“Apa pedulimu pada nyawaku? Aku nggak berhutang apapun padamu,” katanya, seolah meremehkan cewek yang ada di depannya.
“Dicka!” Ada sekelumit rasa jengkel di hati Ann,”tunggu dulu!”
Dia pun berlari menghampiri Dicka yang duduk di atas sepeda motornya, bersiap untuk pergi.
Setelah mengatur napasnya yang terengah – engah, Ana berkata,”Ka, kamu jangan ikut balapan lagi, ya. Kamu bisa benar – benar …”
“Benar – benar apa?”
“Benar – benar mati.” Namun, kata – kata itu tidak jadi diucapkannya.
“Alah, jangan sok nasihatin aku, deh. Belagu amat. Kamu kira aku ini siapa? Aku bukan anak baru kemarin sore yang lagi belajar jalan.”
Mereka terdiam sesaat, sibuk dengan pikirannya masing – masing. Ana tidak tahu lagi bagaimana caranya membujuk Dicka untuk menghentikan kegiatan yang menurutnya sungguh … gila.
Memang, setahu Ana, Dicka tidak pernah mau dinasihati oleh siapapun, termasuk ayahnya sendiri. Entah terbuat dari apa kepalanya itu. Mungkin dari batu sungai yag minta ampun kerasnya itu.
“Tapi ….” Ana mencoba sekali lagi.
“Udah deh, nggak usah ngurusin aku segala. Kagak ada untungnya. Sana pergi!” usir Dicka kasar.
“Kamu nggak boleh …”
Dan, saat itu Dicka sudah ngeloyor pergi, menyisakan kepulan debu yang menyesakkan Ana sampai dia terbatuk – batuk. Dicka jelek, pikir Ana dengan perasaan yang tidak menentu.
“Nanti sore, ada balapan di Lapangan Joyokusumo. Kamu ikut nggak?” tanya Iwan, teman Dicka.
“Jam berapa?” Dicka balik bertanya.
“Jam 3 sore. Ikut?”
“Ya, pastilah,” sahutnya optimis.
“Oke, kalu gitu aku duluan.”
“Lho, ngapain buru – buru?”
“Biasalah, ada urusan sedikit. Nanti juga beres begitu aku datang.”
“Sombong!” komentar Dicka.
Iwan tersenyum dan meninggalkan warung dengan tenang.
Dicka kembali meneruskan makannya. Sejak dari pagi, dia belum memasukkan apapun ke mulutnya, kecuali … tentu saja air putih. Hanya air putih.
Dia sudah menghabiskan dua porsi besar makan piring nasi, ketika dia sadar bila ada sesuatu yang tidak beres. Dia tidak membawa uang sama sekali, sudah diberikannya pada Iwan untuk pendaftaran perlombaan nanti sore.
Bagaimana ini? pikir Dicka panik. Nggak mungkin kan, dia menyelinap keluar begitu saja. Bisa digebukin massa sampai babak belur. Memang orang sekarang cenderung lebih emosional, termasuk dia sendiri. Yah, dia pun tak malu mengakuinya.
Lagipula, harga dirinya tidak mengizinkan hal itu. Mau ditaruh di mana mukanya. Dia kan pembalap nomor satu di kota ini. Untunglah, akhirnya dia menemukan satu cara.
“Kamu harus berterima kasih kepadaku,” kata Ana.
“Untuk apa?”
“Aku baru saja menyelamatkanmu dari kerja paksa. Uang sakuku untuk dua hari habis gara – gara kamu.”
“Sebulan yang lalu, aku juga menyelamatkan hidupku.”
Ana merasa mendapatkan pukulan telak. Dia tidak bisa membalas ucapan Dicka, karena semua yang dikatakannya benar. Tiba – tiba, dia merasa sedih.
“Kenapa kamu diam?” tanya Dicka heran. Tidak biasanya Ana yang cerewet dan sok ini menjadi kehilangan kata – kata.
“Jadi … jadi, kamu minta imbalan?” kata Ana dengan suara tertahan,”kalau nggak mau, dulu kau nggak perlu menolong aku.”
“Hah? Apa?” Dicka menatap Ana dengan wajah tidak mengerti.
“Ya, aku memang berhutang budi padamu,” kata Ana serak,”apa yang kamu inginkan dariku?”
Dicka baru mengerti sekarang, dan kemudian dia tertawa sampai perutnya terasa sakit. Ana memandang Dicka bertanya – tanya.
“Sori, aku nggak ngira kamu sampai berpikiran seperti itu,” kata Dicka setelah tawanya reda.
“Nggak lucu!” Ana cemberut menahan marah. Dia pun berbalik membelakangi Dicka.
“An, aku nggak pernah berpikir kamu berhutang padaku. Aku sudah senang kamu mau berteman denganku, yah … yang bisa dibilang urakan, nakal, nggak bener, berandalan, …,”sahut Dicka,” Terima kasih kamu masih memperhatikanku,”
“Kamu bukan cowok seperti itu,” jawab Ana kembali berbalik menghadapi Dicka dengan wajah serius.
“Ha … ha … ha …, kamu ketipu. Dasar cewek, gampang banget dikibulin. Aku tadi cuma bercanda.”
Perasaan Ana menjadi bercampur aduk tak karuan. Dia tidak ingin tangisannya pecah di depan cowok brengsek ini.
Dicka segera mengalihkan pembicaraan.
“Nanti nonton, jam tiga. Lapangan Joyokusumo. Aku ada di sana. Biasalah!”
Ana benar – benar ingin mencegah. Namun, dia takut, jika dia berbicara, air matanya akan mengalir keluar. Dan, dia tidak mau hal itu terjadi.
Ana menunggu beberapa saat hingga emosinya mereda.
“Kamu masih …”
“Sudah ya, nanti kalau aku menang, uangmu aku ganti deh. Jangan khawatir.”
Selalu begitu. Dicka selalu meninggalkan Ana sendirian.
“Ka, aku nggak mikirin soal uang itu, tapi yang aku khawatirkan itu kamu. Kamu, Ka. Mengapa kamu tak pernah mengerti?” pikir Ana.
Jadi, mau tak mau, Ana harus ikut pergi menonton. Sejak pagi tadi, perasaannya tidak enak. Dia tidak ingin terjadi apa – apa pada cowok itu. Namun, tiba – tiba Ana sendiri merasa heran. Mengapa dia tidak bisa berhenti memikirkan Dicka. Apakah … dia sedang jatuh cinta? Pada Dicka? Pada sosok tampannya? Atau, pada tubuhnya yang atletis? Ah, mustahil. Masih banyak cowok selain dirinya. Hingga kepalanya menjadi pusing, dia tetap belum menemukan jawaban yang memuaskan.
Kini, Ana berada di tengah – tengah gemuruh suara penonton yang memadati area luar stadion. Sebenarnya, dia sudah ingin cepat – cepat keluar dari sana, tetapi dia menahan hatinya sekuat mungkin. Ya, dia harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa Dicka baik – baik saja.
Ana mencari sosoknya di antara para pembalap. Setelah beberapa menit, dia menemukan Dicka yang sedang bersiap – siap mengendarai sepeda motornya. Untuk sesaat, Ana merasa lega. Namun, semua itu tidak berlangsung lama. Jantungnya kembali berdebar kencang saat perlombaan dimulai. Semua motor melaju dengan kecepatan tinggi. Ana bahkan merem melek beberapa kali.
Baru saja menghela napas lega, Ana dikejutkan adanya sebuah motor yang oleng karena diserempet motor lain. Pembalap itu terpelanting jatuh beberpa meter dari tempat kecelakaan. Begitu juga dengan motornya yang ringsek di beberapa bagian, karena menggesek jalan, sehingga menimbulkan percikan api.
Mengerikan. Besok, aku nggak mau nonton balapan kayak gini lagi, pikir Ana. Apalagi, pembalap itu jatuh hanya sekitar tiga meter dari tempatnya berdiri.
Dan, kemudian dia melihat helm itu. Motor itu. Tidak salah lagi, gumam Ana berulang – ulang.
Tanpa berpikir panjang, Ana segera melompat menuju pembalap itu.
Pasti dia bukan Dicka, Ana berharap – harap cemas. Ini hanyalah mimpi buruk. Lalu, dia memanjatkan doa. Tak dipedulikannya, penonton yang sempat memandang heran kepadanya. Mungkin mereka berpikir ‘cewek apaan, sih’? Menerjang masuk ke arena? Tapi, itu urusan nanti. Yang terpenting sekarang adalah memastikan siapa yang berada di balik helm itu.
Ana membukanya dengan sangat hati – hati. Dan, mimpinya buyar seketika. Dia melihat dengan jelas … wajah Dicka yang pucat tak sadarkan diri.
Paramedis datang beberapa saat kemudian. Dicka dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. Ana bersikeras untuk ikut. Hanya dia yang kenal dengan Dicka.
Beberapa jam setelah mendapat perawatan, Dicka akhirnya sadar. Dia kaget melihat jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Apalagi, dia merasa ada seseorang di sampingnya. Tapi, siapa? Ayahnya kan sedang tugas ke luar Jawa.
Ana beringsut bangun dan melihat Dicka sedang menatapnya dengan pandangan heran.
“Ngapain aku ada di sini? Lho, ini dimana?” Dia tidak paham untuk beberapa saat. Badannya terasa sakit semua.
“Tapi, menurut dokter kamu nggak ngalamin gegar otak, kok. Masa mereka salah mendiagnosa?” pikir Ana.
“Ana, kenapa aku bisa ada di rumah sakit? Aku kan baik – baik saja.”
“Huf, untunglah kamu masih kenal aku.”
Ana bernapas lega.
“Dengar, ya. Tadi, dokter bilang tiga tulang rusuk sama kakimu patah.”
“Hah, apa?” tanya Dicka tak percaya.
“Lihat saja sendiri gimana keadaanmu,” jawab Ann sambil menyerahkan sebuah cermin kepadanya.
“Aku sudah kayak mumi gini,” komentar Dicka sambil meringis kesakitan.
“Rasain. Salah sendiri pake ngebut segala. Aku kan sudah bilang …”
“Jadi, ceritanya aku nggak bisa naik motor, nih?”
Ana memandang Dicka dengan rasa kasihan. Dia tahu arena balap adalah hidupnya, dunianya. Dan, dia tak bisa memungkirinya.
“Nggak, kok. Cuma dua bulan.”
“Selama itu?”
“Gara – gara kamu sendiri yang ceroboh. Coba siapa yang repot, kan aku.”
“Oh ya, ngapain kamu ada di sini?”
Dicka bego. Masa nggak pernah ngerti juga? batin Ana.
“Yah, daripada di rumah. Nggak ada orang. Pergi semua,” kata Ana berusaha menutupi kesedihannya.
Dicka ber – o panjang. Dia memang sudah mendengar bahwa kedua orang tua Ana adalah usahawan yang sukses. Jarang ada di rumah.
“Nih, sudah kubelikan nasi goreng dua bungkus. Selera makanmu nggak mungkin berkurang. Lagipula, makanan di rumah sakit, kamu tahu kan?”
“Makasih banyak. Seandainya kamu itu pacarku, aku tentu akan merasa sangat bahagia,” kata Dicka.
Jantung Ana berdebar kencang, sampai – sampai dia takut bila Dicka mendengarnya.
”Aku ngomong apaan, sih? Sori, aku ngrepotin kamu terus. Aku juga nggak bisa ganti uang kamu,” kata Dicka lagi. Kesombongan yang ditunjukkan Dicka selama ini sudah menguap entah kemana.
“Ah, nggak masalah. Aku sudah senang kamu nggak bisa naik motor lagi. He … he … he …”
Dicka merengut pura – pura kesal. Padahal, di dalam hatinya, dia merasa … bahagia. Ada seseorang yang memperhatikannya. Ah, dia benar – benar beruntung bisa bertemu dengan Ana.
Selama seminggu, Dicka berada di rumah sakit. Setiap hari, sepulang sekolah, Ana menjenguknya dengan membawa buah – buahan ataupun makanan.
Dia cewek yang baik, pikir Dicka, dan aku cowok yang buruk. Mana pernah ada kecocokan?
Saat ini, Dicka sedang kebingungan. Dia jelas – jelas tidak mempunyai uang untuk membayar biaya perawatannya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Ana pasti mau menolongnya, tetapi selama ini dia sudah cukup membuatnya repot.
Dicka termenung sendirian di tempat tidur. Lusa adalah hari kepulangannya. Bagaimana ini? Dia pun kemudian memutuskan untuk bangun darn berjalan di sepanjang lorong rumah sakit. Dengan gugup, Dicka bertanya ke bagian administrasi.
“Mbak, biaya perawatan saya berapa, ya?”
“Maaf, nama mas siapa?” tanya salah seorang perawat sopan.
“Dicka Hermawan S dari kamar 307.”
“Sebentar,” kata perawat itu sambil mengecek dari dalam komputernya.
Dicka menunggu dengan cemas, lebih cemas daripada menanti hasil ujiannya beberapa tahun yang lalu. Dan, akhirnya perawat itu berkata,”Oh, semua sudah lunas.”
Dicka menghela napas sesaat, tetapi hanya sekejap.
“Mbak nggak bohong?” tanya Dicka untuk meyakinkan bahwa telinganya masih normal.
“Anda menginginkan struk kopinya?”
“Ya,” jawabnya cepat sekali.
Lalu, dia pun melihat struk itu, dan terbengong tak percaya. Nominal yang tertera di sana hingga puluhan juta, tepatnya dua puluh lima juta enam ratus lima puluh dua ribu rupiah. Wuih, Dicka sampai keder membayangkannya.
Siapa yang telah menolongku? pikir Dicka, apakah Ana? Ah, nggak mungkin Ana mempunyai uang sebanyak itu.
Dia tidak bisa menemukan jawabannya, dan justru semakin menambah pusing kepalanya. Ah, dipikir nanti saja!
Sudah hampir tiga bulan berlalu. Dicka merasa benar – benar pulih dari kecelakaan sialan itu. Dia sudah tidak sabar untuk kembali berada di tengah – tengah arena balap. Namun, sebersit pikiran tiba – tiba melintas di benaknya, mengganggu jalan pikirannya. Ana melarangnya ikut.
Dia diurus belakangan aja, deh, batin Dicka. Memang, kecintaannya pada dunia Rossi ini sudah mencapai taraf yang kronis. Sulit untuk disembuhkan. Ana pun tidak akan bisa membujuknya!
“Permisi,” kata Ann. Dia sedang berada di depan rumah Dicka sambil menjinjing keranjang buah. Pintunya setengah terbuka, tetapi kok seperti tidak ada orang.
Tiba – tiba, saat hendak beranjak pergi, Ana mendengar suara Dicka,”Tunggu sebentar!”
Ana pun lalu dipersilakan masuk.
“Ada apa, An?” tanya Dicka.
“Nih, untuk kamu,” kata Ana menyodorkan keranjang di tangannya. Pada saat itulah, dia merasakan tangan Dicka yang menegang.
“Kamu tidak apa – apa?” Ana melihat keringat dingin mengalir turun dari dahi Dicka.
“Ayahmu ada di rumah?” tanya Ana.
Tiba – tiba, dari sebuah kamar terdengar suara seorag wanita.
“Siapa itu di luar, sayang?” katanya mesra.
Ana terperanjat kaget. Sesaat, dia merasa sudah tidak menginjak tanah, melayang entah kemana. Pikirannya menjadi kacau. Dia sangat … sangat syok, seperti terkena serangan jantung.
“Eh, oh, aku mengganggu, ya?” ujar Ana, setelah dia mati – matian memaksa keluar suaranya.
Dicka terdiam. Wajahnya pun ikut – ikutan menjadi pucat.
“Kalau gitu, aku pergi dulu,” tambah Ana sambil melangkah keluar.
“An, tunggu …,” kata Dicka tersendat – sendat.
Ana menoleh. Tapi, lagi – lagi Dicka merasa mulutnya terkunci rapat. Dia tidak tahu apa yang mesti dijelaskannya pada Ana.
Akhirnya, Ana berkata,”Apapun yang kamu lakukan, itu nggak ada hubungannya denganku. Aku bukan pacarmu apalagi ayahmu. Aku nggak berhak melarang apa yang kamu lakukan. Kamu sudah dewasa, kan? Bisa nentuin mana yang bener mana yang salah. Tapi, aku tetap percaya pada kamu, kok. Bukanlah suatu dusta bila kau telah menolongku, memperlakukanku dengan baik. Dan, aku sangat menghargainya.”
“Maaf …,” jawab Dicka lirih. Namun, kemudian dia sendiri merasa heran mengapa dia meminta maaf. Dia nggak salah, kok.
Apakah benar dia tidak bersalah?
Sepeninggalan Ana, Dicka merenung. Lama sekali. Ternyata, apa yang dikatakan Ana memang benar, pikirnya.
Entah mengapa, tiba – tiba dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Dia pun berjanji nggak akan pernah melakukan hal … hal yang bodoh, hina seperti itu lagi. Tanpa berpikir panjang, Dicka pun segera mengusir wanita itu pergi.
Pada saat sendiri seperti saat ini, dia tidak bisa melupakan pandangan Ana tadi. Bukan pandangan jijik! Bukan! Dia yakin itu.
Pandangan itu, pandangan Ana … begitu kecewa … sakit … terluka. Seumur hidup, Dicka tidak ingin melihatnya lagi. Entah mengapa, saat membayangkan kejadian itu, hatinya seperti selalu tersayat – sayat pisau. Pedih sekali.
“Dicka!” Ada sekelumit rasa jengkel di hati Ann,”tunggu dulu!”
Dia pun berlari menghampiri Dicka yang duduk di atas sepeda motornya, bersiap untuk pergi.
Setelah mengatur napasnya yang terengah – engah, Ana berkata,”Ka, kamu jangan ikut balapan lagi, ya. Kamu bisa benar – benar …”
“Benar – benar apa?”
“Benar – benar mati.” Namun, kata – kata itu tidak jadi diucapkannya.
“Alah, jangan sok nasihatin aku, deh. Belagu amat. Kamu kira aku ini siapa? Aku bukan anak baru kemarin sore yang lagi belajar jalan.”
Mereka terdiam sesaat, sibuk dengan pikirannya masing – masing. Ana tidak tahu lagi bagaimana caranya membujuk Dicka untuk menghentikan kegiatan yang menurutnya sungguh … gila.
Memang, setahu Ana, Dicka tidak pernah mau dinasihati oleh siapapun, termasuk ayahnya sendiri. Entah terbuat dari apa kepalanya itu. Mungkin dari batu sungai yag minta ampun kerasnya itu.
“Tapi ….” Ana mencoba sekali lagi.
“Udah deh, nggak usah ngurusin aku segala. Kagak ada untungnya. Sana pergi!” usir Dicka kasar.
“Kamu nggak boleh …”
Dan, saat itu Dicka sudah ngeloyor pergi, menyisakan kepulan debu yang menyesakkan Ana sampai dia terbatuk – batuk. Dicka jelek, pikir Ana dengan perasaan yang tidak menentu.
“Nanti sore, ada balapan di Lapangan Joyokusumo. Kamu ikut nggak?” tanya Iwan, teman Dicka.
“Jam berapa?” Dicka balik bertanya.
“Jam 3 sore. Ikut?”
“Ya, pastilah,” sahutnya optimis.
“Oke, kalu gitu aku duluan.”
“Lho, ngapain buru – buru?”
“Biasalah, ada urusan sedikit. Nanti juga beres begitu aku datang.”
“Sombong!” komentar Dicka.
Iwan tersenyum dan meninggalkan warung dengan tenang.
Dicka kembali meneruskan makannya. Sejak dari pagi, dia belum memasukkan apapun ke mulutnya, kecuali … tentu saja air putih. Hanya air putih.
Dia sudah menghabiskan dua porsi besar makan piring nasi, ketika dia sadar bila ada sesuatu yang tidak beres. Dia tidak membawa uang sama sekali, sudah diberikannya pada Iwan untuk pendaftaran perlombaan nanti sore.
Bagaimana ini? pikir Dicka panik. Nggak mungkin kan, dia menyelinap keluar begitu saja. Bisa digebukin massa sampai babak belur. Memang orang sekarang cenderung lebih emosional, termasuk dia sendiri. Yah, dia pun tak malu mengakuinya.
Lagipula, harga dirinya tidak mengizinkan hal itu. Mau ditaruh di mana mukanya. Dia kan pembalap nomor satu di kota ini. Untunglah, akhirnya dia menemukan satu cara.
“Kamu harus berterima kasih kepadaku,” kata Ana.
“Untuk apa?”
“Aku baru saja menyelamatkanmu dari kerja paksa. Uang sakuku untuk dua hari habis gara – gara kamu.”
“Sebulan yang lalu, aku juga menyelamatkan hidupku.”
Ana merasa mendapatkan pukulan telak. Dia tidak bisa membalas ucapan Dicka, karena semua yang dikatakannya benar. Tiba – tiba, dia merasa sedih.
“Kenapa kamu diam?” tanya Dicka heran. Tidak biasanya Ana yang cerewet dan sok ini menjadi kehilangan kata – kata.
“Jadi … jadi, kamu minta imbalan?” kata Ana dengan suara tertahan,”kalau nggak mau, dulu kau nggak perlu menolong aku.”
“Hah? Apa?” Dicka menatap Ana dengan wajah tidak mengerti.
“Ya, aku memang berhutang budi padamu,” kata Ana serak,”apa yang kamu inginkan dariku?”
Dicka baru mengerti sekarang, dan kemudian dia tertawa sampai perutnya terasa sakit. Ana memandang Dicka bertanya – tanya.
“Sori, aku nggak ngira kamu sampai berpikiran seperti itu,” kata Dicka setelah tawanya reda.
“Nggak lucu!” Ana cemberut menahan marah. Dia pun berbalik membelakangi Dicka.
“An, aku nggak pernah berpikir kamu berhutang padaku. Aku sudah senang kamu mau berteman denganku, yah … yang bisa dibilang urakan, nakal, nggak bener, berandalan, …,”sahut Dicka,” Terima kasih kamu masih memperhatikanku,”
“Kamu bukan cowok seperti itu,” jawab Ana kembali berbalik menghadapi Dicka dengan wajah serius.
“Ha … ha … ha …, kamu ketipu. Dasar cewek, gampang banget dikibulin. Aku tadi cuma bercanda.”
Perasaan Ana menjadi bercampur aduk tak karuan. Dia tidak ingin tangisannya pecah di depan cowok brengsek ini.
Dicka segera mengalihkan pembicaraan.
“Nanti nonton, jam tiga. Lapangan Joyokusumo. Aku ada di sana. Biasalah!”
Ana benar – benar ingin mencegah. Namun, dia takut, jika dia berbicara, air matanya akan mengalir keluar. Dan, dia tidak mau hal itu terjadi.
Ana menunggu beberapa saat hingga emosinya mereda.
“Kamu masih …”
“Sudah ya, nanti kalau aku menang, uangmu aku ganti deh. Jangan khawatir.”
Selalu begitu. Dicka selalu meninggalkan Ana sendirian.
“Ka, aku nggak mikirin soal uang itu, tapi yang aku khawatirkan itu kamu. Kamu, Ka. Mengapa kamu tak pernah mengerti?” pikir Ana.
Jadi, mau tak mau, Ana harus ikut pergi menonton. Sejak pagi tadi, perasaannya tidak enak. Dia tidak ingin terjadi apa – apa pada cowok itu. Namun, tiba – tiba Ana sendiri merasa heran. Mengapa dia tidak bisa berhenti memikirkan Dicka. Apakah … dia sedang jatuh cinta? Pada Dicka? Pada sosok tampannya? Atau, pada tubuhnya yang atletis? Ah, mustahil. Masih banyak cowok selain dirinya. Hingga kepalanya menjadi pusing, dia tetap belum menemukan jawaban yang memuaskan.
Kini, Ana berada di tengah – tengah gemuruh suara penonton yang memadati area luar stadion. Sebenarnya, dia sudah ingin cepat – cepat keluar dari sana, tetapi dia menahan hatinya sekuat mungkin. Ya, dia harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa Dicka baik – baik saja.
Ana mencari sosoknya di antara para pembalap. Setelah beberapa menit, dia menemukan Dicka yang sedang bersiap – siap mengendarai sepeda motornya. Untuk sesaat, Ana merasa lega. Namun, semua itu tidak berlangsung lama. Jantungnya kembali berdebar kencang saat perlombaan dimulai. Semua motor melaju dengan kecepatan tinggi. Ana bahkan merem melek beberapa kali.
Baru saja menghela napas lega, Ana dikejutkan adanya sebuah motor yang oleng karena diserempet motor lain. Pembalap itu terpelanting jatuh beberpa meter dari tempat kecelakaan. Begitu juga dengan motornya yang ringsek di beberapa bagian, karena menggesek jalan, sehingga menimbulkan percikan api.
Mengerikan. Besok, aku nggak mau nonton balapan kayak gini lagi, pikir Ana. Apalagi, pembalap itu jatuh hanya sekitar tiga meter dari tempatnya berdiri.
Dan, kemudian dia melihat helm itu. Motor itu. Tidak salah lagi, gumam Ana berulang – ulang.
Tanpa berpikir panjang, Ana segera melompat menuju pembalap itu.
Pasti dia bukan Dicka, Ana berharap – harap cemas. Ini hanyalah mimpi buruk. Lalu, dia memanjatkan doa. Tak dipedulikannya, penonton yang sempat memandang heran kepadanya. Mungkin mereka berpikir ‘cewek apaan, sih’? Menerjang masuk ke arena? Tapi, itu urusan nanti. Yang terpenting sekarang adalah memastikan siapa yang berada di balik helm itu.
Ana membukanya dengan sangat hati – hati. Dan, mimpinya buyar seketika. Dia melihat dengan jelas … wajah Dicka yang pucat tak sadarkan diri.
Paramedis datang beberapa saat kemudian. Dicka dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. Ana bersikeras untuk ikut. Hanya dia yang kenal dengan Dicka.
Beberapa jam setelah mendapat perawatan, Dicka akhirnya sadar. Dia kaget melihat jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Apalagi, dia merasa ada seseorang di sampingnya. Tapi, siapa? Ayahnya kan sedang tugas ke luar Jawa.
Ana beringsut bangun dan melihat Dicka sedang menatapnya dengan pandangan heran.
“Ngapain aku ada di sini? Lho, ini dimana?” Dia tidak paham untuk beberapa saat. Badannya terasa sakit semua.
“Tapi, menurut dokter kamu nggak ngalamin gegar otak, kok. Masa mereka salah mendiagnosa?” pikir Ana.
“Ana, kenapa aku bisa ada di rumah sakit? Aku kan baik – baik saja.”
“Huf, untunglah kamu masih kenal aku.”
Ana bernapas lega.
“Dengar, ya. Tadi, dokter bilang tiga tulang rusuk sama kakimu patah.”
“Hah, apa?” tanya Dicka tak percaya.
“Lihat saja sendiri gimana keadaanmu,” jawab Ann sambil menyerahkan sebuah cermin kepadanya.
“Aku sudah kayak mumi gini,” komentar Dicka sambil meringis kesakitan.
“Rasain. Salah sendiri pake ngebut segala. Aku kan sudah bilang …”
“Jadi, ceritanya aku nggak bisa naik motor, nih?”
Ana memandang Dicka dengan rasa kasihan. Dia tahu arena balap adalah hidupnya, dunianya. Dan, dia tak bisa memungkirinya.
“Nggak, kok. Cuma dua bulan.”
“Selama itu?”
“Gara – gara kamu sendiri yang ceroboh. Coba siapa yang repot, kan aku.”
“Oh ya, ngapain kamu ada di sini?”
Dicka bego. Masa nggak pernah ngerti juga? batin Ana.
“Yah, daripada di rumah. Nggak ada orang. Pergi semua,” kata Ana berusaha menutupi kesedihannya.
Dicka ber – o panjang. Dia memang sudah mendengar bahwa kedua orang tua Ana adalah usahawan yang sukses. Jarang ada di rumah.
“Nih, sudah kubelikan nasi goreng dua bungkus. Selera makanmu nggak mungkin berkurang. Lagipula, makanan di rumah sakit, kamu tahu kan?”
“Makasih banyak. Seandainya kamu itu pacarku, aku tentu akan merasa sangat bahagia,” kata Dicka.
Jantung Ana berdebar kencang, sampai – sampai dia takut bila Dicka mendengarnya.
”Aku ngomong apaan, sih? Sori, aku ngrepotin kamu terus. Aku juga nggak bisa ganti uang kamu,” kata Dicka lagi. Kesombongan yang ditunjukkan Dicka selama ini sudah menguap entah kemana.
“Ah, nggak masalah. Aku sudah senang kamu nggak bisa naik motor lagi. He … he … he …”
Dicka merengut pura – pura kesal. Padahal, di dalam hatinya, dia merasa … bahagia. Ada seseorang yang memperhatikannya. Ah, dia benar – benar beruntung bisa bertemu dengan Ana.
Selama seminggu, Dicka berada di rumah sakit. Setiap hari, sepulang sekolah, Ana menjenguknya dengan membawa buah – buahan ataupun makanan.
Dia cewek yang baik, pikir Dicka, dan aku cowok yang buruk. Mana pernah ada kecocokan?
Saat ini, Dicka sedang kebingungan. Dia jelas – jelas tidak mempunyai uang untuk membayar biaya perawatannya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Ana pasti mau menolongnya, tetapi selama ini dia sudah cukup membuatnya repot.
Dicka termenung sendirian di tempat tidur. Lusa adalah hari kepulangannya. Bagaimana ini? Dia pun kemudian memutuskan untuk bangun darn berjalan di sepanjang lorong rumah sakit. Dengan gugup, Dicka bertanya ke bagian administrasi.
“Mbak, biaya perawatan saya berapa, ya?”
“Maaf, nama mas siapa?” tanya salah seorang perawat sopan.
“Dicka Hermawan S dari kamar 307.”
“Sebentar,” kata perawat itu sambil mengecek dari dalam komputernya.
Dicka menunggu dengan cemas, lebih cemas daripada menanti hasil ujiannya beberapa tahun yang lalu. Dan, akhirnya perawat itu berkata,”Oh, semua sudah lunas.”
Dicka menghela napas sesaat, tetapi hanya sekejap.
“Mbak nggak bohong?” tanya Dicka untuk meyakinkan bahwa telinganya masih normal.
“Anda menginginkan struk kopinya?”
“Ya,” jawabnya cepat sekali.
Lalu, dia pun melihat struk itu, dan terbengong tak percaya. Nominal yang tertera di sana hingga puluhan juta, tepatnya dua puluh lima juta enam ratus lima puluh dua ribu rupiah. Wuih, Dicka sampai keder membayangkannya.
Siapa yang telah menolongku? pikir Dicka, apakah Ana? Ah, nggak mungkin Ana mempunyai uang sebanyak itu.
Dia tidak bisa menemukan jawabannya, dan justru semakin menambah pusing kepalanya. Ah, dipikir nanti saja!
Sudah hampir tiga bulan berlalu. Dicka merasa benar – benar pulih dari kecelakaan sialan itu. Dia sudah tidak sabar untuk kembali berada di tengah – tengah arena balap. Namun, sebersit pikiran tiba – tiba melintas di benaknya, mengganggu jalan pikirannya. Ana melarangnya ikut.
Dia diurus belakangan aja, deh, batin Dicka. Memang, kecintaannya pada dunia Rossi ini sudah mencapai taraf yang kronis. Sulit untuk disembuhkan. Ana pun tidak akan bisa membujuknya!
“Permisi,” kata Ann. Dia sedang berada di depan rumah Dicka sambil menjinjing keranjang buah. Pintunya setengah terbuka, tetapi kok seperti tidak ada orang.
Tiba – tiba, saat hendak beranjak pergi, Ana mendengar suara Dicka,”Tunggu sebentar!”
Ana pun lalu dipersilakan masuk.
“Ada apa, An?” tanya Dicka.
“Nih, untuk kamu,” kata Ana menyodorkan keranjang di tangannya. Pada saat itulah, dia merasakan tangan Dicka yang menegang.
“Kamu tidak apa – apa?” Ana melihat keringat dingin mengalir turun dari dahi Dicka.
“Ayahmu ada di rumah?” tanya Ana.
Tiba – tiba, dari sebuah kamar terdengar suara seorag wanita.
“Siapa itu di luar, sayang?” katanya mesra.
Ana terperanjat kaget. Sesaat, dia merasa sudah tidak menginjak tanah, melayang entah kemana. Pikirannya menjadi kacau. Dia sangat … sangat syok, seperti terkena serangan jantung.
“Eh, oh, aku mengganggu, ya?” ujar Ana, setelah dia mati – matian memaksa keluar suaranya.
Dicka terdiam. Wajahnya pun ikut – ikutan menjadi pucat.
“Kalau gitu, aku pergi dulu,” tambah Ana sambil melangkah keluar.
“An, tunggu …,” kata Dicka tersendat – sendat.
Ana menoleh. Tapi, lagi – lagi Dicka merasa mulutnya terkunci rapat. Dia tidak tahu apa yang mesti dijelaskannya pada Ana.
Akhirnya, Ana berkata,”Apapun yang kamu lakukan, itu nggak ada hubungannya denganku. Aku bukan pacarmu apalagi ayahmu. Aku nggak berhak melarang apa yang kamu lakukan. Kamu sudah dewasa, kan? Bisa nentuin mana yang bener mana yang salah. Tapi, aku tetap percaya pada kamu, kok. Bukanlah suatu dusta bila kau telah menolongku, memperlakukanku dengan baik. Dan, aku sangat menghargainya.”
“Maaf …,” jawab Dicka lirih. Namun, kemudian dia sendiri merasa heran mengapa dia meminta maaf. Dia nggak salah, kok.
Apakah benar dia tidak bersalah?
Sepeninggalan Ana, Dicka merenung. Lama sekali. Ternyata, apa yang dikatakan Ana memang benar, pikirnya.
Entah mengapa, tiba – tiba dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Dia pun berjanji nggak akan pernah melakukan hal … hal yang bodoh, hina seperti itu lagi. Tanpa berpikir panjang, Dicka pun segera mengusir wanita itu pergi.
Pada saat sendiri seperti saat ini, dia tidak bisa melupakan pandangan Ana tadi. Bukan pandangan jijik! Bukan! Dia yakin itu.
Pandangan itu, pandangan Ana … begitu kecewa … sakit … terluka. Seumur hidup, Dicka tidak ingin melihatnya lagi. Entah mengapa, saat membayangkan kejadian itu, hatinya seperti selalu tersayat – sayat pisau. Pedih sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar