Adapun, salah satu usaha yang digunakan untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan tersebut adalah dengan melakukan SUPAS pada 1995 yang menyertakan lebih banyak data tentang migrasi daripada sensus-sensus sebelumnya atauapun survei nasional. Sayangnya, hasil dari SUPAS terebut belum tersedia dalam paper ini.
Sejak terdapat perubahan kecil hingga tahun 1995, SUPAS mengenai data migrasi nasional di Indonesia, wawasan kita mengenai pola, proses, dan dampak migrasi menjadi semakin luas. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya beberapa studi kasus yang rumit dan juga survei-survei sub-nasional. Studi-studi kasus itu digunakan dalam paper ini untuk menunjukkan gambaran umum dan kecenderungan yang muncul pada migrasi di Indonesia.
Bentuk yang spesifik dari migrasi yang semakin meningkat adalah adanya peningkatan jumlah TKI yang pergi ke luar negeri maupun tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Dan, Departemen Tenaga Kerja lah yang bertugas mencatat pergerakan TKI yang bersifat sementara dan para ekspatriat yang datang ke Indonesia untuk bekerja. Laporan dari Depnakertrans tersebut hanya menjelaskan tentang registrasi resmi dan mengabaikan adanya migrasi gelap, yang jumlah sebenarnya lebih besar daripada yang tercatat secara resmi.
Perubahan Tingkat Migrasi Penduduk
Tiada suatu keraguan bahwa telah terjadi peningkatan migrasi yang besar dari dua dekade yang lalu. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya perubahan sosial ekonomi dan revolusi besar dalam perkembangan transportasi. Namun, sayangnya perubahan-perubahan tersebut cukup sulit dihitung di Indonesia. Walaupun demikian, pengukuran yang terbatas ini dapat menunjukkan bahwa sejak lebih dari 2 dekade yang lalu, terdapat 69% pria dan 79% wanita yang melakukan migrasi dari tempat tinggal asalnya.
Selain itu, salah satu perubahan yang menonjol adalah perkembangan jumlah kendaraan bermotor di Jawa, baik kendaraan pribadi maupun umum. Pada umumnya, setiap komunitas masyarakat mendapatkan pelayanan transportasi umum. Hal ini tampak pada adanya pengurangan yang drastis dalam jumlah penduduk per motor sejak lebih dari 2 dekade yang lalu. Pada tahun 1993, hanya terdapat 17 WNI/kendaraan bermotor (termasuk sepeda motor), menjadi kurang dari 10 WNI/kendaraan bermotor dua dekade kemudian. Lalu, untuk kendaraan beroda empat atau lebih, terdapat rasio yang menurun dari 300 orang per kendaraan menjadi 55 orang pada 1993. Selain itu, meskipun Jawa memiliki jumlah penduduk 60% dari jumlah penduduk Indonesia pada 1993, Jawa memiliki 66% sepeda motor dan 73% untuk jenis kendaraan lain. Tidak hanya transportasi darat yang dijadikan sebagai parameter dalam peningkatan migrasi, tetapi juga laut dan udara, yang salah satunya ditandai oleh pertambahan jumlah dan perkembangan sistem kapal feri.
Kemudian, gambaran yang muncul adalah tentang segi sosial yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam migrasi spasial dan juga migrasi individu. Migrasi tersebut meningkat sangat cepat lebih dari dua dekade. Hubungan antara pergantian ini dan perubahan ekonomi sosial yang cepat sangatlah kompleks dan memiliki 2 arah. Perjalanan seseorang telah menjadi semakin terjangkau dan relatif lebih murah dan memungkinkan penduduk Indonesia memiliki jangkauan yang lebih lebar dalam mencari pekerjaan maupun pendidikan. Proses ini didukung oleh adanya perluasan sarana pendidikan dan keterbukaan negara melalui jaringan media massa yang telah memberikan informasi pada masyarakat Indonesia mengenai lapangan-lapangan pekerjaan dan cara hidup yang berbeda di tempat tujuan yang akan dituju.
Migrasi Internasional
Salah satu perubahan yang paling mencolok dalam migrasi di Indonesia adalah adanya peningkatan migrasi ke luar negeri, terutama untuk para TKI, yang biasanya bersifat non-permanen. Pada Repelita I, hanya terdapat 5.624 emigran dan secara bertahap diharapkan menjadi 17.042, 96.410, dan 292.264. Pada Repelita V (1989 – 1994) pemerintah memberikan target bahwa 500.000 TKI akan dikirim keluar negeri, tetapi ternyata jumlahnya justru lebih besar (652.272). Bahkan, target pada Repelita VI lebih ambisius, sekitar 1,25 juta. Ada banyak TKI yang tidak terdaftar, terutama di kawasan Malaysia Timur dan Barat, meskipun migrasi ilegal ke Singapura, Hong Kong, Arab Saudi, dan Australia bertambah.
Ketika masalah migrasi ilegal mencuat, Malaysia memberikan ukuran terhadap migrasi tersebut. Migrasi ilegal dari Indonesia ke Malaysia diduga menempati urutan kedua terbesar setelah migrasi dari Meksiko ke Amerika Serikat. Jumlah WNI yang bekerja keluar negeri pada 1995 menempati porsi sekitar 1,5% dari total jumlah tenaga kerja Indonesia pada saat itu.
Bersambung ...
Sejak terdapat perubahan kecil hingga tahun 1995, SUPAS mengenai data migrasi nasional di Indonesia, wawasan kita mengenai pola, proses, dan dampak migrasi menjadi semakin luas. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya beberapa studi kasus yang rumit dan juga survei-survei sub-nasional. Studi-studi kasus itu digunakan dalam paper ini untuk menunjukkan gambaran umum dan kecenderungan yang muncul pada migrasi di Indonesia.
Bentuk yang spesifik dari migrasi yang semakin meningkat adalah adanya peningkatan jumlah TKI yang pergi ke luar negeri maupun tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Dan, Departemen Tenaga Kerja lah yang bertugas mencatat pergerakan TKI yang bersifat sementara dan para ekspatriat yang datang ke Indonesia untuk bekerja. Laporan dari Depnakertrans tersebut hanya menjelaskan tentang registrasi resmi dan mengabaikan adanya migrasi gelap, yang jumlah sebenarnya lebih besar daripada yang tercatat secara resmi.
Perubahan Tingkat Migrasi Penduduk
Tiada suatu keraguan bahwa telah terjadi peningkatan migrasi yang besar dari dua dekade yang lalu. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya perubahan sosial ekonomi dan revolusi besar dalam perkembangan transportasi. Namun, sayangnya perubahan-perubahan tersebut cukup sulit dihitung di Indonesia. Walaupun demikian, pengukuran yang terbatas ini dapat menunjukkan bahwa sejak lebih dari 2 dekade yang lalu, terdapat 69% pria dan 79% wanita yang melakukan migrasi dari tempat tinggal asalnya.
Selain itu, salah satu perubahan yang menonjol adalah perkembangan jumlah kendaraan bermotor di Jawa, baik kendaraan pribadi maupun umum. Pada umumnya, setiap komunitas masyarakat mendapatkan pelayanan transportasi umum. Hal ini tampak pada adanya pengurangan yang drastis dalam jumlah penduduk per motor sejak lebih dari 2 dekade yang lalu. Pada tahun 1993, hanya terdapat 17 WNI/kendaraan bermotor (termasuk sepeda motor), menjadi kurang dari 10 WNI/kendaraan bermotor dua dekade kemudian. Lalu, untuk kendaraan beroda empat atau lebih, terdapat rasio yang menurun dari 300 orang per kendaraan menjadi 55 orang pada 1993. Selain itu, meskipun Jawa memiliki jumlah penduduk 60% dari jumlah penduduk Indonesia pada 1993, Jawa memiliki 66% sepeda motor dan 73% untuk jenis kendaraan lain. Tidak hanya transportasi darat yang dijadikan sebagai parameter dalam peningkatan migrasi, tetapi juga laut dan udara, yang salah satunya ditandai oleh pertambahan jumlah dan perkembangan sistem kapal feri.
Kemudian, gambaran yang muncul adalah tentang segi sosial yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam migrasi spasial dan juga migrasi individu. Migrasi tersebut meningkat sangat cepat lebih dari dua dekade. Hubungan antara pergantian ini dan perubahan ekonomi sosial yang cepat sangatlah kompleks dan memiliki 2 arah. Perjalanan seseorang telah menjadi semakin terjangkau dan relatif lebih murah dan memungkinkan penduduk Indonesia memiliki jangkauan yang lebih lebar dalam mencari pekerjaan maupun pendidikan. Proses ini didukung oleh adanya perluasan sarana pendidikan dan keterbukaan negara melalui jaringan media massa yang telah memberikan informasi pada masyarakat Indonesia mengenai lapangan-lapangan pekerjaan dan cara hidup yang berbeda di tempat tujuan yang akan dituju.
Migrasi Internasional
Salah satu perubahan yang paling mencolok dalam migrasi di Indonesia adalah adanya peningkatan migrasi ke luar negeri, terutama untuk para TKI, yang biasanya bersifat non-permanen. Pada Repelita I, hanya terdapat 5.624 emigran dan secara bertahap diharapkan menjadi 17.042, 96.410, dan 292.264. Pada Repelita V (1989 – 1994) pemerintah memberikan target bahwa 500.000 TKI akan dikirim keluar negeri, tetapi ternyata jumlahnya justru lebih besar (652.272). Bahkan, target pada Repelita VI lebih ambisius, sekitar 1,25 juta. Ada banyak TKI yang tidak terdaftar, terutama di kawasan Malaysia Timur dan Barat, meskipun migrasi ilegal ke Singapura, Hong Kong, Arab Saudi, dan Australia bertambah.
Ketika masalah migrasi ilegal mencuat, Malaysia memberikan ukuran terhadap migrasi tersebut. Migrasi ilegal dari Indonesia ke Malaysia diduga menempati urutan kedua terbesar setelah migrasi dari Meksiko ke Amerika Serikat. Jumlah WNI yang bekerja keluar negeri pada 1995 menempati porsi sekitar 1,5% dari total jumlah tenaga kerja Indonesia pada saat itu.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar