Rabu, 27 Oktober 2010

Jadi Polisi

Jadi polisi itu susah, uangnya susah, kerjaannya susah, kalo ga berhasil nangkap teroris dianggap tidak mampu menangani upaya perterorisan di Indonesia, kalau ga mampu menangkap penjahat juga disalahin. Lha, bagaimana konsep pengayom masyarakat bisa diterapkan jika polisi belum mampu melaksanakan semua tugas dan kewajibannya dengan optimal? Seminggu yang lalu … saya tertangkap oleh Pak Polisi bagian Satlantas. Yah, maklum saja … saya yang salah karena melanggar lampu merah. Hehe, dah tahu merah malah asal ditabrak saja. Ya, dan begitu lah. Manusia Indonesia ya kebanyakan kayak saya ini, ga bener (saya tahu saya ga bener, tetapi ya begitulah), tidak mau repot-repot ngurus di pengadilan, mau gampangnya saja. Untunglah saya membawa seperangkat SIM dan STNK, jadi ya “cuma” kena 40 ribu. Pak Polisi mintanya 65 ribu, sih. Saya bingung sebenarnya … darimana asal dari 65 ribu itu? Apa sudah tercantum dalam Undang-Undang ataukah hanya Pak Polisinya sendiri yang menentukan? Oh ya, yang jelas memang aturan lalu lintas di jalan raya kota Semarang sangat ketat. Untunglah juga saya tidak ditangkap, karena saya tidak memakai helm ber-SNI. Hwa, tambah nangis saja kalau iya.

Jadi polisi di Kota Semarang itu susah. Mengapa? Karena rawan stres. Bagaimana tidak? Lalu lintasnya amburadul, bikin siapa saja mumet dan stres. Salah duanya ea di Jatingaleh dan Srondol pada jam-jam sibuk. Namun, belum seperti di Jakarta sih, yang macetnya sampe berhenti. Di Semarang, walaupun macet, motor saya masih bisa jalan kok. Hmm, tetapi … saya sebenarnya tidak setuju dengan kata temen saya beberapa minggu lalu yang mengatakan bahwa Kota Semarang mendapat predikat sebagai salah satu kota yang bebas macet. What! Sungguh ga percaya … di Jalan Prof. Soedharto Tembalang saja macet ug, padahal itu hanya jalan lokal. Masih membicarakan tentang pak polisi di Semarang, selain harus mengatur lalu lintas yang begitu amburadul, yang perlu diperhatikan adalah kantor pos polisi yang biasanya terletak di perempatan jalan. Wah, saya lihatnya rada ngenes. Kemaren itu, ada 3 orang pak polisi, tetapi pos polisinya itu lho … kecil banget. Sempit banget. Ketika berada di situ, rasanya jadi tertekan banget. Apalagi, pak polisinya yang sering ada di situ. Terkurung dalam tempat sesempit itu. Mending kerja di kantornya saja ya, lebih adem dan nyaman.

Lalu, masih berkaitan dengan aparatur negara yang satu ini, kemarin malam … 2 motor temennya adekku di 2 kos yang berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan ilang tanpa jejak. Wuh, si maling emang bener-bener canggih, bisa menggasak motor dalam 2 menit, sampe dirinya dikenal dengan julukan “siluman”. Nah, di sini ini, di Tembalang ini juga pak polisi bisa stres berat. Masa kalah canggih sama si maling? Dengan pencurian yang sebegitu banyaknya, terutama motor dan laptop, pak polisinya pasti bingung mau menangani kasus yang mana dulu. Laporan kehilangan memang diterima, tetapi apa yang kemudian dilakukan pak polisi setelah itu? Segera menerjunkan anggotanya untuk memburu si maling atau hanya berusaha menenangkan keluarga yang kehilangan. “Sabar … sabar, Pak, Bu. Kasus segera saya tangani,” apa cuma begitu saja? Padahal, keluarga yang kehilangan sungguh berharap bahwa si maling bisa ditangkap dan bila perlu digebuki (habisnya sebel, sih!).

Yah, begitulah … kinerja polisi harus terus ditingkatkan, supaya bisa mengayomi masyarakat, bukan cuma slogan tok. Bikin slogan itu gampang, tetapi emang tindakan di lapangannya itu yang tidak gampang. Jadi polisi itu susah, tetapi hal ini hanya berlaku bagi para polisi yang setia menjalankan tugasnya, benar-benar mengabdi pada tugasnya. Kalau pak polisi yang masa bodoh dan dibenci masyarakat sih, …

Kamis, 21 Oktober 2010

Pangeran Katak

“Tuhan, mengapa semua menjadi begini? Aku merasa tidak akan sanggup lagi menjalani hidup, Tuhan. Apa yang harus kulakukan? Hidupku tidak pernah sama lagi sejak dia meninggalkanku,” keluhku dalam hati.
Sudah berpuluh tempat aku jelajahi untuk melupakan Gilang, tetapi hasilnya nihil alias nol besar. Percuma saja! Walaupun dia pergi ke ujung dunia atau kemanapun, bayangan Gilang selalu tampak di depan mataku. Menghantuiku!
Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Hening. Hanya ada angin yang berhembus perlahan dan membelai rambutku. Mengingatkanku kembali akan masa-masa indah bersamanya. Aku tertawa sekaligus menangis.
“Putri …”
Tiba-tiba ada sepotong suara yang mengagetkanku. Namun, tidak ada siapapun di padang rumput ini. Sama sekali tidak ada satupun manusia di sini. Dan, aku mulai berpikir yang tidak-tidak.
“Jangan-jangan, ada …,” aku tidak sanggup meneruskan ucapannya. Lututku bergetar hebat, jantungku pun ikut berdebar kencang, bahkan kesedihanku tadi menguap begitu saja entah kemana.
“Putri …”
Suara itu memanggilku lagi. Kini aku benar-benar tidak bisa bergerak. Semua anggota tubuhku seketika telah menjadi batu. Berdiri pun tidak sanggup, apalagi berteriak minta tolong.
Setelah sekian menit berubah menjadi patung, aku akhirnya bisa mengeluarkan suara juga.
“Ka … kamu siapa?” kataku seperti orang yang sedang tersedak.
Hening beberapa saat.
“Aku ada di sini, Putri. Di dekat sepatumu.”
Hah? Aku hanya terbengong mendengarnya. Kuarahkan juga mataku untuk melihat ada apa di kakiku.
“Kataaaaaak,” tanpa sadar aku berteriak sekencang-kencangnya. Setelah agak tenang, otakku mulai berpikir. Bagaimana mungkin ada seorang katak hijau yang dapat berbicara? Ini kan bukan negeri impian. Bukan negeri dongeng seperti dalam buku-buku cerita yang pernah kubaca sewaktu kecil. Apakah ini nyata? Kucubit pipiku untuk memastikan bahwa semuanya hanyalah mimpi belaka, dan aku akan segera terbangun di tempat tidurku yang nyaman.
Aduh! Pipiku terasa sakit. Dalam sekejap, dunia seakan berputar di sekelilingku.
“Putri, kamu tidak apa-apa?”
“Jangan panggil aku putri. Aku bukan putri,” aku berteriak pada katak itu.
Kaget, bingung, takut bercampur aduk menjadi satu dalam diriku.

“Ibu, aku pulang,” kataku seraya menenangkan diri. Menganggap bahwa apa yang kualami setengah jam yang lalu hanyalah ilusi semata. Titik!
“Kamu makan dulu sana.”
“Iya.”
Setelah makan, aku kembali ke kamar. Namun, aku melihat seekor makhluk sedang bertengger di atas kasurku.
“Kyaaa,” aku berteriak kencang.
“Ada apa, Ndin? Ada apa?” kata Ibu berlari penuh kepanikan menuju kamarku.
“Tidak. Tidak ada apa-apa kok, Bu. Tadi aku cuma kaget liat katak di atas tempat tidur. Tapi, sekarang kataknya sudah pergi, kok. Maaf, Bu.”
“Cepetan tidur. Sudah malam,” jawab Ibu.
Aku mengangguk.
“Bagaimana katak bisa masuk ke kamarku?” tanyaku heran. Namun, ketika melihat jendela kamarku yang masih terbuka, aku langsung diam.
“Pergi!” Aku mengarahkan sapu ke tubuh katak itu.
Akan tetapi, suara itu tiba-tiba terdengar lagi.
“Jangan, Putri!”
Sapuku mengawang di udara.
“Kamu bisa berbicara?” tanyaku terbata.
“Iya, Putri.”
Aku tidak berani berkata apa-apa. Seakan kakiku sudah terpaku di lantai. Mau lari pun rasanya tidak sanggup.
“Kamu siapa?”
“Aku, Putri?”
“Siapa lagi?”
“Aku Pangeran Suryo.”
“Hah?”
Mana mungkin? Saat ini kan sudah modern, mana ada cerita dongeng seperti itu? Aku tertawa. Sampai-sampai rasanya tidak bisa berhenti.
“Aku serius, Putri.”
“Katak, aku bukan Putri,” kataku pada katak itu sambil terus tersenyum. “Aku Andin.”
“Aku serius, Putri Andin.”
“He … he … he …, jangan panggil aku Putri. Tidak cocok, dan aku bukanlah putri.”
“…”
“Jadi, bagaimana Pangeran bisa kembali menjadi manusia? Berarti, harus ada seorang cewek yang mencium Pangeran, ya?”
“Mungkin.”
“Hah? Beneran?”
“Mana aku tahu.”
“Pangeran mau kucium? Sini!” kataku setengah bercanda.
“Ogah! Dicium cewek seperti kamu bisa mati aku!” Nah nah, mulai muncul sifat asli seorang pangeran. Ga elit!
“Ih, menghina. Ya sudah, terserah Pangeran. Sana! Minggir dari kamarku! Pangeran tidur di lantai saja! Makan tuh nyamuk!”
“Kamu berani kasar dengan Pangeran! Biar kalau aku menjadi manusia lagi, aku akan menyuruh pengawalku untuk menangkapmu! Seorang Pangeran tidak mungkin tidur di lantai! Kamu saja yang tidur di lantai!”
“Apa? Ini katak berani ngatur-ngatur! Tidak bisa. Pangeran harus minggir. Siapa tahu Pangeran cuma ngaku-ngaku, aku kan tidak tahu.”
“Tiba-tiba, suara Ibu mengagetkanku.
“Andin, kamu bicara dengan siapa?” seru beliau dari luar kamar.
“Nggak kok, Bu. Aku cuma ngomong sendirian.”
Kruyukkk.
“Ndin, suara apa itu?”
“Oh, malam dingin begini membuatku lapar lagi.”
“Ya, sudah. Di dapur masih ada makanan.”
“Makasih, Bu.”
Aku pun mengambil makanan, melewati kamar Ibu. Untunglah, beliau sudah kembali tidur.
“Nih, makanan. Pangeran lapar, kan?” Aku menyodorkan sepiring makanan ke dekat kaki katak itu.”
Aku tersenyum. Aku seperti menemukan mainan baru. Dan, aku seakan merasa bagaikan seorang putri dari negeri dongeng. Ya, walaupun tidak mungkin menjadi nyata.
Sambil mengunyah makanan, katak itu berkata,” Hmm, makanannya enak sekali. Ibumu memang pandai memasak.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Tidur sana! Pangeran di bawah, aku di atas.”
“Nggak bisa. Kita tidur sekasur saja. Biar lebih gampang. Masa Pangeran tidur di lantai?”
“Dasar Pangeran manja! Siapa tahu sebenarnya kamu ini cuma tukang becak.”
“Jangan berani kurang ajar ya sama Pangeran!”
Karena kelelahan, aku tertidur dan nggak mikirin lagi pangeran tidur dimana.

Keesokan pagi …
“Selamat pagi, Ndin.”
“Pagi,” jawab Andin.
Ketika membuka mata, Andin hampir pingsan melihat seekor katak telah berada di atas selimutnya.
“Aaaa …,” Andin berteriak sekencang-kencangnya, tetapi beberapa detik kemudian, dia menutup mulutnya sendiri. Takut mengganggu orang rumah yang masih terlelap.
“Pangeran jangan seenaknya gitu, dong. Masa baru membuka mata, aku langsung melihat sepasang mata yang memandangku,”protes Andin marah,” mentang-mentang pangeran bisa berbuat seenaknya. Kalau aku mati kena serangan jantung, pangeran lah yang akan aku hantui.”
“Suka-suka, dong. Oh ya, banyak yang salah, tuh. “
“Hah?” Andin tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Pangeran.
“Matematika dan Bahasa Inggris. Aku liatnya sambil menahan tawa, lho. Masa soal-soal segampang itu saja nggak bisa.”
“Emang umur Pangeran sekarang berapa?”
“…”
“Berapa?”
“17 tahun.”
“Hah, berarti kita sebaya, dong.”
“Iya, yang membedakan kita, kamu tuh bodoh, sedangkan aku pinter.”
“Nyebelin banget nih Pangerab. Padahal, pangeran yang berada dalam impianku selalu ramah, sopan, pengertian, tampan, dan punya segudang kebaikan lainnya. Wew! Tapi, Pangeran yang satu ini beda banget dari harapan,” kata Andin dalam hati.

“Pangeran, makasih ya,” Andin tertawa-tawa ga jelas gitu di depan seekor katak. Kalau ada yang melihat, pasti bakal menyangka kalau Andin sudah sakit jiwa. Untunglah, saat itu dia sedang ada di kamar.
“Nih, makanan enak buat Pangeranku.”
“Emang ada apa?” tanya Pangeran heran.
Andin tersenyum bahagia.
“Tadi, PR kuu paling perfect, lho.”
“Selamat, ya,” kata Pangeran datar.
“Kok tanggapannya gitu?”
“Biasa aja kenapa? Pake histeris segala.”
“Ya udah, terserah,” jawab Andin cemberut.
“Andin marah ya? Maaf.”
“Nggak mau. Pokoknya malam ini Pangeran tifur di bawah. Titik!”

Keesokan harinya, kemarahan Andin telah surut.
“Pangeran?” panggil Andin, tetapi tidak ada jawaban,” Pangeran, cepetan keluar, donk.”
Hening.
Andin tidak tahu lagi apa yang mesti dia lakukan. Sudah seisi rumah digeledah, tetapi tidak ketemu juga. Ibunya sampai heran melihatnya.
“Ada apa, Ndin? Kamu sedang mencari apa?”
“Katak,” jawab Andin singkat.
“Sejak kapan kamu suka katak?”
“Nggak tahu, Bu,” jawab Andin sambil mencari Pangeran di kolong meja makan.
Ibu masih terbengong keheranan, ketika Andin teringat pada suatu tempat.
“Ya, Pangeran pasti ada di sana.”

“Pangeran ada dimana?”
Teriakan Andin menggema di padang rumput. Beberapa orang yang sedang melintas melihatya dengan pandangan yang mengatakan bahwa dia telah sinting. Tapi, mau bagaimana lagi? Masa mencari seorang Pangeran? Di padang rumput? Memang mana ada sih yang percaya kalau ada seorang Pangeran yang berubah menjadi katak.
Sudah satu jam lebih Andin mencari di sela-sela rumput, di lubang-lubang pohon, tetapi tidak ada hasilnya. Dia merasa putus asa. Dia sudah lelah berjalan, sudah lelah berteriak. Akhirnya, Andin memutuskan untuk pulang, tentu saja dengan wajah cemberut dan menggerutu.
“Dasar Pangeran bodoh! Kalau ketemu, biar kuinjak dia.”
Namun, Andin tiba-tiba sadar,” Ngapain ya, aku memikirkan Pangeran? dia kan bukan siapapun. Kenal wajahnya saha tidak, ngaku-ngaku dari Keraton, padahal nggak ada beritanya sama sekali. Tapi, aku … sudah sepuluh hari kita bersama, bertengkar, tertawa.”
Tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak di rerumputan.
“Wah, Pangeran!” kata Andin sambil mendekati rumput itu. Namun, alangkah terkejutnya Andin, yang muncul justru seekor ular yang berdesis dengan jarak hanya setengah meter dari tempatnya berdiri. Sungguh, dia tidak berani bergerak selangkah pun. Ular itu perlahan-lahan mulai mendekatinya. Sumpah, baru kali ini dia bertatapan dengan ular. Andin melihat bisanya menyembur-nyembur keluar.
Hanya tinggal berjarak satu detik saja, ketika tiba-tiba seekor katak menerjang ular itu. Berusaha mengusirnya agar menjauhi Andin.
Dengan kepala matanya sendiri, Andin melihat bagaimana perjuangan katak itu. Bukankah makanan ular memang katak?
Hingga beberapa saat kemudian, katak itu terluka, seakan dia sudah menyerah sebentar lagi. Melihat hal itu, akhirnya Andin tidak bisa tinggal diam. Dia mencari apa saja yang dapat digunakan untuk menolong katak itu. Untunglah, dia kemudian menemukan batu tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tanpa berpikir panjang, Andin saat itu sudah tidak peduli lagi apakah ular itu akan menggigitnya, dia menghantamkan batu itu tepat ke tubuh ular, berkali-kali hingga ular itu pergi meninggalkan katak.
Andin segera bergegas mendekati katak itu dan meletakkannya dengan hati-hati di telapak tangannya.
“Pangeran! Bangun Pangeran!” kata Andin cemas. Sejak tadi Pangeran tidak juga membuka mata. Dia ternyata mengalami luka yang cukup parah di sekujur tubuhnya.
“Pangeran, apakah kau mendengar suaraku?” Namun, pangeran tidak juga bergerak.
“Ya Tuhan, semua ini salahku. Kalau saja Pangeran tidak menolongku, dia tidak akan menjadi begini,” batin Andin. Perlahan-lahan, air mata mulai mengalir membasahi pipinya, walaupun dia sudah berusaha menyekanya, tetapi masih saja tetap keluar.
Andin memeluk Pangeran,” betapa aku sangat menyayangimu, Pangeran. Sungguh, aku tidak ingin Pangeran menghilang dari hidupku.”
Tanpa terasa, air mata Andin menetes membasahi kepala katak.

Tiba-tiba, ada cahaya yang keluar dari tubuh katak. Cahaya yang sangat indah menyelimuti mereka berdua. Andin merasa silau. Dan, ketika membuka mata, dia telah meliha seorang pria yang sedang berdiri di hadapannya. Semua bagaikan mimpi.
Andin bingung. Sejak kapan ada seorang cowok di tempat ini? Namun, dia langsung sadar ketika katak yang ada di dalam pelukannya menghilang.
“Pangeran?”
Beberapa saat Andin terpana dan tidak bisa mengatakan apapun. Apakah ini hanya fatamorgana? Berulang kali dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanyalah mimpi.
Cowok ini, tidak seperti pangeran-pangeran Yogya yang selama ini dia bayangkan. Memakai blangkon dan segala atribut pakaian Jawa. Bukan! Cowok ini seperti dirinya, memakai baju biasa dan berpenampilan biasa pula. Namun, Pangeran memang mempunyai wajah tampan dan kharisma seorang pangeran.
“Terima kasih, Ndin. Aku tidak akan kembali menjadi manusia tanpamu.”
Andin tidak berkata apapun selama beberapa saat.
“Ti … tidak apa-apa, Pangeran. Seharusnya, aku yang berterima kasih karena Pangeran sudah menolongku.”

Hari-hari berlalu. Andin kembali menjalani kegiatannya sehari-hari. Kadang-kadang dia merindukan Pangeran, tetapi dia tahu jika dia takkan bertemu kembali dengan pangeran. Andin tidak percaya akan janji pangeran yang berkata bahwa suatu hari nanti pasti akan berkunjung ke rumah. Namun, kapan? Bukankah kata ‘suatu hari’ itu terasa begitu jauh?
“Hh …” Andin merasa lelah sekali hari ini dan memutuskan untuk membaca koran saja. Alangkah terkejutnya Andin ketika dia melihat salah satu artikel, yang berjudul “Pangeran telah Kembali.” Di koran itu, terpampang foto Pangeran Suryo, tidak mungkin Andin salah mengenalinya, sedang berpelukan dengan Sri Sultan. Menurut artikel itu, Pangeran sudah menghilang sejak tiga bulan yang llau, tetapi tidak disiarkan kepada publik, karena hanya akan membuat semua masyarakat merasa khawatir. Maklum, Pangeran Suryo merupakan pewaris tunggal Kesultanan.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang telah menolong saya. Seumur hidup, saya tidak akan melupakan kebaikan hatinya,” kata Pangeran Suryo.
“Ya Tuhan, ternyata Pangeran tidak melupakannya,” batin Andin tersenyum.

Hari Minggu yang cerah, Andin pergi ke mall bersama dengan teman-temannya. Ketika sedang memilih-milih barang, walaupun hanya sekilas, dia melihat Pangeran Suryo melintas.
“Tunggu sebentar, Mi,” katanya pada Ami.
“Oke, tapi jangan lama-lama!”
“Sip.”
Tanpa pikir panjang, Andin mengejar Pangeran.
Namun, alangkah terkejutnya dirinya, ketika melihat Pangeran berjalan berdampingan dengan cewek yang seusia dengannya. Kemudian, dia menyadari bahwa memang seorang rakyat jelata biasa seperti dirinya tidak boleh berteman dengan seorang Pangeran.
Pangeran yang ada di dalam mimpinya … menunggang seekor kuda putih dan menghampirinya.
Dan, bukankah kenyataan itu tidak seindah impian?

TAMAT

Rela

Tak ubah berbunga lalang
Rendahnya pandanganmu
Padaku yang amat memerlukan
Kegersangan sekeping hati
Mengharapkan setitis embun
Agar basah rindu ini

Aku yang terbuang
Sejak mula lagi
Puas ku merintih
Puas ku berduka

Ku hanya mampu berserah
Berserta doa harapan
Ubahlah haluan hidup ini

Demi cinta yang menyala
Kurela menggenggam bara api
Demi kasih yang mengharum
Sungguh aku rela

Biarpun pada pandangan
Seperti bunga yang layu terbuang
Namun kau pasti tahu
Semua kerna
Aku masih lagi setia padamu
Biar ku menangis seumpama pengemis

Ku hanya mampu berserah
Berserta doa harapan
Ubahlah haluan hidupku ini