Dengan analisis intrawilayah, kita ingin melihat apa saja yang ada di dalam suatu wilayah. Seandainya kita melihat dari konteks kabupaten, maka pada dasarnya kita ingin menganalisis potensi-potensi apa saja yang terdapat di dalam kecamatan dan seberapa besar kontribusinya terhadap kabupaten yang bersangkutan. Hmm, sebenarnya bukan hanya kontribusi maupun potensinya saja yang menjadi pertimbangan, tetapi juga berbagai macam aspek lain, seperti aspek demografi, sosial budaya, ekonomi, fisik ruang, dan lain sebagainya.
Sangatlah sempit sekali suatu pandangan yang menyatakan bahwa analisis intrawilayah berkaitan degan pola ruang. Apabila kita ingin melihat analisis intrawilayah ini secara agregat/keseluruhan, maka kita pun perlu melihat presentase tingkat pertumbuhan minimal selama 5 tahun terakhir, kemudian komposisi sektor (%) – kontribusi sektor terhadap PDRB kabupaten, serta komposisi penduduk berdasarkan atas mata pencaharian. Sedangkan, berdasarkan dekomposisi alias sub-sistemnya terbagi atas sektor basis – nonbasis dan pergeseran sektor (shiftshare).
Kelima variabel di atas bersifat statis (dihitung per tahun, bukan per bulan), artinya belum dapat sepenuhnya menggambarkan kondisi yang dinamis. Nah, bagaimana cara untuk mendapatkan gambaran intrawilayah? Sepertinya, kita harus melihat interaksi/pergerakan/aliran perdagangan, baik barang maupun jasa. Kemudian, masalahnya adalah … bagaimana mendapatkan informasi mengenai barang dan jasa? Ya, salah satunya dengan menghubungi Dinas Perhubungan yang terkait dengan jembatan timbang. Atau, kalau tidak, kita bisa bertanya kepada Desperindag mengenai pasar-pasar induk yang ada di kecamatan tertentu.
Berdasarkan teori, apabila nilai LQ dari suatu kabupaten lebih dari satu (LQ > 1), maka hal ini mengindikasikan bahwa daerah/kabupaten tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, sedangkan sisanya diekspor ke daerah lain. Hasil perhitungan nilai LQ tersebut hanya merupakan suatu indikasi, karena belum tentu perhitungan di atas kertas sama dengan kenyataan yang berada di lapangan.
Oh ya, satu lagi! Kita dilarang menjudge suatu wilayah merupakan bagian dari ‘kota’ hanya berdasarkan atas informasi yang berasal dari satu ekonomi sektoral. Misalnya saja nih, PDRB suatu wilayah yang berasal dari sektor perdagangan dan jasa itu mempunyai nilai yang tinggi, kita tidak boleh langsung mengatakan bahwa kota identik dengan aspek perdagangan dan jasa. Berarti, pada saat itu kita hanya melihat kulit luarnya saja. Ada indikasi-indikasi di belakangnya yang belum kita ketahui. Salah satu indikator yang dapat digunakan adalah presentase kawasan terbangun dibandingkan dengan presentase kawasan non-terbangunnya. Apabila kawasan non-terbangunnya masih lebih banyak, dapat dikatakan bahwa wilayah tersebut masih bersifat pedesaan.
Sangatlah sempit sekali suatu pandangan yang menyatakan bahwa analisis intrawilayah berkaitan degan pola ruang. Apabila kita ingin melihat analisis intrawilayah ini secara agregat/keseluruhan, maka kita pun perlu melihat presentase tingkat pertumbuhan minimal selama 5 tahun terakhir, kemudian komposisi sektor (%) – kontribusi sektor terhadap PDRB kabupaten, serta komposisi penduduk berdasarkan atas mata pencaharian. Sedangkan, berdasarkan dekomposisi alias sub-sistemnya terbagi atas sektor basis – nonbasis dan pergeseran sektor (shiftshare).
Kelima variabel di atas bersifat statis (dihitung per tahun, bukan per bulan), artinya belum dapat sepenuhnya menggambarkan kondisi yang dinamis. Nah, bagaimana cara untuk mendapatkan gambaran intrawilayah? Sepertinya, kita harus melihat interaksi/pergerakan/aliran perdagangan, baik barang maupun jasa. Kemudian, masalahnya adalah … bagaimana mendapatkan informasi mengenai barang dan jasa? Ya, salah satunya dengan menghubungi Dinas Perhubungan yang terkait dengan jembatan timbang. Atau, kalau tidak, kita bisa bertanya kepada Desperindag mengenai pasar-pasar induk yang ada di kecamatan tertentu.
Berdasarkan teori, apabila nilai LQ dari suatu kabupaten lebih dari satu (LQ > 1), maka hal ini mengindikasikan bahwa daerah/kabupaten tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, sedangkan sisanya diekspor ke daerah lain. Hasil perhitungan nilai LQ tersebut hanya merupakan suatu indikasi, karena belum tentu perhitungan di atas kertas sama dengan kenyataan yang berada di lapangan.
Oh ya, satu lagi! Kita dilarang menjudge suatu wilayah merupakan bagian dari ‘kota’ hanya berdasarkan atas informasi yang berasal dari satu ekonomi sektoral. Misalnya saja nih, PDRB suatu wilayah yang berasal dari sektor perdagangan dan jasa itu mempunyai nilai yang tinggi, kita tidak boleh langsung mengatakan bahwa kota identik dengan aspek perdagangan dan jasa. Berarti, pada saat itu kita hanya melihat kulit luarnya saja. Ada indikasi-indikasi di belakangnya yang belum kita ketahui. Salah satu indikator yang dapat digunakan adalah presentase kawasan terbangun dibandingkan dengan presentase kawasan non-terbangunnya. Apabila kawasan non-terbangunnya masih lebih banyak, dapat dikatakan bahwa wilayah tersebut masih bersifat pedesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar