Rabu, 20 Februari 2008

Adakah Bahagia Untukku? ( IV )

“Gampang sekali! Aksimu memang top!” kata Iwan.
“Siapa dulu, dong!” jawab Randi sombong,”nggasak motornya si Dicka tuh kayak nggecek semut. Langsung keok waktu kuhantam dari belakang. Biar sekalian mampus.”
“Thanks ya, bro. Uangnya cukup, kan?”
“Ya, nggak ada masalah. Dengan begini, kamu bisa jadi juara tanpa ada penghalang.”
“Toast untuk kita berdua,” kata Iwan. Kemudian, mereka mengangkat gelas tinggi – tinggi dan membenturkannya di udara.

Di tempat duduknya, Dicka merasa sangat geram. Kemarahannya sudah sampai di ubun – ubun. Tanpa sengaja, dia mendengar percakapan mereka. Rasanya, ingin sekali dia membunuh para cecunguk itu. Mejanya hanya beberapa langkah dari mereka. Namun, banyak orang berada di restoran itu. Tindakannya pasti akan sangat mencolok. Polisi pun … dia tidak mau membicarakannya. Apalagi, saat ini Ana berada di hadapannya yang bersikeras untuk ikut. Untuk pesta kesembuhannya, kata Ana tadi.
“Ka, tenang. Jangan berbuat macam – macam,” kata Ana. Ternyata, dia juga mendengar pembicaraan mereka.
“Ayo, kita pergi dari sini,” ajak Ana.
Ana memang benar – benar mengerti dirinya. Dia seperti merasa mempunyai seseorang yang selalu menjaganya, tak pernah meninggalkannya … sesulit apapun situasinya. Dan, entah mengapa dia ingin hal ini berlangsung selamanya.
Dicka mengendarai motornya dengan ugal – ugalan. Melewati mobil, menyalip truk dan bus. Sebenarnya, Ana merasa takut, tetapi dia diam saja dan memejamkan mata menahan ngeri. Batas antara kehidupan dan kematian itu begitu tipis. Kalau saja kecelakaan …, dia berusaha mati – matian untuk tidak memikirkannya. Sebab, dia tahu bila suasana hati Dicka sedang tidak enak.
Akhirnya, Ana bisa bernapas lega juga. Dicka akhirnya mengentikan motornya. Ketika membuka mata, Ana melihat sebuah taman kota yang indah. Bunga – bunga bermekaran di tepinya, dan daun – daun berguguran, ditambah lagi ada angin yang berhembus perlahan. Tempat yang romantis, batinnya. Namun, pikiran itu segera dibuangnya jauh – jauh. Mana mungkin Dicka berpikiran sama dengan dirinya?
Saat ini, mereka sedang duduk di sebuah bangku yang bercat putih.
“Lihat saja! Akan kubalas mereka, nanti!” seru Dicka sambil mengepalkan tinjunya. Ternyata, dia masih dongkol dengan kejadian tadi. Ana sampai geleng – geleng kepala melihatnya.
“Lalu, kamu mau apa?” tanya Ana lirih, hampir tak terdengar.
“Aku? Aku akan menghajar mereka sampai babak belur dan tidak bisa terbangun sampai setengah tahun,” jawab Dicka. Pikirannya saat ini memang penuh nafsu untuk membalas dendam.
“Setelah memberi pelajaran pada mereka, apa yang kamu dapat? Tak ada,” jelas Ana.
Dicka termenung. Dalam hati, dia membenarkan kata – kata Ana. Dengan berbuat begitu, dia justru akan menyusahkan banyak orang, termasuk Ana dan ayahnya. Namun, akan dikemanakan harga dirinya jika dia membiarkan cecunguk – cecunguk itu bebas melenggang pergi.
“Ah, persetan dengan harga diri. Sudah sejak lama aku tidak punya harga diri,” putus Dicka akhirnya.
“Kau benar, An. Nggak ada gunanya aku nantang mereka.”
“Sudahlah, anggap saja kecelakaan itu peringatan Tuhan padamu.”
“Tuhan?”
“Ya.”
“Tak pernah ada Tuhan dalam hidupku.”
Ana bertanya – tanya dalam hati mengapa Dicka berkata seperti itu. Dan, ternyata dia tidak perlu lama menunggu jawaban keluar dari mulut Dicka.
“Dulu, setiap hari, ketika aku masih kecil, aku selalu berdoa supaya Tuhan membawa ibu kembali pulang ke rumah, pulang ke sisiku. Aku menunggu … dan terus menunggu, hingga aku merasa sangat lelah. Tapi, Tuhan tetap tidak mau mendengar doaku. Akhirnya, aku memutuskan bila aku membenci – Nya.
Peristiwa itu memang telah berlangsung lama, tetapi masih membekas di dalam ingatan Dicka, sampai sekarang.
Aku yakin, suatu saat Tuhan pasti akan mendengarkanmu, batin Ana.
“Ayo, kita jalan – jalan saja,” ajak Ana. Dan, tanpa sadar dia memegang tangan Dicka.
“Hei … jangan tarik – tarik tanganku, dong. Kamu kan bukan anak kecil lagi.”
“Oh, sori,” jawab Ana sambil cepat – cepat melepaskan tangan Dicka.
Mereka pun berjalan – jalan di sekitar taman.
“Hei, kita kok kayak orang yang lagi pacaran?” Dicka hanya bermaksud bercanda, tetapi Ann tiba – tiba menjadi gugup. Tangannya terasa membeku, dingin sekali. Bahkan, dia sudah tidak sanggup menimpali kata – kata Dicka. Hanya kata ‘oh’, ‘ah’ yang keluar. Namun, Dicka sama sekali tidak menyadarinya.
Setelah puas melihat – lihat, melihat apanya? batin Ana, lha sebagian besar yang mereka lihat adalah orang yang sedang berpacaran.
“Ayo pulang,” kata Dicka mengagetkan Ana.
Dicka menggandeng tangan Ana. Ana yang terkejut segera melepaskan tangannya.
“Ups, sori. Nggak sadar. Suasananya mendukung banget, sih. Lagipula, sudah kebiasaan,” ujar Dicka meminta maaf.
“Sudah kebiasaan?” tanya Ana bingung.
“Gini lho. Cewek – cewek itu sukanya nempel terus sama aku. Aku cakep, sih. Biasanya, mereka mau aja kugandeng, terus …”
“Sudah! Sudah! Dasar cowok narsis,” sela Ana. Dia tidak ingin mendengar kelanjutan cerita Dicka.
“Ha … ha … ha …, nggak ada hubungannya, ya,” kata Dicka sambil tertawa. Kemarahannya tadi sudah menguap entah kemana.
Ana mempercepat langkahnya, meninggalkan Dicka yang masih bengong tidak mengerti.
“Eh, An. Tunggu!” kata Dicka setelah tersadar dari lamunanannya.
Akhirnya, dia berhasil juga mensejajari langkah Ana. Tiba – tiba, Dicka berkata,” Tapi, kamu itu beda banget. Nggak kayak cewek lain yang gampangan.”
Mau nggak mau, hati Ana berdebar mendegarnya. Aduh, mengapa jantungku hari ini terus – terusan kaget, sih? batin Ana.
Bila dapat mengatakan perasaannya dengan jujur, sesungguhnya dia mencintai Dicka. Kalau nggak, ngapain juga selama ini dia selalu membelanya, menolongnya. Ah, cinta memang kadang sungguh aneh. Mengapa dia bisa mengagumi cowok yang hobinya cuma kebut – kebutan, berkelahi nggak ada kapok – kapoknya. Namun, dia tidak pernah mendapat jawaban yang logis.
Dicka tidak pernah tahu, bila Ana menahan hatinya habis – habisan walau itu sangatlah menyiksa. Dia tidak ingin Dicka menganggap bahwa dia telah menodai persahabatan mereka. Sahabat? Ya, mereka hanya sekedar sahabat. Tidak lebih.
“Hei, cepetan turun, dong. Kamu tidur, ya. Sudah sampai di depan rumahmu, nih.”
“Apa?”
“Nggak denger, ya! Aku teriak, lho.”
“Ya … ya …, aku segera turun,” kata Ana.
“Ngapain aja kamu tadi?”
“Ah …”
“Kamu ngapain dari tadi?” ulang Dicka.
“Oh, lagi …”
Belum sempat Ana meneruskan kata – katanya, Dicka sudah memotong,”Lagi ngelamunin aku, ya? Aku kan cakep.”
“Dasar narsis!” jawab Ann sambil menepuk punggung Dicka agak keras.
“Adaaww, sakit tahu!”
“Biarin.”
Setelah berbicara beberapa saat, Dicka berlalu. Saat itu, Ana tidak sadar bila ayahnya sedang mengamatinya dari balik gorden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar