kemarin ke Thailand. Enak kan?
Begitu pula dengan survei Geolink. Walaupun medan yang ditempuh terjal, ada yang hampir mencapai kemiringan 90 derajat, tetapi di salah satu desa, kami menemukan air terjun yang indah, yang masih alami karena memang belum dikembangkan secara optimal.
Yah, begitulah jalan hidupku di Plano. Survei, tugas, deadline selalu mengejarku kemanapun aku bersembunyi.
I want to break free!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar