Jumat, 25 November 2011

Latar Belakang Tugas Akhir - Peralihan Mata Pencaharian sebagai Bentuk Ketahanan Terhadap Perubahan Iklim di Kelurahan Mangunharjo

BAB I
PENDAHULUAN



Secara keseluruhan, bab Pendahuluan mendeskripsikan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian ini, yaitu adanya fenomena perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya bencana banjir dan rob di wilayah pesisir, sehingga menimbulkan kerentanan terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Untuk merespon adanya kerentanan tersebut, maka masyarakat melakukan suatu tindakan adaptasi dengan cara melakukan peralihan mata pencaharian. Selanjutnya, pertanyaan yang timbul di dalam penelitian ini adalah bagaimana proses peralihan mata pencaharian dapat berperan di dalam membangun ketahanan sosial ekonomi masyarakat. Pertanyaan tersebut berusaha dijawab di dalam penelitian ini, yaitu dengan cara mengkaji ketahanan sosial ekonomi masyarakat melalui peralihan mata pencaharian sebagai upaya adaptasi dalam menghadapi bencana banjir dan rob. Hasil akhir yang diharapkan akan diperoleh melalui kajian ini adalah ditemukannya analisis mengenai bentuk ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pembelajaran bagi penanganan kasus yang serupa demi mewujudkan ketahanan sosial ekonomi secara berkelanjutan. Dalam bab ini dibahas pula mengenai keaslian penelitian yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan pada saat ini tidak tergolong baru, tetapi merupakan penelitian lanjutan dari penelitian-penelitian lain yang telah ada sebelumnya.

1.1 Latar Belakang
Keberadaan fenomena perubahan iklim global tidak lagi dapat dipertentangkan melihat berbagai bukti penelitian yang dikemukakan oleh para ahli. Laporan ke-4 yang dipublikasikan oleh Kelompok Kerja II International Panel on Climate Change (IPCC) pada bulan April 2007 mengungkapkan mengenai ancaman perubahan iklim global terhadap keberlangsungan hidup manusia, dimana perubahan iklim diyakini telah mengakibatkan terjadinya peningkatan presipitasi di berbagai belahan dunia (IPCC dalam Few, 2003 : 45). Peningkatan presipitasi tersebut, yang ditandai oleh adanya peningkatan intensitas curah hujan, kenaikan muka air laut (sea level rise), dan munculnya badai ekstrim, pada akhirnya memicu terjadinya peningkatan frekuensi banjir dan terjadinya rob di wilayah pesisir. Akan tetapi, selain dikarenakan oleh fenomena perubahan iklim itu sendiri, bencana banjir yang terjadi juga tidak terlepas dari campur tangan manusia. Tingginya kepadatan penduduk maupun kepadatan bangunan, sistem drainase yang tidak memadai, dan faktor-faktor lainnya pun ikut memperluas cakupan wilayah yang terkena bencana banjir. Hal ini tentu saja mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, baik hilangnya nyawa maupun lenyapnya berbagai barang-barang berharga. Jika dilihat dari aspek fisik maupun aspek non-fisik, bencana banjir telah menyapu sarana dan prasarana, melumpuhkan sistem perekonomian, mengurangi produktivitas kerja masyarakat, mengganggu kesehatan serta keberlangsungan pendidikan masyarakat, dan lain sebagainya. Begitu pula terjadinya rob, dimana selain disebabkan oleh faktor kenaikan muka air laut, bencana rob juga semakin diperparah dengan adanya faktor manusia dalam melakukan kerusakan lingkungan.

Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) sebagai salah satu lembaga yang memiliki tujuan untuk membangun ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim di kota-kota Asia, menyatakan bahwa Semarang sebagai salah satu kota yang terkena dampak dari perubahan iklim yang mengalami kerentanan (Rockfeller Foundation.org). Hal ini dikarenakan letak Kota Semarang yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Sebagai wilayah pesisir yang didukung oleh keberadaan pelabuhan Tanjung Mas dan berbagai sarana prasarana yang lengkap dan memadai, kota ini memiliki fungsi strategis sebagai pintu gerbang ekspor dan impor berskala lokal, nasional, maupun internasional. Hal tersebut tentu saja mendorong terjadinya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang kemudian menarik banyak orang untuk mengadu keberuntungan di Kota Semarang. Akan tetapi, sama dengan kota-kota besar lain di Indonesia, Kota Semarang juga tidak terlepas dari bencana yang diakibatkan oleh adanya fenomena perubahan iklim global, misalnya bencana banjir, rob, badai, angin topan, dan sebagainya. Pernyataan adanya badai dan intensitas curah hujan yang tinggi di wilayah pesisir Kota Semarang diberikan oleh Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jawa Tengah, Evi Lutiviati, yang menyebutkan bahwa kecepatan angin di Kota Semarang dalam sepekan berkisar 30 kilometer per jam dan bahkan mampu mencapai 40 kilometer per jam. Tingginya kecepatan angin tersebut mengakibatkan gelombang tinggi di laut. Selain itu, cuaca ekstrim di Kota Semarang yang disertai pula dengan hujan lebat dan angin kencang masih akan terjadi hingga Februari 2011. Sementara, intensitas hujan rata-rata 20-50 milimeter per hari, tetapi masih ada kemungkinan curah hujan mencapai 100 milimeter per hari (Harian Kompas, 12 Januari 2011). Intensitas curah hujan yang tergolong tinggi tersebut dapat menyebabkan terjadinya bencana banjir di wilayah pesisir. Selain itu, masih terjadi pula kenaikan muka air laut Kota Semarang sebesar 0,8 sentimeter per tahunnya. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir berpotensi untuk mengalami kerugian yang besar, sehingga meningkatkan kerentanan ekonomi dan sosial. Kerentanan sektor ekonomi, antara lain berdampak pada hilangnya pendapatan masyarakat sehari-hari karena lumpuhnya sistem perekonomian yang ada. Adapun, dari sektor sosial potensi kerugian berupa penurunan kesehatan masyarakat dan anak-anak yang tidak dapat bersekolah selama beberapa hari karena sekolah mereka terendam air.

Terkait dengan perubahan iklim yang terjadi di Kota Semarang, ACCRN yang bekerjasama dengan Mercy Corps menyatakan bahwa Mangunharjo merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Tugu yang mengalami kerentanan akibat terjadinya bencana banjir (ACCRN dan Mercy Corps, 2010). Hal ini dikarenakan lokasi kelurahan tersebut berada di tepi laut, mengalami abrasi, bencana banjir, dan semakin diperparah oleh kenaikan muka air laut. Bahkan, pada November 2010 kemarin, masyarakat Kelurahan Mangunharjo terkena bencana banjir hingga mencapai ketinggian 2 meter akibat jebolnya tanggul Sungai Beringin (Media Indonesia.com, 11 November 2010). Secara ekonomi, bencana banjir tersebut berdampak pada keberlanjutan hidup masyarakat yang tinggal di Kelurahan Mangunharjo. Selama ini, masyarakat Mangunharjo memiliki mata pencaharian yang tergantung pada kondisi alam di sekitarnya, yaitu sebagai petani tambak. Adanya bencana banjir, kenaikan muka air laut, yang ditambah dengan abrasi parah menyebabkan hilangnya lahan tambak yang dimiliki oleh masyarakat. Padahal, lahan tambak telah menjadi sumber kehidupan masyarakat. Jika lahan tambak tersebut tidak dapat lagi diolah, maka hal ini akan menyebabkan terjadinya permasalahan sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan kondisi perubahan lingkungan akibat terjadinya fenomena perubahan iklim. Salah satu adaptasi yang dilakukan masyarakat Kelurahan Mangunharjo adalah dengan melakukan peralihan mata pencaharian. Dengan adanya peralihan mata pencaharian, diharapkan masyarakat akan dapat membangun ketahanan sosial dan ekonomi demi mempertahankan keberlangsungan hidup mereka.

Penelitian ini tergabung ke dalam penelitian payung mengenai ketahanan sosial ekonomi masyarakat pesisir terhadap terjadinya perubahan iklim. Dalam hal ini, ketahanan dibatasi pada aspek sosial dan ekonomi, tidak memasukkan aspek fisik, karena penelitian terhadap aspek fisik sudah dilakukan setahun yang lalu. Adapun, terdapat 8 orang mahasiswa yang melakukan penelitian dengan sub-tema dengan wilayah studi yang berbeda-beda, misalnya peralihan mata pencaharian, pengembangan silvofishery, adaptasi masyarakat kampung nelayan. Untuk lebih lengkapnya, lihat Gambar 1.3.

For more information, bisa email di tiaracitraseptiana@yahoo.co.id atau datang aja langsung ke Perpustakaan JPWK Universitas Diponegoro, Semarang

Have a nice weekend !!


Kajian Kelayakan Sosial Dan Ekonomi Sistem Pemanenan Air Hujan (Rain Harvesting) Kota Semarang

ACCCRN Program supported by The Rockefeller Foundation and coordinated by Mercy Corps in collaboration with The Government of Semarang City, 2011


RINGKASAN KEGIATAN
Kajian kelayakan sosial dan ekonomi sistem rain harvesting digunakan untuk mengurangi kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim ini merupakan tahapan ketiga yang yang dilakukan dalam rangkaian kegiatan penelitian peluang penerapan sistem rain harvesting di Kota Semarang. Adapun, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui aspek sosial dan ekonomi dengan adanya sistem rain harvesting dan sistem pembiayaan yang tepat untuk rain harvesting di masyarakat.

Dalam mencapai tujuan tersebut, maka akan dilakukan beberapa tahapan penting. Tahapan pertama adalah menyusun kriteria wilayah studi yang didasarkan pada pemetaan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Setelah wilayah studi ditentukan dan survei lapangan selesai dilakukan, maka tahapan berikutnya adalah melakukan analisis terhadap kelayakan sosial ekonomi sistem rain harvesting. Analisis ini nantinya akan digunakan untuk mengidentifikasi mengenai kemauan masyarakat dalam membiayai dan merawat instalasi, cara pembiayaan yang tepat terkait instalasi, keuntungan sosial ekonomi, serta perbandingan biaya dan manfaat dalam menerapkan teknologi rain harvesting ini. Selain itu, telah dilakukan pula beberapa kali Focus Group Discussion untuk mensosialisasikan sistem rain harvesting ini kepada pihak kelurahan yang menjadi wilayah studi maupun pihak swasta. Selain itu, FGD ini juga bermanfaat dalam rangka menjaring aspirasi mereka untuk bersedia ikut terlibat pada penerapan sistem RH di Kota Semarang.


Ringkasan Temuan
  1. Setelah dilakukan pemetaan terhadap kondisi sosial dan ekonomi, maka diperoleh 9 kriteria kondisi sosial ekonomi. Dari masing-masing kriteria tersebut, dipilih masing-masing satu kelurahan yang dianggap mewakili kondisi sosial ekonomi (dengan didasarkan atas pertimbangan tertentu), dimana akhirnya diperoleh 9 kelurahan yang menjadi wilayah studi, meliputi Kelurahan Tandang, Wonosari, Mangunharjo, Bandarharjo, Bendan Dhuwur, Miroto, Candi, Pudakpayung, dan Tambakaji.
  2. Terkait dengan kelayakan sosial ekonomi dalam sistem rain harvesting ini, maka dilihat dari segi sosialnya, dapat dikatakan sistem RH layak diaplikasikan di Kota Semarang. Namun, jika dilihat dari aspek ekonomi, sistem RH secara individu hanya layak untuk menggantikan air dari sumur yang tidak menggunakan pompa listrik dan sendang yang diperoleh dengan berjalan kaki, sementara sistem RH secara kelompok layak untuk menggantikan sumber air yang berasal dari PDAM, sumur, dan sungai yang berjalan kaki.
  3. Mekanisme pembiayaan yang diinginkan oleh lebih dari 50% masyarakat di Kota Semarang adalah hibah dana pembangunan, tetapi masih terdapat peluang untuk menerapkan iuran kelompok sebagai bentuk pembiayaan terhadap rain harvesting.
  4. Lesson learned dalam penelitian ini adalah pengetahuan mengenai sistem rain harvesting yang perlu ditrasfer melalui berbagai mekanisme pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan dari sistem rain harvesting ini dapat dilakukan oleh kelompok swadaya masyarakat (KSM).

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi ...

Pusat Pelayanan Perencanaan Pembangunan Partisipatif (P5 UNDIP)
Fakultas Teknik – Universitas Diponegoro
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
Gedung B, Lantai II, Ruang B-203 Kampus UNDIP Tembalang, Semarang 50275 – Indonesia
Telp: +62 24 7648 0583 / +62 24 746 0054
Fax : +62 24 7648 0583 / +62 24 746 0054
Email : p5_undip@yahoo.com
Website: www.p5undip.org

Prinsip Akuntabilitas dalam Good Governance

Prinsip Akuntabilitas dalam Good Governance
Ketiga prinsip tersebut diatas tidaklah dapat berjalan sendiri-sendiri, ada hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi, masing-masing adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai prinsip yang lainnya, dan ketiganya adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai manajemen publik yang baik.

Walaupun begitu, akuntabilitas menjadi kunci dari semua prinsip ini. Prinsip ini menuntut dua hal yaitu (1) kemampuan menjawab (answerability), dan (2) konsekuensi (consequences). Komponen pertama (istilah yang bermula dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.

Prof Miriam Budiardjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai “pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu.” Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances sistem). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah eksekutif (presiden, wakil presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem peradilan) serta legislatif (MPR dan DPR). Peranan pers yang semakin penting dalam fungsi pengawasan ini menempatkannya sebagai pilar keempat

Guy Peter menyebutkan adanya 3 tipe akuntabilitas yaitu : (1) akuntabilitas keuangan, (2) akuntabilitas administratif, dan (3) akuntabilitas kebijakan publik. 7 Paparan ini tidak bermaksud untuk membahas tentang akuntabilitas keuangan, sehingga berbagai ukuran dan indikator yang digunakan berhubungan dengan akuntabilitas dalam bidang pelayanan publik maupun administrasi publik.

Akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan.

Pengambilan keputusan didalam organisasi-organisasi publik melibatkan banyak pihak. Oleh sebab itu wajar apabila rumusan kebijakan merupakan hasil kesepakatan antara warga pemilih (constituency) para pemimpin politik, teknokrat, birokrat atau administrator, serta para pelaksana di lapangan.

Sedangkan dalam bidang politik, yang juga berhubungan dengan masyarakat secara umum, akuntabilitas didefinisikan sebagai mekanisme penggantian pejabat atau penguasa, tidak ada usaha untuk membangun monoloyalitas secara sistematis, serta ada definisi dan penanganan yang jelas terhadap pelanggaran kekuasaan dibawah rule of law. Sedangkan publik accountability didefinisikan sebagai adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien.

Secara garis besar disimpulkan bahwa akuntabilitas berhubungan dengan kewajiban dari institusi pemerintahan maupun para aparat yang bekerja di dalamnya untuk membuat kebijakan maupun melakukan aksi yang sesuai dengan nilai yang berlaku maupun kebutuhan masyarakat. `Akuntabilitas publik menuntut adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien dari para aparat birokrasi.

Karena pemerintah bertanggung gugat baik dari segi penggunaan keuangan maupun sumber daya publik dan juga akan hasil, akuntabilitas internal harus dilengkapi dengan akuntabilitas eksternal , melalui umpan balik dari para pemakai jasa pelayanan maupun dari masyarakat.

Prinsip akuntabilitas publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilainilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut. Sehingga, berdasarkan tahapan sebuah program, akuntabilitas dari setiap tahapan adalah :

1. pada tahap proses pembuatan sebuah keputusan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas publik adalah :
a. pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara tertulis dan tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan
b. pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku, artinya sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar maupun nilai-nilai yang berlaku di stakeholders
c. adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta standar yang berlaku
d. adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi, dengan konsekuensi mekanisme pertanggungjawaban jika standar tersebut tidak terpenuhi
e. konsistensi maupun kelayakan dari target operasional yang telah ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut.

2. pada tahap sosialisasi kebijakan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas publik adalah :
a. penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan, melalui media massa, media nirmassa, maupun media komunikasi personal
b. akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan caracara mencapai sasaran suatu program
c. akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat
d. ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang telah dicapai oleh pemerintah.


Sumber:
Dra.Loina Lalolo Krina P., Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta – 2003


Prinsip Transparansi dalam Good Governance
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.

Transparansi yakni adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik.

Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi.12 Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja yang baik adalah titik awal dari transparansi.

Komunikasi publik menuntut usaha afirmatif dari pemerintah untuk membuka dan mendiseminasi informasi maupun aktivitasnya yang relevan. Transparansi harus seimbang, juga, dengan kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun informasi-informasi yang mempengaruhi hak privasi individu. Karena pemerintahan menghasilkan data dalam jumlah besar, maka dibutuhkan petugas informasi professional, bukan untuk membuat dalih atas keputusan pemerintah, tetapi untuk menyebarluaskan keputusankeputusan yang penting kepada masyarakat serta menjelaskan alasan dari setiap kebijakan tersebut.

Peran media juga sangat penting bagi transparansi pemerintah, baik sebagai sebuah kesempatan untuk berkomunikasi pada publik maupun menjelaskan berbagai informasi yang relevan, juga sebagai “watchdog” atas berbagai aksi pemerintah dan perilaku menyimpang dari para aparat birokrasi. Jelas, media tidak akan dapat melakukan tugas ini tanpa adanya kebebasan pers, bebas dari intervensi pemerintah maupun pengaruh kepentingan bisnis.

Keterbukaan membawa konsekuensi adanya kontrol yang berlebih-lebihan dari masyarakat dan bahkan oleh media massa. Karena itu, kewajiban akan keterbukaan harus diimbangi dengan nilai pembatasan, yang mencakup kriteria yang jelas dari para aparat publik tentang jenis informasi apa saja yang mereka berikan dan pada siapa informasi tersebut diberikan.

Secara ringkas dapat disebutkan bahwa, prinsip transparasi paling tidak dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti :
a. mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari semua proses-proses pelayanan publik
b. mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses didalam sektor publik.
c. mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam kegiatan melayani

Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik, pada akhirnya akan membuat pemerintah menjadi bertanggung gugat kepada semua stakeholders yang berkepentingan dengan proses maupun kegiatan dalam sector publik.



Sumber:
Dra.Loina Lalolo Krina P., Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta – 2003


Prinsip Partisipatif dalam Good Governance
Dalam proses pembangunan di segala sektor, aparat negara acapkali mengambil kebijakan-kebijakan yang terwujud dalam pelbagai keputusan yang mengikat masyarakat umum dengan tujuan demi tercapainya tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Keputusan-keputusan semacam itu tidak jarang dapat membuka kemungkinan dilanggarnya hak-hak asasi warga negara akibat adanya pendirian sementara pejabat yang tidak rasional atau adanya program-program yang tidak mempertimbangkan pendapat rakyat kecil. Bukan rahasia lagi bahwa di negara kita ini pertimbangan-pertimbangan ekonomis, stabilitas, dan security sering mengalahkan pertimbangan-pertimbangan mengenai aspirasi masyarakat dan hak asasi mereka sebagai warga negara. Pembangunan politis dalam banyak hal telah disubordinasi oleh pembangunan ekonomis maupun kebijakan-kebijakan pragmatis pejabat tertentu.


Partisipasi dibutuhkan dalam memperkuat demokrasi, meningkatkan kualitas dan efektivitas layanan publik, dalam mewujudkan kerangka yang cocok bagi partisipasi, perlu dipertimbangkan beberapa aspek, yaitu :
a. partisipasi melalui institusi konstitusional (referendum, voting) dan jaringan civil society (inisiatif asosiasi
b. partisipasi individu dalam proses pengambilan keputusan, civil society sebagai service provider
c. local kultur pemerintah (misalnya Neighborhood Service Department di USA, atau Better Management Transparent Budget di New Zealand)
d. faktor-faktor lainnya, seoerti transparansi, substansi proses terbuka dan konsentrasi pada kompetisi.

Partisipasi adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung.

Transparansi bermakna tersedianya informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu tentang kebijakan publik, dan proses pembentukannya. Dengan ketersediaan informasi seperti ini masyarakat dapat ikut sekaligus mengawasi sehingga kebijakan publik yang muncul bisa memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat serta mencegah terjadinya kecurangan dan manipulasi yang hanya akan menguntungkan salah satu kelompok masyarakat saja secara tidak proporsional.

Pendapat yang mengatakan bahwa partisipasi dapat dilihat melalui keterlibatan anggota-anggota masyarakat di dalam Pemilu saja, jelas merupakan pendapat yang kurang lengkap. Masih banyak pola perilaku informal yang dapat dijadikan patokan dalam menilai tingkat partisipasi dalam suatu masyarakat. Jika orang bersedia menilai proses politik secara netral maka bentuk-bentuk perilaku massa berupa protes, aksi pamflet, ataupun pemogokan, sebenarnya juga termasuk partisipasi. Tindakan protes atau mogok, boleh jadi merupakan luapan dari tuntutan massa akibat saluran-saluran aspirasi yang sebelumnya ada telah berkembang. Protes yang disertai aksi-aksi kekerasan terkadang semata-mata disebabkan oleh keputusasaan, kegusaran, dan terpendamnya konflik internal.

Suatu kebijakan mungkin pada dasarnya bertujuan mulia karena jelas-jelas akan bermanfaat untuk kepentingan umum. Namun seiring dilaksanakannya kebijakan tersebut dalam sistem birokrasi yang berjenjang seringkali terjadi pergeseran dan penyimpangan arah kebijakan tadi.

Bagaimanapun jika para birokrat tidak ingin kehilangan wibawanya dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan publik, para birokrat harus senantiasa memperhatikan aspirasi-aspirasi masyarakat dan mendukung partisipasi seluruh unsur kemasyarakatan secara wajar. Setidak-tidaknya ada 2 alasan mengapa sistem partisipatoris dibutuhkan dalam negara demokratis. Pertama, ialah bahwa sesungguhnya rakyat sendirilah yang paling paham mengenai kebutuhannya. Dan kedua, bermula dari kenyataan bahwa pemerintahan yang modern cenderung semakin luas dan kompleks, birokrasi tumbuh membengkak di luar kendali. Oleh sebab itu, untuk menghindari alienasi warga negara, para warga negara itu harus dirangsang dan dibantu dalam membina hubungan dengan aparat pemerintah.

Dalam rangka penguatan partisipasi publik, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah :
a. mengeluarkan informasi yang dapat diakses oleh publik
b. menyelenggarakan proses konsultasi untuk menggali dan mengumpulkan masukan-masukan dari stakeholders termasuk aktivitas warga negara dalam kegiatan publik,
c. mendelegasikan otoritas tertentu kepada pengguna jasa layanan publik seperti proses perencanaan dan penyediaan panduan bagi kegiatan masyarakat dan layanan publik.

Partisipasi masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan itu sendiri, sehingga nantinya seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh hak dan kekuatan yang sama untuk menuntut atau mendapatkan bagian yang adil dari manfaat pembangunan.



Sumber:
Dra.Loina Lalolo Krina P., Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta – 2003

Sumber : Perencanaan Kota Indonesia

Pengertian Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)

Good governance adalah “mantra” yang diucapkan oleh banyak orang di Indonesia sejak 1993. Kata governance mewakili suatu etika baru yang terdengar rasional, profesional, dan demokratis, tidak soal apakah diucapkan di kantor Bank Dunia di Washington, AS atau di kantor LSM yang kumuh di pinggiran Jakarta. Dengan kata itu pula wakil dari berbagai golongan profesi seolah disatukan oleh “koor seruan” kepada pemerintah yang korup di negara berkembang. “Good governance, bad men!” terkepung oleh seruan dari berbagai pihak, kalangan pejabat pemerintah pun lantas juga fasih menyebut konsep ini, meski dengan arti dan maksud yang berbeda.

Proses pemahaman umum mengenai governance atau tata pemerintahan mulai mengemuka di Indonesia sejak tahun 1990-an, dan mulai semakin bergulir pada tahun 1996, seiring dengan interaksi pemerintah Indonesia dengan negara luar sebagai negara-negara pemberi bantuan yang banyak menyoroti kondisi obyektif perkembangan ekonomi dan politik Indonesia. Istilah ini seringkali disangkutpautkan dengan kebijaksanaan pemberian bantuan dari negara donor, dengan menjadikan masalah isu tata pemerintahan sebagai salah satu aspek yang dipertimbangkan dalam pemberian bantuan, baik berupa pinjaman maupun hibah.


Kata governance sering dirancukan dengan government. Akibatnya, negara dan pemerintah menjadi korban utama dari seruan kolektif ini, bahwa mereka adalah sasaran nomor satu untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Badan-badan keuangan internasional mengambil prioritas untuk memperbaiki birokrasi pemerintahan di Dunia Ketiga dalam skema good governance mereka. Aktivitis dan kaum oposan, dengan bersemangat, ikut juga dalam aktivitas ini dengan menambahkan prinsip-prinsip kebebasan politik sebagai bagian yang tak terelakkan dari usaha perbaikan institusi negara. Good governance bahkan berhasil mendekatkan hubungan antara badan-badan keuangan multilateral dengan para aktivis politik, yang sebelumnya bersikap sinis pada hubungan antara pemerintah negara berkembang dengan badan-badan ini. Maka, jadilah suatu sintesa antara tujuan ekonomi dengan politik.

Tetapi, sebagaimana layaknya suatu mantra, para pengucap tidak dapat menerangkan sebab akibat dari suatu kejadian, Mereka hanya mengetahui sebgian, yaitu bahwa sesuatu yang invisible hand menyukai mantra yang mereka ucapkan. Pada kasus good governance, para pengucap hanya mengetahui sedikit hal yaitu bahwa sesuatu yang tidak terbuka dan tidak terkontrol akan mengundang penyalahgunaan, bahwa program ekonomi tidak akan berhasil tanpa legitimasi, ketertiban sosial, dan efisiensi institusional.

Satu faktor yang sering dilupakan adalah, bahwa kekuatan konsep ini justru terletak pada keaktifan sektor negara, masyarakat dan pasar untuk berinteraksi. Karena itu, good governance, sebagai suatu proyek sosial, harus melihat kondisi sektor-sektor di luar negara.


Arti Good governance
Governance, yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.

Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sector negara dan sector non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusi-institusi negara. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda.

Meskipun mengakui ada banyak aktor yang terlibat dalam proses sosial, governance bukanlah sesuatu yang terjadi secara chaotic, random atau tidak terduga. Ada aturan-aturan main yang diikuti oleh berbagai aktor yang berbeda. Salah satu aturan main yang penting adalah adanya wewenang yang dijalankan oleh negara. Tetapi harus diingat, dalam konsep governance wewenang diasumsikan tidak diterapkan secara sepihak, melainkan melalui semacam konsensus dari pelaku-pelaku yang berbeda. Oleh sebab itu, karena melibatkan banyak pihak dan tidak bekerja berdasarkan dominasi pemerintah, maka pelaku-pelaku diluar pemerintah harus memiliki kompetensi untuk ikut membentuk, mengontrol, dan mematuhi wewenang yang dibentuk secara kolektif.

Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam konteks pembangunan, definisi governance adalah “mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial untuk tujuan pembangunan”, sehingga good governance, dengan demikian, “adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang substansial dan penerapannya untuk menunjang pembangunan yang stabil dengan syarat utama efisien) dan (relatif) merata.”

Menurut dokumen United Nations Development Program (UNDP), tata pemerintahan adalah “penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negra pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.

Jelas bahwa good governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar dan masyarakat. Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristik kebaikan dari suatu governance lebih banyak berkaitan dengan kinerja pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan investasi untuk mempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti pendidikan kesehatan dan infrastuktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu masyarakat warga yang kompeten dibutuhkan melalui diterapkannya sistem demokrasi, rule of law, hak asasi manusia, dan dihargainya pluralisme. Good governance sangat terkait dengan dua hal yaitu (1) good governance tidak dapat dibatasi hanya pada tujuan ekonomi dan (2) tujuan ekonomi pun tidak dapat dicapai tanpa prasyarat politik tertentu.

Membangun Good governance
Membangun good governance adalah mengubah cara kerja state, membuat pemerintah accountable, dan membangun pelaku-pelaku di luar negara cakap untuk ikut berperan membuat sistem baru yang bermanfaat secara umum. Dalam konteks ini, tidak ada satu tujuan pembangunan yang dapat diwujudkan dengan baik hanya dengan mengubah karakteristik dan cara kerja institusi negara dan pemerintah. Harus kita ingat, untuk mengakomodasi keragaman, good governance juga harus menjangkau berbagai tingkat wilayah politik. Karena itu, membangun good governance adalah proyek sosial yang besar. Agar realistis, usaha tersebut harus dilakukan secara bertahap. Untuk Indonesia, fleksibilitas dalam memahami konsep ini diperlukan agar dapat menangani realitas yang ada.

Sumber: Perencanaan Kota Indonesia