Senin, 22 September 2008

Hmm

Luar biasa! Itulah yang dapat kukatakan tentang cinta. Sedetik yang lalu aku belum merasakan kehangatan cinta, tetapi kini aku sudah terbawa merasuk ke dalam alirannya.


Cinta itu bebas! Cinta bisa pergi kapanpun dia mau! Namun, cinta juga bisa datang tanpa kita undang! Cinta adalah misteri alam semesta. Hanya Tuhan yang yang tahu kemana cinta itu akan berakhir.


Cinta membuat kita berdebar-debar setiap saat. Cinta membuat kita tersenyum sendiri, di saat orang lain terdiam. Cinta membuat kita melamunkan tentang harapan yang akan hadir dalam hidup ini.


Girlz, I am in love now …


Bangsa Romawi

Roma menggantikan Athena sebagai pusat dunia barat selama zaman Kekaisaran Romawi (27 SM hingga 324 M). Sejak tahun 509 SM, yaitu sejak tersingkirnya raja asing terakhir yang memerintahnya, Roma menjadi republik yang diperintah oleh kaum aristokrat, dan menjelang kematian Julius Caesar pada tahun 44 SM, Republik Romawi sudah menyebarkan kekuasaannya di seluruh Italia dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Sejak Caesar Augustus pada tahun 27 SM, Kekaisaran Romawi mulai melanjutkan ekspansinya. Setiap kaesar berusaha dengan jalan menakhlukan negeri lain untuk menjaga ketertiban dunia, menurut pandangan Roma – Pax Romano, atau Perdamaian Romawi – suatu pemikiran tentang satu dunia terdiri dari berbagai bangsa yang mematuhi undang-undang yang sama di bawah satu orang pemimpin besar.


Ketika Kekaisaran Romawi bertambah kuat dan kaya, jumlah penduduk Roma meningkat dengan cepat, ada berbagai macam perkiraan, mulai dari 250 ribu hingga 2 juta penduduk tetap hingga menjelang abad ketisa sesudah Masehi. Pertumbuhan ini menyebabkan penyediaan perumahan yang sangat tidak mencukupi dan berbaga masalah transportasi. Perkembangan kota tersebut sedemikian cepatnya pada abad ketiga, sehingga di Roma perlu dibangun lebih dari 45 ribu blok apartemen, di samping 2 ribu rumah pribadi yang sudah ada (menarik sekali untuk diperhatikan bahwa beberapa bangunan bertingkat delapan telah dibangun di Roma sampai abad pertama sesudah masehi, yaitu ketika Caesar Augustus membatasi tinggi bangunan maksimum sampai 70 kaki – contoh pertama yang diketahui tentang pembatasan bangunan). Roma juga sangat menderita karena kekurangan suplai air, sehingga mengakibatkan pembuatan akuaduk yang berfungsi untuk mengalirkan air tawar ke kota.


Selama masa itu, para pemimpin Roma yang kaya raya membangun berbagai monumen raksasa dan bangunan-bangunan umum sebagai tanda kebesaran dirinya dan kebesaran Roma, dan setiap kaisar baru membangun akan membangun sebuah forum (tempt pertemuan umum) yang lebih besar daripada yang dibuat oleh pendahulunya. Forum-forum ini menjadi pusat kehidupan politik dan bisnis di Kota Roma.


Bangsa Romawi telah menyadari pentingnya transportasi, sehingga dalam hal ini bangsa Romawi muncul sebagai perencana wilayah yang pertama. Mereka merancang dan membangun jalan-jalan di seluruh imperium yang membentang dari Inggris hingga ke Babilon, dan dari Spanyol sampai ke Mesir, berfungsi untuk menghubungkan kota-kotanya. Jaringan jalan tersebut memungkinkan sarana agar pasukan-paskan pemerintah bisa bergerak dengan cepat guna memelihara ketertiban dan menumpas pemberontakan.


Dalam upaya menduduki wilayah-wilayah baru, menekan migrasi penduduk ke kota Roma, dan menegakkan citra tentang hukum dan ketertiban Romawi, orang Romawi membangun sejumlah kota militer di seluruh Imperium. Kebanyakan dari kota-kota tersebut mengkuti suatu rencana induk dengan perbedaan-perbedaan yang sedikit sekali, sehingga memungkinkan dilakukan standarisasi. Dibangun dengan pola yang hampir bujur sangkar, kota-kota koloni tersebut didominasi oleh bangunan-bangunan untuk kepentingan masyarakat, yang terletak di persilangan dua buah jalan utama. Rumah-rumah pada umumnya berupa apartemen kecil, tetapi ada juga rumah-rumah bergaya altrium milik orang kaya, atrium merupakana ruang terbuka tidak beratap di tengah rumah, dapat berupa hall atau pasio.


Runtuhnya Kekaisaran Romawi terjadi secara bertahap. Penduduk lebih suka bersenang-senang dan menjadi malas, sedangkan kepemimpinan terpecah-pecah karena saling bertengkar. Perkembangan agama Nasrani juga menggerogoti akar-akar kekuasaan Romawi, dan berbagai golongan serta pihak-pihak di dalam negeri yang saling berperang ikut juga mempercepat keruntuhannya. Suku Barbar mulai menyerang, dan untuk pertama kalinya dalam masa lima abad Kekaisaran Romawi melihat musuh di depan pintunya sendiri. Dengan adanya invasi dari suku Barbar, Roma dan kota-kota lain di dalam Imperium dihancurkan. Monumen-monumen yang didirikan oleh para kaisar dibongkar orang untuk dijadikan sebagai bahan bangunan. Tempat-tempat pertemuan masyarakat, seperti forum dirusak oleh massa yang bertempur. Kekaisaran Romawi runtuh pada akhir abad ketiga. Konstantinus I menjadi Kaisar Kristen pertama yang memerintah Romawi pada tahun 307, dan memindahkan ibukotanya ke Konstantinopel (istanbul, Turki) pada tahun 303.


Pada abad kelima, mulailah Zaman Kegelapan. Kota-kota yang semula direncanakan sebagai lambang kekuasaan Kaisar, digantikan oleh kota-kota abad pertengahan yang berlandaskan kekuasaan para penguasa feodal atas para budak mereka, dan bukan berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi ataupun Imperalisme.


Sumber:

Catanese, Anthony J dan James C. Snyder. 1989. Perencanaan Kota. Jakarta: Erlangga.

Asa

Bersamaan dengan ujung mimpiku,

kulalui asa yang menantiku di batas mimpi

Bersama lentera yang membimbing jalanku,

kutapaki kerikil duri tajam di jalan itu

Bersama kepak sayap-sayap di angkasaku

kuterbang dengan menjinjing romansa di angkasa

Kamis, 18 September 2008

Kota Tertutup? Jakarta (1)

Di banyak kota, melonjaknya jumlah penduduk masih dalam batas daya dukung lingkungan dan daya tampung kota-kota tersebut. Namun, di megapolitas seperti jakarta, lonjakan manusia yang mendiami kota itu sudah mulai menimbulkan masalah. Hal yang perlu diingat adalah bahwa daya dukung lingkungan kota, daya serap ketenagakerjaan maupun daya layanan pengelola kota sudah cukup kewalahan menghadapi tantangan penghuni.


Gejala-gejala kejenuhan kota-kota itu sempat menimbulkan gagasan-gagasan para ahli dan penata kota untuk membendung arus urbanisasi itu, atau setidaknya menguranginya, dan kalau perlu menutup kota tersebut dari pendatang baru.


Salah satu gagasan yang dilaksanakan dalam mewujudkan jakarta sebagai kota tertutup adalah dengan cara mengontrol dan memperketat penduduk pendatang. Pemberia kartu penduduk yang dibatasi hanya pada para pendatang yang mempunyai pekerjaan yang tetap dan sempat tinggal, maupun pengawasan para tamu yang menginap dengan kewajiban melapor kepada Ketua RT maupun RW, memang sempat mengurangi bertambahnya penduduk baru. Namun, dalam kenyataannya hal ini sering tidak diiringi dengan pengurangan banyaknya pendatang. Hal ini disebabkan banyaknya pendatang yang datang tanpa meminta bukti identitas diri di tempat yang baru itu.


Banyak usaha dan peraturan telah dicoba diusahakan untuk menutup kota dari serbuan para pendatang tersebut. Namun, tampaknya gejala urbanisasi telah sedemikian kuatnya, sehingga setiap usaha pengontrolan pada para pendatang maupun usaha penutupan kota akan sulit berhasil.


Selama faktor-faktor pendorong dan penarik masih ada, dan selama tingkat kehidupan di kota masih sangat mencolok, maka gejala perpindahan penduduk dari desa ke kota atau dari daerah-daerah minus ke daerah-daerah surplus, akan mengakibatkan ketidakseimbangan distribusi penduduk yang mengakibatkan konsentrasi-konsentrasi penduduk yang tinggi di daerah-daerah tertentu atau lebih-lebih di kota-kota tertentu.


Sebetulnya, masalah yang ditimbulkan oleh urbanisasi bukanlah menyangkut kurangnya lahan dunia, tetapi menyangkut kurang meratanya pembangunan di atas lahan tersebut. Melihat kenyataan ini, maka usaha penutupan kota tidak mungkin bisa dilakukan secara sepihak oleh pengelola kota sendiri. Suatu koordinasi yang terpadu dengan usaha pemerataan pemukiman dan distribusi kerja perlu dipikirkan dan dilakukan secara bersama-sama di seluruh Indonesia. Seperti misalnya, koordinasi dengan proyek-proyek transmigrasi, dengan pembangunan kota-kota baru dan lainnya.


Pada umumnya, penanganan yang terpadu adalah realisasi yang lebih wajar yang bisa ditempuh daripada penutupan kota. Yaitu, berupa pembangunan wilayah atau pusat-pusat pertumbuhan baru di luar kota yang dapat sekaligus menyerap angkatan-angkatan kerja dan tempat permukiman untuk mereka. Akan tetapi, hal yang sering terjadi adalah pengadaan dua faktor penarik berupa ‘wisma’ dan karya ini belum cukup mampu bersaing dengan daya tarik kota besar, karena pada dasarnya manusia jua membutuhkan sarana lain, seperti atraksi budaya dan rekreasi yang umumnya mudah didapat di kota besar.


Martin Gallent, wakil ketua New York City Planning Comission, ketika ditanya mengenai konsep ‘kota tertutup’ mengemukakan, memang pernah dicari jalan agar kota New York yang dijluki kota kosmopolitan itu mau ditutup untuk para pendatang baru. Namun, rupanya hal itu merupakan pemikiran yang tidak realistis. Karena, soal daya tarik kota besar bukn hanya karena luasnya lapangan kerja, tetapi juga mencakup daya tarik romantisme dan avonturisme kota yang penuh dengan hal-hal yang heterogen, keserbaanekaan, obyek rekreasi dn seni yang beranekaragam. Campur aduknya penduduk serta hiruk pikuknya suasana misalnya, dan pilihan yang lebih luas dan bebas merupakan daya tarik tersendiri. Hal-hal tersebut tidak mungkin dijumpai di desa-desa atau di kota-kota kecil.


Masalah urbanisasi tidak bisa dilepaskan dari kegiatan pembangunan kota (urban development), dan bukan hanya itu, kedua keadaan ini akan saling berkaitan, saling mempenagruhi dan merupakan lingkaran setan yang tidak ketahuan ujung pangkalnya.


Sudah umum diketahui bahwa urbanisasi yang berjalan terus-menerus menuntut kota-kota untuk memenuhi tuntutan kebutuhan mereka yang berbondong-bondong memasuki kota tersebut. Sebaliknya, setiap aktivitas pembangunan kota akan menarik tenaga kerja dari luar kota dan hasil pembangunan kota yang menarik tentu akan menghisap minat orang-orang dari daerah yang pembangunan di daerahnya belum kelihatan. Akibat yang akan muncul dapat diperkirakan, bahwa pembangunan kota justru merupakan daya tarik yang menghasilkan urbanisasi pula. Menghentikan urbanisasi akan berakibat juga pada pembangunan yang sedang berjalan.


Banyak pemikir ternyata telah melihat dan mengutarakan bahwa pembangunan kota dan pemekaran kota ternyata ada batasnya. Dan pada suatu saat akan mencapai suatu titik jenuh.


Seperti kita ketahui, pemekaran kota secara besar-besaran baru dialami manusia sejak revolusi industri tiga abad silam. sementara gejala pemekaran dan pembangunan kota yang mencolok baru terjadi sejak perang dunia kedua.


Patrick Geddes, seorang ahli tata kota yang terkenal, dalam Encyclopedia of Urban Planning membagi pemekaran dan pembangunan kota dalam enam tahapan dimana terjadi interaksi antara faktor-faktor pembangunan kota dan kemerosotan kota, yaitu dimulai dari tahap Eopolis, Polis, Metropolis, Megapolis, Tyranopolis, dan Nekropolis.


Bersambung …


Sumber:

Ahmad, Ahmaddin. 2002. Re_Desain Jakarta: Tata Kota Tata Kita 2020. Jakarta: Kota Kita Press.


Jumat, 12 September 2008

Adakah Bahagia Untukku? (VII)

“Ayo, kita pulang. Aku nggak mau kamu kedinginan di sini,” kata Dicka.

“Tenang saja … kan ada kamu,” canda Ana. Di tangannya tergenggam sebuah benda yang selama ini hanya menjadi sepotong mimpi. Mereka pun tersenyum bersama, sebagai tanda bahwa mereka saling memahami.

Di kejauhan, ombak semakin sering menjilat – jilat pasir.

Dicka pun mengantar Ana pulang ke kosnya. Namun, alangkah terkejutnya mereka, ketika melihat ayah Ana sudah berdiri menanti di depan pagar dengan gusar.

“Mengapa Ayah bisa tahu …,” batin Ana heran.

Tetapi, tiba – tiba dia sangat paham saat melihat pandangan mata Leni. Tatapan itu sudah mengatakan semuanya.

“An, ayo ikut Ayah!” paksa ayahnya,”Ayah harus mengatakan sesuatu pada kamu.”

“Tapi …”

Dicka yang masih ada di samping Ana pun akhirnya ikut berbicara.

Om, maaf jika saya lancang. Saya mohon Om mau merestui hubungan kami. Kami saling mencintai.”

“Tidak bisa! Ana harus melanjutkan kuliahnya dulu. Lagipula, kamu tidak pantas berada di samping putriku.”

“Ayah!” protes Ana.

“Diam! Ayah pasti akan mencarikan seorang pria yang sejajar dengan keluarga kita!” Ayah Ana berteriak. Padahal, pada saat itu mereka sedang berada di pinggir jalan.

“An, kamu sudah berani melawan Ayah?”

Ana benar – benar bingung. Keputusan apa yang akan dia ambil? Ayah atau kekasihnya?

“Maaf …,” gumam Ana sambil menggandeng tangan Dicka, mengajaknya pergi.

“An … apa kamu yakin dengan keputusanmu?”

Ana mengangguk pelan. Air matanya menitik jatuh.

“Aku nggak apa – apa. Ayo!”

Kemudian, mereka segera pergi dari tempat kos Ana. Sampai – sampai Ayah Ana syok melihatnya. Beliau tidak akan pernah percaya jika putrinya yang lembut bisa menentang dirinya.

Setelah dapat mengatasi keterkejutannya, Ayah Ana segera memerintahkan beberapa anak buahnya untuk mengejar mereka.

“Cepat! Jangan biarkan mereka lolos!” teriaknya.

“Ka, kita dikejar,” kata Ana, ketika dia melihat beberapa tangan kanan Ayahnya.

“Ya, aku tahu.”

Pada saat itu, jalanan sepi, sehingga Dicka pun menambah kecepatan motornya.

“Aku percaya padamu. Aku percaya kita akan bahagia,” gumam Ana.

Dicka tidak menjawab. Dia sedang memusatkan perhatiannya ke depan. Tiba – tiba, sebuah mobil memotong jalan. Dicka yang sedang mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi segera mengerem. Namun, ternyata semuanya sudah terlambat.

Dicka merasa dirinya melayang ke udara sebelum membentur jalan. Sudah tak terbayangkan lagi bagaimana nyeri yang menyengat di sekujur tubuhnya. Namun, di tengah kesadarannya yang semakin menipis, dia masih mencari – cari sosok Ana. Di mana dia?

Matanya sudah semakin mengabur, ketika dia melihat Ana bersimbah darah, dan … dia tidak bergerak. Dicka seketika menjadi panik. Dengan menyeret – nyeret kakinya menahan sakit, Dicka menuju ke arah Ana.

“An, bangun! Aku ada di sini!” kata Dicka sambil mengguncang – guncang tubuh Ana.

Cringg …, sebuah cincin terjatuh dari tangan Ana.

Dari kejauhan Dicka mendengar orang – orang mulai berkerumun dan berteriak.

“Tapi, mereka meneriakkan apa?” tanya Dicka. Semua tampak bagaikan mimpi bagi dirinya. Apakah ini sebuah mimpi buruk? Tapi, mengapa dia tidak terbangun juga?

Suara ombak memecah karang seperti nyanyian pelantun rindu bagi mereka.

Dicka merogoh sesuatu dari dalam kantongnya. Sebuah benda yang tidak pernah terlepas dari dirinya, dan telah menjadi bagian dari hidupnya.

“Ini!” katanya pada Ana,”maaf kalo nggak ada pembungkusnya,”

Benda itu berkilauan ditempa mentari senja.

“Aku takut nggak sempat memberikannya padamu.”

Ann tersenyum. Manis sekali.

Dicka terbangun dengan jantung berdebar dengan kepala pening. Mengapa aku ada di sini? Bau rumah sakit ini sudah sangat dikenalnya.

Tiba – tiba, dia merasa telah kehilangan sesuatu. Dimana Ana? Hanya ada ayah di sampingnya.

“Yah, Ana dimana?” tanya Dicka gelisah, sambil mencengkeram lengan ayahnya.

Namun, ayahnya tidak menjawab. Beliau justru meletakkan tangannya di atas tangan Dicka dan tersenyum pilu. Dicka pun merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Ana … dimana dia? Dicka nggak membunuhnya, kan?”

Semua ini bukan salahmu, nak. Semua bukan salahmu.”

Seketika, dunia Dicka menjadi runtuh.

“Ayah?”

Dicka pun menangis di dada Ayahnya.

“Sudahlah. Semua ini bukan salahmu,” jawab Ayah berusaha menenangkan anaknya.

Dicka sudah tidak lagi mempunyai semangat untuk hidup. Seseorang yang selalu mengisi lorong – lorong hatinya, kini sudah menghilang. Menghilang untuk selamanya. Menghilang, tanpa pernah bisa kembali. Ya, Ana sungguh tega meninggalkannya sendirian di sini, tak mengajaknya.

Hari ini … . Dia sungguh tidak bisa menghadapi hari ini. Seharian, dia hanya mengurung diri di kamarnya. Dia tidak makan, tidak minum, tidak menginginkan apapun. Para perawat sampai bingung dibuatnya. Walaupun ayahnya selalu mengatakan bahwa semua ini bukanlah kesalahannya, Dicka tetap merasa dirinya berdosa.

Seharusnya, Ana tidak perlu lari bersamanya. Seharusnya, Ana masih hidup hingga sekarang dan memiliki kebahagiaannya. Seharusnya, Ana masih bisa menikmati hari – harinya … . Dan, semua ini karena dia. Dia lah yang telah membunuh Ana.

“Tuhan, ambil saja nyawa yang tidak berharga ini! Tapi, kembalikan Ana untukku. Mengapa Engkau justru memilih dia dan membuatku tersiksa seperti ini? Mengapa lagi – lagi aku harus kehilangan dirinya? Belum cukupkah jika Kau hanya mengambil Ibu dariku? Tuhan, aku tidak mengerti semua ini!”

Akhirnya, Dicka memutuskan untuk pergi ke rumah Ana, meskipun dia tahu kehadirannya nanti justru akan semakin menambah suasana menjadi kacau. Namun, dia tidak peduli. Dibunuh pun tidak apa – apa. Dicka hanya ingin melihat Ana untuk yang terakhir. Ana – nya yang cantik, baik, lembut, …

Tak ada gunanya jika dia hanya berada di rumah sakit seperti ini dan merenungi kenangan – kenangannya bersama Ana, dan menangis … hingga air matanya mengering.

“Ana, apakah kau merasa kesepian berada di sana? Sungguh, aku ingin menemanimu.”

Ayah Ana menyambut kedatangan Dicka dengan histeris.

“Mau apa kamu ke sini? Pergi! Kamu yang telah membunuh putriku,” teriak Ayah Ana.

Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dicka. Namun, dia seolah sudah tidak merasakan apapun.

“Sabar, Pak!” kata seseorang sambil berusaha menenangkan Pak Budi.

“Lepaskan! Biarkan aku membunuhnya.”

“Sudahlah, Pak. Semua ini sudah merupakan suratan takdir. Bapak harus mengikhlaskan kepergian putri Bapak.”

“Apa? Suratan takdir? Bila cowok brengsek itu tidak mendekati putriku, semua tidak akan berakhir seperti ini!”

“Lepaskan!”

Saat itu, Dicka sudah tidak mendengar apapun.

“Aku datang, An. Aku ada di sini menemanimu. Mengapa kamu tidak terbangun juga? Bukankah kau juga mencintaiku? ” bisik Dicka mencium kening Ana.

Orang – orang mulai berteriak. Tapi, Dicka sudah tidak mendengar apapun.

“Jangan, Pak! Apa yang akan Bapak lakukan?”

Akan tetapi, tidak ada orang yang berani mendekat. Pak Budi mengacung – ngacungkan pisau yang dibawanya ke hadapan orang – orang yang hadir. Dan, semua hanya bisa terpana … terdiam, ketika Pak Budi mendekati Dicka.

Ketika berbalik, Dicka merasakan ada sebuah benda dingin yang menembus perutnya. Dia melihat darah mengalir membasahi bajunya. Merah …

Semua terkejut menyaksikan kejadian itu. Tubuh Dicka roboh. Darah mengalir cepat menggenangi lantai yang berwarna putih.

“An, aku tahu saat ini pasti akan datang …”

Hingga akhir, Dicka tidak pernah mengerti rencana Tuhan untuknya, dan dia tersenyum.

Hari itu … hari yang tak terlupakan.

TAMAT

Dear Diary


Dear adikku,

Aku tahu kamu marah padaku

Aku tahu kamu kecewa padaku

Aku tahu bila aku salah

Aku tahu kalau aku tidaklah pantas menjadi kakakmu

Aku tahu bahwa aku tidak pantas menjadi apapun bagimu

Kamu boleh mengacuhkanku,

tidak menganggapku sebagai saudaramu,

tetapi kuingin kau mengerti selamanya engkau tetaplah adikku


Adikku,

aku memang tidaklah sesempurna dirimu yang cantik, baik hati,

dan disayangi oleh semua orang, ayah,ibu, teman-temanmu

Sedangkan, aku tidak punya teman

Hanya kaulah temanku

Entahlah bila kau tidak pernah menganggapku sebagai teman


Adikku,

aku memang jelek, tidak layak untuk berada di sampingmu

menemanimu

Ya, aku hanya bisa memandangmu dari jauh,

melihatmu tertawa bahagia

Sungguh …

Aku senang melihatmu bahagia



Dear Ibu,

Ibu, engkau adalah segalanya bagiku. Engkau telah rela mengandungku selama 9 bulan 10 hari. Engkau telah rela merawatku dari bayi hingga sekarang. Pada saat aku sakit, engkau senantiasa berjaga di sampingku.


Ibu, engkau sangatlah baik padaku. Engkau sangat pengertian padaku. Engkau selalu menjawab masalah demi masalah yang kuhadapi. Terima kasih, Ibu! Tanpamu, aku tidak akan pernah melihat indahnya dunia. Tanpa kebaikan hatimu, mungkin aku sudah berakhir di tempat sampah. Jasa-jasamu tidak akan pernah dapat kubayar walau dengan mengorbankan jiwa dan ragaku.

Namun, maafkan aku, Ibu! Kadang, aku meragukan cintamu padaku. Aku merasa bila engkau lebih menyayangi adik. Membagi cinta yang berat sebelah.


Kuingin, kali ini … ada yang mengerti tentang diriku. Namun, kali ini pula engkau tidak berada di sisiku. Ibu, engkau tidak mengerti betapa tersiksanya saat mengetahui kenyataan bahwa engkau telah pergi dan memilih untuk bersama dengan adikku. Kini, tinggallah hatiku yang kosong, hampa, penuh sayatan luka, penuh duri, penuh kepedihan.



Dear diriku,

Aku ragu, apakah aku masih memiliki rumah untuk kembali …

Bukankah di sana sudah ada adikku yang sempurna …

Bersama ayah dan ibu menjadi sebuah keluarga yang bahagia …

Tanpa diriku!

Tanpa diriku pun, mereka takkan merasa kehilangan …

Mereka telah memiliki adikku yang sempurna …

Dan, aku hanyalah sampah yang selalu siap untuk dibuang …

Kapanpun mereka mau …

Seperti ampas?

Apakah aku tidak memiliki arti bagi mereka?

Untuk apa sebenarnya aku hidup di dunia ini?

Kukira, aku sudah mendapatkan tempat di rumah itu

Ternyata, aku salah

Mungkin, bagi mereka aku hanyalah seorang pembantu


Aku hancur … hingga tak bersisa

Perawatan Wajah


Sayuran dan buah-buahan sangat tepat apabila digunakan untuk merawat kulit wajah. Selain mudah didapat, sayuran dan buah-buahan juga lebih berkhasiat dan lebih aman karena efek samping yang ditimbulkan sangat kecil.


Di bawah ini, ada beberapa bahan alami yang dapat digunakan untuk merawat kulit wajah


Alpukat

Masker alpukat cocok untuk kulit wajah normal cenderung kering. Kadar lemak yang dikandung alpukat tinggi, sehingga bsa melembabkan kulit dan melindunginya dari pengaruh buruk sinar matahari.


Wortel

Wortel banyak mengandung vitamin A yang diperlukan untuk memelihara jaringan epitel, yaitu jaringan yang berada di bawah kulit. Wortel juga mengandung karotena yang berfungsi menjaga kelembaban kulit, memperlambat timbulnya kerutan di wajah. Wajah akan menjadi terlihat berseri-seri.


Mentimun

Mentimun berfungsi untuk menghaluskan dan melemaskan kulit, membantu menyempitkan pori-pori, serta mengeluarkan kotoran dari kulit. Jadi, jerawat tidak mudah mampir ke wajah kita.


Tomat

Tomat berkhasiat untuk mengembalikan keseimbangan minyak pada kulit berminyak, sehingga wajah selalu terlhat segar dan alami.


Nanas

Nanas mengandung zat yang berfungsi menyempitkan pori-pori.


Kentang

Kentang mengandung zat tepung yang sangat berguna untuk menghaluskan kulit wajah.


Sumber: Aneka Yess, edisi Chaterine’s day

Seorang Putri Buruk Rupa


Seorang putri buruk rupa yang tidak mengerti mengapa dia tidak disukai orang lain …

Seorang putri buruk rupa yang hanya bisa memandang mengapa adiknya terlahir dengan kecantikan yang sempurna, sedangkan dia tidak …

Seorang putri buruk rupa yang meragukan apa ratu benar-benar menyayanginya …

Seorang putri buruk rupa yang sedikitnya menyadari kenyataan apakah akan ada yang mau menikah dengannya kelak …

Seorang putri buruk rupa yang tidak tahu lagi untuk apa dia hidup di dunia ini …

Seorang putri buruk rupa yang bimbang apakah keluarganya masih mencintainya …

Seorang putri buruk rupa yang tidak tahu apakah dia masih punya tempat untuk pulang …

Seorang putri buruk rupa yang selalu bermimpi menjadi bidadari …

Seorang putri buruk rupa yang memandang iri pada adiknya

Seorang putri buruk rupa yang sering membayangkan dapat pulang ke istana …

Seorang putri buruk rupa yang merindukan belaian hangat dari seorang ratu …

Seorang putri buruk rupa yang terluka dan merana …

Dia hanyalah seorang putri buruk rupa yang malang

Jumat, 05 September 2008

Adakah Bahagia Untukku? (VI)

“Selamat ya …”

“Terima kasih. Tanpa dukungan kalian, saya tidak akan dapat berada di sini,” jawab Dicka sambil menyalami orang – orang yang mengelilingi dirinya.

“Kamu memang hebat …”

“Kalau boleh tahu, kemenangan ini kau persembahkan untuk siapa?” tanya wartawan sebuah koran lokal.

Sambil tersenyum, dia menjawab,”Untuk Ayah yang selalu mendukungku dan seseorang yang selalu ada di hatiku.”

“Siapa dia?”desak wartawan itu.

“Maaf, saya tidak bisa mengatakannya.”

“Satu pertanyaan lagi!”

“Ya?”

“Bagaimana perasaan Anda ketika menjadi juara dalam perlombaan tahun ini?”

“Tentu saja saya merasa senang sekali. Sekarang, impian saya telah menjadi kenyataan. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya.”


Arena balap masih berteriak – teriak menggaungkan namanya. Namun, Dicka seakan sudah tenggelam ke dalam dunianya. Di antara gemuruh para penonton yang memadati arena, dia merasa sangat kesepian. Senyuman yang selalu dia sunggingkan selama ini hanyalah sebuah senyum kepalsuan.

Sejak hari itu …, dia tidak dapat tersenyum sama seperti dulu. Gadis yang selalu diharapkannya setiap malam, mungkin tidak akan pernah kembali ke dalam hidupnya. Ya, dia sudah pergi.


Satu minggu sebelumnya …

“An, tahu nggak? Dia tuh cakep banget, keren, cool, …”

“Kamu ini lagi ngomongin apa, sih?” tanya Ana tidak mengerti.

“Nih, lihat sendiri,” jawab Leni, teman satu kosnya, menyodorkan sebuah koran lokal ke tangannya,”tapi, kamu nggak boleh ikut – ikutan ngefans lho sama dia. Dia sudah menjadi milikku.”

“Aduh, Leni. Nggak pernah kenal juga …”

“Makanya, minggu depan aku ingin mengajakmu untuk menemuinya. Yah, setidaknya aku bisa foto bareng dengan dia. Lalu, fotonya akan kupajang di kamarku, dan aku bisa memimpikannya setiap malam.”

“Ngaco.”

“Biarin. Terserah aku, dong.”

“Len, belum apa – apa juga …”

“Biarin.”

“Untuk menemui artis kan harus bikin janji dulu. Nah, mana mungkin mereka ngijinin kamu nyelonong seenaknya?” protes Ana.

“Lho, siapa bilang dia artis?”

“Jadi …” kata Ana sambil terus membolak – balik koran itu. Akhirnya, dia menyerah,”Halaman berapa, Len?”

“Kayaknya sih, fotonya tadi ada di halaman 7. Cari lagi yang teliti, dong.”

“Iya, iya. Trus, kamu tadi mau ngomong apa?”

“Oh ya, hampir lupa. Dia tuh bukan artis, tapi seorang pembalap.”

Hampir terlepas koran yang dipegang Ana karena terkejut. Sudah lama dia tidak mendengar kata itu, sejak …

“Ka, seandainya aku dapat bertemu denganmu,” gumam Ana.

“An, kamu ngomong apa barusan? Aku kok nggak denger.”

“Oh, nggak ada apa – apa, kok,” jawab Ana berbohong,”Aku balik ke kamar dulu, ya,”

“Kok, tiba – tiba …” kata Leni bingung.

Lebih bingung lagi ketika dia melihat air yang menggenang di pelupuk mata Ana.

“Apakah aku sudah berkata sesuatu yang menyakiti hatinya?” tanya Leni tidak mengerti,”entar, deh.”

Leni pun ikut berangsur pergi, meninggalkan begitu saja korannya yang terbuka …

Dicka Hermawan S, pendatang baru berbakat yang ikut meramaikan ketatnya persaingan dalam dunia balap, berhasil menggenggam gelar juara tahun ini. Yang perlu dicatat adalah dia telah mencapai garis finish pertama sebanyak delapan kali dari tiga belas kali pertandingan. Dia seakan tidak dapat dibendung oleh lawan – lawannya. Sungguh suatu prestasi yang menkjubkan …


“An, kamu kenapa kemarin?”

Ana hanya diam saja.

“Kamu sakit?”

Ana menggeleng.

“Apa aku berbuat sesuatu yang salah padamu?”

Ana menggeleng lagi.

“Lalu, ada apa sampai kamu nangis segala?”

Deg! Hampir copot jantung Ana mendengar kata – kata Leni.

Ternyata Leni melihatnya kemarin, batin Ana.

“Kalau lagi ada masalah, bilang saja ke aku. Jangan dipendam sendirian. Bisa stres, lho.”

“Oh, aku baik – baik saja, kok. Cuma …”

“Cuma …” kata Leni menirukan ucapan Ana.

“Nggak. Cuma pusing sedikit, tapi sudah sembuh. Tenang saja.”

Namun, Leni tidak bisa semudah itu mempercayai kata – kata Ana.

Pasti ada sesuatu yang tidak beres, entah apa. Ana sedang menyembunyikan sesuatu dariku, pikir Leni.

Tapi, Leni tidak memaksa Ana untuk menceritakan ‘sesuatu’ itu padanya, karena dia yakin bila suatu saat nanti Ana sendiri yang akan mengatakan yang sesungguhnya.


Akhirnya, minggu berikutnya, Ana sudah ada di arena balap. Dia tidak bisa menolak ketika Leni ngotot … Bukan! Leni memaksanya untuk ikut.

“Ayolah, An. Daripada hari ini nggak ada kegiatan, mending kita nonton. Pasti seru.”

“Tahu darimana kalau balapan itu seru?”

“Ya, dari mana – mana, lah.”

“Nggak.”

“Kok, gitu … . Masa sama temen sendiri tega, sih?”

“Terserah aku, dong.”

“Ayo, dong,” rajuk Leni.

“Kenapa nggak nonton bareng pacarmu? Daripada denganku?”

“Pacar yang mana?”

“Itu, yang namanya …”

“Oh, Andi.”

“Ya, betul. Andi.”

“Dia sih sudah aku putus sebulan yang lalu.”

“Apa? Baru dua bulan pacaran juga.”

“Nggak apa – apa, dong. Andi tuh orangnya kekanak – kanakan banget, nggak kayak si dia yang dewasa.”

“Oo … pangeran kesianganmu itu.”

“Jangan ngeledek, ya. Nanti nyesel, lho kalau nggak datang.”

“…”

“Ngomong – ngomong, aku kok nggak pernah liat kamu berduaan dengan cowok, sih?”

“Nggak pengen aja.”

“Kenapa? Mmm … pasti kamu sudah punya pacar, ya. Dimana dia sekarang?”

Ana menggeleng. Dan, saat itulah Leni melihat wajah Ana yang sendu. Padahal, tidak biasanya dia sedih seperti itu.

Dia paham dan segera mengalihkan pembicaraan.

“Pokoknya, kamu harus ikut. Nanti, kutraktir bakso di warungnya Pak Paijo.”

“Nggak usah, aku mau di kos saja.”

“Oke, ini cara terakhir. Kalau kamu nggak bisa njawab pertanyaanku, kamu harus pergi. Gampang, kok.”

“…”

“Katakan sama aku, alasanmu nggak pengen pergi. Itu aja.”

Dan, pertanyaan itulah yang tidak bisa dijawab Ana.

“Jawab atau ikut.” Leni memberikan dua pilihan yang sama sulitnya.

“Aku ikut, deh,” jawab Ana akhirnya. Lemas.

“Mengapa kamu nggak mau njawab? Aku tahu. Soalnya, pacarmu yang entah ngilang kemana itu, juga seorang pembalap. Betul nggak yang aku bilang?”

Sebenarnya, Ana tahu jika Leni mengatakannya setengah bercanda, tetapi itulah. Yang dikatakannya … benar. Dan, dia tidak ingin mengatakan masalahnya pada Leni. Tidak untuk sekarang.

“Kalau mau berangkat, sekarang aja, yuk,” kata Ana sambil berusaha menyembunyikan rasa sedih yang tiba – tiba menyergap hatinya.


Dan, di sinilah dia berada. Di arena balap yang sebenarnya ingin dia hindari, karena selalu mengingatkan dia pada kenangan – kenangannya yang berharga, sekaligus seringkali membuatnya … merasa hampa.

Tiba – tiba, Leni mengagetkannya.

“An, tahu nggak? Pertandingan kali ini merupakan pertandingan yang terakhir. Makanya, aku ngotot banget pengen lihat.”

“Lalu?”

Tahu aja, kamu. Sebenarnya, aku hanya ingin melihat pangeranku. Ketika aku melihatnya, aku langsung jatuh cinta. Apa itu namanya? Aku kayak ngalamin love in the first sight.”

“Tunggu dulu. Jadi, sebelumnya kamu sudah pernah ke sini?”

“… . Iya, sih. Sa … sama Andi.”

“Oo … ketahuan sekarang. Kamu mutusin dia gara – gara pangeran antah berantahmu itu.”

“Kamu ngerti juga akhirnya.”

“Kamu ngapain sih, Len. Cinta kok dibuat mainan.”

Lho, kita hidup di dunia ini kan hanya sekali. Sebisa mungkin, aku akan menikmatinya. Nggak kayak kamu yang nungguin si dia terus. Eh, sampai jambul uwanen bisa – bisa kamu cuma bisa bengong doang. “

“Kamu ngeledek aku, ya. Mana kepalamu, kujitak biar tahu rasa.”

Jangan, dong. Emangnya, kepalaku ini bathok kelapa?”

Saat ini, Ana sungguh bersyukur mempunyai teman sebaik Leni. Leni yang selalu memandang dunia dengan positif. Leni yang selalu ceria, dan mampu menghiburnya dengan kata – katanya.

“Jangan bercanda melulu, ah. Sebentar lagi balapannya dimulai. Nanti, akan kutunjukkan yang mana pangeranku. Sabar aja,” kata Leni menoleh ke arah Ana. Dan, dia terkejut ketika melihat Ana justru sedang membaca majalah dengan santai.

“Apa – apaan, sih? Masa baca majalah di tempat seperti ini?”

Kemudian, Leni segera merebut majalah itu dari tangan Ana, dan segera memasukkannya ke dalam tas. Tanpa menghiraukan protes dari Ana, Leni berteriak kegirangan,” Itu tuh, An. Yang pake helm sama pakaian warna merah. Kyaaa …, dia emang top.”

“Ya … ya …, nggak teriak juga sudah kedengaran kok,” jawab Ana akhirnya ikut memperhatikan pria yang ditunjuk Leni.

“Terus kenapa? Nggak ada yang istimewa dari dia.” Padahal, di dalam hati, Ana merasa penasaran juga. Cara dia ngebut …, cara dia mengendarai motornya, mirip dengan Dicka. Ah, tapi mana mungkin dia ada di sini, pikir Ana.

“Ya sudah, terserah kamu, deh kalau mau tetap setia sama pacarmu yang nggak ketahuan itu. Yang penting, kamu nanti harus menemani aku minta foto bareng dia.”

“Lho, kenapa ngajak aku? Kamu kan sudah dewasa.”

“Sudahlah. Ikut saja, jangan banyak protes.”

Ana menyerah, dan mengikuti Leni menuju ruangan ganti pemain.

Ketika tiba di sana, sudah banyak orang yang mengerumuni pembalap itu.

“An, kamu tunggu di sini, ya?”

“Tenang aja, aku nggak mungkin pergi, kok.”

Ana melihat Leni dengan gesitnya ikut merengsek maju dan beberapa detik kemudian dia sudah tertutup oleh lautan manusia. Dia hanya geleng – geleng kepala melihatnya.


Ana kemudian mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Arena balap memang sudah tidak asing lagi baginya, tetapi tempat ini selalu mengingatkannya pada sosok itu, yang mengisi hari – harinya dengan rasa yang tidak menentu. Kadang sedih, kadang bahagia. Dan, dia mengerti bila memang begitulah alur hidup mengalir.

Saat Leni pergi, kesedihan Ana kembali lagi. Dia merasa sendirian …

Entah sudah berapa lama dia menunggu, ketika akhirnya Leni berlari – lari kecil sambil berteriak memanggil – manggil namanya.

“Ana …, aku sudah mendapatkannya!”

Ana pun hanya tersenyum dari kejauhan dan melambaikan tangannya. Namun, tiba – tiba, dia merasa tangannya menegang. Ana terkejut melihat dia … . Dia yang ada beberapa meter di belakang Leni. Dia yang selama ini muncul hanya sebagai bayangan.


Jantung Dicka seakan berhenti berdetak ketika dia mendengar nama Ana disebut – sebut. Mungkinkah dia Ana – nya?

Selama ini, namanya selalu menghantui kemanapun Dicka pergi. Dia pasti menoleh ketika ada seseorang yang dipanggil Ana. Namun, setelah itu dia pasti merasa kecewa. Mereka bukanlah Ana – nya. Mereka hanya orang – orang yang mempunyai nama yang sama dengan kekasih hatinya.

Kali inipun sama. Dicka menoleh, dan mendapati dirinya hampir pingsan karena tidak percaya. Dia melihat Ana sedang menatapnya …

Tuhan, apakah aku sedang melihat fatamorgana? pikir Dicka. Namun, beberapa detik kemudian, dia yakin bahwa semua itu bukanlah ilusi semata. Sinar matanya masih sama seperti dulu, dan dia tak mungkin melupakannya.

Dicka segera berlari pergi. Ditinggalkan begitu saja para cewek yang tadi mengerumuninya. Juga, tak dihiraukannya teriakan protes dari mereka. Ya, Ana tidak boleh menghilang kembali dari kehidupannya.


Waktu seolah berhenti seketika. Mereka saling berpandangan. Lama. Tak ada satupun kata – kata yang keluar. Namun, pandangan mata yang saling menatap rindu itu, sudah cukup untuk meyakinkan bahwa cinta di antara mereka belum sedikitpun berubah.

Beberapa saat kemudian, ketika mereka sudah sadar dari sihir yang seakan membius mereka …

“An …” kata Dicka, yang kemudian menggandeng tangan Ana dan mengajaknya pergi. Ana mengangguk. Dia lupa bila beberapa langkah di samping mereka, Leni menatap tidak mengerti. Ada sejuta perasaan yang memenuhi hatinya.


Iri, mungkinkah?

Ada orang yang dapat menyuarakan isi hatinya kepada orang lain, tetapi ada pula orang yang kikuk, yang tidak bisa menghadapi orang lain, yang memendam sendiri semua perasaannya.


Aku memendam iri yang luar biasa pada adekku. Dia bisa berbicara dengan enak, santai, merayu orang lain dengan entengnya. Yah, sifatnya memang sama dengan ibu. Bisa dibilang, dia merupakan duplikat dari ibuku. Ibu yang sangat kukagumi, kuhormati, dan kusayangi. Sayangnya, sifat-sifat itu tidak menurun padaku. Jadinya, aku hanya bisa memandang dia, ingin menirunya, tetapi tida pernah berhasil. Padahal, kita dilahirkan dari rahim yang sama dan mendapat perlakuan yang adil. Namun, aku memang bukanlah dia.


Aku sangat menyayanginya, tak mau kehilangan dirinya. Tanpa dia, aku akan menjadi hampa. Tanpa kusadari, aku sudah bergantung padanya, seperti narkoba, sangat susah untuk melepaskan pengaruhnya.


Semoga dia juga menyayangiku …

Salam penuh cinta