Sabtu, 08 November 2008

The Spirit of Place: Malioboro

Malioboro merupakan suatu kawasan perbelanjaan di Kota Yogyakarta yang tidak pernah sepi pengunjung. Nama Malioboro diambil dari nama seorang Duke Inggris, yaitu Malborough yang menduduki Kota Yogyakarta dari tahun 1811 hingga 1816.

Namun, versi lain menyebutkan nama Malioboro muncul karena pada masa lalu, jalan Malioboro ini selalu dipenuhi oleh karangan bunga setiap kali Keraton melaksanakan perayaan.

Sejak zaman dahulu, Malioboro telah menjadi pusat kota dan pemerintahan. Berbagai gedung sejarah enjadi saksi perjalanan Malioboro dari sebuah jalanan biasa hingga menjadi salah satu titik terpenting dalam sejarah Yogyakarta. Misalnya, Gedung Agung yang didirikan pada tahun 1823 dan merupakan rumah Residen Belanda pada saat itu, Benteng Vredenburg yang merupakan benteng peninggalan Belanda yang didirikan pada tahun 1765 dan kini menjadi museum, Pasar Beringharjo yang merupakan salah satu pasar terbesar di Yogyakarta hingga kini, dan Hotel Garuda yang menjadi pusat para pembesar dan jenderal-jenderal Belanda pada masa itu menginap dan berkumpul selama berada di Yogyakarta.

Hingga saat ini, Malioboro tetap memiliki kharisma yang kuat sebagai sebuah tempat yang selalu menjadi pusat perhatian setiap wisatawan yang datang ke Yogyakarta, baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara.

Diliat secara fisik, Malioboro yang telah menjadi salah satu simbol bagi Yogyakarta telah mengalami perubahan yang cukup besar. Pada tahun 1936, suasana Malioboro masih tampak teduh. Selain itu, juga terdapat suasana lain yang tidak bisa ditemui lagi pada saat ini, yaitu adanya sentuhan kultural yang masih kental.

Wajah di sepanjang Malioboro dipenuhi oleh bangunan-bangunan swalayan, mall, supermarket dan toko-toko. Sedangkan, di emperannya berjajar ratusan pedagang kaki lima yang menjajakan kain, kerajinan dan makanan. Ada pula bagian jalan yang khusus dilalui oleh kendaraan non-motor, seperti sepeda pancal, becak, dan andong. Pada malam hari, Malioboro tetap ramai dan tampil gemerlap karena adanya lampu-lampu penerangan jalan maupun toko.

Malioboro memiliki tipologi ruang yang dinamis. Ujung jalan Malioboro yang satu terhubung dengan Jalan Mangkubumi dan dibatasi oleh stasiun kereta api, sedangkan ujung lainnya terhubung dengan Jalan Ahmad Yani. Jalan Malioboro itu sendiri berfungsi sebagai salah satu path (jalur) utama di Kota Yogyakarta.

Salah satu hal yang patut disayangkan dari kawasan Malioboro ini adalah banyaknya pedagang kaki lima yang ditengarau turut memiliki andil yang cukup besar dalam menciptakan kesan semrawut. Mereka mendirikan tenda-tenda dan menempatkan gerobak tersebut secara serampangan di sepanjang trotoar. Tenda-tenda dan gerobak dipasang sekehendak hati pedagang tanpa mempertimbangkan kepentingan publik pejalan kaki. Dengan sengaj, berarti para pedagang kaki lima menggusur kenikmatan pejalan kaki yang ingin menelusuri Malioboro.

Mereka juga dianggap bertanggung jawab atas kesan kumuh, bau, dan kotornya wajah Malioboro. Banyak sampah makanan sisa dagangan yang dibuang sembarangan. Selain itu, terdapat pula limbah air kotor yang menggenang di sepanjang trotoar.

Pada saat dini hari, kesibukan mulai tampak di sekitar kawasan Malioboro yang berdekatan dengan Pasar Beringharjo. Lalu lintas masih sepi. Namun, ketika menginjak waktu sekolah dan jam kerja, suasanan mulai berubah. Jalan Malioboro pun mulai padat dipenuhi oleh kendaraan.

Kemudian, pada saat beranjak siang, kehidupan di Malioboro mulai menggeliat. Apalagi ketika toko-toko buka, Malioboro tampak semakin ramai dan padat. Keramaian tersebut terus berlangsung hingga tengah malam.

Sekitar pukul 16.00 WIB, para pedagang kaki lima yang menjajakan menu utama gudeg lengkap lauk pauknya mulai mengambil posisi di sepanjang trotoar sebelah kiri jalan. Mereka turut membaur dengan pedagang makanan lain, seperti bakso, mie ayam, dawet, maupun es teler. Dan, selain itu mereka juga harus pula berjejalan dengan tempat parkir kendaraan roda dua.

Pada hari-hari besar, seperti cuti bersama Hari Raya Idhul Fitri atau liburan panjang sekolah, pengunjung Malioboro melonjak drastis. Hal tersebut ikut membuat banyak pedagang kaki lima dadakan yang menggelar dagangannya di kawasan tersebut.

SIMBOL MALIOBORO
Malionboro memang sengaja dibangun Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di jantung Kota Yogyakarta pada abad kesembilan belas, dengan tujuan sebagai pusat aktivitas perekonomian dan pemerintahan. Secara simbolis, Malioboro diharapkan agar dapat menandingi dominasi kekuasaa Sultan Mataram melalui kemegahan keratonnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Malioboro terletak di depan utara alun-alun yang menjadi halaman keraton.

Adapun keunikan yang dapat kita rasakan pada saat berbelanja di kawasan Malioboro adalah proses tawar menawar berbagai macam cinderamata, yang ditawarkan oleh para pedagang kaki lima yang berjajar di sepanjang trotoar di kawasan ini. Pada umumnya, misalnya pedagang menwarkan suvenir yang diminati seharga Rp.50.000,-. Tawaran seperti ini harus disusul dengan proses tawar menawar dari wisatawan, sehingga harga dapat turun drastis hingga, misalnya Rp.10.000,- saja.

Berbeda dengan berbelanja di sepanjang Malioboro, di toko-toko kawasan ini, wisatawan dapat membeli barang-barang yang diminati tanpa ada proses tawar menawar. Di sini, tampak bahwa Malioboro juga hadir sebagai kawasan perbelanjaan modern.

FAKTOR PRIMER
Malioboro merupakan salah satu tempat pariwisata yang begitu estetik. Di kawasan ini terdapat tempat-tempat bersejarah yang mengandung makna filosofis. Sekitar 20 tahun yang lalu, jalan di sekitar Malioboro masih terasa sangat lengang, udaranya begitu sejuk, dan masih sangat menarik untuk dijadikan sebagai tempat untuk menghilangkan rasa jenuh dan bersantai bersama keluarga.

Pada sekitar dekade 70an, Malioboro menyimpan makna bagi para seniman. Malioboro merupakan tempat yang kondusif untuk berkarya dan berkespresi. Malioboro turut memberikan ide-ide besar bagi para seniman, mulai dari seniman jalanan, penabuh gamelan, pemain teater, hingga pencipta lagu-lagu kontemporer. Selain itu, relasi antara orang yang ada di Malioboro didasari atas rasa solidaritas dan saling tolong menolong.

Adapun, masing-masing nama jalan di kawasan Malioboro, yaitu Jalan Margotomo (kini Jalan P. Mangkubumi), Jalan Malioboro, dan Jalan Margomulyo (kini Jalan Ahmad Yani) mempunyai makna tersendiri. Margotomo, dimulai dari Tugu hingga pintu kereta api Stasiun Tugu, misalnya diartikan sebagai jalan menuju keutamaan. Sedangkan, Malioboro terdiri dari dua kata, mali diartikan sebagai wali dan boro berarti obor, pelita, penyuluh, penunjuk jalan. Maksudnya, gunakanlah ilmu yang dipaparkan para wali sebagai pedoman pada hidup yang sempurna, tenteram, sabarm dan damai. Sementara, Margomulyo (dari perempatan Pecinan hingga perempatan Gedung Agung) memiliki makna jalan menuju ke hidup mulia.

FAKTOR SEKUNDER
Sekarang ini, Malioboro sudah banyak mengalami perubahan. Mulai dari perubahan yang hanya berbentuk fisik hingga perubahan yang bertaraf fungsi yang ada di dalamnya. Dulu, di kawasan ini masih terdapat nuansa tersendiri yang dapat dinikmati jika berkunjung ke sana.

Pada saat terjadi krisis moneter 1997, banyak perusahaan gulung tikar dan PHK terjadi di mana-mana, maka menjadi pedagang kaki lima di daerah sekitar Malioboro menjadi pilihan utama. Sejak saat itu, Malioboro pun mulai kehilangan nilai-nilai filosofis yang ada di dalamnya. Malioboro telah menjadi tempat untuk praktik bisnis.

Pada sekitar dekade 80an, banyak terjadi praktik jual beli tanah di Malioboro, konon orang yang membeli tanah itulah yang merasa memiliki Malioboro. Entah mereka yang telah membayar atas trotoar itu, maupun yang hanya sekedar membayar retribusinya saja. Yang jelas, di kemudian hari keduanya merasa sama-sama memiliki Malioboro. Dan, masyarakat sekitar pun merasa dimarjinalkan. Dengan berlangsungnya transaksi antara keduanya, maka Malioboro kini menjadi ruang privat, sehingga tidak ada lagi ruang publik bagi masyarakat yang terdapat di kawasan Malioboro.

Bergesernya ruang publik ke ruang privat itulah yang menyebabkan perubahan relasi antara orang-orang yang berkunjung di Malioboro. Hubungan relasi pun dibangun atas dasar relasi pasar, yaitu antara penjual dan pembeli.

Berbagai pembangunan di Malioboro telah banyak mengorbankan bangunan heritage. Beberapa bangunan pusaka kota telah dipugar, dan digantikan dengan bangunan baru yang lebih menjanjikan dalam segi ekonomi. Pada dasarnya, hal itu tidak seharusnya terjadi, jika mereka menyadari bahwa pelestarian pusaka kota tidak bertentangan dengan konsep pembangunan Malioboro. Bahkan, sebenarnya keduanya saling berkorelasi antara satu dengan yang lain.

Tata kota yang berubah, dengan bangunan-bangunan kasat mata yang tak terbayangkan, berbanding dengan jejak sejarah yang ingin dilestarikan, secara nyata menggambarkan suatu pergulatan. Tidaklah mustahil, apabila suatu saat nanti terjadi perubahan dari tatanan budaya agraris menjadi budaya modern yang lebih mengedepankan semangat individualistis dan berpikir bisnis semata.

Disadur dari berbagai sumber

Sumber:

Anonim. 2008. “Belanja Sambil Jalan-Jalan?? Hemph...,” dalam http://bernadetadotty.wordpress.com/2008/06/20/belanja-sambil-jalan-jalan-hemph/#more-41. 20 Juni.

http://malioboro.wordpress.com/welcome-to-malioboro/

http://www.tembi.org/dulu/malioboro_1936_dan_1949/index.htm

http://www.wisatamelayu.com/id/object.php?a=RExtL3NaWC9P=&nav=geo

Prawoto, Eko. 2008. “Arsitektur Kota Yogyakarta: Facadisme dan Pudarnya Identitas Kota,” dalam
http://pararupa.wordpress.com/2008/08/08/dibandingkan-kota-kota-tua-di-dunia-sebenarnya-usia-kota-yogyakarta-masih-tergolong-muda-baru-berumur-sekitar-250-tahun-endapan-arsitektur-kotanya-pun-masih-belum-begitu-tebal-lapisan-demi-lapisan/. 8 Agustus.

Saputra, Stevie. 2008. “Malioboro Oh Malioboro,” dalam http://jurnalnasional.com/?med=tambahan&sec=WISATA&rbrk=&id=48603&detail=WISATA. 10 Mei. Jakarta.

Tinarbuko, Sumbo. 2007. “Malioboro: Ruwet, Macet, Bundhet, Bikin Mumet!” dalam
http://sumbo.wordpress.com/2007/12/11/malioboro-ruwet-macet-bundhet-bikin-mumet/. 11 Desember.

Wasti. 2007. “Romantisme Ala Jogja,” dalam
http://wastioke.multiply.com/journal/item/19/Romantisme_Ala_Jogja. 17 November.

Wijayanto, Punto. 2006. “Membangun Kawasan Bersejarah yang Dinamis,” dalam
http://rasanrasan.wordpress.com/2008/08/08/membangun-kawasan-bersejarah-yang-dinamis/. 01 April. Yogyakarta.

Wilonoyudho, Sarathi. 2001. “[REGS] JOGJA – Jangan Jadi ‘Kota Gila’,” dalam http://www.kompas.com/kompascetak/0108/11/daerah/yogy26.htm. 11 Agustus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar