Sabtu, 12 Juli 2008

Kekerasan Terhadap Perempuan

Terdapat hubungan antarberbagai macam kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan di seluruh dunia – perkosaan dan pemukulan, kematian akibat mas kawin di India, pembuatan pornografi, perusakan atau pemotongan organ intim perempuan di Afrika. Hubungannya adalah karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebaga individu dengan hak atas tubuh dan kehdupannya. Dengan demikian, bebas dari kekerasan menjadi kunci bagi kelompok perempuan di seluruh dunia. Angka-angka terbaru mendokumentasikan jumlah korban kekerasan di dalam rumah yang amat mengejutkan. Di as, pemukulan merupakan kasus urtama kecelakaan terhadap perempuan dewasa dan perkosaan dilakukan setiap enam menit, di peru 70 persen dari seluruh kejahatan yang dilaporkan kepada polisis menyangkut perempuan yang dipukul oleh suaminya. Di lima, kota dengan tujuh juta penduduk, untuk perkosaan saja dilaporkan sebanyak 168.970 dalam tahun 1987. Di India, 8 dari 10 istri mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Tempat yang paling berbahaya bagi perempuan di seluruh dunia adalah di dalam rumah.


Kekerasan menimbulkan rasa malu dan mengintimidasi perempuan; ketakutan akan kekerasan menghalangi banyak perempuan mengambil inisiatif dan mengatur hidup yang akan dipilihny. Ketakutan terhadap kekerasan merupakan salah satu faktor kunci yang menghambat perempuan ikut terlibat dalam pembangunan; ketakutan ini merintangi perempuan untuk pergi ke klinik kb, misalnya, atau menghadiri kelas pemberantasan buta huruf. Womankind worldwide – sebuah ngo yang dibentuk untuk meneropong secara khusus kebutuhan dan potensi perempuan dunia ketiga – menerbitkan laporan tentang kekerasan terhadap perempuan yang merekam beberapa alasan mengapa kekerasan meningkat. Menurut laporan itu, cara produksi baru menimbulkan berbagi perubahan dalam hubungan antarjenis kelamin; yang selanjutnya mungkin mempertnggi ketegangan rumah tangga dalam masyarakat dimana laki-laki percaya bahwa sudah menjadi haknya menontrol mitra hidupnya. Istri dipukul karena “ketidakmampuan atau penolakan mereka untuk menerima kerja ekstra yang berkaitan dengan produksi tanaman yang diperjualbelikan”, perempuan yang tidak terlalu tergantung kepada suami mungkin tidak begitu rentan terhadap kesemena-menaan walaupun laki-laki yang tidak bekerja mungkin juga melampiaskan rasa frustasinya kepada perempuan.


Kekerasan seksual terkait dengan bentuk kekerasan lainnya. Dalam dua dasawarsa terakhir, sikap yang ditujukan kepada perkosaan telah sangat berubah, yang dipelopori oleh gerakan perempuan di seluruh dunia. Jika dulu perkosaan dilihat sebagai kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki tidak normal yang tidak mampu mengontrol “nafsu birahinya”, kini perkosaan dilihat sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki normal terhadap perempuan: pada dasarnya, tindakan itu merupakan mekanisme kontrol dan intimidasi. Yang menarik, uu perkosaan di banyak negara di dunia ini tetap memakai gagasan perkosaan sebagai tindakan melawan perempuan milik laki-laki lain, baik ayah dari perempuan yang belum menikah atau suami dari seorang perempuan yang telah menikah. Gagasan perempuan sebagai kekayaan, perempuan sebagai objek perdagangan, sangat fundamental dalam rangka memahami tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan di seluruh dunia.


Maria Mies melihat gagasan tentang perempuan sebagai kekayaan merupakan sesuatu yang mendasari semakin meningkatnya jumlah perkosaan yang dilakukan terhadap petani pemberontak di kawasan pedesaan di India. Tidak puas dengan membakar rumah dan memukul laki-lakinya, tuan tanah beserta kaki tangannya memperkosa perempuan. Menurut Mies, tindakan ini tidak ada hubungannya dengan seksualitas, tetapi perempuan hanya dilihat sebagai satu-satunya “kekayaan” yang masih dimiliki oleh laki-laki miskin. Perkosaan terhadap perempuan mengajarkan kepada laki-laki miskin bahwa status mereka merupakan salah satu ketidakberdayaan yang mutlak. Di sini hukum kelas dan penindasan terhadap perempuan terkait erat. Laki-laki yang memiliki tanah juga memiliki perempuan yang ada di tanah itu. Dasar pemikiran yang sama – memperjelas kekerasan yang sering diterima oleh perempuan dari suaminya. Menurut gerakan perempuan di India, karena melihat perempuan sebagai objek perdagangan antarlelaki dari dua keluarga itulah yang menjadi akar masalah kematian akibat mas kawin. Catatan polisi menunjukkan tingginya tingkat kematian di keluarga perempuan muda dikarenakan membakar diri. Di Delhi sendiri, 690 perempuan meninggal dunia akibat terbakar dalam tahun 1983, dan dari jumlah ini 270 dinyatakan positif sebagai “membaar diri karena mas kawin” (pembakaran yang disengaja terhadap seorang mempelai perempuan belia oleh keluarga suaminya sebagai cara untuk menyingkirkannya atas dalih bahwa dia tidak membawa mas kawn yang cukup bagi pernikahannya), kelompok perempuan berkeyakinan bahwa sebagian besar, jika tidak semua, kematian semacam itu bukan bersifat kecelakaan. Sebagian besar mungkin bunuh diri, tetapi banyak juga yang dibunuh. Namun, sangat sedikit dari kematian ini yang pernah diselidiki dan bahkan lebih sedikit lagi yang berakhir dengan kepastian. Gerakan perempuan di India dengan lantang menyuarakan kematian yang diduga akibat mas kawin dengan kemarahan dan kesedihan. Namun, ternyata kematian terus saja berlanjut.


Di banyak kawasan Afrika, perempuan juga dengan keras menentang penyunatan (sirkumsisi) terhadap perempuan; pada saat yang sama mereka mengakui bahwa kebiasaan itu merupakan praktik yang berakar begitu kuat dalam konstruksi peran gender di Afrika sehingga akan sangat sulit untuk dihilangkan. Catatan seorang perempuan Kenya mengenai penyunatan perempuan Kenya menunjukkan bahwa tindakan itu adalah bagian dari ritus yang harus dilewati, suatu titik tolak dari masa kanak-kanak ke masa dewasa; tanpa ritus tersebut perempuan itu akan dianggap sebagai anak-anak, orang buangan, tidak bertanggung jawab dan yang lebih penting, tidak murni. Sirkumsisi perempuan merupakan praktik yang sangat sulit bagi orang luar untuk berkomentar. Satu pendekatan yang dipakai oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1975 adalah penyunatan perempuan hanya bisa diatasi oleh perempuan dari negara dimana peristiwa itu berlangsung ketika mereka sudah siap. Bagaimana cara mereka mengatasi masalah tersebut, terserah kepada mereka sendiri. Pendekatan lain menegaskan bahwa kesakitan dan derita yang disebabkan oleh sirkumsisi menempatkan tindakan tersebut ke dalam kategori yang sama dengan kematian ibu. Demikian pula akibat bagi keadaan sosial dan kulturalnya. Oleh karena itu, hal tersebut merupakan isu yang sah dimana perempuan (dan laki-laki) di luar negara yang bersangkutan bisa mengambil peran penasehat, walaupun agendanya sudah dibuat oleh perempuan yag terkena tindakan itu. Sebagian besar perempuan yang disunat tidak memprotes; karena sirkumsisi biasanya dilakukan kepada gadis yang masih sangat belia, penolakan bukan merupakan suatu pilihan. Agama dan tradisi keluarga bersifat tak terbantah, dan pembangkangan sama halnya dengan bunuh diri sosial. Menolak sirkumsisi akan sama artinya mengutuk diri sendiri menjadi orang buangan yang terkucil dari masyarakat.


Tetapi, kita seharusnya ingat bahwa bedah sosial tidak terbatas di Afrika. Saat ini, kaum perempuan Utara mengalami pembedahan sosial secara sukarela dalam bentuk bedah kosmetik, demi kepentingan mendapatkan dan menegakkan peran gender, sekaligus agar tetap tampak menarik dan berpenampilan muda. Hal serupa jelas terjadi di sana: bedah kosmetik untuk membuang keriput dan kantung lemak, melicinkan pipi dan leher, mengubah pinggul dan payudara, dan bahkan sampai mempersempit vagina dipandang sebagai sesuatu yang masuk akal dan berfoya-foya untuk menghabiskan uang. Namun, perempuan yang melakukan bedah semacam itu juga sedang mengejar peran gender yang tetap bertahan bahwa apapun yang dilakukan kaum perempuan dalam hidup ini, tujuan utamanya adalah agar tetap tampak menarik bagi laki-laki. Memotong bagian tubuh demi kepentingan “kecantikan” dan hasrat menarik bagi orang lain juga merupakan suatu bentuk pengrusakan sosial


Pornografi juga merupakan bentuk kekerasan lainnya terhadap perempuan yang melanggengkan perbedaan gender. Pembahasan tentang pornografi terhambat oleh gagasan kebebasan, kebebasan berekspresi dan masalah moralitas maupun sensor. Susanne Kappeler yakin bahwa masalahnya bukanlah pada isi pornografi: masalahnya, karena ada representasi dan makna representasi itu untuk mengubah seseorang menjadi objek. Pornografi mengkondisikan kegairahan laki-laki terhadap subordinasi perempuan, penghinaan, kesakitan, perkosaan, dan pengrusakan: baik “halus” maupun “kasar”. Orang yang menciptakan kesan pornografi selalu memulai dengan merendahkan “subjek”nya menjadi objek, sebuah objek yang kemudian dapat dijual kepada laki-laki sebagai kekayaan.


Disadur dari buku Gender & Pembangunan, 2003, Julia Cleves Mosse, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar