Jumat, 19 Juni 2009

Kesalahan

“Mas, tolong jangan pergi dari sisiku! Bagaimana denganku? Apakah kau tega membiarkanku sendirian merawat anakmu? Mas, kamu calon ayah bagi anak kita!” kata Aura setengah menangis.
“Maafkan Mas, Dek. Mas juga sebenarnya tidak ingin meninggalkan kalian. Tapi, nyawa orang-orang juga penting …”
“Jadi, apakah aku tidak penting bagimu? Mas …”
“Bukan! Bukan begitu, Dek! Cintaku padamu lebih daripada yang kau ketahui selama ini.”
“Kalau begitu, jangan pergi! Tetaplah di sini bersamaku!”
“Tapi, Dek. Mas nggak mungkin mengkhianati negara. Mas nggak mungkin tega membiarkan para pemberontak menginjak harga diri negara ini.”
“Buat apa Mas terus membela negeri yang sudah bobrok ini? Di sini, nyawa manusia tak lebih hanya sebagai mainan.”
“Jangan begitu, Dek. Kita lahir, makan, tertawa, menangis di negeri ini. Seberapapun buruknya negeri ini, Mas tetap wajib untuk membelanya.”

Dan, tidak ada yang bisa menghalangi kepergian Dika, termasuk istrinya sendiri.
“Tuhan, semoga tidak akan terjadi apa-apa dengan suamiku. Semoga dia kembali dengan selamat. Tanpa terluka sedikitpun. Aku ingin melihat senyumnya lagi, dan bukan senyum kebekuan yang selama ini selalu menghantui dan mengganggu tidurku.”
Sudah satu bulan berlalu, tetapi Aura belum mendapat kabar apapun dari suaminya. Dia sudah bertanya kesana kemari, tetapi hasilnya tetap nihil belaka. Dia menjadi gampang capek sekarang. Ternyata, membawa bayi kemana-mana itu sungguh berat. Ingin cepat-cepat saja dia melahirkan. Tentu, dengan suami yang selalu menemani kapanpun dia membutuhkannya.

Tiga bulan berlalu. Akhirnya, pasukan suaminya pulang juga. Dengan bergegas, Aura menyiapkan semuanya dengan semangat. Matanya berbinar-binar bahagia. Sebentar lagi, tentu dia akan bertemu dengan pujaan hatinya. Dengan bersenandung kecil, Aura berdandan dengan hati berbunga. Walaupun sedang hamil, dia tidak ingin terlihat jelek di mata suaminya.

Hingga lelah Aura mencari-cari di dalam kerumunan tentara yang baru saja turun dari pesawat. Namun, dia tidak juga mendapati wajah suaminya.
“Mana janjimu dulu untuk kembali, Mas? Mengapa kamu tidak ada hingga tentara terakhir? Apa yang sudah terjadi dengan dirimu? Mas, dimana kah dirimu?”
Aura hampir putus asa. Dia sudah bertanya, tetapi tidak ada yang mengaku mengenal suaminya. Dia menjadi bingung. Di saat Aura hampir meninggalkan helipad, sejumlah tentara membawa turun peti-peti …, ada 5 peti. Seketika, Aura mempunyai firasat yang sangat buruk. Mungkinkan di antara peti-peti itu ada suaminya?

Setelah memeriksanya, Aura lega. Tidak ada …
“Kalau suamiku meninggal, pasti aku akan diberitahu. Entah dimana dia sekarang.”
Tiba-tiba, mata Aura tertumbuk pada peti keenam. Karena penasaran, didekatinya peti itu. Aura pun langsung pingsan sektika mendapati foto suaminya terpampang di depan peti. Dingin … tak bernyawa.

Sudah beberapa hari Aura tidak menyentuh makanan. Bukannya dia tidak ingin makan, tetapi karena dia merasa tidak bisa menelan. Hatinya mati, mungkin begitu pula dengan otaknya, syarafnya …
“Negara macam apa ini yang tidak bisa melindungi warganya sendiri. Aku benci negara ini! Karena dia, aku kehilangan suamiku, anakku, semuanya! Dasar sialan! Negara sialan! Mengapa aku bisa terlahir di negeri brengsek ini?”
Anak Aura memang tidak sempat lahir ke dunia karena keguguran. Uang pensiun suaminya pun tidak pernah disentuhnya sama sekali.

Kemudian, Aura pun memutuskan untuk kembali aktif pada sebuah LSM yang sudah 5 tahun digelutinya sebelum bertemu dengan Mas Dika. Setelah kejadian itu, Aura tumbuh menjadi seseorang yang memiliki kepribadian yang kuat. Dendam telah mengubahnya, kepribadiannya yang rendah hati telah tergantikan oleh sikap tegas. Dia tidak bertele-tele, selalu tepat pada sasaran yang diinginkannya. Dan, selama ini dia selalu berhasil. Oleh karena itu, negara tidak suka dengan sepak terjangnya. Dengan sebuah tuduhan palsu, Aura dijebloskan ke penjara, walau tidak seperti Aung Sun Kyi yang sempat memperoleh nobel perdamaian. Anehnya, Aura tidak merasa takut sama sekali. Sejak hari itu … dia tidak lagi takut pada apapun. Sejak hari itu …, hatinya telah mati bersama suaminya.

Di dalam penjara …
“Mas, apa yang sedang Mas lakukan saat ini? Apa kau ada di sini melihatku? Apakah tindakan yang kulakukan ini benar? Negara telah menghancurkan hidupmu, hidupku, dan hidup bayi kita. Tidak kah kau mengerti?”
Aura dipenjara tanpa batas waktu yang ditentukan. Dia memang sudah mendengar bahwa banyak tawanan yang menghilang tanpa pernah terdengar kabarnya lagi. Apapun yang akan terjadi nanti, Aura sudah siap. Sudah tidak ada bedanya dia mati sekarang atau besok. Semua tampak sama bagi dirinya. Dia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi di dunia ini. Semua telah direnggut oleh negara.

Ya, hari itu akhirnya datang juga. Tanpa banyak komentar, Aura dibawa ke sebuah mobil dengan mata tertutup. Dia tidak gentar ataupaun merasa takut, walaupun sudah mengerti apa yang akan terjadi pada dirinya. Ternyata, waktunya sudah tiba. Memang, inilah resiko yang harus dia tanggung.
Begitu penutup matanya dibuka, dia sudah menduga bahwa hidupnya akan berakhir di lapangan ini. “Aku akan mengingatnya!”
Apakah aku dapat bertemu dengan suamiku?”
Aku tidak akan pernah mengakui kesalahan yang ditimpakan kepadaku, karena aku memang tidak pernah merasa bersalah.
Mata Aura sudah ditutup. Sebentar lagi … Sebentar lagi …
“Tunggu!”
Tiba-tiba sebuah suara menghentikan prosesi kematian itu. Seakan baru terbangun dari mimpi panjang, Aura tersentak dengan suara itu. Mirip dengan suara suaminya. Dari kejauhan.

Ternyata, kematian suaminya dipalsukan. Dia sedang mengemban suatu misi penting negara, dan malangnya … Aura tidak mengetahui apapun. Dia tidak pernah diberitahu apapun. Aura tidak lagi mengenal suaminya. Siapa dia yang telah tega menghancurkan hidup istrinya sendiri?
“Maafkan Mas, Dek. Mas tidak bisa menyelamatkanmu.”
Jadi, inikah suaminya yang sebenarnya? Yang selalu dinantinya setiap malam? Yang selalu dicintai seumur hidupnya? Namun, yang begitu dingin, angkuh, dan kejam?

Malam itu, Aura menghilang dengan sejuta nyeri yang menyesakkan dada. Menimbulkan api membara yang memenuhi hatinya, seakan ingin meledak. Nekat, Aura mendekati salah satu pengawal dan merebut pistolnya. Lalu, dia menembak dada suaminya dua kali. Aura pun langsung ikut roboh ketika tembakan para tentara tepat mengenai jantungnya.

Biarlah begini saja akhir dari hidupnya …

Ternyata, itu cuma ada di dalam pikiran Aura. Dia belum membunuh suaminya. Suaminya masih berdiri memandangnya. Ternyata, di dalam hatinya ada rasa ingin membunuh yang begitu kuat. Tidak! Dia mencintai suaminya tanpa syarat. Sekalipun suaminya telah berubah, dia tidak akan berubah … dia tetap mencintai suaminya.

“Mas, bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kali?” tanya Aura pilu.
Suaminya mengangguk. Aura menangis dalam diam. Bukan! Dia bukan menangis karena menyesali kebodohannya. Dia hanya merasa bahagia karena bisa bertemu dengan suaminya dalam keadaan hidup, walaupun dalam keadaan yang tidak terduga …

***

Di sebuah rumah nun jauh …
“Papa, kita pergi ke taman yuk?”
“Oke. Sebentar lagi kan Kiki sudah mulai masuk sekolah.”
“Mas Dika nggak akan pergi lagi, kan?”
“Tidak, Sayang. Aku nggak akan pernah meninggalkan kalian …”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar