Saat aku membaca Jurnal Perempuan untuk edisi 24 “Perempuan di Wilayah Konflik” hatiku merasa ikut sakit. Bagaimana tidak? Para tentara yang seharusnya bertugas untuk mengamankan daerah konflik, justru telah berbuat sesuatu yang telah melebihi batas. Dengan tega, mereka memperkosa perempuan di bawah todongan senjata. Padahal, mungkin di antara mereka masih ada yang seumur denganku.
Aku membayangkan bahwa mereka tentu saja mengalami trauma yang hebat, ketakutan yang berlebihan, merasa sangat tidak berdaya, dan putus asa dalam menjalani kehidupan. Bahkan, tragisnya, ada juga yang akhirnya menjadi ‘kupu – kupu malam’, karena sudah tidak dianggap suci oleh lingkungannya. Padahal, mereka semua hanya merupakan korban yang harus diselamatkan, bukan untuk dikucilkan. Padahal, bukan mereka yang pertama kali meletupkan perang!
Aku yang hidup di daerah yang damai, dimana tidak ada konflik yang terjadi, dimana aku dapat hidup hingga saat ini, dimana aku dapat mengenyam pendidikan hingga jenjang universitas, mungkin saja tidak sepenuhnya mengerti seberapa besar penderitaan yang dialami oleh kaumku di daerah konflik sana. Di sini, aku hanya bisa berharap bahwa mereka diberi kesabaran dan ketabahan dalam menjalani semua masalah ini. Aku tidak bisa membantu apapun yang berguna bagi mereka.
Nah, aku ingin menulis tentang apa yang aku baca di Jurnal Perempuan tersebut. Salah satu yang kuanggap ‘paling menarik’ adalah mengenai kondisi perempuan di daerah Papua. Kita tentu saja tahu bila tanah Papua merupakan tanah yang kaya akan barang tambang (terutama emas dan tembaganya) serta kekayaan alam yang berupa kelapa sawit, kopi, cokelat, hasil laut). Namun, hasil sumber daya alam yang melimpah tersebut ternyata sebagian besar mengalir ke pemerintah pusat. Hal tersebut tentu saja mengakibatkan banyak penduduk Papua yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kondisi ini tentu saja mempunyai dampak yang sangat besar bagi perempuan, terutama mengenai masalah kesehatan yang masih rendah dan adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Menurut Santie (2002: 67), pada tahun 1997, kematian ibu di Papua adalah 1025/100.000 kelahiran hidup. Padahal, angka nasional menunjukkan angka sebesar 343/100.000 kelahiran. Angka kematian ini disebabkan oleh beban pekerjaan perempuan yang sangat berat, kualitan gizi yang buruk, dan masih kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan.
Di daerah pedesaan Papua, perempuan menanggung pekerjaan yang sangatlah beragam, mulai dari memasak, mengasuh anak, mencari kayu bakar, hingga bertanggung jawab terhadap perekonomian keluarga. Pria hanyalah bertugas untuk membuka lahan, lalu selanjutnya perempuan lah yang mengolah semuanya sampai panen tiba. Ya! Pasti mereka sangat lelah …
Sedangkan mengenai kesehatan, banyak ibu hamil yang terserang malaria, sehingga bayinya cenderung terlahir prematur. Hal ini, tentu saja akan membahayakan kesehatan ibu dan anaknya. Apabila tidak mendapat pertolongan yang tepat, ibu akan mengalami pendaharan dan akhirnya menjadi keguguran. Selain malaria, banyak wanita yang juga mengidap TBC dan HIV/AIDS.
Pada umumnya, kaum perempuan tertular HIV/AIDS dari suaminya. Tidak ada kejujuran di antara pasangan sebelum mereka menikah. Menurut John Rahail (dalam Santi, 2002: 69), faktor yang mempengaruhi pesatnya HIV/AIDS adalah pandangan masyarakat yang belum tepat tentang kesehatan, keleluasan bagi pria untuk berhubungan dengan bukan dengan pasangannya, kebiasaan minum minuman keras, dan dikarenakan pemerintah hanya mendahulukan pembangunan fisik. Padahal, Puskesmas telah dibangun di setiap kecamatan, tetapi ternyata tidak ada dokter yang bertugas di sana.
Kekerasan Terhadap Perempuan
Kecamatan Waris merupakan sebuah kecamatan di perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini. Anak perempuan di sini rata – rata tidak bisa menyelesaikan pendidikannya karena adat mengharuskan mereka kawin dengan Oom – nya. Jadi, mereka biasanya menerima pinangan itu, karena bila mereka berani menolak ketentuan adat, terdapat kepercayaan bahwa perempuan tersebut tidak akan sehat tubuh dan alat reproduksinya.
Laki – laki juga boleh mempunyai istri lagi saat dia mempunyai banyak babi atau sudah mempunyai anak laki – laki. Ketika perempuan sudah dinikahi laki – laki, maka pria tersebut berhak melakukan apapun atas diri istrinya. Kekerasan dalam rumah tangga menjadi kejadian yang sudah umum terjadi. Banyak perempuan yang kemudian kabur karena sudah tidak tahan lagi diperlakukan semena – mena oleh suaminya. Namun, kaburnya istri untuk menghindari KDRT ini justru dianggap melanggar adat dan dituduh telah melakukan selingkuh.
Sumber :
Santie, Budi. 2002. “Perempuan Papua: Derita tak Kunjung Usai,” dalam Jurnal Perempuan 24, Perempuan di Wilayah Konflik. Hlm. 65 s.d. 82. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar