Senin, 04 Februari 2008

Adakah Bahagia Untukku? ( I )

Malam belum terlalu larut. Mentari baru saja terbenam di ufuk barat. Dicka sedang mengendarai sepeda motornya mengelilingi kota, ketika dia melihat seorang cewek yang sedang diganngu oleh beberapa orang cowok. Mereka mengitari cewek itu, menggodanya. Naluri Dicka sebagai seorang lelaki tiba – tiba bangkit. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi di depan matanya. Sekalipun dikenal sebagai cowok jalanan, dia masih tetap memiliki hati nurani.
“Hai, cantik. Mau ikut dengan kami?” kata salah seorang di antara mereka. Cewek itu semakin terpojok. Dia tampak sangat ketakutan.
Tanpa berpikir panjang, Dicka melangkah maju. Ternyata dia mengenal Rudi, anak atasan ayahnya berada di tengah – tengah mereka. Sesaat, dia menjadi bimbang.
“Rudi …”
Serentak, mereka menoleh ke arah datangnya suara, dan melihat Dicka sedang berjalan mendekat.
“Lepaskan cewek itu, Rud. Kalau tidak ..”
“Kalau tidak, apa?” tantang Rudi,”Ka, kamu jangan berlagak jadi jagoan, deh. Nggak ada untungnya. Gimana kalau kamu juga ikut menikmati cewek ini?”
“Nggak! Lepaskan dia atau kalian akan …”
Namun, Rudi sudah memotong pembicaraan Dicka.
“Atau, kami akan kau hajar? Iya? Ha … ha … ha …, kau jangan membuatku tertawa. Mustahil kau berani melawanku. Selama ini, kau cuma bisa berlindung di bawah ketiak ayahmu. Nggak lebih. Huh!”
Kini, Dicka sudah benar – benar kehilangan kesabarannya. Dia tidak peduli, jika nanti Ayah memukulinya ketika dia sampai di rumah. Yang terpenting, cewek itu selamat terlebih dahulu.
Mereka berempat mengeroyok Dicka, tetapi Dicka bukanlah tipe orang yang mudah dikalahkan. Akhirnya, setelah bersusah payah, dia pun berbalik menang.
“Awas kau! Tunggu saja pembalasanku,” ancam Rudi, sebelum mereka lari pontang – panting meninggalkan tempat itu.
“Kamu tidak apa – apa?” tanya Dicka, sambil membersihkan debu yang menempel di bajunya.
“Aku … aku …” jawab cewek itu gemetar. Selama beberapa saat, dia tidak mampu berkata apa – apa.
Lalu, Dicka pun mengajaknya untuk duduk di rerumputan.
Dia benar – benar ketakutan, pikir Dicka.
“Kamu baik – baik saja?”tanya Dicka, sebab wajahnya tampak pucat.
“Cewek itu mengangguk.
“Ter … terima kasih.”
Dicka tersenyum,”Untuk apa?”
Hening.

Tempat ini sungguh sepi, batin Dicka. Saat itu, dia sedang memandang jalan raya di kejauhan.
Tiba – tiba, cewek itu menoleh.
“Bolehkah aku …”
“Apa?” tanya Dicka mengalihkan pandangannya kepada cewek itu.
“Bolehkah aku … meminjam bahumu sebentar? Aku tahu kamu tidak mengenalku, tetapi …”
“Tentu saja,” jawab Dicka tanpa menunggu kelanjutan kata – kata cewek itu. Kemudian, tanpa diduga Dicka, cewek itu menangis tersedu – sedu, seakan ingin mengeluarkan segala beban yang ada di hatinya.
Dicka menunggu, walaupun hatinya harus bersabar.
Dia adalah cewek baik – baik. Aku tidak boleh memeluknya, pikir Dicka.

Selama ini, dia selalu bersama dengan teman – teman yang dikenalnya di jalanan. Hubungan antara seorang pria dan wanita menjadi tidak punya batasan yang jelas. Mereka sudah terbiasa dipeluk, bahkan lebih. Dia paham, mereka adalah korban dari ketidakharmonisan keluarga, sama seperti dirinya.
Dicka jadi teringat dengan Devi, temannya yang pernah mengatakan bila ayahnya mempunyai dua orng istri, lalu Ardi yang ayahnya berselingkuh dengan wanita lain dan ibunya hanya diam, menerima saja dengan pasrah.
Tiba – tiba, suara cewek itu membuyarkan lamunan Dicka.
“Terima kasih, kamu sudah menolongku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada.”
Kini, Dicka mendengar suara yang lebih tegar. Ternyata, dia sudah lebih pulih, batinnya.
“Nggak apa – apa. Aku memang harus melakukannya.”
Inilah pertama kalinya Dicka menerima ucapan terima kasih. Sebersit perasaan senang menyelusup ke dalam hatinya. Dia merasakan kehangatan kata – kata cewek itu.
Kukira, hatiku telah lama mati, pikirnya.
“Kamu sudah merasa baikan?” tanya Dicka.
Cewek itu mengangguk.
“Aku Dicka.”
“Oh, maaf. Namaku Ana,” kata Ana memperkenalkan dirinya.
“Kamu mau pulang?”
Ana mengangguk.
“Mau kuantar?”
Ana memandang Dicka dengan pandangan tidak percaya, dan Dicka sudah terlanjur melihat tatapan itu.”
“Kamu tidak percaya padaku?”
Ana tampak terkejut. Matanya terlihat gelisah.
“Bukan. Bukannya aku tidak percaya, tapi …”
“Tapi …” kata Dicka menirukan ucapan Ana.
“Tapi, aku masih takut dengan …”
Dicka tidak memaksa. “Baiklah, kamu bisa menunggu taksi di ujung sana.”
Ana bergidik. Jalan yang ditunjukkan Dicka gelap sekali. Justru lebih berbahaya jika berada sendirian di sana.
“Aku ikut denganmu,” kata Ana akhirnya.
Dicka tersenyum. Ana sampai terperanjat melihatnya.
Dia benar – benar tampan, pikir Dicka.

Hampir sebagian besar perjalanan mereka dihabiskan untuk berdiam diri. Sibuk dengan pikirannya masing – masing.
Akhirnya, karena sudah tidak tahan, Ana mulai berbicara.
“Kamu tahu? Aku tak pernah merasa bahagia.”
Dicka terkejut, tetapi segera menjawab.
”Mengapa?” tanyanya sambil berpikir bahwa dunia ini memang memiliki banyak masalah yang membuat orang menjadi kehilangan harapan, juga kebahagiaan.
Ana terdiam.
“Oh, nggak usah bilang jika kamu tidak ingin mengatakannya.”
Beberapa saat kemudian, Ana berkata,” Orang tuaku jarang berada di rumah. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaannya, tanpa memikirkan perasaanku. Aku rindu pada kasih sayang mereka.”
Tanpa sadar, Dicka menjawab,”Kamu masih beruntung, Ana. Aku sudah kehilangan ibu, juga kasih sayang seorang ayah.”
“Ibumu … meninggal?”
“Ya, dia sudah meninggal sejak aku masih kecil.”
Ana merasakan kegetiran dalam suara Dicka.
“Ha … ha … ha …, aku tadi ngomong apa, sih? Lupakan aja semua yang kukatakan tadi. Lagipula, setelah ini kita nggak akan ketemu lagi.”
“Ka, kamu nggak perlu maksa untuk tertawa.” Namun, kalimat itu hanya ada di dalam pikiran Ana.
“Ngapain tadi kamu sendirian di sana?” tanya Dicka mengalihkan pembicaraan.
“Aku menunggu teman,”
“Oo …” sahut Dicka.
Padahal, Ana berharap Dicka akan bertanya lebih banyak tentang dirinya.
Lho, ada apa denganku? pikir Ana bingung.

Sesampai di depan rumah Ana.
“Terima kasih. Kamu orang baik.”
Aku orang baik ? pikir Dicka sambil mengemudikan motornya. Dari kaca spion, Dicka melihat Ana melambaikan tangan. Mungkin, artinya ‘sayonara untuk selamanya’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar