Sabtu, 10 November 2007

Dalam Sepi

Ketika sang surya semakin memerah di batas, di ujung cakrawala senja, seekor burung balam kecil melangkah terseok – seok. Sendiri …

Namun, dia tetap bertahan, tegar, walau sebenarnya tubuh itu telah dipenuhi oleh anak panah yang tajam menancap, merobek, mengoyak luka yang menganga semakin lebar.

Dan … akhirnya dia luruh jatuh ke bumi, meinggalkan segala kenangan pahit yang dialaminya. Biarlah dia hidup hanya dalam kenangan. Akan tetapi, masih maukah mereka mengingat burung balam yang kesepian?

Dalam keputusasaan, akhir dari kekuatan, dia menciptakan bayangan, menggali semua kenangan terindah miliknya. Namun, kenangan indah itu tidak pernah ada. Telah menghilang sebelum burung balam mengingatnya.

Seekor burung balam yang menunggu kematiannya. Terperangkap dalam jaring tak terlihat. Jaring yang sengaja disebarkan Tuhan untuk menangkapnya, membawanya pergi dari dunia nyata. Akankah dia merasa bahagia di sana? Tak ada yang mencoba ‘tuk peduli.

Dia berusaha untuk tersenyum. Namun, hanya senyum penuh keterpaksaan yang nampak jelas. Sadar, bahwa dia tidak bahagia. Seperti mengharap impian di antara ketidakpastian. Mengharap cahaya di antara kegelapan. Mengharap kasih sayang dan … cinta di antara kedustaan.

Entah sejak kapan, semuanya jadi mengering. Walaupun hujan telah mengguyur tubuhnya, air mata burung balam tak pernah kembali menjadi bagian dari dirinya. Betapa sulit membuatnya datang. Sebab, derita telah merampas keutuhan, memangsa dirinya hingga tak bersisa.

Kini, tinggallah hati yang mati, pikiran yang hampa dan detak yang kian menghilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar