Berdasarkan cerita yang saya dengar, kisah Pintu Gerbang Majapahit dimulai ketika Kebo Anabrang ingin memperistri putri Sunan Muria. Nah, syarat yang diajukan oleh putri tersebut cukup berat, yaitu mengangkat Pintu Gerbang Majapahit, dimana Kerajaan Majapahit itu sendiri terletak di Provinsi Jawa Timur. Demi cintanya yang sangat besar dan agar dapat menikah dengan sang putri, maka Kebo Anabrang menyanggupi dan berusaha memenuhi permintaan itu. Kebo Anabrang pergi ke Majapahit dan mulai mengangkat Pintu Gerbang Majapahit. Perjalanan dari Jawa Timur menuju Gunung Muria sangatlah jauh dan berat. Akhirnya, ketika sampai di desa Rendole, Kebo Anabrang sudah tidak kuat lagi. Hal ini mengingat kondisi geografis Desa Rendole yang mulai menanjak. Kebo Anabrang pun disuruh menunggu Pintu Gerbang Majapahit itu hingga meninggal dunia.
Walaupun hanya mitos – cerita dari mulut ke mulut yang tidak diketahui bagaimana kebenarannya, tetapi apabila dipikir secara nalar, rasanya tidak masuk akal juga. Bagaimana cara mengangkut pintu gerbang sebesar itu pada zaman dahulu? Dan, untuk tujuan apa pintu gerbang diangkat hingga Desa Rendole? Apalagi Pintu Gerbang Majapahit ini terbuat dari kayu jati yang telah berusia ratusan tahun. Bagaimana bisa kayu jati seawet itu? Apakah ada kekuatan magis yang melingkupi?
Daya Tarik dan Aksesibilitas Menuju Pintu Gerbang Majapahit
Saya sendiri masih heran, daya tarik apa yang sebenarnya terdapat pada Pintu Gerbang Majapahit? Apabila tidak mengetahui sejarah dari pintu gerbang tersebut, maka kita pun bisa-bisa hanya menganggapnya sebagai pintu reot yang berusia ratusan tahun. Nah, ketika mengetahui sejarahnya, kita pun dapat menjadi takjub, bagaimana mungkin Pintu Gerbang Majapahit tersebut masih berdiri kokoh dan tidak lapuk dimakan usia.
Sedangkan, aksesibilitas menuju Pintu Gerbang Majapahit cukup mudah. Jarak dari jalan lokal ke jalan lingkungan – atau dengan kata lain, jarak jalan lokal dengan gang masuk menuju Pintu Gerbang Majapahit sangatlah dekat, yaitu kurang dari 100 meter, dimana kondisi jalan yang tergolong baik – sudah beraspal. Sedangkan, jarak objek wisata ini dengan pusat kota hanya sekitar 4 kilometer. Apalagi, lokasi Pintu Gerbang Majapahit tidak jauh dari Stadion Joyokusumo. Ikuti saja jalur menuju Gembong, dan berhentilah ketika sampai tepat di depan SDN Muktiharjo. Di seberang jalan akan kita temui signate sederhana berwarna putih yang menjadi petunjuk keberadaan objek wisata Pintu Gerbang Majapahit.
Signate Pintu Gerbang Majapahit
Signate atau yang biasa kita kenal sebagai papan penunjuk jalan, merupakan suatu tanda penting bagi pengenalan Pintu Gerbang Majapahit. Besar kecilnya signate ataupun jelas tidaknya signate akan mempengaruhi minat seseorang untuk berkunjung. Wajar saja, sebab Pintu Gerbang Majapahit terletak di sebuah gang kecil, sehingga apabila kita tidak teliti, mungkin saja kita tersesat dan justru berputar-putar di jalan tanpa mengetahui arah. Bagi orang-orang yang tinggal di sekitar Pintu Gerbang Majapahit tidak akan menjadi masalah, tetapi untuk orang-orang Kabupaten Pati sendiri yang lokasinya jauh atau orang-orang dari daerah lain yang sengaja datang, sangatlah tidak lucu jika mereka tersesat. Kemudian, satu-satunya cara yang yang dapat ditempuh adalah dengan bertanya pada masyarakat yang berada sekitar Pintu Gerbang Majapahit. Langkah ini sangatlah tidak efektif bagi para pengunjung, karena dapat menimbulkan keengganan mereke untuk kembali mengunjungi salah satu objek wisat sejarah di Kabupaten Pati ini. Apalagi, ditambah dengan tiadanya papan informasi pariwisata, yang sedikitnya dapat menggambarkan potensi wisata apa saja yang dimiliki.
Perhatian Pemerintah Kabupaten Pati
Selama ini tidak ada biaya retribusi masuk ke objek wisata Pintu Gerbang Majapahit. Akan tetapi, mengapa jarang ada orang yang sekedar datang berkunjung? Walaupun ada, hanya ada serombongan kecil yang melihat-lihat. Apabila persepsi orang selalu diarahkan kepada “hanya melihat pintu gerbang”, maka tidak akan ada pengunjung yang tertarik.
Gambar 1.1
Pintu Gerbang Majapahit
Pintu Gerbang Majapahit
Walaupun hanya mitos – cerita dari mulut ke mulut yang tidak diketahui bagaimana kebenarannya, tetapi apabila dipikir secara nalar, rasanya tidak masuk akal juga. Bagaimana cara mengangkut pintu gerbang sebesar itu pada zaman dahulu? Dan, untuk tujuan apa pintu gerbang diangkat hingga Desa Rendole? Apalagi Pintu Gerbang Majapahit ini terbuat dari kayu jati yang telah berusia ratusan tahun. Bagaimana bisa kayu jati seawet itu? Apakah ada kekuatan magis yang melingkupi?
Daya Tarik dan Aksesibilitas Menuju Pintu Gerbang Majapahit
Saya sendiri masih heran, daya tarik apa yang sebenarnya terdapat pada Pintu Gerbang Majapahit? Apabila tidak mengetahui sejarah dari pintu gerbang tersebut, maka kita pun bisa-bisa hanya menganggapnya sebagai pintu reot yang berusia ratusan tahun. Nah, ketika mengetahui sejarahnya, kita pun dapat menjadi takjub, bagaimana mungkin Pintu Gerbang Majapahit tersebut masih berdiri kokoh dan tidak lapuk dimakan usia.
Sedangkan, aksesibilitas menuju Pintu Gerbang Majapahit cukup mudah. Jarak dari jalan lokal ke jalan lingkungan – atau dengan kata lain, jarak jalan lokal dengan gang masuk menuju Pintu Gerbang Majapahit sangatlah dekat, yaitu kurang dari 100 meter, dimana kondisi jalan yang tergolong baik – sudah beraspal. Sedangkan, jarak objek wisata ini dengan pusat kota hanya sekitar 4 kilometer. Apalagi, lokasi Pintu Gerbang Majapahit tidak jauh dari Stadion Joyokusumo. Ikuti saja jalur menuju Gembong, dan berhentilah ketika sampai tepat di depan SDN Muktiharjo. Di seberang jalan akan kita temui signate sederhana berwarna putih yang menjadi petunjuk keberadaan objek wisata Pintu Gerbang Majapahit.
Signate Pintu Gerbang Majapahit
Signate atau yang biasa kita kenal sebagai papan penunjuk jalan, merupakan suatu tanda penting bagi pengenalan Pintu Gerbang Majapahit. Besar kecilnya signate ataupun jelas tidaknya signate akan mempengaruhi minat seseorang untuk berkunjung. Wajar saja, sebab Pintu Gerbang Majapahit terletak di sebuah gang kecil, sehingga apabila kita tidak teliti, mungkin saja kita tersesat dan justru berputar-putar di jalan tanpa mengetahui arah. Bagi orang-orang yang tinggal di sekitar Pintu Gerbang Majapahit tidak akan menjadi masalah, tetapi untuk orang-orang Kabupaten Pati sendiri yang lokasinya jauh atau orang-orang dari daerah lain yang sengaja datang, sangatlah tidak lucu jika mereka tersesat. Kemudian, satu-satunya cara yang yang dapat ditempuh adalah dengan bertanya pada masyarakat yang berada sekitar Pintu Gerbang Majapahit. Langkah ini sangatlah tidak efektif bagi para pengunjung, karena dapat menimbulkan keengganan mereke untuk kembali mengunjungi salah satu objek wisat sejarah di Kabupaten Pati ini. Apalagi, ditambah dengan tiadanya papan informasi pariwisata, yang sedikitnya dapat menggambarkan potensi wisata apa saja yang dimiliki.
Perhatian Pemerintah Kabupaten Pati
Selama ini tidak ada biaya retribusi masuk ke objek wisata Pintu Gerbang Majapahit. Akan tetapi, mengapa jarang ada orang yang sekedar datang berkunjung? Walaupun ada, hanya ada serombongan kecil yang melihat-lihat. Apabila persepsi orang selalu diarahkan kepada “hanya melihat pintu gerbang”, maka tidak akan ada pengunjung yang tertarik.
Gambar 1.5
Pintu Gerbang Majapahit yang Dikelola
Balai Pelestarian Purbakala Jawa Tengah
Saya merasa, pemerintah daerah Kabupaten Pati kurang memberi perhatian terhadap obyek wisata ini. Dinas Kebudayaan yang dimiliki hanya berperan sebagai instansi saja, tanpa memiliki usaha apapun untuk lebih mengembangkan objek wisata di kabupaten tersebut? Apakah pemerintah daerah hanya mempedulikan objek wisata yang mampu mendatangkan keuntungan saja? Sebenarnya, tidak hanya Pintu Gerbang Majapahit saja, tetapi objek wisata lain juga tidak diperhatikan, berbanding terbalik dengan janji yang diucapkan pemerintah. Lalu, apa yang dikerjakan oleh Dinas Kebudayaan? Untuk apa Dinas Kebudayaan ada, sedangkan tidak memiliki fungsi? Apa hanya ingin pamer saja? Saya ingin tahu …Pintu Gerbang Majapahit yang Dikelola
Balai Pelestarian Purbakala Jawa Tengah
07 Agustus 2009
makna ukiran pintu gerbang majapahit sebenarnya adalah sengkalan memet (berisi kode enkripsi tentang tahun peristiwa) yang kalau dijabarkan berarti tahun 1542 Saka atau 1620 Masehi...lihatlah 4 bingkai ukiran reliefnya yang menggambarkan peperangan antara adipati ranggalawe melawan mahesa anabrang
BalasHapussebenernya kita apa orang2 kabupaten yang gak ngerti ya?
BalasHapusbanyak di pati situs2 budaya yang saya kira ikut andil di sejarah Indonesia, tapi setelah saya kunjungi kok keadaannya gak terurus dan nggak mendattangkan usaha2 bagi warga sekitar, sbenernya kurang apa pati itu?
gunung ada, daerah rendah ada , lautan ada juga, secara topologi sangat kaya lho, dan idealnya masyarakat makmur? Tapi?........
Dulu aku sekolah disekitar tempat itu, tapi 3 tahun sama sekali belum pernah kesana. Padahal jaraknya cuma 5 menit, setelah saya tinggal diluar kota, kangen juga sama Pati. Dan beruntung sudah pernah kesana.
BalasHapusKunjungi juga http://herrytage.wordpress.com ada beberapa info wisata pati, silahkan dikritik agar baik..