Ada yang menganggap bahwa Bank Dunia lebih sebagai “Si Tangan Besi” daripada “Dewa Penolong”. Pinjaman hanya diberikan bila negara pengutang menurunkan nilai nominal utang luar negerinya, juga bila perusahaan negara diprivatisasi, dan bila pasar negara tersebut dibuka lebar. Bagi negara berkembang hal ini seringkali menandakan adanya peningkatan pengangguran dan disunatnya bantuan sosial. Demo dan mogok makan yang memprotes syarat-syarat tersebut telah banyak memakan korban. Akan tetapi, yang menjadi masalah terbesar adalah tanpa preferensi dari Bank Dunia dan IMF, semua lembaga keuangan dunia, termasuk swasta, akan menghentikan kucuran dananya.
Negara berkembang pasti hanya gigit jari saja, jika negara maju menghentikan semua bantuan dananya, termasuk juga Indonesia, yang menurut saya masih belum pulih benar dari krisis multidimensional yang melanda pada tahun 1997. Memang, negara kita tercinta seperti disuruh untuk makan buah simalakama. Bagaimana tidak? Pilihan yang dimiliki sama-sama sulit. Pada suatu sisi, tanpa bantuan dari Bank Dunia, Indonesia akan mengalami kesulitan keuangan yang teramat sangat, tetapi di sisi lain … jika Indonesia menerima bantuan dana (alias hutang) dari Bank Dunia, maka hal itu sebenarnya malah sama saja dengan menghancurkan stabilitas negara secara perlahan, tetapi pasti. Susahnya jadi anak Indonesia … setiap bayi yang baru saja terlahir ke dunia di tanah air Indonesia telah menanggung hutang hampir 10 juta (itu dulu, kalo sekarang saya tidak tahu).
Hingga pada akhirnya, Indonesia pun menerima segala persyaratan yang diajukan oleh Bank Dunia. Memang susah sebenarnya mengambil keputusan tersebut. Namun, mungkin saja pemerintah memiliki berbagai pertimbangan. Walaupun, akibatnya sekarang ini cukup fatal. Salah satunya terlihat dari privatisasi PDAM di Jakarta. PDAM Kota Jakarta diharuskan untuk berbagai saham dengan Palija dari Perancis dan Tamija dari Inggris. Hingga hasilnya sekarang ini … PDAM mengalami kerugian setiap tahun yang jumlahnya semakin membengkak setiap tahun. Palija dan Tamija pun ternyata belum mampu menyediakan kebutuhan air bersih bagi masyarakat Jakarta, begitu pula pelayanannya yang ternyata kurang memadai. Hal ini pun meningkatkan beban negara yang sudah berat menjadi tambah berat …
Negara berkembang pasti hanya gigit jari saja, jika negara maju menghentikan semua bantuan dananya, termasuk juga Indonesia, yang menurut saya masih belum pulih benar dari krisis multidimensional yang melanda pada tahun 1997. Memang, negara kita tercinta seperti disuruh untuk makan buah simalakama. Bagaimana tidak? Pilihan yang dimiliki sama-sama sulit. Pada suatu sisi, tanpa bantuan dari Bank Dunia, Indonesia akan mengalami kesulitan keuangan yang teramat sangat, tetapi di sisi lain … jika Indonesia menerima bantuan dana (alias hutang) dari Bank Dunia, maka hal itu sebenarnya malah sama saja dengan menghancurkan stabilitas negara secara perlahan, tetapi pasti. Susahnya jadi anak Indonesia … setiap bayi yang baru saja terlahir ke dunia di tanah air Indonesia telah menanggung hutang hampir 10 juta (itu dulu, kalo sekarang saya tidak tahu).
Hingga pada akhirnya, Indonesia pun menerima segala persyaratan yang diajukan oleh Bank Dunia. Memang susah sebenarnya mengambil keputusan tersebut. Namun, mungkin saja pemerintah memiliki berbagai pertimbangan. Walaupun, akibatnya sekarang ini cukup fatal. Salah satunya terlihat dari privatisasi PDAM di Jakarta. PDAM Kota Jakarta diharuskan untuk berbagai saham dengan Palija dari Perancis dan Tamija dari Inggris. Hingga hasilnya sekarang ini … PDAM mengalami kerugian setiap tahun yang jumlahnya semakin membengkak setiap tahun. Palija dan Tamija pun ternyata belum mampu menyediakan kebutuhan air bersih bagi masyarakat Jakarta, begitu pula pelayanannya yang ternyata kurang memadai. Hal ini pun meningkatkan beban negara yang sudah berat menjadi tambah berat …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar