BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Secara keseluruhan, bab Pendahuluan mendeskripsikan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian ini, yaitu adanya fenomena perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya bencana banjir dan rob di wilayah pesisir, sehingga menimbulkan kerentanan terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Untuk merespon adanya kerentanan tersebut, maka masyarakat melakukan suatu tindakan adaptasi dengan cara melakukan peralihan mata pencaharian. Selanjutnya, pertanyaan yang timbul di dalam penelitian ini adalah bagaimana proses peralihan mata pencaharian dapat berperan di dalam membangun ketahanan sosial ekonomi masyarakat. Pertanyaan tersebut berusaha dijawab di dalam penelitian ini, yaitu dengan cara mengkaji ketahanan sosial ekonomi masyarakat melalui peralihan mata pencaharian sebagai upaya adaptasi dalam menghadapi bencana banjir dan rob. Hasil akhir yang diharapkan akan diperoleh melalui kajian ini adalah ditemukannya analisis mengenai bentuk ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pembelajaran bagi penanganan kasus yang serupa demi mewujudkan ketahanan sosial ekonomi secara berkelanjutan. Dalam bab ini dibahas pula mengenai keaslian penelitian yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan pada saat ini tidak tergolong baru, tetapi merupakan penelitian lanjutan dari penelitian-penelitian lain yang telah ada sebelumnya.
1.1 Latar Belakang
Keberadaan fenomena perubahan iklim global tidak lagi dapat dipertentangkan melihat berbagai bukti penelitian yang dikemukakan oleh para ahli. Laporan ke-4 yang dipublikasikan oleh Kelompok Kerja II International Panel on Climate Change (IPCC) pada bulan April 2007 mengungkapkan mengenai ancaman perubahan iklim global terhadap keberlangsungan hidup manusia, dimana perubahan iklim diyakini telah mengakibatkan terjadinya peningkatan presipitasi di berbagai belahan dunia (IPCC dalam Few, 2003 : 45). Peningkatan presipitasi tersebut, yang ditandai oleh adanya peningkatan intensitas curah hujan, kenaikan muka air laut (sea level rise), dan munculnya badai ekstrim, pada akhirnya memicu terjadinya peningkatan frekuensi banjir dan terjadinya rob di wilayah pesisir. Akan tetapi, selain dikarenakan oleh fenomena perubahan iklim itu sendiri, bencana banjir yang terjadi juga tidak terlepas dari campur tangan manusia. Tingginya kepadatan penduduk maupun kepadatan bangunan, sistem drainase yang tidak memadai, dan faktor-faktor lainnya pun ikut memperluas cakupan wilayah yang terkena bencana banjir. Hal ini tentu saja mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, baik hilangnya nyawa maupun lenyapnya berbagai barang-barang berharga. Jika dilihat dari aspek fisik maupun aspek non-fisik, bencana banjir telah menyapu sarana dan prasarana, melumpuhkan sistem perekonomian, mengurangi produktivitas kerja masyarakat, mengganggu kesehatan serta keberlangsungan pendidikan masyarakat, dan lain sebagainya. Begitu pula terjadinya rob, dimana selain disebabkan oleh faktor kenaikan muka air laut, bencana rob juga semakin diperparah dengan adanya faktor manusia dalam melakukan kerusakan lingkungan.
Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) sebagai salah satu lembaga yang memiliki tujuan untuk membangun ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim di kota-kota Asia, menyatakan bahwa Semarang sebagai salah satu kota yang terkena dampak dari perubahan iklim yang mengalami kerentanan (Rockfeller Foundation.org). Hal ini dikarenakan letak Kota Semarang yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Sebagai wilayah pesisir yang didukung oleh keberadaan pelabuhan Tanjung Mas dan berbagai sarana prasarana yang lengkap dan memadai, kota ini memiliki fungsi strategis sebagai pintu gerbang ekspor dan impor berskala lokal, nasional, maupun internasional. Hal tersebut tentu saja mendorong terjadinya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang kemudian menarik banyak orang untuk mengadu keberuntungan di Kota Semarang. Akan tetapi, sama dengan kota-kota besar lain di Indonesia, Kota Semarang juga tidak terlepas dari bencana yang diakibatkan oleh adanya fenomena perubahan iklim global, misalnya bencana banjir, rob, badai, angin topan, dan sebagainya. Pernyataan adanya badai dan intensitas curah hujan yang tinggi di wilayah pesisir Kota Semarang diberikan oleh Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jawa Tengah, Evi Lutiviati, yang menyebutkan bahwa kecepatan angin di Kota Semarang dalam sepekan berkisar 30 kilometer per jam dan bahkan mampu mencapai 40 kilometer per jam. Tingginya kecepatan angin tersebut mengakibatkan gelombang tinggi di laut. Selain itu, cuaca ekstrim di Kota Semarang yang disertai pula dengan hujan lebat dan angin kencang masih akan terjadi hingga Februari 2011. Sementara, intensitas hujan rata-rata 20-50 milimeter per hari, tetapi masih ada kemungkinan curah hujan mencapai 100 milimeter per hari (Harian Kompas, 12 Januari 2011). Intensitas curah hujan yang tergolong tinggi tersebut dapat menyebabkan terjadinya bencana banjir di wilayah pesisir. Selain itu, masih terjadi pula kenaikan muka air laut Kota Semarang sebesar 0,8 sentimeter per tahunnya. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir berpotensi untuk mengalami kerugian yang besar, sehingga meningkatkan kerentanan ekonomi dan sosial. Kerentanan sektor ekonomi, antara lain berdampak pada hilangnya pendapatan masyarakat sehari-hari karena lumpuhnya sistem perekonomian yang ada. Adapun, dari sektor sosial potensi kerugian berupa penurunan kesehatan masyarakat dan anak-anak yang tidak dapat bersekolah selama beberapa hari karena sekolah mereka terendam air.
Terkait dengan perubahan iklim yang terjadi di Kota Semarang, ACCRN yang bekerjasama dengan Mercy Corps menyatakan bahwa Mangunharjo merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Tugu yang mengalami kerentanan akibat terjadinya bencana banjir (ACCRN dan Mercy Corps, 2010). Hal ini dikarenakan lokasi kelurahan tersebut berada di tepi laut, mengalami abrasi, bencana banjir, dan semakin diperparah oleh kenaikan muka air laut. Bahkan, pada November 2010 kemarin, masyarakat Kelurahan Mangunharjo terkena bencana banjir hingga mencapai ketinggian 2 meter akibat jebolnya tanggul Sungai Beringin (Media Indonesia.com, 11 November 2010). Secara ekonomi, bencana banjir tersebut berdampak pada keberlanjutan hidup masyarakat yang tinggal di Kelurahan Mangunharjo. Selama ini, masyarakat Mangunharjo memiliki mata pencaharian yang tergantung pada kondisi alam di sekitarnya, yaitu sebagai petani tambak. Adanya bencana banjir, kenaikan muka air laut, yang ditambah dengan abrasi parah menyebabkan hilangnya lahan tambak yang dimiliki oleh masyarakat. Padahal, lahan tambak telah menjadi sumber kehidupan masyarakat. Jika lahan tambak tersebut tidak dapat lagi diolah, maka hal ini akan menyebabkan terjadinya permasalahan sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan kondisi perubahan lingkungan akibat terjadinya fenomena perubahan iklim. Salah satu adaptasi yang dilakukan masyarakat Kelurahan Mangunharjo adalah dengan melakukan peralihan mata pencaharian. Dengan adanya peralihan mata pencaharian, diharapkan masyarakat akan dapat membangun ketahanan sosial dan ekonomi demi mempertahankan keberlangsungan hidup mereka.
Penelitian ini tergabung ke dalam penelitian payung mengenai ketahanan sosial ekonomi masyarakat pesisir terhadap terjadinya perubahan iklim. Dalam hal ini, ketahanan dibatasi pada aspek sosial dan ekonomi, tidak memasukkan aspek fisik, karena penelitian terhadap aspek fisik sudah dilakukan setahun yang lalu. Adapun, terdapat 8 orang mahasiswa yang melakukan penelitian dengan sub-tema dengan wilayah studi yang berbeda-beda, misalnya peralihan mata pencaharian, pengembangan silvofishery, adaptasi masyarakat kampung nelayan. Untuk lebih lengkapnya, lihat Gambar 1.3.
For more information, bisa email di tiaracitraseptiana@yahoo.co.id atau datang aja langsung ke Perpustakaan JPWK Universitas Diponegoro, Semarang
Have a nice weekend !!