Rabu, 20 Februari 2008

My Dreaming On

Tulisan ini kubuat, setelah aku menghadapi UM – UGM yang mengerikan. Mungkin, nggak cuma aku yang mengalami sindrom kayak gini menjelang ujian dan penerimaan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi. Saat itu, aku bener – bener kecewa pada diriku. Memang, belum pengumuman sih, tapi aku udah yakin kalo aku nggak bakalan diterima di UGM. Padahal, UGM adalah universitas harapan dan Jogja adalah kota impianku. Akhirnya, aku harus membuang jauh kenangan – kenangan itu … (Pati, 21 Januari 2008)

Bapak dan Ibu, terutama Ibu, ingin aku naik podium. Itu berarti, aku harus juara I, II, atau III dalam perolehan nilai UAN di SMA – ku. Tapi, bagaimana mungkin aku sanggup menuruti keinginan mereka? Bagiku, hal tersebut merupakan sesuatu yang hampir mustahil (kecuali dengan karunia dari Allah SWT, tentunya. Dan, aku sangat mengharapkannya).

Dulu, sewaktu SMA, Ibu naik podium. Tentu bangga rasanya bila mendapat ucapan selamat dari teman – teman, guru, bahkan kepala sekolah. Tiada yang lebih indah selain hal itu. Dan, beliau adalah ibuku. Aku bangga kepadanya.

Tapi, bagaimana dengan aku? Aku hanyalah murid biasa. Tidak punya kemampuan lebih untuk menaklukkan dunia. Bisa lulus ujian saja, aku sudah bersyukur. Bagaimana aku memenuhi keinginan mereka? Bagaimana?

Hal ini membuatku merasa tersiksa. Saat ini, detik ini, aku masih memikirkannya. Aku sangat takut bila mengecewakan mereka. Ya, mereka takkan memukulku karena nilaiku jelek atau merosot, tapi … dari sorot mata mereka, aku tahu bahwa aku telah mengecewakan mereka. Begitu dalam! So deep! Aku sungguh sangat takut. Ya Allah!

Lilin yang hampir padam,
mengharap cahaya ‘kan datang
padanya
‘tuk pertahankan harapan
yang tersisa
Akankah ada?

Aku takut, bila kegelapan menghampiri
Aku takut, bila tak ada keluarga
di sampingku
Akankah ada mampuku ‘tuk
penuhi harapan mereka?

UGM. Unversitas yang menakjubkan. Universitas yang menakutkan. Pada tanggal 8 April 2007, aku mengikuti UM – UGM. Aku yakin bila aku nggak akan diterima. Aku sudah salah pada banyak soal. Aku nggak akan diterima, meskipun untuk pilihan ketigaku. Padahal, keluargaku; keluarga kecilku, keluarga besarku mengharapkan aku lebh dari batas kemampuan yang aku miliki. Aku bisa apa? Paling – paling, pas pengumuman dan aku nggak diterima, mereka akan menyelahkanku. Memang tidak dalam kata – kata. Satu hal yang pasti, walaupun Ibu bilang “tidak apa – apa jika tidak diterima”, aku yakin bahwa ada rasa kecewa yang teramat besar dalam hidupnya. Aku takut mengecewakan semuanya. Aku benr – benar takut. Seandainya Allah SWT membantuku. Tapi, benarkan ‘kan ada keajaiban?

Aku jadi ingat perjuangan Ibu agar aku dapat mengikuti UM – UGM di Jogja. Ibu sudah menghabiskan hampir satu juta hanya demi aku yang terlalu ngotot ikut UM. Ibu dengan setia menemaniku, hingga akhir. Bagaimana perasaanmu, Ibu, bila anakmu ini (yang bodoh ini) tidak bisa memenuhi keinginanmu? Padahal, kau sudah mengorbankan begitu banyak uang, tenaga, dan pikiran untukku.

Bahkan, Om Sulhan yang tidak ada sangkut pautnya, juga ikut terlibat (pada saat di Jogja, aku menginap di rumah Om – ku). Om Sulhan juga sudah banyak berkorban untukku. Bapak juga. Semua. Semuanya begitu baik padaku. Aku menyayangi keluarga besarku. Tapi, apa yang bisa kuperbuat untuk membalas kebaikan mereka? Tidak ada. Aku tidak punya apa – apa yang layak untuk diberikan kepada mereka. Aku hanya selalu merepotkan mereka saja. Aku anak yang tidak berguna.

Hanya dalam mimpi aku bisa mendapat semuanya. Tapi, buat apa? Mimpi sangat jauh dari kenyataan. Bila kita hanya bermimpi, kita tidak akan pernah maju. Tapi, aku hanya bisa bermimpi. Mimpi yang indah. Hanya bermimpi! Hanya bermimpi! Terus bermimpi! Selamanya tetap ‘kan menjadi impian. Tak berubah menjadi nyata.

11 April ’07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar