Rabu, 22 Oktober 2008

Kota Tertutup? Jakarta (II)

Patrick Geddes, seorang ahli tata kota yang terkenal, dalam Encyclopedia of Urban Planning membagi pemekaran dan pembangunan kota dalam enam tahapan dimana terjadi interaksi antara faktor-faktor pembangunan kota dan kemerosotan kota, yaitu dimulai dari tahap Eopolis, Polis, Metropolis, Megapolis, Tyranopolis, dan Nekropolis.


Tahap pertama Eopolis menunjukkan perkembangan desa yang sudah teratur dan merupakan organisasi masyarakat dengan ciri-ciri perkotaan. Bentuk inimerupakan tahapan transisi dari kehidupan desa yang tradisional yang umumnya terpencil dikelilingi oleh lahan persawahan tetapi dengan keramaian kehidupan kota. Kemudian, menyusul tahap Polis dimana kehidupan kota yang sudah umum kita kenal di Indonesia dan yang nantinya akan mekar menjadi kota besar yang biasa lebih dikenal dengan sebutan Metropolis. Karena Polis masih bercirikan dan berorientasi ke arah agraris, sedang Metropolis lebih berarah ke ndustri.


Sekalipun Indonesia belum mengenal tahap-tahap selanjutnya seperti yang disebutkan oleh Geddes, tetapi ada baiknya kalau kita juga tahu bahwa kota Metropolis akan mekar terus da menjurus ke kota Megapolis. Kota yang besar seperti Jakarta, kota yang telah mencapai titik untuk mulai merosot dalam berbagai seginya dan akhirnya akan menuju ke bentuk kota yang disebut sebagai Tyranopolis, dimana kehidupan kota sudah dikuasai oleh kaum tirani. Kehidupan kota ini akan mengalami kemacetan-kemacetan, kekacauan pelayanan. Keadaan ini akan mendoronng kota itu menjurus pada perkembangan yang disebut Nekropolis, yaitu sebuah situasi dimana kota-kota itu sudah tidak lagi bisa diatasi pengelolaannya dan mengalami tanda-tanda kematian. Kota pun akan kehilangan semua fungsi kontrolnya, dan seterusnya akan menjadikan kota itu kehilangan jiwa.


Kalau Geddes melihat perkembangan kota dari segi kemerosotan hidupnya, lain lagi dengan Constantinos Doxiades, filsuf perkotaan itu melihat pemekaran kota dari pemekaran areal lahannya. Ia meramalkan bahwa kota Metropolis akan berkembang menjadi Megapolis, kota yang maha besar akhirnya akan berkembang menjadi Ecumenepolis, yaitu apabila kota-kota besar itu makin mekar dan saling menyambung tanpa terasa lagi batas antara satu kota dengan kota lainnya. Kota Jakarta dan Surabaya misalnya, sudah berkembang dengan pesat. Kota-kta besar diantaranya pun, sudah terpengaruh dan mengembangkan dirinya. Semua kota-kota tersebut kemudian akan sambung menyambung sepanjang pantai utara Jawa.


Banyak ahli tata kota lainnya yang melihat pemekaran kota bukan dari dampak kemerosotan lingkungannya atau luas arealnya. Namun, misalnya dari peran-peran kota itu dalam hubungan fungsinya dalam konteks membahagiakan penduduknya. Metropolis yang sudah makin sumpek dan semrawut tu bisa menjurus menjadi Miseropolis, kota yang membuat penduduknya begitu menderita.


Memang banyak pula ahli yang mengkritik pesimisme Geddes dan konsep Miseropolis-nya. Mereka mengemukakan suatu faham pula, bahwa kota dapat berkembang secara optimis dan teknologi dapat mengatasi semua masalah yang dihadapi kota-kota yang kian mekar itu.


Menanggapi optimisme demikian, Barbara Ward, dalam epilog buku The Exploding Cities, mengemukakan bahwa ada dua asumsi yang banyak dipegang orang.


Pertama, adanya tanggapan bahwa proses kemajuan teknologi berjalan lurus secara terus-menerus, dan teknologi dapat memecahkan semua masalah manusia. Jadi, perkembangan menuju urbanisme adalah sejalan dengan kemajuan kota itu sendiri. Kedua, adanya anggapan bahwa kota-kota yang berkembang di masyarakat dengan teknologi maju merupakan contoh kemajuan dan perkembangan, sehingga semua perkembangan kota-kota perlu juga menuju ke pola urban demikian.


Namun, Ward mengemukakan pula bahwa kedua anggapan di atas perlu ditinjau kembali. Sebab, pada akhir abad 20 ini, ternyata sesuatu yang berbeda sekali dari kedua anggapan di atas justru telah menimpa kota-kota dunia. Karena itu, kita perlu mencari pemecahannya untuk menghindari kehancuran yang bakal tidak bisa dielakkan lagi kalau perkembangan dan pemekaran kota itu dibiarkan berlarut-larut dengan sendirinya.


Sumber:

Ahmad, Ahmaddin. 2002. Re_Desain Jakarta: Tata Kota Tata Kita 2020. Jakarta: Kota Kita Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar