Kamis, 26 Juni 2008

FENOMENA PKL

Tidak ada kota manapun yang terbebas dari keberadaan pedagang kaki lima, baik itu di kota besar seperti Semarang ataupun di kota kecil seperti Pati. PKL seakan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari suatu kota. Booming – nya PKL ini, terutama disebabkan oleh adanya krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997, yang mengakibatkan banyak pegawai dan karyawan swasta terkena PHK. Maka, salah satu jalan yang dipilih mereka untuk mempertahankan hidup adalah dengan menjadi pedagang kaki lima. Selain mudah dan hanya menggunakan modal yang sedikit, PKL juga tidak memerlukan izin usaha dari pemerintah.

Kemunculan PKL, disertai dengan adanya dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dari PKL, antara lain dapat mengurangi angka pengangguran yang akhirnya akan berakibat pada penurunan angka kemiskinan; masyarakat juga dapat membeli barang dengan harga yang relatif murah; dan yang paling penting adalah adanya perkembangan pemerataan ekonomi lokal yang signifikan. Sedangkan salah satu dampak negatifnya, yaitu PKL yang kerap tidak teratur, sehingga mengakibatkan keindahan kota menjadi semakin berkurang. Tenda yang ada di mana – mana dan sampah – sampah yang berserakan sudah cukup menambah kesemrawutan kota.

Dan, di sinilah pemerintah mengalami dilema. Di satu sisi, bila PKL digusur dan dihapus, hal tersebut akan mematikan sumber penghidupan mereka. Padahal, saat ini pemerintah belum cukup mampu untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak. Namun di sisi lain, para PKL dianggap sebagai penyebab terganggunya tatanan suatu kota. Dengan adanya PKL, ruang publik bagi masyarakat menjadi berkurang, karena digunakan sebagai tempat mangkal. Adapun contoh konkrit yang sering kita temui adalah trotoar. Bila trotoar sudah dipenuhi oleh para PKL, maka hak pejalan kaki menjadi hilang. Mereka akhirnya terpaksa menyusuri pinggir jalan. Bahkan, daerah Simpang Lima Semarang sering mengalami kemacetan, dimana selain dikarenakan oleh banyaknya mobil yang masuk, juga disebabkan oleh banyaknya PKL yang menempati bahu – bahu jalan.

Demi tetap menjaga keutuhan tatanan kota, biasanya pemerintah mengadakan relokasi terhadap pedagang kaki lima. Jadi, pemerintah memindahkan seluruh PKL ke tempat lain yang strategis. Strategis di sini mengandung arti bahwa tempat yang baru nanti harus mudah dijangkau oleh masyarakat. Namun, para PKL kebanyakan sudah tidak percaya lagi dengan janji – janji pemerintah. Tempat strategis, menurut sudut pandang pemerintah dan pedagang kaki lima kadangkala berbeda. Mereka khawatir bila pendapatannya akan menurun di tempat relokasi nanti. Tidak jarang pula, ada PKL yang kembali ke tempat semula karena daerah relokasi yang ditentukan pemerintah ternyata sepi pembeli. Lalu, masalah akan bertambah semakin rumit, jika PKL membuat permanen bangunan kiosnya serta menjadikannya sekaligus sebagai tempat tinggal.

Namun, bukan berarti pemerintah menjadi pesimis. Ada banyak contoh daerah yang telah berhasil menata PKL – nya, antara lain Yogyakarta yang sudah lama terkenal dengan kawasan Malioboronya, lalu Bandung yang memiliki Cihampelas dan Cibaduyut. Kawasan tersebut ditata sedemikian rupa hingga menjadi kios – kios yang dapat menarik minat pembeli dan wisatawan. Baik Malioboro, Cibaduyut, ataupun Cihampelas telah menjadi semacam ikon bagi suatu kota.

Sebenarnya, ada beberapa solusi yang dapat diambil oleh pemerintah dalam menangani masalah ini, yaitu dengan menjadikan PKL sebagai sektor formal. Sekarang ini, di Jakarta mulai banyak basement gedung – gedung bertingkat yang menampung PKL. Melalui koperasi, PKL diberi modal untuk dapat memperluas bidang usahanya. Lalu, solusi yang kedua, tetap menjadikan PKL sebagai sektor informal. Untuk itu, pemerintah harus siap dalam menyediakan ruang publik yang masih dapat digunakan. Atau, bisa juga dengan jalan menggelar Sunday Market seperti di Stadion Manahan Solo yang dibuka bagi para PKL setiap hari Minggu; juga menutup Simpang Lima Semarang pada hari Minggu pada jam – jam tertentu dan hanya dikhususkan bagi para pejalan kaki dan PKL. Bila cara – cara tersebut tidak berhasil juga, maka pemerintah berhak untuk melakukan penggusuran, walaupun harus berhadapan secara langsung dengan PKL.


Tiara Citra Septiana

Perencanaan Wilayah dan Kota

Universitas Diponegoro

2007



1 komentar:

  1. wah ketemu sesama anak planologi jg..td lagi nyari bahan buat tgs presentasi malah nyangsang didie..hhe
    nama saya alvian planologi ITB 2008..salam kenal ya! maen2 ke blog saya..

    BalasHapus