Selasa, 28 Juli 2009

Sosok Ayah di Mataku

Ayah sama sekali tidak pernah memikirkan apakah aku bahagia atau tidak. bagi beliau, yang terpenting adalah aku bersekolah setnggi mungkin, bila perlu hingga mencapai langit beliau tidak tahu, bahwa di balik tingginya ilmu pengetahuan, ada sepotong hati yang merintih merindukan kasih sayang. Hingga berumur 20 tahun, aku belum pernah berpacaran. Banyak kendala yan mesti dihadapi. Ayah bagaikan sebuah tembok berukuran 10 meter hingga aku pun merasa tercekik. Tolong! Berkali-kali aku mencoba berteriak meminta tolong. Namun, tidak ada seorang pun yang menghampiri. Berkali-kali pula aku menabrakkan diri ke tembok itu. Akan tetapi, tembok itu sama sekali tidak bergeming. Walau aku terluka, tembok itu tetap berdiri angkuh di hadapanku, seakan menertawakan semua kebodohanku.

Ayah menginginkan bila suatu saat aku menemukan seorang pria yang tepat, dalam artian bahwa pria itu mempunyai masa depan yang jelas, memiliki orang tua yang masih utuh, berperilaku sopan dan baik. Kemudian, pertanyaannya adalah apakah pria itu dapat menjamin bahwa aku akan merasa bahagia? Rasa cinta, rasa sayang tidak bisa dipaksakan hadir dalam sekejap. Apabila cinta itu pernah menyapa hidupku, apakah aku akan bahagia? Banyak orang yang mengatakan bahwa cinta bisa datang setelah kita menikah. Namun, lagi-lagi … apakah semua itu benar adanya?

Aku sungguh ketakutan membayangkannya. Lihat saja Ibu! Ibu mengatakan kepadaku bahwa hubungan pernikahan yang dijalaninya selama hampir 21 tahun ini hanyalah merupakan sebuah kewajiban belaka. Kata beliau, salah satu kodrat manusia itu menikah. Dan, Ibu pun melaluinya dengan baik, tetapi tetap dengan membawa kesalahan yang cukup vital, yaitu tidak ada cinta Ibu untuk bapak. Sama sekali! Bahkan, rasa nyaman pun tidak pernah ada. Jadi, selama ini Ibu hidup untuk melihat anak-anaknya tumbuh besar dan bahagia, walaupun beliau sendiri tidak merasakan kebahagiaan itu, berarti, aku terlahir ke dunia ini tanpa cinta antara kedua orang tua.

Ayah lebih menyayangi Ibu daripada anak-anaknya. Is it true? Pada saat diterima melalui jalur Ujian Mandiri Undip Fakultas Teknik S1 PWK, aku diharuskan membayar total uang sebesar 19 juta. Suatu nilai yang cukup besar di mata keluarga. Lalu, Ayah berkata apa? Sekolah kok menghabiskan uang saja, ga perlu dimasuki UM itu. Biar D3 juga tidak apa-apa, yang terpenting kamu sekolah saja yang benar! Pada saat itu, aku suda mau menangis saja. Aku langsung saja berpikit bahwa aku sudah menghabiskan banyak uang orang tua untuk bersekolah. Apa aku memang tidak berguna? Akhirnya, Ibu pun berjanji bakal membayar uang 19 juta itu kepada Ayah kalau satu-satunya warisan rumah beliau laku dijual. Berarti, Ibu lah yang sebenarnya membiayai sekolahku. Ibu adalah sosok yang kuat dan mandiri di mataku. Beliau adalah segalanya.

Banyak contoh yang bisa diambil dari Ayah yang tidak menyayangi anak-anaknya. Pada waktu kecil, adikku pernah meminta uang jajan, tetapi tidak pernah diberi dengan alasan pemborosan saja. Padahal, adikku sangat jarang meminta kepada Ayah. Hingga sekarang pun, aku maupun adikku malas meminta uang kepada Ayah. Percuma saja! Pada saat pendaftaran masuk SMP, adikku dihadang oleh ibu-ibu yang takut adikku mendaftar di sekolah itu, sehingga nilai anaknya menjadi tergeser ke bawah. Adikku tentu saja ketakutan. Lalu, dimana Ayah? Dengan seenaknya, Ayah malah mengobrol dengan teman yang ditemuinya. Mungkin tidak sadar adikku sedang mengalami kesusahan, atau mungkin tidak peduli? Pada waktu kecil, adikku lah yang disuruh foto copy, sementara Ayah duduk tenang di atas sepeda motor? Tahu apa to anak kecil soal foto copy? Kemudian, pada waktu piknik ke Bandung, Ayah memilih tempat duduk yang lebih hangat daripada tempat dudukku. Sementara, aku menggigil kedinginan hingga sakit perut segala, Ayah justru acuh tak acuh begitu saja. Pada saat kecil, aku pergi ke Taman Jurug bersama Ayah. Aku dibiarkan saja, sedangkan Ayah malah asyik pergi sambil bercengkerama dengan teman-temannya. Beliau tidak ingat padaku, apakah aku menghilang atau tidak, apakah aku tersesat atau tidak? Aku ingin menangis, tetapi kutahan-tahan saja. Kapok aku pergi dengan beliau.

Tanpa disadarinya, Ayah suka menjatuhkan mental seseorang. Beliau sering berkata hal0hal yang bernada negatif dan memojokkan, seperti “bodoh”, “gendut”, dan lain-lain. sama sekali tidak ada kata penghiburan di dalamnya. Yang ada, aku hanya merasa sakit hati bila berhadapan dengan Ayah. Mungkin, bila hanya ada Ayah, hidupku akan kehilangan arah. Entah apakah aku akan mendapatkan kasih sayang atau tidak. selama ini aku sdah merasa sangat cukup dengan kasih sayang Ibu. Aku ini selalu mengaku bila aku adalah 100% anak Ibu. Aku sangat sayang dengan beliau. Ibu lah yang selalu memahamiku dan menjagaku. Beliau adalah sosok Ibu sekaligus Ayah yang ideal di mataku. Luph U, Mom …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar