Senin, 19 November 2007

Mengapa Cowok Tidak Boleh Menangis?

“Mengapa cowok tidak boleh menangis?” Pertanyaan itu selalu saja berputar – putar di kepalaku tanpa bisa kujawab secara logis dan masuk akal.

Cowok, aku pikir punya hak asasi yang sama dengan cewek. Mereka berhak tertawa, menangis, berbicara. Namun, mengapa selama ini cowok tidak boleh dibiarkan menangis? Cowok kan juga manusia yang mempunyai perasaan, bukan seperti malaikat yang hanya diberi akal. Apakah adat yang membelenggu? Adat Indonesia? Ataukah, ungkapan itu sudah mengglobal di seluruh dunia? yang sebenarnya bukan berasal dari adat Indonesia, tetapi budaya dari negara asing, entah dimana.

Cowok adalah lambang kekuatan, superioritas, yang diharuskan (memang sudah menjadi suratan) untuk melindungi kaum wanita yang lemah, yang gampang menangis (hanya gara – gara nonton film, misalnya. Yah, kayak aku gitu. He … he … he …). Tapi, sebenarnya tidak sedikit pula wanita yang tegar dan pantang menyerah dalam menghadapi masalah kehidupan (kayak acara di Trans TV, Wanita dalam Berita). Tidak selamanya, cowok itu kuat menghadapi segala rintangan sendirian. Sekali – sekali, dia juga membutuhkan tempat sebagai sandaran. Bila perlu, menangis di pelukan seorang cewek.

Sebenarnya, tidak ada yang melarang cowok untuk menangis, karena setiap orang berhak mengekspresikan perasaannya secara bebas. Aku sih nggak ditakdirkan sebagai cowok, jadi tidak tahu bagaimana mereka mengatasi kesedihannya. Apakah dengan diam saja atau hanya terpekur menatap hampa? Padahal, dengan menangis (aku sungguh mengakuinya, karena aku emang sudah membuktikan kebenarannya) kita dapat mengeluarkan unek – unek, pokoknya segala hal yang mengganjal di hati. Setidaknya, setelah menangis, perasaanku menjadi plong, sehingga dapat mengurangi beban yang ada di hati.

Sekarang ini, tidaklah mustahil jika seorang cowok menjadi chef, alias tukang masak di restoran. Atau juga sebaliknya, seorang cewek yang jadi kernet bus dan bergelantungan di pinggir pintu. Jadi, mengapa tidak jika cowok menangis? Tidak ada yang melarang!

Kelam dalam Hitam

Nyawa langit teramat gelap
Mendung menggelantung di awang
Bintang pun rembulan jadi kehilangan
makna sinarnya
Bila ada sebuah hati tergenggam
merindu
Pulang ke taman cintanya, menangis

Ganas gelombang mendera pasir
yang berbisik perlahan
Menghempas kerang – kerang kecil
ke tepian
Bila badai mendera hilang jua angan rasa
Pulauku kian tenggelam

Terlambat kulalui titian nada jiwamu
Hingga ‘ku terjatuh menunggu …
Lenyap, kosong tak bermakna
Deru senyap sunyi merengkuhku
dalam pelukan

Pernahkah kau merasa ‘sakau’ karena tidak ‘mengonsumsinya’ walau hanya selama satu hari? Rasanya, tentu saja tidak bisa dibayangkan, pokoknya sama sekali tidak enak.

Dan, aku … mengalami ketergantungan itu, ketergantungan pada obat – obatan. Namun, namanya bukan mariyuana. Bukan! Namanya, Mas D. Satu hari saja aku tidak memandang dirinya, wajahnya, tatapan matanya, senyumnya, semuanya, aku merasa ada sesuatu yang menghilang dari hatiku. Sebagian jiwaku seakan terbang mengikuti aliran hidupnya, dan aku tidak tahu apakah jiwaku akan kembali pulang? Memenuhi cawan hatiku yang mulai kerontang.

Mas D, mengapa hari ini kamu tidak ada? Aku sudah lelah mengedarkan pandangan ke semua arah, tetapi engkau seolah menghilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak yang dapat kuikuti? Apakah kau berbisik pada rumput dan menyuruhnya mengaburkan alunan langkah menuju jalanmu? Apakah kau berbicara pada langit agar menurunkan hujan, sehingga kau dapat menyembunyikan warna pelangimu?

Mimpiku …
Bila aku hanya bisa memandangmu dari kejauhan, memandang Mas D sedang bergandengan bahagia dengan seseorang, bukan aku!, menyusuri padang bunga tanpa batas. Tak ada kata – kata yang terucap dari bibir. Aku seakan sudah lupa bagaimana caranya untuk berbicara, berteriak.

Aku tak ingin menangis. Aku tidak ingin tertawa. Aku tidak menginginkan apapun.
Perlahan – lahan, gelap mulai mencemari hatiku dan membuatnya kelam dalam hitam.

17 November 2007

Selasa, 13 November 2007

Manfaat Kegagalan

Menurutku, jika menginginkan pelangi, kau harus mau menerima hujan ( Dolly Parton )

Pada saat kita mengalami kegagalan, rasanya dunia seakan berhenti berputar. Tidak jarang, kita merasa bahwa orang di sekeliling kita justru menertawakan kesalahan yang kita buat.

Pernahkah kita bertanya pada diri kita sendiri, apa sih manfaat kegagalan? Lalu, kita akan menjawab dengan pasti, nggak ada. Nah, untuk itulah diperlukan sikap positive thinking untuk menyikapinya. Adalah sesuatu yang wajar bila kita sesekali mengalami kegagalan.

Kegagalan akan memberikan sudut pandang baru tentang diri kita dan hal – hal lain yang kita lakukan. Sebenarnya, ada semacam perasaan bebas jika kita mengalami kegagalan dan kemudian mampu untuk bangkit kembali dan menemukan bahwa dunia di sekeliling kita masih terus berputar.
Kegagalan akan memberikan kebebasan dan motivasi untuk terus mencoba berbagai hal yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Saat kita menyadari bahwa kegagalan itu tidak menimbulkan suatu akibat yang fatal, maka kita akan terus terdorong untuk mengambil resiko dan mencoba hal – hal yang baru.
Kegagalan akan membuat kita lebih mampu memahami orang lain. Mengapa? Karena orang lain kadang – kadang juga mengalami kegagalan. Jadi, apa salahnya kalau kita merasakan hal itu sesekali? Lagipula, saat kita megalami kegagalan dalam melakukan sesuatu, kita bisa memandang mereka secara berbeda. Kita menjadi menyadari bahwa banyak jalan untuk meraih kesuksesan dan banyak jenis keahlian – beberapa yang kita miliki, beberapa yang tidak yang kita miliki. Wawasan kita pun tidak lagi sempit.
Kegagalan memungkinkan kita untuk segera melakukan hal lain – dan hal lainnya lagi setelah itu. Kita juga tidak akan sering menunda – nunda pekerjaan.
Kegagalan akan mengajarkan pada diri kita bahwa ada beberapa tingkatan keberhasilan. Dunia ini tidak selalu hitam putih. Kita tidak harus menjadi yang terbaik dalam melakukan sesuatu atau dalam bersenang – senang.
Kegagalan akan mengajari diri kita bahwa gagal dalam suatu hal adalah normal. Dan, kegagalan itu perlu. Bahkan, kegagalan itu diinginkan. Kita bisa mempelajari banyak hal dari kegagalan – tetapi kita harus mau mengalami banyak hal.

Dikutip dari Buku Pintar Remaja Gaul dengan perubahan seperlunya

Sabtu, 10 November 2007

Makna dari Sebuah Sentuhan

Seandainya saya dapat meringankan rasa sakit atau meredakan rasa nyeri seseorang, atau menolong seekor burung murai yang kebingungan kembali ke sarangnya lagi, hidup saya tak akan sia – sia.
( Emily Dickinson )

Kemarin, tepatnya pada tanggal 10 November 2007, ketika prosesi diadakan, ketika bentak – membentak sudah menjadi tradisi, ketika kakak senior yang menamakan dirinya KomDis alias Komisi Kedisiplinan, dengan seenaknya ‘menasihati’ adik juniornya, aku merasa seperti menjadi burung murai itu. Bingung, tidak tahu ke mana akan melangkah. Hanya diam saja, menunduk ...

Nggak ada yang membela. Bahkan, Mas D pun nggak datang. Walaupun, aku selalu membayangkan seandainya dia hadir dan melindungiku. Aku pun merasa sedih, kecewa, marah, kesal … semuanya bercampur aduk menjadi satu di dalam hatiku. Menimbulkan rasa yang menyesakkan di dada.

Setelah semua berlalu, Mbak Ochin, mbak yang menurutku baik banget, bilang kalau kita harus membuang segala masalah yang mengganjal. Kami semua menunduk bersama – sama. Sepi! Pada saat itulah Mas Dana datang menuju ke arahku dan memegang lenganku.

Lalu, setelah itu apa yang terjadi? Aku menangis dalam keheningan. Seakan dengan sentuhan kecil darinya, semua beban yang ada di hatiku seketika menjadi hilang, menguap entah kemana. Walaupun mungkin Mas Dana merasa bahwa tindakan yang dilakukannya sepele, tapi bagiku … hal itu sangatlah berharga. Aku dapat merasakan kelembutan yang mengalir lewat sentuhan tangannya, yang membuatku merasa tenang. Merasa bahwa ada seseorang yang selalu ada di sampingku. Memandangku, dan siap menolong jika aku membutuhkan sosoknya.

Untuk Mas Dana, aku mengucapkan terima kasih. I was so appreciated with your deed, Mas. Dan, aku nggak akan pernah melupakannya, walau kita belum saling mengenal.

Mimpi ... Kosong

Dear Mas D,

Dan, aku yakin bahwa ini hanyalah ilusi, yang akan segera menghilang tertiup angin malam. Hanya fatamorgana sesaat. Aku terbenam di dalam lautan. Entah dimana, mungkin di dunia yang tak terjangkau oleh tangan manusia. Dan, hanya Tuhan yang mengerti. Kularutkan juga hatiku. Biar aku tak lagi merasa sendiri dan kesepian.

Mas, mengharapmu bagai mencari setetes air di gurun gersang. Aku, orang bodoh yang tidak sanggup menahan kelembutan cinta. Datang tiba – tiba dan membelai hatiku perlahan, merasuk pasti. Tapi, semua itu hanyalah impian. Tak teraih. Tak terjangkau dalam genggam tanganku.

Aku sudah tidak dapat bersembunyi lagi dari takdir yang senantiasa mengejar, selalu menanti sesuatu. Entah apa, aku tak mengerti. Yang kutahu, cinta telah membuat mataku tertutup, dan selalu membuatku menangis memikirkannya. Apa yang harus kulakukan? Adakah cara untuk menghapusmu pergi dari ingatan? Biar hilang saja, hingga takkan meninggalkan kenangan yang selalu membekas di hati.

Rinai hujan kini telah membasahi bumi. Membasahi jiwaku yang semula memang tak pernah kering dari tangisan kehidupanku. Aku … lelah, teramat lelah, menunggumu di ujung mimpi. Tanpa batas, tak terbatas. Telah kujelajahi semua bagian. Namun, hanya membuat kesia – siaan semakin menumpuk. Menimbulkan kecewa yang tak bisa semudah itu dilupakan. Tak padam, selamanya.

Dia yang Entah Kemana

Hanya kerontang
Menangisi kepergian rinai, entah kemana
Menanti bidadari turun, kapan
Tanah menjadi rekah, bersama batu
Suara langkah menuju …
keputusasaan

Angin kering, serak
Mengaburkan kabut yang semakin mengabut
Menerbangkan daun yang lelah,
tak berdaya
Menunggu ajal mencerabutnya
dari lapisan bumi

Di manakah dia berada?
Di manakah dia bersemayam?
Akankah terbangun dari tidur panjangnya?
Akankah masih punya nurani?


Dia adalah harapan, segala harapan
Sumber kehidupan dunia
Nyata

2 Oktober ’07

Kekeringan yang parah telah melanda beberapa daerah di Pulau Jawa. Kemarau berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Akibatnya, sumur – sumur menjadi mengering, termasuk waduk ( tadi aku membaca di koran bila air di Waduk Kedung Ombo hanya sanggup bertahan 37 hari lagi ) dan sungai ( Bengawan Solo yang telah mengering, justru menimbulkan bau yang tidak sedap ). Kesimpulannya TIDAK ADA AIR, berarti akan semakin menambah luka derita masyarakat.

Para petani yang sawahnya mengering lah yang paling menderita. Mereka menangis … merasa putus asa, ”mau makan apa?”

Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air, tidak akan ada kehidupan ( dan, aku nggak mau membayangkannya! ). Bahkan, ada penduduk yang menebang pohon agar kayunya bisa dijual untuk membeli air. Dan, pemerintah tidak bisa berbuat apa – apa untuk mencegahnya. Karena pohon – pohon tersebut adalah milik mereka sendiri.
Semua menjadi serba dilemma. Tanpa pohon, tidak akan ada penyerapan air, tidak ada yang bertindak sebagai “penyimpan cadagan devisa”. Namun, tanpa air, mereka pun tidak akan bertahan lama.

Entah kapan musim penghujan akan mendatangi manusia? Bukannya matahari beserta UV – nya yang menyinari bumi sepanjang waktu.

Akankah datang kebahagiaan? Akankah muncul harapan baru untuk menatap masa depan? Sudahkah Tuhan memaafkan?

Kini, yang tersisa hanyalah misteri yang melingkupi hati yang resah.
The doors are still closed for us. God doesn’t apologize our attitude. May be, someday, when we are becoming well, God will send a smile, a pure and soft smile. Amien.

Dalam Sepi

Ketika sang surya semakin memerah di batas, di ujung cakrawala senja, seekor burung balam kecil melangkah terseok – seok. Sendiri …

Namun, dia tetap bertahan, tegar, walau sebenarnya tubuh itu telah dipenuhi oleh anak panah yang tajam menancap, merobek, mengoyak luka yang menganga semakin lebar.

Dan … akhirnya dia luruh jatuh ke bumi, meinggalkan segala kenangan pahit yang dialaminya. Biarlah dia hidup hanya dalam kenangan. Akan tetapi, masih maukah mereka mengingat burung balam yang kesepian?

Dalam keputusasaan, akhir dari kekuatan, dia menciptakan bayangan, menggali semua kenangan terindah miliknya. Namun, kenangan indah itu tidak pernah ada. Telah menghilang sebelum burung balam mengingatnya.

Seekor burung balam yang menunggu kematiannya. Terperangkap dalam jaring tak terlihat. Jaring yang sengaja disebarkan Tuhan untuk menangkapnya, membawanya pergi dari dunia nyata. Akankah dia merasa bahagia di sana? Tak ada yang mencoba ‘tuk peduli.

Dia berusaha untuk tersenyum. Namun, hanya senyum penuh keterpaksaan yang nampak jelas. Sadar, bahwa dia tidak bahagia. Seperti mengharap impian di antara ketidakpastian. Mengharap cahaya di antara kegelapan. Mengharap kasih sayang dan … cinta di antara kedustaan.

Entah sejak kapan, semuanya jadi mengering. Walaupun hujan telah mengguyur tubuhnya, air mata burung balam tak pernah kembali menjadi bagian dari dirinya. Betapa sulit membuatnya datang. Sebab, derita telah merampas keutuhan, memangsa dirinya hingga tak bersisa.

Kini, tinggallah hati yang mati, pikiran yang hampa dan detak yang kian menghilang.