Jumat, 25 November 2011

Prinsip Akuntabilitas dalam Good Governance

Prinsip Akuntabilitas dalam Good Governance
Ketiga prinsip tersebut diatas tidaklah dapat berjalan sendiri-sendiri, ada hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi, masing-masing adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai prinsip yang lainnya, dan ketiganya adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai manajemen publik yang baik.

Walaupun begitu, akuntabilitas menjadi kunci dari semua prinsip ini. Prinsip ini menuntut dua hal yaitu (1) kemampuan menjawab (answerability), dan (2) konsekuensi (consequences). Komponen pertama (istilah yang bermula dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.

Prof Miriam Budiardjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai “pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu.” Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances sistem). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah eksekutif (presiden, wakil presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem peradilan) serta legislatif (MPR dan DPR). Peranan pers yang semakin penting dalam fungsi pengawasan ini menempatkannya sebagai pilar keempat

Guy Peter menyebutkan adanya 3 tipe akuntabilitas yaitu : (1) akuntabilitas keuangan, (2) akuntabilitas administratif, dan (3) akuntabilitas kebijakan publik. 7 Paparan ini tidak bermaksud untuk membahas tentang akuntabilitas keuangan, sehingga berbagai ukuran dan indikator yang digunakan berhubungan dengan akuntabilitas dalam bidang pelayanan publik maupun administrasi publik.

Akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan.

Pengambilan keputusan didalam organisasi-organisasi publik melibatkan banyak pihak. Oleh sebab itu wajar apabila rumusan kebijakan merupakan hasil kesepakatan antara warga pemilih (constituency) para pemimpin politik, teknokrat, birokrat atau administrator, serta para pelaksana di lapangan.

Sedangkan dalam bidang politik, yang juga berhubungan dengan masyarakat secara umum, akuntabilitas didefinisikan sebagai mekanisme penggantian pejabat atau penguasa, tidak ada usaha untuk membangun monoloyalitas secara sistematis, serta ada definisi dan penanganan yang jelas terhadap pelanggaran kekuasaan dibawah rule of law. Sedangkan publik accountability didefinisikan sebagai adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien.

Secara garis besar disimpulkan bahwa akuntabilitas berhubungan dengan kewajiban dari institusi pemerintahan maupun para aparat yang bekerja di dalamnya untuk membuat kebijakan maupun melakukan aksi yang sesuai dengan nilai yang berlaku maupun kebutuhan masyarakat. `Akuntabilitas publik menuntut adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien dari para aparat birokrasi.

Karena pemerintah bertanggung gugat baik dari segi penggunaan keuangan maupun sumber daya publik dan juga akan hasil, akuntabilitas internal harus dilengkapi dengan akuntabilitas eksternal , melalui umpan balik dari para pemakai jasa pelayanan maupun dari masyarakat.

Prinsip akuntabilitas publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilainilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut. Sehingga, berdasarkan tahapan sebuah program, akuntabilitas dari setiap tahapan adalah :

1. pada tahap proses pembuatan sebuah keputusan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas publik adalah :
a. pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara tertulis dan tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan
b. pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku, artinya sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar maupun nilai-nilai yang berlaku di stakeholders
c. adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta standar yang berlaku
d. adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi, dengan konsekuensi mekanisme pertanggungjawaban jika standar tersebut tidak terpenuhi
e. konsistensi maupun kelayakan dari target operasional yang telah ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut.

2. pada tahap sosialisasi kebijakan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas publik adalah :
a. penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan, melalui media massa, media nirmassa, maupun media komunikasi personal
b. akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan caracara mencapai sasaran suatu program
c. akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat
d. ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang telah dicapai oleh pemerintah.


Sumber:
Dra.Loina Lalolo Krina P., Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta – 2003


Prinsip Transparansi dalam Good Governance
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.

Transparansi yakni adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik.

Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi.12 Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja yang baik adalah titik awal dari transparansi.

Komunikasi publik menuntut usaha afirmatif dari pemerintah untuk membuka dan mendiseminasi informasi maupun aktivitasnya yang relevan. Transparansi harus seimbang, juga, dengan kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun informasi-informasi yang mempengaruhi hak privasi individu. Karena pemerintahan menghasilkan data dalam jumlah besar, maka dibutuhkan petugas informasi professional, bukan untuk membuat dalih atas keputusan pemerintah, tetapi untuk menyebarluaskan keputusankeputusan yang penting kepada masyarakat serta menjelaskan alasan dari setiap kebijakan tersebut.

Peran media juga sangat penting bagi transparansi pemerintah, baik sebagai sebuah kesempatan untuk berkomunikasi pada publik maupun menjelaskan berbagai informasi yang relevan, juga sebagai “watchdog” atas berbagai aksi pemerintah dan perilaku menyimpang dari para aparat birokrasi. Jelas, media tidak akan dapat melakukan tugas ini tanpa adanya kebebasan pers, bebas dari intervensi pemerintah maupun pengaruh kepentingan bisnis.

Keterbukaan membawa konsekuensi adanya kontrol yang berlebih-lebihan dari masyarakat dan bahkan oleh media massa. Karena itu, kewajiban akan keterbukaan harus diimbangi dengan nilai pembatasan, yang mencakup kriteria yang jelas dari para aparat publik tentang jenis informasi apa saja yang mereka berikan dan pada siapa informasi tersebut diberikan.

Secara ringkas dapat disebutkan bahwa, prinsip transparasi paling tidak dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti :
a. mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari semua proses-proses pelayanan publik
b. mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses didalam sektor publik.
c. mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam kegiatan melayani

Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik, pada akhirnya akan membuat pemerintah menjadi bertanggung gugat kepada semua stakeholders yang berkepentingan dengan proses maupun kegiatan dalam sector publik.



Sumber:
Dra.Loina Lalolo Krina P., Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta – 2003


Prinsip Partisipatif dalam Good Governance
Dalam proses pembangunan di segala sektor, aparat negara acapkali mengambil kebijakan-kebijakan yang terwujud dalam pelbagai keputusan yang mengikat masyarakat umum dengan tujuan demi tercapainya tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Keputusan-keputusan semacam itu tidak jarang dapat membuka kemungkinan dilanggarnya hak-hak asasi warga negara akibat adanya pendirian sementara pejabat yang tidak rasional atau adanya program-program yang tidak mempertimbangkan pendapat rakyat kecil. Bukan rahasia lagi bahwa di negara kita ini pertimbangan-pertimbangan ekonomis, stabilitas, dan security sering mengalahkan pertimbangan-pertimbangan mengenai aspirasi masyarakat dan hak asasi mereka sebagai warga negara. Pembangunan politis dalam banyak hal telah disubordinasi oleh pembangunan ekonomis maupun kebijakan-kebijakan pragmatis pejabat tertentu.


Partisipasi dibutuhkan dalam memperkuat demokrasi, meningkatkan kualitas dan efektivitas layanan publik, dalam mewujudkan kerangka yang cocok bagi partisipasi, perlu dipertimbangkan beberapa aspek, yaitu :
a. partisipasi melalui institusi konstitusional (referendum, voting) dan jaringan civil society (inisiatif asosiasi
b. partisipasi individu dalam proses pengambilan keputusan, civil society sebagai service provider
c. local kultur pemerintah (misalnya Neighborhood Service Department di USA, atau Better Management Transparent Budget di New Zealand)
d. faktor-faktor lainnya, seoerti transparansi, substansi proses terbuka dan konsentrasi pada kompetisi.

Partisipasi adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung.

Transparansi bermakna tersedianya informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu tentang kebijakan publik, dan proses pembentukannya. Dengan ketersediaan informasi seperti ini masyarakat dapat ikut sekaligus mengawasi sehingga kebijakan publik yang muncul bisa memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat serta mencegah terjadinya kecurangan dan manipulasi yang hanya akan menguntungkan salah satu kelompok masyarakat saja secara tidak proporsional.

Pendapat yang mengatakan bahwa partisipasi dapat dilihat melalui keterlibatan anggota-anggota masyarakat di dalam Pemilu saja, jelas merupakan pendapat yang kurang lengkap. Masih banyak pola perilaku informal yang dapat dijadikan patokan dalam menilai tingkat partisipasi dalam suatu masyarakat. Jika orang bersedia menilai proses politik secara netral maka bentuk-bentuk perilaku massa berupa protes, aksi pamflet, ataupun pemogokan, sebenarnya juga termasuk partisipasi. Tindakan protes atau mogok, boleh jadi merupakan luapan dari tuntutan massa akibat saluran-saluran aspirasi yang sebelumnya ada telah berkembang. Protes yang disertai aksi-aksi kekerasan terkadang semata-mata disebabkan oleh keputusasaan, kegusaran, dan terpendamnya konflik internal.

Suatu kebijakan mungkin pada dasarnya bertujuan mulia karena jelas-jelas akan bermanfaat untuk kepentingan umum. Namun seiring dilaksanakannya kebijakan tersebut dalam sistem birokrasi yang berjenjang seringkali terjadi pergeseran dan penyimpangan arah kebijakan tadi.

Bagaimanapun jika para birokrat tidak ingin kehilangan wibawanya dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan publik, para birokrat harus senantiasa memperhatikan aspirasi-aspirasi masyarakat dan mendukung partisipasi seluruh unsur kemasyarakatan secara wajar. Setidak-tidaknya ada 2 alasan mengapa sistem partisipatoris dibutuhkan dalam negara demokratis. Pertama, ialah bahwa sesungguhnya rakyat sendirilah yang paling paham mengenai kebutuhannya. Dan kedua, bermula dari kenyataan bahwa pemerintahan yang modern cenderung semakin luas dan kompleks, birokrasi tumbuh membengkak di luar kendali. Oleh sebab itu, untuk menghindari alienasi warga negara, para warga negara itu harus dirangsang dan dibantu dalam membina hubungan dengan aparat pemerintah.

Dalam rangka penguatan partisipasi publik, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah :
a. mengeluarkan informasi yang dapat diakses oleh publik
b. menyelenggarakan proses konsultasi untuk menggali dan mengumpulkan masukan-masukan dari stakeholders termasuk aktivitas warga negara dalam kegiatan publik,
c. mendelegasikan otoritas tertentu kepada pengguna jasa layanan publik seperti proses perencanaan dan penyediaan panduan bagi kegiatan masyarakat dan layanan publik.

Partisipasi masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan itu sendiri, sehingga nantinya seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh hak dan kekuatan yang sama untuk menuntut atau mendapatkan bagian yang adil dari manfaat pembangunan.



Sumber:
Dra.Loina Lalolo Krina P., Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta – 2003

Sumber : Perencanaan Kota Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar