Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dicka. Dia berusaha menahan sakit yang menjalar, juga air matanya yang mati – matian ditahan agar tidak mengalir turun. Ayah tidak suka dengan anak yang cengeng. Lagipula, laki – laki tidak boleh mengeluarkan air mata.
“Yah, apa salah Dicka?”
“Masih berani bertanya apa salahmu, hah? Dasar anak keparat. Pergi saja sana ke neraka.”
Dicka hanya terdiam menedengar perkataan ayahnya. Hatinya merasa sangat sakit. Dia sering bertanya – tanya apakah bagi ayah dia hanyalah seonggok sampah busuk yang harus dilempar ke tengah jalanan?”
“Pukul saja. Biar sekalian Dicka mati. Biar ayah tidak malu lagi punya anak seperti Dicka,” katanya sinis.
“Kamu … kamu sudah berani melawan ayah, ya!” gertak ayahnya sambil melayangkan tinjunya ke wajah Dicka.
Tubuh Dicka terjengkang menabrak kursi yang ada di belakangnya. Darah tampak meleleh di sudut bibirnya.
Dicka masih tersungkur di lantai yang dingin. Sedangkan ayahnya berdiri angkuh di hadapannya.
“Bangun!” suara ayah menggelegar di telinga Dicka. Detik berikutnya, ayah mencengkeram kerah bajunya dan menghujaninya dengan pukulan yang seakan tak pernah berhenti. Mengapa ayah tega melakukan ini semua kepadanya?
Setelah itu, Dicka merasakan matanya menjadi kabur. Dia tidak melihat benda – benda di sekitarnya dengan jelas. Lalu, semua menjadi gelap.
Dulu, dulu sekali …, mereka adalah kelaurga yang bahagia. Walaupun ayah adalah seorang tentara berpangkat rendah dan ibu hanya membuka warung di depan rumah, dia mendapat kasih sayang yang utuh. Hingga suatu hari … pertengkaran itu terjadi. Pertengkaran yang mengubah hidup Dicka. Menjadi suram. Gambaran tentang sebuah keluarga yang harmonis sudah menghilang.
Dicka mengintip dari sela – sela pintu yang terbuka.
“Dasar wanita laknat! Berani – beraninya kau main mata dengan pria lain selama aku tidak ada di rumah,” ayah berteriak sambil menjambk rambut ibu. Ibu pun meronta lepas dari cengkeraman tangan ayah.
“Mana?” Mana janjimu dulu untuk membuatku bahagia?” ibu tidak kalh garang dari ayah.
Dicka memandang mereka berdua dengan ketakutan. Selama ini, dia tidak pernah melihat ayah dan ibunya saling mencaci maki. Dicka kecil, hanya tahu bila ibunya adalah seseorang yang lembut, tak pernah memarahinya dan ayah yang sayang padanya. Mengapa semuanya jadi begini?
“Aku sudah memberimu kebahagiaan.”
“Kebahagiaan apa? Rumah sempit dengan perabotannya yang dekil?”
Kali ini, ayah tidak menjawab.
“Sekarang, mau kamu apa?”
“Aku sudah tidak tahan lagi. Aku ingin keluar dari rumah sialan ini,” kata ibu sambil memasukkan baju – bajunya ke dalam tas.
“Kamu mau kemana?”
“Bukan urusanmu. Aku minta kau menceraikanku.”
“Tapi aku mencintaimu.”
“Makan saja cinta itu. Aku tidak butuh!”
Ibu pergi dari rumah tanpa sekalipun menoleh ke arah Dicka. Padahal, dia berada di dekat situ.
“Ibu … Ibu jangan pergi,” kata Dicka perlahan sambil membuntuti ibunya sampai di depan rumah. Dia pun menarik – narik baju ibunya.
“Lepaskan!” hardik ibunya kasar,”sana tinggal sama ayah.”
Dicka memandang ibunya samapi dia benar – benar berlalu. Kini, dia menemukan kenyataan yang pahit. Ibu tak pernah menyayanginya. Ibu meninggalkannya di saat dia sangat membutuhkan belaian kasih sayang.
Laulu, dia menghampiri ayahnya yang sedang tertunduk di dalam kamar.
“Ayah, kenapa Ibu pergi?” tanya Dicka.
“Anak sialan! Pergi jauh – jauh dari Ayah!”
“Tapi …”
“Pergi!” bentak ayahnya lagi.
Dicka kecil memang tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi telah terjadi antara ayah dan ibunya. Yang dia tahu, saat itu ayahnya hanya ingin sendiri.
Sepeninggalan ibu, perangai ayah menjadi berubah. Dia suka marah – marah hanya karena alasan yang sepele. Dia tidak pernah menggendong Dicka lagi seperti dulu. Ayah membiarkannya tumbuh sendiri tanpa pernah memberi perhatian yang cukup. Tak jarang, ayah memukulnya sampai Dicka menangis ketakutan. Apalagi, bila dia menyebut – nyebut nama ibu, ayah akan semakin menambah keras pukulannya.
“Ibu sudah mati! Mati! Ayah berteriak gusar,”ingat itu baik – baik,”
Dicka tidak berani membantah. Tidak hanya tubuhnya yang babak belur, tetapi juga prestasi di sekolahnya. Beberapa kali, dia dikeluarkan dari sekolah gara – gara berkelahi dengan murid lain. Guru – guru pun sampai kewalahan menghadapinya. Sewaktu SD, nilai akademik Dicka tidak bermasalah. Dia selalu menjadi juara kelas. Akan tetapi, bukankah dunia seringkali terasa tidak adil?
Mejelang usianya yang beranjak dewasa, Dicka pernah mengunjungi ibunya selama satu minggu. Namun, hanya kekecewaan yang dia temukan. Bukan pelukan sayang atau dekapan rindu.
Ibu tak pernah menganggapku hadir ke dunia, pikir Dicka getir.
Dia sama sekali tidak diacuhkan. Tidak pernah diperhatikan. Ibu tidak pernah sekalipun rindu kepadanya.
“Ibu, bolehkah aku memelukmu?” tanya Dicka. Namun, ibu hanya memandangnya dengan tatapan yang kosong, seolah dia adalah orang lain yang tidak punya hubungan apa – apa. Seolah tidak ada ikatan di antara mereka berdua.
“Ibu, bolehlah aku memelukmu?” ulangnya. Berharap ibunya akan datang dan menggendongnya, mengucapkan kalimat yang selama ini terus dirindukannya,” ibu menyayangimu, nak.”
Akan tetapi, ibu berlalu begitu saja, tanpa berkata apa – apa.
“Ibu, apa salahku? Mengapa kau perlakukan aku seperti ini?” batin Dicka putus asa.
Akhirnya, dia memutuskan untuk pulang ke rumah. Dengan menjinjing tas kecil, dia berjalan terseok – seok tanpa semangat. Dia merasa kecil, terbuang, dan mungkin saja dibuang. Ketika menoleh, dia melihat ayah tirinya, suami ibunya yang baru, memandang kepergiannya dari depan pintu. Tak ada yang berbaik hati, walaupun hanya berpura – pura, untuk mengantarnya pulang.
Sesampai di rumah, ayah tenang – tenang saja menyambut kepulangannya. Ayah seakan tidak khawatir dia pergi kemana pun asal tidak menyusahkannya saja.
“Darimana?” tanya ayah sambil lalu.
Dengan takut – takut, Dicka menjawab,”Dari rumah ibu, yah.”
“Apa?” kata ayah dengan geram,” Apa katamu?”
Dicka hanya menunduk, tidak berani menatap mata ayahnya.
“Dari … rumah ibu,” ulang Dicka pelan. Pelan sekali. Tetapi, Dicka tahu bila ayah mendengarnya.
Lalu, dunia seakan menjadi neraka bagi Dicka. Ayah mencengkeram pundaknya dan mulai membenturkan kepalanya ke dinding hingga dinding itu berubah warna menjadi merah.
“Ampun, yah …” kata Dicka memelas.
“Perempuan laknat seperti dia tak pantas menjadi ibumu.”
“Ya, Dicka berjanji nggak akan pernah menemui Ibu lagi.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Dicka, menuruni pipinya. Kepalanya sakit sekali, samapai mau mati saja rasanya. Bahkan, dia sempat berdoa kepada Tuhan, yang kata orang – orang ada di atas sana,” Tuhan, ambil saja nyawaku ini. Aku tidak ingin hidup lebih lama lagi.”
Namun, Tuhan tidak pernah mau mengabulkan permohonannya. Dicka masih saja terbangun menatap dunia nyata.
“Bagus!” katanya pada Dicka. Lalu, ayah tersenyum sambil menyeringai. Seringai yang terasa menakutkan bagi Dicka. Ayah tidak pernah main – main dengan ancamannya.
Dicka berjalan tertatih – tatih menuju ke kamarnya, kalau bisa disebut sebagai kamar. Semuanya berantakan di sana sini dengan perabotan yang sudah tua. Meja, tempat tidur, almari tidak pernah diganti sejak dua puluh tahun yang lalu. Yang terbaru, hanyalah poster Maroon 5 yang baru dipasangnya tiga hari yang lalu.
“Kamu mau tahu caranya bunuh diri?” Tiba – tiba, Dicka mendengar sebuah suara dan dia menjadi kaget.
“Apa?” katanya pelan. Entah pada siapa dia bertanya.
“Kamu mau tahu caranya bunuh diri?” Suara itu kembali terdengar. Bulu kuduk Dicka sudah benar – benar meremang sekarang.
“Gantung dirimu pada seutas tali.”
“Minum alat pembasmi nyamuk.”
“Campur air dengan racun tikus.”
“Potong nadimu dengan pisau dapur.”
Suara itu terdengar berulang – ulang memenuhi isi kepala Dicka. Tidak mau berhenti, walaupun dia sudah menutup rapat – rapat telinganya.
“Mau kamu apa?” teriak Dicka dengan hati berdebar.
“Dicka kamu sudah terlalu lama menderita. Sudah saatnya kau mengakhiri semuanya. Kamu tahu? Keluargamu tidak pernah menyayangimu. Bahkan, mereka selalu meyalahkanmu walaupun kamu tidak berbuat kesalahan. Ayahmu memukulimu, padahal kamu hanya ingin membelanya saat teman – temanmu menjulukinya ‘si tukang mabuk’. Juga, ibumu yang tidak pernah mencintaimu, walaupun kau selalu berusaha menyenangkan hatinya.
“Tidak! Ayah dan ibu menyayangiku.”
Suara itu membantah,”Apa buktinya? Mereka justru menelantarkanmu. Mereka terlalu egois dan hanya mementingkan kesenangan pribadi. Dicka … kamu tidak berharga … tidak berharga … tidak berharga …”
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”
“Ambillah pisau di meja dan potong nadimu.”
Seperti ada tenaga tak terlihat yang memaksanya untuk mengambil pisau itu. Dan, cress … darah pun muncrat kemana – mana.
Dicka terbangun dengan napas terengah – engah. Bajunya basah terkena keringat yang mengalir deras. Ya, ternyata dia telah bermimpi buruk, sangat buruk. Tanpa sadar, dia tertidur tadi.
Ketika keluar dari kamar, dia tidak melihat ayahnya. Badannya masih terasa sakit. Apalagi, jika nanti digunakan untuk mandi, dia pasti akan meringis menahan sakit. Ya! Selama ini, dia memang sering memancing kemarahan ayahnya. Tetapi, kali ini berbeda. Dia berkelahi bukan untuk pamer, dia benar – benar menggunakannya untuk kebenaran, kalau memang dia masih pantas untuk menyebutnya. Namun, ayah tidak sedikitpun percaya pada ucapannya.
Kebahagiaan tidak pernah lagi singgah di hatinya, hingga dia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi bahagia. Selama ini, dia hidup dengan menyimpan perasaan iri, marah, sedih, kecewa yang tidak pernah habis.
Saat ini, Dicka ada di depan rumah Ana, bersembunyi di balik kerimbunan pohon. Lama, dia memandang sekeliling. Tak ada siapapun. Entahlah, ketika dia mengendarai motornya, dia ingin pergi ke sini.
“Dicka!” panggil seseorang. Dia pun segera menoleh dan melihat Ana sedang menatap heran kepadanya.
“Wajahmu kenapa? Berkelahi lagi?” tanya Ana khawatir,”ayo masuk!”
“Aku boleh masuk ke rumahmu?”
“Ya iyalah. Lagian ngapain kamu di situ dari tadi?”
Jadi, Ana sudah lama melihat aku, pikir Dicka.
Dalam sepuluh menit berikutnya, Ana mulai menasihatinya macam – macam sambil mengoleskan antiseptik. Intinya, Ana menyuruh Dicka supaya tidak berkelahi lagi sampai babak belur seperti ini.
“Jadi, siapa yang memukulmu?” tanya Ana akhirnya.
Sebenarnya, Dicka tidak ingin mengatakannya, tetapi Ana terus saja mendesak. Dia pun menyerah dan menjawab singkat,”Ayah.”
“Hah?” kata Ana terlonjak kaget,”jadi, semua ini gara – gara aku?”
“Iya, makanya aku jadi begini. Gara – gara ngebelain kamu,” kata Dicka terus terang. Namun, kemudian dia segera menyambung,”nggak apa – apa. Sudah biasa! Lagipula, tindakanku benar, kok.”
“Sudah biasa apanya?”
“Sudah biasa dipukul,” kata Dicka. Ana samapi merasa heran, Dicka mengucapkannya dengan enteng sekali.
“Mengapa kamu peduli padaku?”
“Yah, anggap saja sebagai balas budi. Aku nggak akan pernah melupakan apa yang sudah kamu lakukan untukku. Bagaimana kalau kita berteman?”
“Kamu mau berteman dengan orang seperti aku?” Dicka sempat menyangsikan ucapan Ana.
“Emangnya ada apa denganmu?”
“Aku beritahu, ya. Aku itu kasar, jelek, suka berantem, kebut – kebutan, …”
“Kalau memang begitu, apa salahnya? Aku percaya kamu bisa berubah jika kau mau.”
“Yah, apa salah Dicka?”
“Masih berani bertanya apa salahmu, hah? Dasar anak keparat. Pergi saja sana ke neraka.”
Dicka hanya terdiam menedengar perkataan ayahnya. Hatinya merasa sangat sakit. Dia sering bertanya – tanya apakah bagi ayah dia hanyalah seonggok sampah busuk yang harus dilempar ke tengah jalanan?”
“Pukul saja. Biar sekalian Dicka mati. Biar ayah tidak malu lagi punya anak seperti Dicka,” katanya sinis.
“Kamu … kamu sudah berani melawan ayah, ya!” gertak ayahnya sambil melayangkan tinjunya ke wajah Dicka.
Tubuh Dicka terjengkang menabrak kursi yang ada di belakangnya. Darah tampak meleleh di sudut bibirnya.
Dicka masih tersungkur di lantai yang dingin. Sedangkan ayahnya berdiri angkuh di hadapannya.
“Bangun!” suara ayah menggelegar di telinga Dicka. Detik berikutnya, ayah mencengkeram kerah bajunya dan menghujaninya dengan pukulan yang seakan tak pernah berhenti. Mengapa ayah tega melakukan ini semua kepadanya?
Setelah itu, Dicka merasakan matanya menjadi kabur. Dia tidak melihat benda – benda di sekitarnya dengan jelas. Lalu, semua menjadi gelap.
Dulu, dulu sekali …, mereka adalah kelaurga yang bahagia. Walaupun ayah adalah seorang tentara berpangkat rendah dan ibu hanya membuka warung di depan rumah, dia mendapat kasih sayang yang utuh. Hingga suatu hari … pertengkaran itu terjadi. Pertengkaran yang mengubah hidup Dicka. Menjadi suram. Gambaran tentang sebuah keluarga yang harmonis sudah menghilang.
Dicka mengintip dari sela – sela pintu yang terbuka.
“Dasar wanita laknat! Berani – beraninya kau main mata dengan pria lain selama aku tidak ada di rumah,” ayah berteriak sambil menjambk rambut ibu. Ibu pun meronta lepas dari cengkeraman tangan ayah.
“Mana?” Mana janjimu dulu untuk membuatku bahagia?” ibu tidak kalh garang dari ayah.
Dicka memandang mereka berdua dengan ketakutan. Selama ini, dia tidak pernah melihat ayah dan ibunya saling mencaci maki. Dicka kecil, hanya tahu bila ibunya adalah seseorang yang lembut, tak pernah memarahinya dan ayah yang sayang padanya. Mengapa semuanya jadi begini?
“Aku sudah memberimu kebahagiaan.”
“Kebahagiaan apa? Rumah sempit dengan perabotannya yang dekil?”
Kali ini, ayah tidak menjawab.
“Sekarang, mau kamu apa?”
“Aku sudah tidak tahan lagi. Aku ingin keluar dari rumah sialan ini,” kata ibu sambil memasukkan baju – bajunya ke dalam tas.
“Kamu mau kemana?”
“Bukan urusanmu. Aku minta kau menceraikanku.”
“Tapi aku mencintaimu.”
“Makan saja cinta itu. Aku tidak butuh!”
Ibu pergi dari rumah tanpa sekalipun menoleh ke arah Dicka. Padahal, dia berada di dekat situ.
“Ibu … Ibu jangan pergi,” kata Dicka perlahan sambil membuntuti ibunya sampai di depan rumah. Dia pun menarik – narik baju ibunya.
“Lepaskan!” hardik ibunya kasar,”sana tinggal sama ayah.”
Dicka memandang ibunya samapi dia benar – benar berlalu. Kini, dia menemukan kenyataan yang pahit. Ibu tak pernah menyayanginya. Ibu meninggalkannya di saat dia sangat membutuhkan belaian kasih sayang.
Laulu, dia menghampiri ayahnya yang sedang tertunduk di dalam kamar.
“Ayah, kenapa Ibu pergi?” tanya Dicka.
“Anak sialan! Pergi jauh – jauh dari Ayah!”
“Tapi …”
“Pergi!” bentak ayahnya lagi.
Dicka kecil memang tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi telah terjadi antara ayah dan ibunya. Yang dia tahu, saat itu ayahnya hanya ingin sendiri.
Sepeninggalan ibu, perangai ayah menjadi berubah. Dia suka marah – marah hanya karena alasan yang sepele. Dia tidak pernah menggendong Dicka lagi seperti dulu. Ayah membiarkannya tumbuh sendiri tanpa pernah memberi perhatian yang cukup. Tak jarang, ayah memukulnya sampai Dicka menangis ketakutan. Apalagi, bila dia menyebut – nyebut nama ibu, ayah akan semakin menambah keras pukulannya.
“Ibu sudah mati! Mati! Ayah berteriak gusar,”ingat itu baik – baik,”
Dicka tidak berani membantah. Tidak hanya tubuhnya yang babak belur, tetapi juga prestasi di sekolahnya. Beberapa kali, dia dikeluarkan dari sekolah gara – gara berkelahi dengan murid lain. Guru – guru pun sampai kewalahan menghadapinya. Sewaktu SD, nilai akademik Dicka tidak bermasalah. Dia selalu menjadi juara kelas. Akan tetapi, bukankah dunia seringkali terasa tidak adil?
Mejelang usianya yang beranjak dewasa, Dicka pernah mengunjungi ibunya selama satu minggu. Namun, hanya kekecewaan yang dia temukan. Bukan pelukan sayang atau dekapan rindu.
Ibu tak pernah menganggapku hadir ke dunia, pikir Dicka getir.
Dia sama sekali tidak diacuhkan. Tidak pernah diperhatikan. Ibu tidak pernah sekalipun rindu kepadanya.
“Ibu, bolehkah aku memelukmu?” tanya Dicka. Namun, ibu hanya memandangnya dengan tatapan yang kosong, seolah dia adalah orang lain yang tidak punya hubungan apa – apa. Seolah tidak ada ikatan di antara mereka berdua.
“Ibu, bolehlah aku memelukmu?” ulangnya. Berharap ibunya akan datang dan menggendongnya, mengucapkan kalimat yang selama ini terus dirindukannya,” ibu menyayangimu, nak.”
Akan tetapi, ibu berlalu begitu saja, tanpa berkata apa – apa.
“Ibu, apa salahku? Mengapa kau perlakukan aku seperti ini?” batin Dicka putus asa.
Akhirnya, dia memutuskan untuk pulang ke rumah. Dengan menjinjing tas kecil, dia berjalan terseok – seok tanpa semangat. Dia merasa kecil, terbuang, dan mungkin saja dibuang. Ketika menoleh, dia melihat ayah tirinya, suami ibunya yang baru, memandang kepergiannya dari depan pintu. Tak ada yang berbaik hati, walaupun hanya berpura – pura, untuk mengantarnya pulang.
Sesampai di rumah, ayah tenang – tenang saja menyambut kepulangannya. Ayah seakan tidak khawatir dia pergi kemana pun asal tidak menyusahkannya saja.
“Darimana?” tanya ayah sambil lalu.
Dengan takut – takut, Dicka menjawab,”Dari rumah ibu, yah.”
“Apa?” kata ayah dengan geram,” Apa katamu?”
Dicka hanya menunduk, tidak berani menatap mata ayahnya.
“Dari … rumah ibu,” ulang Dicka pelan. Pelan sekali. Tetapi, Dicka tahu bila ayah mendengarnya.
Lalu, dunia seakan menjadi neraka bagi Dicka. Ayah mencengkeram pundaknya dan mulai membenturkan kepalanya ke dinding hingga dinding itu berubah warna menjadi merah.
“Ampun, yah …” kata Dicka memelas.
“Perempuan laknat seperti dia tak pantas menjadi ibumu.”
“Ya, Dicka berjanji nggak akan pernah menemui Ibu lagi.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Dicka, menuruni pipinya. Kepalanya sakit sekali, samapai mau mati saja rasanya. Bahkan, dia sempat berdoa kepada Tuhan, yang kata orang – orang ada di atas sana,” Tuhan, ambil saja nyawaku ini. Aku tidak ingin hidup lebih lama lagi.”
Namun, Tuhan tidak pernah mau mengabulkan permohonannya. Dicka masih saja terbangun menatap dunia nyata.
“Bagus!” katanya pada Dicka. Lalu, ayah tersenyum sambil menyeringai. Seringai yang terasa menakutkan bagi Dicka. Ayah tidak pernah main – main dengan ancamannya.
Dicka berjalan tertatih – tatih menuju ke kamarnya, kalau bisa disebut sebagai kamar. Semuanya berantakan di sana sini dengan perabotan yang sudah tua. Meja, tempat tidur, almari tidak pernah diganti sejak dua puluh tahun yang lalu. Yang terbaru, hanyalah poster Maroon 5 yang baru dipasangnya tiga hari yang lalu.
“Kamu mau tahu caranya bunuh diri?” Tiba – tiba, Dicka mendengar sebuah suara dan dia menjadi kaget.
“Apa?” katanya pelan. Entah pada siapa dia bertanya.
“Kamu mau tahu caranya bunuh diri?” Suara itu kembali terdengar. Bulu kuduk Dicka sudah benar – benar meremang sekarang.
“Gantung dirimu pada seutas tali.”
“Minum alat pembasmi nyamuk.”
“Campur air dengan racun tikus.”
“Potong nadimu dengan pisau dapur.”
Suara itu terdengar berulang – ulang memenuhi isi kepala Dicka. Tidak mau berhenti, walaupun dia sudah menutup rapat – rapat telinganya.
“Mau kamu apa?” teriak Dicka dengan hati berdebar.
“Dicka kamu sudah terlalu lama menderita. Sudah saatnya kau mengakhiri semuanya. Kamu tahu? Keluargamu tidak pernah menyayangimu. Bahkan, mereka selalu meyalahkanmu walaupun kamu tidak berbuat kesalahan. Ayahmu memukulimu, padahal kamu hanya ingin membelanya saat teman – temanmu menjulukinya ‘si tukang mabuk’. Juga, ibumu yang tidak pernah mencintaimu, walaupun kau selalu berusaha menyenangkan hatinya.
“Tidak! Ayah dan ibu menyayangiku.”
Suara itu membantah,”Apa buktinya? Mereka justru menelantarkanmu. Mereka terlalu egois dan hanya mementingkan kesenangan pribadi. Dicka … kamu tidak berharga … tidak berharga … tidak berharga …”
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”
“Ambillah pisau di meja dan potong nadimu.”
Seperti ada tenaga tak terlihat yang memaksanya untuk mengambil pisau itu. Dan, cress … darah pun muncrat kemana – mana.
Dicka terbangun dengan napas terengah – engah. Bajunya basah terkena keringat yang mengalir deras. Ya, ternyata dia telah bermimpi buruk, sangat buruk. Tanpa sadar, dia tertidur tadi.
Ketika keluar dari kamar, dia tidak melihat ayahnya. Badannya masih terasa sakit. Apalagi, jika nanti digunakan untuk mandi, dia pasti akan meringis menahan sakit. Ya! Selama ini, dia memang sering memancing kemarahan ayahnya. Tetapi, kali ini berbeda. Dia berkelahi bukan untuk pamer, dia benar – benar menggunakannya untuk kebenaran, kalau memang dia masih pantas untuk menyebutnya. Namun, ayah tidak sedikitpun percaya pada ucapannya.
Kebahagiaan tidak pernah lagi singgah di hatinya, hingga dia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi bahagia. Selama ini, dia hidup dengan menyimpan perasaan iri, marah, sedih, kecewa yang tidak pernah habis.
Saat ini, Dicka ada di depan rumah Ana, bersembunyi di balik kerimbunan pohon. Lama, dia memandang sekeliling. Tak ada siapapun. Entahlah, ketika dia mengendarai motornya, dia ingin pergi ke sini.
“Dicka!” panggil seseorang. Dia pun segera menoleh dan melihat Ana sedang menatap heran kepadanya.
“Wajahmu kenapa? Berkelahi lagi?” tanya Ana khawatir,”ayo masuk!”
“Aku boleh masuk ke rumahmu?”
“Ya iyalah. Lagian ngapain kamu di situ dari tadi?”
Jadi, Ana sudah lama melihat aku, pikir Dicka.
Dalam sepuluh menit berikutnya, Ana mulai menasihatinya macam – macam sambil mengoleskan antiseptik. Intinya, Ana menyuruh Dicka supaya tidak berkelahi lagi sampai babak belur seperti ini.
“Jadi, siapa yang memukulmu?” tanya Ana akhirnya.
Sebenarnya, Dicka tidak ingin mengatakannya, tetapi Ana terus saja mendesak. Dia pun menyerah dan menjawab singkat,”Ayah.”
“Hah?” kata Ana terlonjak kaget,”jadi, semua ini gara – gara aku?”
“Iya, makanya aku jadi begini. Gara – gara ngebelain kamu,” kata Dicka terus terang. Namun, kemudian dia segera menyambung,”nggak apa – apa. Sudah biasa! Lagipula, tindakanku benar, kok.”
“Sudah biasa apanya?”
“Sudah biasa dipukul,” kata Dicka. Ana samapi merasa heran, Dicka mengucapkannya dengan enteng sekali.
“Mengapa kamu peduli padaku?”
“Yah, anggap saja sebagai balas budi. Aku nggak akan pernah melupakan apa yang sudah kamu lakukan untukku. Bagaimana kalau kita berteman?”
“Kamu mau berteman dengan orang seperti aku?” Dicka sempat menyangsikan ucapan Ana.
“Emangnya ada apa denganmu?”
“Aku beritahu, ya. Aku itu kasar, jelek, suka berantem, kebut – kebutan, …”
“Kalau memang begitu, apa salahnya? Aku percaya kamu bisa berubah jika kau mau.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar